RSS

Akhir

Sunday, December 30, 2007

Laporan Akhir Tahun: Kebebasan Beragama Dilanggar
Oleh Saidiman

Di pagi buta itu, Kulman telah terjaga. Kulman dan penduduk Desa Manis Lor lainnya bergegas keluar rumah untuk menunaikan ibadah idul adha. Tetapi mereka tidak ke masjid.

Idul Adha tahun ini adalah idul adha yang tidak biasa bagi penduduk Desa Manis Lor. Idul adha yang dirayakan dengan duka. Masjid-masjid mereka telah porak-poranda dan disegel oleh segerombolan penyerang. Jemaat Ahmadiyah dilarang beribadah di masjid yang mereka bangun sendiri.

Belum hilang betul trauma penghancuran pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampus al-Mubarak, Parung, Bogor, pada tahun 2005, kelompok terbesar Jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, kembali diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam. 8 rumah jemaat dihancurkan, 7 masjid dilempari dan coba dibakar (tiga di antaranya disegel oleh aparat), dan tiga orang harus dilarikan ke rumah sakit (satu di antaranya terkapar dengan luka tusukan).

Wapres Mengecam
Di tengah minimnya ketegasan pemerintah dalam menghadapi aksi-aksi anarkis ini, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengeluarkan kecaman keras. “Harus segera dibuka segel-segel di tempat ibadah itu,” tegasnya di sela-sela penyerahan secara simbolis hewan kurban di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, 20 Desember 2007. Polisi, kata Kalla, harus berani mengambil sikap tegas terhadap mereka yang menghalang-halangi orang lain untuk beribadah.

Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Sepanjang tahun 2007, jemaat Ahmadiyah seluruh Indonesia juga memperoleh ancaman dan teror yang sama. Secara umum, menurut Hendardi, ketua Setara Institute for Democracy and Peace, tahun 2007 adalah tahun dimana kebebasan beragama banyak dilanggar. Sepanjang tahun ini, pelanggaran terhadap kebebasan beragama tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah, aparat keamanan, dan juga aparat peradilan. Setara mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 terdapat 185 bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. 92 di antaranya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh negara (crime by commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis terhadap siapa saja yang dianggap sesat atau menyimpang. Sementara ada 93 pelanggaran yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pembiaran (crime by omission) terhadap tindakan kekerasan dan teror yang dilakukan pelbagai kelompok masyarakat (Koran Tempo, 19/12/2007).

Sejak Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok al-Qiyadah al-Islamiyyah, 4 Oktober 2007, kelompok ini menjadi sasaran amuk massa dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat aparat negara. Al-Qiyadah kemudian menjadi kelompok keagamaan yang paling banyak menerima kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebanyak 48 kasus pelanggaran, kekerasan, penangkapan, dan penahanan yang menimpa anggota kelompok ini (Koran Tempo, 19/12/2007). Kelompok lain yang banyak menerima pelbagai bentuk pelanggaran adalah Katolik dan Ahmadiyah.

Setiap menjelang perayaan Natal, jemaat Katolik harus terus waspada, karena teror silih berganti mereka terima. Sepanjang tahun 2007, jemaat Katolik mengalami pelanggaran sebanyak 19 kali, yang terbanyak adalah dalam bentuk penutupan tempat ibadah. Sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, 19 Desember 2007, mengeluarkan pernyataan bersama mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan yang akan merayakan hari Natal.

Meski jemaat Ahmadiyah hanya mengalami 15 kali bentuk pelanggaran, namun dampak kerugian yang mereka terima sangat besar. Pelanggaran yang diterima oleh kelompok ini tidak hanya berupa fatwa dan penyegelan tempat ibadah, melainkan juga penghancuran rumah ibadah, tempat tinggal, fasilitas sekolah, perkantoran, dan juga pengusiran dari lingkungan tempat tinggal. Sepanjang tahun kelompok ini mengalami pengusiran di Lombok, rumah dan masjid mereka dihancurkan dan dibakar. Hal yang sama terjadi di Tasikmalaya dan Kuningan, Jawa Barat. Jemaat Ahmadiyah di Lampung, Padang, dan Sulawesi Selatan juga bernasib sama. Pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah di Jakarta dan Bogor juga tidak pernah luput dari ancaman.
Koordinator Kontras, Usman Hamid, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Manis Lor dan tempat-tempat lain itu adalah sebentuk pelanggaran HAM berat. “Ini tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak tatanan berbangsa, “ujarnya pada konferensi pers yang digelar di Jakarta,

19 Desember 2007.
Dengan nada yang lebih keras, intelektual senior, M. Dawam Rahardjo, menghimbau agar kelompok-kelompok minoritas dan pro-demokrasi lainnya mengupayakan segala bentuk pertahanan diri. “Ahmadiyah, Katolik, dan siapapun yang diserang harus melakukan perlawanan. Organisasi semacam Garda Kemerdekaan harus diperkuat, karena negara toh belum memberikan perlindungan maksimal terhadap kelompok minoritas,” tegasnya.

10 Pedoman MUI
Tokoh-tokoh seperti M. Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Usman Hamid, Ahmad Suaedi, dan Musdah Mulia menyebut bahwa fatwa sesat yang kerapkali dikeluarkan oleh MUI menjadi pemicu utama aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh masyarakat dan aparat keamanan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Penyerangan-penyerangan terhadap kelompok al-Qiyadah dan jemaat Ahmadiyah dimulai setelah MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok itu. Direktur The Wahid Institute, Ahmad Suaedi, mengatakan, “masyarakat seolah menunggu fatwa sesat MUI untuk melegitimasi aksi kekerasan mereka.”
Di akhir tahun 2007, MUI kembali mengeluarkan fatwa tentang 10 kriteria aliran sesat. 10 kriteria aliran sesat ini sontak mendapat reaksi dari banyak pihak. Monthly Report The Wahid Institute menyebut bahwa dengan mudah sekelompok orang akan dinyatakan sesat karena fatwa ini (Monthly Report on Religious Issues, edisi 4, November 2007).

Meski banyak menuai kecaman, MUI berkilah bahwa kriteria aliran sesat itu adalah kebutuhan masyarakat. Dengan alasan kebutuhan itulah, pihak MUI merasa perlu menambah ruang gerak yang dengan demikian mengusulkan penambahan budget yang awalnya 16 trilyun menjadi 18 trilyun pertahun kepada pemerintah (Detik.com, 3/11/2007). Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengamini dan mengikuti langkah MUI tersebut. Menanggapi besarnya dana negara yang dikelola oleh MUI, seorang anggota Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika mengecam dan menyatakan tidak terima pajak yang ia bayarkan kepada negara harus dipergunakan oleh MUI untuk melakukan pemberangusan kelompok-kelompok minoritas.

Abdurrahman Wahid pernah mengusulkan agar pemerintah mencabut bantuan dana ke MUI sebesar 16 trilyun pertahun. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul penghancuran pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor tahun 2005. Koordinator lapangan aksi kekerasan waktu itu, Abdul Haris Umarella (yang biasa mengaku sebagai Habib Abdurrahman Assegaf) menyebut-nyebut fatwa MUI sebagai landasan moral mereka melakukan aksi kekerasan. Pada sebuah kesempatan, Kapolri, Jenderal Sutanto, bahkan menegaskan akan menindak tegas penganut dan aktor intelektual aliran yang dianggap sesat (Antara, 01/11/2007).

Tahun ini Kulman dan warga jemaat Ahmadiyah Manis Lor memang tidak bisa menggunakan masjidnya untuk beribadah. Mereka berharap tahun depan akan lebih baik dan ada upaya yang serius untuk menjamin kebebasan mereka untuk menganut keyakinannya masing-masing. Jika keadaan tidak kunjung berubah atau malah semakin memburuk, Kulman dan kebanyakan warga Ahmadiyah lainnya tampaknya harus mempertimbangkan usulan untuk meminta suaka ke negeri lain. Karena Indonesia tidak lagi sudi menerima kehadiran mereka sebagai warga negara.
Read more!

Bunda

Monday, December 24, 2007

Hari Ibu; Saatnya Perempuan Angkat Pena
Oleh Ibn Ghifarie

APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI IBU ITU TIBA?

Aksikah, demokah, turun kejalan sambail meneriakan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu di alamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusah ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaran dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi memrlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan dirumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu di lakuakan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan--lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul Jogjakarta di kejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencapur racun tikus pada nasinya.. Usut punya usut ternya mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setenga baya itu hilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat di tolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan tak jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuat ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah di dapat dan menjamurnya gerakan feminis. Perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang di alami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia di siram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.

Dominasi Tafsir Patriarkhi.
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatar belakanginya modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu di akibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang di utarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan di ciptakanya Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa di nilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Di tambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Mengapi kemalut yang akaut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendara daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena di anggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikarir di ruang publik, tapi domestik.

Maka Ambilah Pena.
Mencermati kemiskinan wanoja buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. untuk bangsa Indonesia masih kecil bila di bandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll.

Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis di gelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus di lawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang di lihat, di alami, di raskan dan di pikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang di ungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasasmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangka ide atau gagasan. Jika kita mesih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).

Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.

Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan di peringatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga.

Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.”

SUDAH SIAPKAH KAUM BANAT MERDEKA? Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/12/07;12.13 wib

*Pembelajar Stidi Agama-Agama fakultas Filsafat dan Teologi UIN GD Bandung dan Koord Post LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung.
Read more!

Warna Islam

‘Pohon’ Islam Yang Satu
Oleh Achmad Jumaely

Dalam soal tafsir-menafsirkan mangga, ummat islam ternyata bisa sangat toleran dan menerima perbedaan. Tidak ada satu kelompok yang menyerang kelompok lain gara-gara ia tidak sepakat dengan nama sebuah mangga, apakah ia mangga madu, mangga manalagi atau lainnya. Hal ini tak terjadi dalam perbedaan tafsir atas islam, satu kelompok islam merasa berhak menyerang kelompok islam yang lain gara-gara perbedaan bentuk, rasa dan aroma peribadatan diantara mereka. Fenomena penyesatan, pemurtadan dan pengkafiran yang terjadi akhir-akhir ini kiranya adalah cermin tidak adanya sikap ummat islam yang toleran pada perbedaan.

ADA yang menarik saat acara pengukuhan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makasar beberapa waktu lalu. Prof. Dr. Qasim Mathar yang mendapat pengukuhan sebagai guru besar di bidang filsafat dan ilmu kalam memberikan orasi ilmiah seputar Islam dan isu-isu kontemporer.

Kata Qasim, Islam itu layaknya sebuah pohon yang memiliki banyak cabang, ranting, daun dan buah. Masa Nabi Muhammad SAW ‘Pohon Islam’ itu hanya satu, islam versi Muhammad. Tidak terjadinya islam yang beragam saat itu karena mamang jarang terjadi perselisihan antar ummat. Jikapun terjadi, biasanya akan selalu berhasil dipecahkan Muhammad dengan otoritas kenabiannya.

Tapi paska Muhammad, ‘Islam yang satu itu’ mulai bercabang-cabang. Krisis politik saat itu, ‘menggeret’ para pemimpin islam berselisih soal kepemimpinan. Soal politik ini kemudian berlanjut ke persoalan pemahaman Fiqh. Akhir masa Utsman dan Ali menjadi puncaknya, ketika Syi’ah lalu Khawarij pertama-tama muncul sebagai bias perseteruan panjang Ali-Mu’awiyah.

Krisis politik berlanjut ke masa Abbasiyah dan Mu’awiyah. Masa itu ‘pohon Islam yang satu’ bahkan menjadi ranting-ranting yang banyak sekali. Minimal ada tujuh ranting paling kesohor kala itu. Mereka adalah Mu’tazilah, Murji’ah, Ahlus Sunnah, Jabariyah dan Qodariyah. Masing-masing ranting menyatakan golongan merekalah yang paling benar (Truth Clime). Ranting-ranting yang banyak inilah yang kemudian melatarbelakangi runcingnya perbedaan dalam fiqh islam serta memunculkan madzhab-madzhab.

Namun, diantara sekian cabang dan ranting yang muncul, hanya beberapa saja yang lolos dari Fit and proper test sejarah diantaranya Sunni dan Syi’ah yang kita temui hingga zaman ini. Yang lainnya terpaksa layu dan kering lalu mati. Di beberapa negara, dua yang disebut eksis itu bahkan mengalami pertumbuhan ‘subur’. Tidak sekadar membuat ranting, mereka juga penghasil berbuah dengan munculnya aliran-aliran baru. Di Timur Tengah misalnya muncul Wahabi, Salafi, Ikhwanul Muslimin, Taliban, Hamas dan sebagainya. Di Indonesia, ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (persis) juga Ahmadiyah.

Tak hanya itu, paska Orde Baru muncul ‘buah-buah’ baru seperti Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Lia Eden dan belakangan Alqiyadah Islamiyah (AI).

Kemunculan buah-buah dari ‘pohon islam’ yang satu itu mendapat respon pro kontra di tengah masyarakat. Yang pro berpandangan, buah-buah baru –apapun namanya- tetap masih bagian dari islam. Karenanya, menurut kelompok ini, masing-masing mesti diberi ruang ekspresi dan eksisistensi. Sementara yang kontra berpandangan sebaliknya, buah-buah baru itu tidak lagi bagian dari islam karena mereka menyebal terlampau jauh dari ‘pohon Islam’ yang satu. Kasus seperti ini bisa kita temui di Ahmadiyah dan juga baru lalu Alqiyadah Islamiyah. Ahmadiyah dan AI, sama-sama mengaku islam namun beberapa ritualitas dalam kepercayaan seperti islam mainstream tidak mereka lakukan atau dilakukan dengan cara yang berbeda. Walhasil, kelompok yang menyebal ini di hujat, di kecam bahkan di kafirkan.

Saya belum memastikan, apakah logika pohon -untuk mengilustrasikan islam- itu benar atau salah. Yang jelas bagi saya pribadi, ilustrasi ini masuk akal dan gampang di cerna walau oleh masyarakat awam. Di kehidupan sehari-hari saja kita kerap menemukan mangga menghasilkan buah yang berbeda rasa, aroma dan bentuknya. Ada mangga yang bentuknya bulat, berwarna cerah, kelihatannya enak dimakan tapi nyatanya asam dan tak nyaman di lidah. Tapi ada mangga yang bentuknya jelek, warnanya tidak menarik tapi manisnya luarbiasa. Perbedaan warna, rasa dan bentuk ini, menstimulasi manusia untuk ‘menafsirkannya’ secara berbeda-beda. Ada mangga madu, mangga manalagi, mangga loyok dan seterusnya. Namun, toh walau berbeda nama tetap saja kita sebut diawalnya ‘mangga’ bukan semangka?.

Dalam soal tafsir-menafsirkan mangga, ummat islam ternyata bisa sangat toleran dan menerima perbedaan. Tidak ada satu kelompok yang menyerang kelompok lain gara-gara ia tidak sepakat dengan nama sebuah mangga, apakah ia mangga madu, mangga manalagi atau lainnya. Hal ini tak terjadi dalam perbedaan tafsir atas islam, satu kelompok islam merasa berhak menyerang kelompok islam yang lain gara-gara perbedaan bentuk, rasa dan aroma peribadatan diantara mereka. Fenomena penyesatan, pemurtadan dan pengkafiran yang terjadi akhir-akhir ini kiranya adalah cermin tidak adanya sikap ummat islam yang toleran pada perbedaan.

Andaikata islam itu benar-benar buah, mengapa kita tidak bisa toleran dengan cara yang sama? Mengapa kita tidak bisa bilang itu Islam Sunni, ini Islam Syi’ah, itu Islam Ahmadiyah, yang disana Islam NU, yang disini Islam Muhammadiyah dan seterusnya? Sehingga kitapun, tidak merasa aneh jika ada islam yang bentuk ibadahnya ternyata berbeda dengan yang kita yakini?

Islam Murni Versus Islam Warna-Warni

Terminologi ‘Islam yang satu’ dalam tulisan ini nyaris sama dengan islam murni dalam identifikasi Nur Kholik Ridwan. Dalam bukunya “Islam Borjuis” Khalik membagi islam menjadi dua. Pertama islam Murni yang cenderung selalu ingin melakukan pemurnian atas islam. Mereka memiliki jargon yang amat populer, kembali ke Al-qur’an dan Al-Sunnah. Maka, Islam Arab yang ada di Timur Tengah bagi mereka adalah islam yang paling murni alias paling sahih, minimal ini karena alasan geografis bahwa Arab lebih dekat dengan tempat lahir dan tumbuh-kembangnya Islam.

Yang menjadi rival teologis dari islam murni adalah Islam tidak murni. Sebuah kelompok yang lebih memahami islam secara subtantif. Islam model ini semuanya tumbuh dan berkembang di negara selain Arab. Bagi kelompok ini tidak ada islam murni, yang ada adalah islam warna-warni. Arab dan Timur Tengah samasekali tak bisa dikatakan islam paling murni dan paling sahih karena Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Arab melainkan untuk semua ummat manusia di muka bumi. Dalam kurun sejarah yang panjang, perebutan otoritas kebenaran dari dua kelompok ini terus berlangsung bahkan hingga saat ini. Tak jarang bahkan mereka berseteru secara fisik untuk mempertahankan apa yang mereka imani.

Di Indonesia, Islam murni di gerakkan oleh Muhammadiyah. Organisasi yang memang sedari awalnya kental dengan faham Wahabi ini di era 80-an sempat gemeruyah uyah mengkampanyekan haramnya bid’ah dan berhadapan langsung dengan ormas tradisional Nahdlatul Ulama yang percaya tahlil, talqin dan ziarah kubur. Walau perdebatan hanya berputar-putar di hal-hal cabang atau Furu’iyah, namun tampak pertarungan ini secara massif terus berlangsung secara politis.

Namun Muhammadiyah lambat laun mengalami perubahan drastis –jinak dengan sendirinya- dan mulai menganggap berdebat soal-soal furu’iyah hanya menghabis-habiskan energi saja. Muhammadiyah mulai merambah gerakan baru dijalur yang lebih proporsional, kembali ke grass root dan membina ummat secara kultural.

Pasca Muhammadiyah, gerakan pemurnian nampaknya diambil alih Ideologi transnasional Wahabisme, yang –terutama- deras berkembang di Indonesia pasca berakhirnya era otoritarianisme orde baru. Mereka membentuk jaringan yang massif dengan kelompok-kelompok organisasi yang namanya berbeda-beda namun memanggul ideologi sama, pemurnian islam. Sekadar contoh, kita bisa liat muncul organisasi semacam Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain sebagainya yang terus berderak di arus bawah. Bahkan tak hanya membuat organisasi yang bergerak di arus bawah, mereka juga membikin organisasi politik yang bertugas menyampaikan aspirasi mereka di parlemen.

Derasnya arus ideologi transnasional inilah yang sepertinya membuat masalah baru dalam kontalasi kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Di berbagai tempat, ummat islam menjadi ummat paling menakutkan didunia. Mereka yang bawa bom, merusak, membunuh, mengusir dan lain sebagainya. Mereka juga yang secara gampangan menuduh orang kafir, sesat, murtad dan seterusnya. Sialnya, kondisi masyarakat kita yang awam dalam persoalan agama membuat mereka dalam posisi yang diuntungkan. Oleh mereka, masyarakat cukup dicekoki ayat atau hadist yang bernada keras dan tidak toleran, maka mereka akan dengan cepat berhasil diajak ikut menyerang, membakar dan mengusir saudaranya sendiri. Maka, logika gampang, ‘pohon islam yang satu’ untuk menjelaskan kayanya perbedaan dalam islam saya kira dapat jadi sedikit cerita pelega dihari-hari kita yang penuh amarah dan dendam. Semoga bermanfaat. []
Read more!

Aliran

Aliran Sesat Selilit Agama
Oleh Robby H. Abror

Judul: Selilit Sang Nabi. Bisik-bisik tentang Aliran Sesat
Penulis: Eddy Kristiyanto, OFM
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 178 halaman

Munculnya berbagai aliran sesat dalam tubuh agama dapat dianggap sebagai selilit yang sangat mengganggu. Kelahiran sejumlah aliran, ajaran, dan paham yang diberi stigma oleh lembaga agama sebagai sesat, menyimpang, membahayakan iman dan agama, sebenarnya terdapat dalam setiap sejarah agama manapun.

Baru-baru ini muncul aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang menganut keyakinan bahwa telah datang utusan Tuhan (rasulullah) yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud pada masa sekarang. Pelantikan rasul ini terjadi pada 23 Juli 2006 di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat. Menurut aliran ini, tidak ada sholat lima waktu, tetapi sholat hanya dikerjakan pada waktu malam saja. Aliran ini juga mencampuradukkan ajaran trinitas ke dalam Islam dan meniadakan rukun Islam. Bahkan yang cukup menggelikan, aliran ini ternyata juga memungut uang kepada para anggotanya sebagai syarat untuk masuk surga.
Karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY misalnya, telah menjatuhkan fatwa atas aliran ini sebagai sesat dan menyesatkan. MUI menganggap orang yang mengikuti aliran ini telah keluar dari agama Islam (murtad). Maka bagi mereka yang sudah telanjur mengikuti disarankan agar segera bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam yang benar (al-ruju/ ila al-haq).

Setelah mendapatkan penolakan dari umat Islam di Indonesia, akhirnya Abussalam alias Ahmad Moshaddeq, pimpinan aliran sesat ini menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 29 Oktober 2007. Dari hasil pemeriksaan, ternyata dia adalah mantan pelatih bulu tangkis dan pensiunan PNS pegawai Dinas Olahraga Pemprov DKI. Meski begitu, alirannya telah memiliki 41.000 pengikut tersebar di sembilan daerah di Indonesia.

Menggerogoti
Selain menggerogoti batang tubuh ajaran agama Islam, aliran sesat juga dialami oleh hampir semua agama resmi. Katolik juga memiliki apa yang disebut ”bida’ah”. Lembaga Gereja (Kristen) Katolik telah memberikan stigma pada sejumlah aliran keagamaan yang berseberangan atau tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ajarannya yang resmi. Kepedulian lembaga Gereja adalah menjaga kemurnian ajaran (orthodoxi) dan praksis (orthopraxi).

Pertama, mengenai ajaran (orthodoxi), lembaga Gereja mengaku telah menerimanya dari Yesus Kristus, Putra Allah Bapa yang dalam persekutuan dengan Roh Kudus telah mengilhami orang-orang tertentu untuk bersekutu dalam paguyuban beriman yang dinamis. Lembaga ini membenarkan diri telah menerima otoritas Ilahi dalam wujud insani, supaya dengannya kemurnian tetap terjaga.

Kedua, tentang praksis (orthopraxi) lembaga, apalagi hierarki, ’gembala’ berkepentingan khusus, yakni membimbing, mengarahkan agar praksis hidup para anggota lembaga Gereja sejalan dengan ajaran yang diyakininya. Kedua unsur tersebut (ajaran dan praksis) dilestarikan dalam dan oleh tradisi (hlm.18).

Lembaga Gereja menafsirkan aliran-aliran dalam Gereja yang merongrong dan memalsukan isi iman kepercayaan Kristen adalah para bida’ah. Mereka inilah yang dicap sebagai para pengajar sesat, karena menyimpang dan bertentangan dengan ajaran yang baku dan resmi. Bida’ah memiliki konsep sendiri tentang jalan keselamatan, sehingga mayoritas beranggapan bida’ah merupakan deviasi (gejala penyimpangan) dari arus umum. Dengan kata lain, pada galibnya bida’ah merupakan kelompok minoritas yang sedikit banyak militan dan radikal.
Buku ini mencoba mengangkat sisi-dalam ajaran atau aliran yang dicap oleh lembaga gereja sebagai bida’ah. Ajaran dan praksis adalah dua aspek utama yang dibahas oleh penulis. Secara biblis aliran-aliran keagamaan yang pernah dicap ”heretik” dikategorikan sebagai kelompok sektarian. Keberadaan bida’ah telah mendorong gereja untuk merumuskan ajarannya dengan tegas, karena para pemimpin Gereja bertanggung jawab atas ”keselamatan” jemaat yang mereka layani.

Dalam kekristenan, bida’ah (heresi) berasal dari akar kata hairesis yang berarti pilihan, dan kemudian sekte atau pilihan faksional. Selanjutnya, bida’ah berarti menyangkal atau meragukan dengan tegas suatu kebenaran yang sebenarnya harus diimani. Intinya, bida’ah meninggalkan dan mengambil posisi berseberangan dengan ortodoksi (kepercayaan yang benar) dalam Kristen (1Kor 11:19, Gal 5:20, 2Pet 2:1). Pada faktanya, bida’ah menjadi suatu gerakan sentrifugal yang memecah-belah Gereja.

Bida’ah
Buku ini memetakan puluhan kelompok bida’ah yang diklasifikasikan penulisnya ke dalam enam gugus, yaitu: dualistis, trinitaris kristologis, spiritual, eskatologis, moral dan politis religius. Dalam gugus dualistis (berkelamin ganda; mengakui Tuhan tetapi juga memberontak kepada-Nya) misalnya, terdapat aliran gnostisisme (gnosis dari bahasa Yunani berarti pengetahuan). Aliran sesat ini mempraktikkan ritus-magis seperti upacara-upacara khusus ”keagamaan gnosis”, jimat, gugon tuhon menjadi pengganti tatanan dan nilai-nilai moral.

Dalam gugus politis religius juga terdapat aliran sesat galikanisme. Aliran ini merupakan gerakan yang menuntut kebebasan tanpa keterikatan pada Sri Paus berkenaan dengan tradisi hidup menggereja, yang sudah lama menjadi darah daging Prancis sejak lama. Aliran ini lahir karena kecenderungan politis, yaitu sikap condong menerima campur tangan kekuasaan sipil dalam masalah-masalah keagamaan.

Dalam menyikapi aliran sesat atau bida’ah ini, penulis buku ini mengingatkan pentingnya sikap arif terhadap pandangan-pandangan atau ajaran-ajaran sesat yang berseberangan dengan arus utama. Di Indonesia, Katolik pernah direpotkan dengan munculnya Gereja Setan, gerakan Mormon yang pernah dilarang di Indonesia. Pondok Nabi yang menggemparkan dengan penantian hari pengangkatan di Bandung pada 2004. Gejala penampakan bunda Maria yang direkayasa oleh Thomas dari Surabaya. Aliran sesat di Manggarai Tengah, dsb. Intinya, bahwa secara sosiologis-historis aliran sesat itu merupakan sikap dari kelompok minoritas yang menyimpang terhadap kebenaran dogmatis yang harus diimani oleh kelompok mayoritas [sumber http://robbyabror.wordpress.com/]
Read more!

Makna Qurban

Thursday, December 20, 2007

Kata Mereka; Selamat Hari Anti-Binatangisme !!!
Oleh Ibn Ghifarie

Hari Idul Adha tiba, sebain umat islam yang mampu dan memiiki harta cukup diwajibkan berkurban. Adakah makna lain saat datang Hari Rayaguung?

Idul Adha membeningkan jati diri, membunuh kepentingan hewani, hanya satu tujuan, menggapai semangat ilahiyyah, kata Sukron Abdillah, penulis Kompas Jawa Barat.

Di Altar suci penggalah egomu. Bagai Ibrahim As. Jadilah penyaksi, karena penyaksi tak pernag mati. Di dunia penuh nista. Sebarkanlah cinta. Allah Akbar Walilla Ilham, Sabara, Kordinator JarIK (Jaringan Islam Kampus) Makasar.

Kehadiran kurban tak hanya berkurban Domda atau Sapi semata, tapi yang lebih baik mengurbankan sikaf kehewanan yang melekat pada kita dan memperjuangkan kaum mustad’afin. Itulah makna Idul Adha, Dian Aktivis Pergerakan Bandung.

Koreksi diri plus transformasi social. Seban ngoreksi kualitas diri saumur hirup, transformasi sosial, misalna kamiskinan jeung kritik ka pamarentah jeung sajabana. Selamat Hari Anti-Binatangisme !!! Badru Tamam Mifka, Pegiat Kelompok Belajar Biasa (KBB) Bandung.

Cag Rampes, Pokok Seker Kere, 20/12/07; 00.04 dan 21/12/07; 02.02 wib

Read more!

Idul Adha

Ibadah dan Tradisi Muhasabah
Oleh Badru Tamam Mifka

Setiapkali Idul Adha tiba, selalu ada yang mesti kita ajukan:
senjata apa yang terbaik untuk
menyembelih “leher” kebinatangan pada diri kita?

Dalam Islam, setiap ibadah tidak hanya menjelaskan hubungan “mesra” antara seseorang dengan Tuhan (habluminallah), tetapi esensinya juga menjelaskan pentingnya spirit akuntabilitas sosial (habluminannas). Tanpa implikasi sosial dan kepedulian terhadap sekitar, shalat seseorang sekalipun hanya semacam hypocrisy (kemunafikan), atau Allah tak segan menyebutnya “pendusta agama” (QS. 107 : 1-7).

Sejatinya dua matra kesadaran ibadah tersebut bermuara pada komitmen taqwa yang akan melindungi kita dari “penyakit” hawa nafsu yang sewaktu-waktu akan membuat kita jadi manusia “sakit” dan lupa diri. Dalam hal ini, demikian pentingnya kesadaran kritis untuk menangkap pesan substansial dari setiap ritual ibadah dalam menjangkarkan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar.

Tanpa kesadaran kritis menerjemahkan makna simbolis dari setiap ibadah, kita akan terjebak dalam “narsisme religiusitas” yang tak pernah dewasa dalam beragama. Lantas kitapun hanya membiarkan ibadah Ramadhan yang telah lewat misalnya, menjadi sekedar acara rutin tahunan. Kita lupa di bagian mana dalam tubuh ini kita menaruh hikmahnya dan tak berdaya lagi mengamalkannya saat ini. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menerima ego kebinatangan dan banalitas yang tiba-tiba demikian berkuasa mematikan rasa kemanusiaan kita.

Contoh ibadah Ramadhan diatas merupakan salah satu kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Seperti halnya ibadah haji atau lainnya yang hanya dilakukan tanpa semangat pemaknaan yang lebih dewasa. Ibadah dianggap hanya praktik ritual an sich. Akibatnya praktik ibadah jadi statis. Juga shalat yang disebut dalam al-Qur’an dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, pada kenyataannya tak dapat dibuktikan diatas lantai keseharian hidup ini.

Sementara begitu mengherankan bila terdengar bahwa kanker korupsi di negeri yang notabene mayoritas muslim ini masih ganas. Padahal Allah mengecam praktik sesat ini (QS. 2: 188). Yang tak kalah celaka, budaya hura-hura korupsi itu terus menggurita-ria diatas kemiskinan rakyat dan masalah penting lainnya. Disisi lain, kita bersikap masa bodoh karena terlalu tenggelam dalam rutinitas keseharian. Bukankah ini membuktikan bahwa sebagian orang di negeri ini belum bisa menjadikan agama sebagai instrumen mengikis sifat kebinatangan dan mempertebal kepedulian sosial?

Ibadah Sebagai Bentuk Muhasabah
Setiapkali ritual ibadah dijalani, setiap itu pula hadir kemungkinan adanya kesadaran penting soal kritik dari Allah. Seperti ibadah-ibadah lainnya, momen Idul Adha yang hadir adalah sebuah interupsi dari Allah bagi kita bahwasanya seringkali kita tak menyadari masih belum memahami ibadah sebagai proses ”tahu diri”. Karena diri kita sudah terlalu berkarat oleh kotoran hawa nafsu yang jarang dikoreksi. Oleh sebab itu, setiap konsepsi ibadah memberi wilayah yang luas untuk tumbuh-kembangnya kritik.

Semua itu mesti dilakukan dalam rangka membangun ketaqwaan. Tentu saja, kualitas ketaqwaan hanya bisa dikokohkan melalui proses belajar sepanjang hidup (lifelong education). Proses belajar itu bisa dilakukan dengan kemauan keras untuk introspeksi (muhasabah) terus-menerus.

Upaya mengembangkan tradisi muhasabah dalam ranah sosial juga perlu diawali oleh kesadaran diri bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk beribadah. Hayyatuna kulluhu ibadah, demikian Ali bin Abi Thalib berkata, hidup ini seluruhnya ibadah. Muhasabah menjadi teramat penting dalam ungkapan Ali tadi. Karena hidup ini dalam rangka ibadah, maka semangat ketaqwaan dan kemauan untuk introspeksi mesti dilakukan di segala keadaan dan keseluruhan aktivitas.

Ibda binafsik, kata pepatah, mulailah dari dirimu sendiri. Pada mulanya muhasabah binafsi (introspeksi diri). Introspeksi sebagai pelajar dan pengajar bisa berarti mengajukan kritik pada tingkah laku sebagai pelajar dan kualitas mengajar kita. Introspeksi sebagai pemimpin bisa berarti melontarkan kritik pada kelemahan memimpin kita, dan seterusnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas dan fungsi diri. Setelah itu muhasabah ”dikolektifkan” lewat tanggung jawab tawasaubil-haq (kritik membangun satu sama lain), baik level antarpersonal maupun level pemerintahan, dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), bisa dalam bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, bekerjasama memberdayakan rakyat kecil dan sebagainya. Introspeksi (muhasabah) menjadi senjata penting untuk melumpuhkan sifat kebinatangan diri yang acapkali enggan untuk menerima kritik dan berusaha memperbaiki diri.

Alhasil, sepantasnya kita terus bertanya apakah selama ini kita termasuk umat yang “mendustakan agama”, umat yang hirau pada problem sosial, umat yang tega menghardik penderitaan sesama dan tak henti mengisi hidup ini dengan kecurangan, kesombongan, kedzaliman, keserakahan dan kelalaian? Tentu saja, persoalannya apakah kita mau menerima tawaran Allah untuk lebih serius menjalani setiap ibadah sebagai medium memperbaiki kualitas diri atau tidak? Pilihan ada pada manusia. Kita tinggal pilih: deal or nodeal. Wallahu ‘alam.
Read more!

MUI

Menimbang otoritas fatwa MUI
Olen Nasrudin

Dalam literatur hukum Islam (Fiqh, Syari’ah), kita mengenal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum. Di antaranya adalah fatwa, qadha’, dan ijtihad. Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda.

Ijtihad dapat dikatakan sebagai kata umum yang mencakup dua pengertian sebelumnya. Ahmad al- Fayumi memberi gambaran ijtihad sebagai upaya seorang mujtahid untuk menemukan (hukum) hingga sampai ke akar-akarnya. (al-Fayumi: 112).

Sementara, qadha’ merupakan tindakan hakim (qadhi) yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara di meja hijau. Hakim harus memberikan putusan seadil mungkin. Putusan ini bersifat mengikat dan memaksa semua pihak yang berperkara.

Dalam qadha’, para pihak tidak memiliki alternatif lain, selain yang telah diputuskan oleh hakim, baik dalam bentuk sanksi, hukuman, maupun penetapan. Bila ada pihak yang berperkara dan kemudian berpaling dari putusan qadhi, bisa dianggap tindakan melawan hukum.

Sedang fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti) kepada orang yang mengajukan pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya proses istifta’ (pengajuan permohonan akan fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun badan hukum kepada mufti.

Berbeda dengan qadha’, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Artinya, fatwa boleh diikuti atau ditinggalkan, bahkan oleh si pemohon sendiri. Bila qadhi merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengatur urusan yudikatif, mufti lazimnya adalah seorang intelektual (ulama) independen, tidak berafiliasi dengan kekuatan mana pun, termasuk negara.

Fatwa, sebagaimana disampaikan Ibn Qayyim al-Jawzi, memiliki keterbatasan otoritas keberlakuan. ”Taghayyarul fatwa bihasabi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat.” (Fatwa bisa berkembang seiring perkembangan masa, perubahan letak geografis, peralihan kondisi, dan pergeseran niat).

Fatwa MUI dalam sorotan
Setelah menilik gambaran mengenai tiga terma di atas, lalu di manakah posisi fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)? Belakangan ini, tampaknya ada semacam pergeseran paradigma dalam memandang MUI sebagai (salah satu) organ yang melahirkan fatwa di Indonesia. Atau, jangan-jangan perubahan paradigma terjadi di antara para punggawa MUI sendiri.

Beberapa hal yang menjadi sorotan dari MUI adalah dari segi organisasi. MUI, bagaimanapun juga, adalah salah satu organisasi yang ”dimiliki” pemerintah, lantaran berada di bawah Departemen Agama. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan ulama mufti yang selama ini dipahami dalam kerangka hukum Islam, sebagai sosok intelektual independen.

Gambaran yang cukup menarik mengenai mufti pada masa Islam klasik adalah kisah seorang Gubernur Andalusia secara sengaja ”berkumpul” dengan istrinya pada siang bulan Ramadan. Ia meminta fatwa kepada Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi lantaran menyesali perbuatannya dan ingin bertaubat. (Jaih Mubarok: 2005, 35).

Dalam posisi ini, al-Laitsi tampil sebagai sesosok intelektual independen yang dimintai fatwa, bukan sebagai institusi yang berafiliasi dengan pemerintah. Sang gubernur (pemerintah), dalam posisi ini, tak berbeda dengan masyarakat umum. Ia adalah seorang mustafti, si pemohon fatwa. Di sini, tampak jelas garis demarkasi antara wilayah negara dengan wilayah agama (fatwa).

Dalam banyak kasus, beberapa rumusan fatwa MUI ternyata senantiasa terikat dengan faktor-faktor politis. Atha Mudzhar dalam disertasi doktornya, ”Fatwas of The Council of Indonesian ’Ulama’: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, mencatat, dari 22 fatwa MUI, hanya 11 (50 persen) di antaranya yang boleh dikatakan netral. Selebihnya, 8 fatwa dinilai dipengaruhi oleh pemerintah. Hanya ada 3 fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Dari sini, maka benar kata Louis Althusser, bahwa MUI (bersama organisasi senada: Walubi, PGI, KWI, PHDI, dlsb) telah memainkan fungsi ideological state. Salah satu ”kaki tangan” negara yang bermain di wilayah ideologis.

Bila frame ini digunakan, kita susah untuk mengelak dari fakta bahwa MUI telah menjadi agen negara untuk ”merekayasa” agama (Islam) untuk memenuhi keinginan negara. Bahwa MUI adalah agen negara untuk mengendalikan dan mengontrol umat Islam, meski tidak serepresif aparatur negara lainnya. Kita makin kesulitan lagi untuk mengelak, tatkala kita melihat kenyataan bahwa selama ini fatwa MUI selalu dijadikan rujukan dan diterima begitu saja oleh para pembuat kebijakan. Seolah-olah, fatwa MUI memiliki otoritas yang mengikat semua pihak.

Saat MUI memfatwa sesat aliran Ahmadiyah, maka aparat kemudian menutup Kampus Mubarok di Bogor Juli 2005 lalu. Atau kasus terakhir, saat MUI kembali menetapkan bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah sesat, umat Islam segera menghancurkan persinggahan Ahmad Mushaddeq di Gunung Bundar, Bogor.

Bila memang MUI ditempatkan pada posisi ini, jelas, yang ditelorkan MUI bukan lagi fatwa. Karena karakter fatwa tidaklah sekaku, serigid, dan sejauh itu otoritasnya, sebagaimana disinggung di muka. Fatwa ”hanyalah” sebatas pendapat ulama yang selain kebenarannya relatif, juga tidak memiliki kekuatan mengikat, bahkan hingga bisa dijadikan rujukan untuk sebuah tindakan hukum oleh aparat secara represif.

Dapat dikatakan, MUI telah menjelma (atau dijelmakan oleh publik awam) sebagai lembaga yudikatif baru dalam bidang agama di negeri ini. Atau, bahkan lebih tinggi daripada itu, lantaran ”fatwa”-nya dipahami mengikat semua kalangan, termasuk aparatus negara (repressive state apparatus).

Ada beberapa kecurigaan yang mengemuka dalam hal ini. Publik bisa saja menangkap fakta bahwa MUI telah ”disiapkan” sebagai stimulan bagi tindakan aparat represif (polisi) untuk menekan fenomena keagamaan sempalan yang pada beberapa sisi bisa membahayakan stabilitas negara.

Publik juga dapat menduga-duga bahwa ada yang memanfaatkan fatwa-fatwa MUI untuk kepentingankepentingan tertentu. Hal ini diwujudkan dengan menyikapi fatwa-fatwa tersebut dengan sebegitu reaktif. Sehingga, mengesankan bahwa MUI-lah yang memang mendorong publik untuk melakukan tindakan-tindakan represif tertentu.

Sebatas pengamatan penulis, fatwa yang diberikan para mufti dalam khazanah Islam klasik kebanyakan menyangkut persoalan pribadi si pemohon. Seperti cerita di atas, yakni mengenai kasus bolongnya puasa Ramadan, yang kemudian ditanyakan kepada mufti untuk diketahui jawabannya dalam hukum Islam.

Berbeda dengan sikap MUI sekarang yang ternyata juga melayani fatwa mengenai problem yang tidak secara langsung berkaitan dengan pemohon. Yakni, mengenai orang lain yang berbeda pola pengamalan Islamnya. Dan belakangan, banyak di antara golongan yang diajukan fatwanya, telah difatwa sesat oleh MUI.

Sikap mufti pada masa Islam klasik adalah pasif. Mereka menerima aduan, lalu memberikan jawaban. Sementara itu, di Indonesia akhirakhir ini terjadi pergeseran paradigma. MUI menggunakan dua paradigma: pasif dan aktif. Gambaran nyata gerak proaktif MUI adalah fatwa atas fenomena keagamaan sempalan akhir-akhir ini. Bila kita menengok kasus pada masa Islam klasik, hal ini belum dijumpai.

Peran ormas keagamaan
Menimbang maraknya aliran keberagamaan yang bisa ”meresahkan” publik —lantaran publik terlanjur terkondisikan untuk reaktif atas fenomena keagamaan sempalan— alangkah lebih baiknya bila persoalan ini diserahkan saja kepada ormas keagamaan, laiknya NU atau Muhammadiyah yang secara riil ”memiliki” umat.

Hal ini harus didukung dengan revolusi paradigma dalam melihat kebhinnekaan sebagai salah satu fitrah dan anugerah Tuhan kepada manusia ”agar saling mengenal”. Sikap toleran, obyektif, dan kritis terhadap pihak lain, termasuk terhadap fatwa MUI menjadi kata kunci. Allahu a’lam. hf

M Nasrudin
Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pemimpin Redaksi Majalah Justisia
Read more!

Minor

Sunday, December 16, 2007

Minoritas
Oleh Goenawan Mohamad

Sederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, bergerak – terkadang seperti patung kayu dari Asmat, terkadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua, terkadang seperti sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan kaki, tarik menarik, berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompe, penata tari kelahiran Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pasti ia memikat kita: sederet anekdot yang menyambut hidup dalam kontras dan keserempakan, gabungan antara yang jenaka dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin sebuah parodi, mungkin juga sebuah nostalgia.

Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, dengan tangan dan kaki ditekuk seperti menirukan kanguru, seakan-akan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum manusia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak.

Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada “warna lokal”, tapi pada akhrnya yang penting bagi sebuah koreografi yang kuat bukanlah mencerminkan sebuah identitas, “daerah” atau “nasional”, “tradisional” ataupun “modern”, melainkan bagaimana membuat sebuah karya mencengangkan.

Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan untuk mengukuhkan identitas, melainkan menunjukkan ada yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas — apa yang disebut oleh Adorno sebagai “non-identitas”.

Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan In Front of Papua yang memukau di National Museum of Singapore awal Nopember yang lalu, seoang penonton bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan minoritas?”

“Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik” – yang praktis tak ada di London atau New York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”.

Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai mereka yang berdarah Cina, atau Arab, atau Eropa, atau India – seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak pernah digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting? Dan mengapa berdasarkan ras?

Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit dan corak hidung yang berbeda-beda. Kita misalnya melihatnya dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan kasar dan “raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan raut wajah dan bentuk tubuh para Pandawa dalam Mahabharata dan Rama dan Laksmana dalam Ramayana.

Tapi menata wayang – dengan pakem yang tetap — tak sama dengan menata manusia. Menata manusia adalah obsesi kekuasaan politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan sebuah sistem yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan mengarahkan. Saya kira David Theo Goldberg benar, (di tahun 2002 ia menerbitkan The Racial State), ketika ia menunjukkan bahwa kategori “ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelola apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan mengasingkan “tantangan dari apa yang tak diketahui”, the challenge of the unknown.

Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan klasifikasi – sebagaimana layaknya sebuah bangunan modern di kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan kekaburan. Di luar kantor dan tata buku gubernemen, Indonesia harus dibuat rapi. Manusia pun dibagi dalam kategori: “pribumi”, “Timur Asing”, dan “Eropa”. Dan yang “pribumi” dibagi lagi dalam “suku”.

Bagaimana menentukan klasifisikasi ini tak pernah jelas. Sebab “pribumi” tampaknya ditentukan berdasar tempat kelahiran, sedang “Eropa” berdasar asumsi asal usul genetik. “Timur Asing” tampaknya berdasar atas “ras” dan sekaligus “tempat asal” – sebuah kategorisasi yang tak akan pas ketika “Timur” berarti juga penduduk yang berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam, Malaya, yang menampakkan ciri-ciri tubuh yang sama dengan orang Minang, Makasar atau Jawa.

Kata “asing” juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang nenek moyangnya 400 tahun yang lalu sudah beranak-pinak di Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila dibanding seorang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Malaka ke Medan.

Dan apa sebenarnya “suku”? Kata ini tampaknya dipakai untuk membuat satu kategori baru di bawah “pribumi” dan “Timur Asing.” Ada kesan bahwa satu “suku” mengandung satu identitas budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika bahasa dipakai sebagai cirinya, maka “suku Jawa” tak pernah ada. Sebab yang disebut “bahasa Jawa”, yang diajarkan di sekolah, sebenarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas.

Maka tak bisa dikatakan “suku Jawa” adalah satu “mayoritas”. Sama tak masuk akalnya menyebut orang Indonesia keturunan Cina “minoritas”: pemakai bahasa Hokian agaknya lebih banyak ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur.

Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi kekacauan yang ternyata menghasilkan kekacauan baru. Dengan kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari bahasa dan manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga sebagai khaos, menatap “tantangan dari apa yang tak diketahui,” merasa cemas dengan yang “lain” yang mengancam kerapian yang palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indonesia adalah bangunan minoritas-minoritas.

Atau serangkaian “non-identitas”: totem-totem gelap bertutul putih yang bergerak antara yang biasa dan tak terduga.

~Majalah Tempo Edisi. 42/XXXVI/10 - 16 Desember 2007~
Read more!

Sesat

Friday, December 14, 2007

Sesatnya kriteria Sesat
Oleh Muhamad Guntur Romli

Islam diturunkan sebagai misi penyelamatan, bukan amunisi penyesatan. Namun, cita-cita ini tidak terjadi pada beberapa kalangan di Majelis Ulama Indonesia (MUI), khususnya mereka yang mengeluarkan sepuluh kriteria ajaran/kelompok yang dianggap “sesat dan menyesatkan”.

Terbitnya kriteria itu semakin meyakinkan publik bahwa mereka -dengan berlindung di balik otoritas Islam- bisanya hanya melakukan penyesatan dan pengafiran, tidak memperbanyak bimbingan terhadap umat.

Kriteria penyesatan versi mereka harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan etika dakwah Islam. Dalam akidah Islam, hak pengimanan dan penyesatan hanya milik Allah. Ketika wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terhenti dengan meninggalnya Nabi, semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama, yaitu berusaha memahami wahyu tersebut.

Derajat mereka hanya sampai pada pencarian kriteria “benar dan salah” dalam menentukan ajaran agama, tidak sampai pada derajat mengetahui “iman dan kafir”. Wilayah “benar dan salah” adalah lahan manusia yang menjadi bidang garapan “ijtihad”, yakni usaha manusiawi yang sungguh-sungguh untuk memahami. Dalam hal itu pun, hakikat kebenarannya masih sampai pada tahap “kebenaran manusiawi”. Bukan “kebenaran ilahi”.

Oleh sebab itu, ulama terdahulu (salaf) begitu selesai membahas satu persoalan lantas mengakhirinya dengan pengakuan yang sangat terkenal: wallahu a’lam bi al-shawab (Dan Allah yang Maha Mengetahui yang benar). Pengakuan jujur dan mendalam bahwa yang mengetahui hakikat kebenaran hanyalah Allah.

Wilayah “iman dan kafir” jauh di atas wilayah perdebatan “benar dan salah”, yang tak seorang pun bisa memasukinya meskipun membawa dalil-dalil agama. Sebab, wilayah itu bukan lagi ruang penafsiran dan pemahaman yang bisa dimasuki oleh manusia seperti derajat “benar dan salah”. Wilayah itu juga berupa ruang sangat pelik yang tidak bisa diketahui, yaitu “hati manusia”.

Syariat hanya bisa menghukumi hal-hal yang tampak, di sinilah sabda Nabi menemukan konteknya: nahnu nahkumu bi al-dlawahir wallahu yatawalla al-sara’ir -”kita (manusia) hanya bisa menghukumi yang lahiriah dan hanya Allah yang bisa menguasai yang batiniah”.

Kriteria benar dan tidaknya salat (sah atau batal) adalah cakupan ilmu fikih yang membahas syarat dan rukun yang tampak sesuai dengan mazhab fikih yang diyakini. Namun, tak ada seorang pun yang tahu kriteria mazhab mana salatnya yang paling diterima oleh Allah?

Maka, kriteria sesat itu, selain melanggar batas, juga “menyesatkan”. Maksudnya, kriteria tersebut akan menyesatkan orang yang dituding tersesat, bukan menunjukkan mereka arah dan jalan yang lurus.

Bisakah kita membayangkan apa yang ada dalam pikiran dan hati seseorang yang malah menyesatkan orang yang telah tersesat?

Munculnya aliran dan pandangan yang dituding tersesat bukan malah meramaikan pentingnya bimbingan dan ajakan, tapi justru menegaskan penyesatan, seolah-olah mereka yang paling tahu mana yang tersesat dan mana yang tidak.

Lebih dari itu, kriteria penyesatan itu akan menumbuhkan tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) di kalangan umat karena akan menutup pintu dialog dan menggiring ke ruang konflik yang penuh dengan kekerasan.

Umat dipancing agar bereaksi keras bila terdapat sebuah kelompok atau keyakinan yang berbeda, bukan diajak untuk memahami dan mengenalinya terlebih dahulu.

Padahal, bila ada perbedaan, maka itulah rahmat yang disebutlah oleh sabda Nabi: ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan umatku adalah berkah). Dan bila terdapat kesalahan, maka diperlukan bimbingan dan ajakan karena manusia merupakan tempat salah dan alpa (al-insanu mahallul khatha’ wa al-nisyan).

Namun, dasar tersebut tidak menjadi pijakan kriteria sesat itu. Tengoklah poin kesepuluh kritertia itu yang ambigu dan bisa “menyesatkan”. Bagi mereka, kriteria kelompok sesat adalah “mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya”. Hakikatnya, poin itu masih membuka kesempatan boleh “mengafirkan sesasama muslim dengan dalil syar’i”.

Padahal, yang seharusnya ditradisikan adalah larangan mengafirkan sesama muslim meskipun bersenjata dalil syar’i karena selama ini tidak ada pengafiran tanpa digunakannya dalil syar’i. Misalnya, Khawarij yang mengafirkan Imam Ali Ra. Mereka mengunakan dalil-dalil syar’i, mengutip ayat-ayat Alquran dan Hadis.

Sejarah juga mencatat, praktik pengafiran yang terjadi sesama orang Islam melibatkan penggunaan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, yang perlu dijadikan dasar adalah bukan karena tidak adanya pengggunaan dalil syar’i maka pengafiran itu harus dilarang, namun karena praktik pengafiran itu sendiri -meskipun dengan alasan dan dalil syar’i sekalipun- harus dilarang.

Maka, kriteria sesat tersebut bisa dianggap gugur dan batal; bukan karena dalam kriteria-kriteria itu tidak ada poin-poin yang “benar”, namun karena berpijak pada dasar yang keliru, yakni bisa terjadi penyesatan, bukan penyelamatan.

Di situlah perlu diserukan kembali ajakan dan bimbingan agama sesuai dengan jalur asalnya. Yakni membuka lajur penyelamatan. Agama adalah kebaikan yang memang diturunkan bagi mereka yang belum atau tidak “baik”.

Agama menyempurnakan sesuatu yang kurang. Memperbaiki yang rusak. Bukan sebaliknya, mengurangi yang kurang dan merusak yang rusak. Wallahu a’lam bi shawab

Mohamad Guntur Romli, host Kongkow Bareng Gus Dur di KBR68H

Sumber Jawa Pos Rabu 14 November 2007,
Read more!

MUI

Presiden dan MUI
Oleh Anick

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat untuk Al Qiyadah Al Islamiyah, lalu menetapkan 10 kriteria sesat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengamini fatwa sesat tersebut dan mendukung MUI, dan memuji langkah cepat MUI.

MUI berterima kasih kepada pemerintah yang segera menindak Al Qiyadah. ”Ada 13 poin yang ditulis MUI. Yang pertama, lakukan langkah-langkah sangat tegas dan tepat terhadap aliran dan paham sesat. Saya dukung, mari kita jalankan bersama-sama”. “Presiden tidak bisa memberikan fatwa. Setelah fatwa (MUI) dikeluarkan, perangkat negara sesuai dengan wewenang yang diberikan menurut UUD dan UU akan menjalankan tugasnya. Paduan inilah yang diharapkan terus terjalin di waktu yang akan dating,” demikian Presiden pada pembukaan Rakernas MUI 5 November lalu.

Sadarkah Sang Presiden bahwa pernyataannya memiliki implikasi disintegrasi yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa? Pasca legitimasi dan dukungan yang belum genap satu bulan itu, ratusan pengikut Moshaddeq didiskriminasi oleh kelompok lain maupun oleh aparat; enam buah gereja di Bandung, satu gereja di Tangerang, satu di Jakarta, dan satu di Dumai, Riau, dituntut massa untuk ditutup; kantor jemaat Ahmadiyah di Jakarta didatangi sekelompok massa dan didesak melakukan pertobatan ala Moshaddeq, juga markas jemaat Ahmadiyah di Manislor, Kuningan yang terancam dibakar; satu masjid komunitas Syiah di Bangil dirusak massa, satu kelompok Tarikat Naqsabandhiyah di Makassar dan beberapa kelompok Tarikat di Jawa Timur juga dituntut bubar. Lalu MUI Jawa Tengah meyebutkan angka 252 untuk aliran atau sekte yang berpotensi dianggap sesat di Jawa Tengah saja. Lalu Menteri Agama juga mencekal Nasr Hamid Abu Zayd untuk menghadiri sebuah seminar, satu tindakan yang betul-betul menggelikan dal am negara demokratis selevel Indonesia.

Belum lagi fakta bahwa justifikasi itu melemahkan posisi negara dan membuat aparat kepolisian tak berani bertindak tegas terhadap segala bentuk kekerasan, anarkisme, dan main hakim sendiri, jika itu mengatasnamakan Islam dan fatwa MUI.

Sadarkah Sang Presiden bahwa Majelis Ulama Indonesia hanyalah sebuah organisasi masyarakat (Ormas) biasa yang bekerja dalam kerangka keormasan untuk umat yang dinaunginya, bukan untuk seluruh publik? Terlebih, sadarkah ia bahwa tolok ukur sesat ala MUI adalah tolok ukur dan kaca mata “Islam”, bukan tolok ukur “Indonesia”? Terlebih lagi, sadarkah ia bahwa MUI juga tidak merepresentasikan pendapat seluruh umat Islam di negeri ini?

Lalu jika Sang Presiden mengamini dan mendukung sepenuhnya kaca mata “Islam” untuk memosisikan sekelompok warganya, di manakah yang disebut “Indonesia”? Apakah Indonesia adalah Islam, dan Islam adalah Indonesia? Tampaknya Sang Presiden lupa, bahwa seperti halnya dia sendiri, Moshaddeq dan pengikutnya, anggota Ahmadiyah, pemeluk agama lain, penganut aliran kepercayaan, pengikut tarikat-tarikat, adalah warga negara Indonesia yang sah. Sebagai warga negara, ia berkedudukan sama berhadapan dengan hukum, tanpa membedakan suku, ras, agama, dan keyakinannya. Dan sebagai seorang Presiden, meski di sisi lain ia juga manusia beragama, ia harus melepaskan kaca mata agamanya dalam kapasitasnya sebagai Presiden.

Tampaknya Sang Presiden juga lupa bahwa kehidupan berbangsa kita didasarkan pada demokrasi konstitusional. Jika konstitusi telah mengamanatkan kepada negara untuk menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, beribadah menurut agamanya sendiri, apapaun agama dan kepercayaannya, itu berarti negara harus melindungi kebebasan warganya dalam hal pilihan agama dan segala konsekuensinya. Itu berarti tak ada kompromi untuk segala bentuk diskriminasi, pun atas nama mayoritas.

Akan lebih menyedihkan jika dukungan Presiden ini dilakukan karena kecenderungan umum dan tren ‘islami’ untuk kepentingan popularitas. Sungguh murah harga popularitas, dibanding implikasi konflik dan disintegrasi sosial yang kian mengkhawatirkan. Seakan, menjadi islami berarti memegang kunci pintu masuk ke tampuk kekuasaan berikutnya. Seakan, menjadi “Indonesia” yang konstitusional berarti menjadi kurang atau tidak islami, dan berarti juga akan kehilangan popularitasnya.

Sebegitu rendahkah kualitas kebangsaan kita?
Read more!

Topik

Kala Acara Topik Ketiban SMS (Sort Masage Service)
Oleh Ibn Ghifarie

Di saat malam mulai beranjak gelap dan menyelimuti dinginya udara, kucoba meneruskan pekerjaan yang sempat tertunda beberapa jam. Pasalnya, temen-temen lagi kena sindrom geam bola.

Tak pelak, ngedit naskah ‘Melawan Arus; Pergulatan Pemikiran Kaum Minoritas’ pun sempat terbengkalai. Belum lagi, kawan-kawan yang lain menuntut kesediaanku untuk bersedia mengisi pelatihan jurnalistik dan pentingnya melek internet.

Kala itu, sedang asyik-asiknya medit tulisan. Sekoyong-konyong mataku mulai pudar melototi monitor, bahkan berpaling ke acara televisi. Kebetulan siaran yang aku liat ‘Topik’ Minggu Ini (SCTV). Rasanya, akan menarik materi yang akan diulas malam ini.

Memang betul, ‘Topik’ ini bertajuk ‘RI-Malayasia : Bertengkar Hingga Duni Maya’ dengan menghadirkan Narasumber; Enda Nasution, Presiden Blogger Indonesia, Karim Raslan, kolumnis asal Malaysia dan politisi Partai Amanat Nasional, Alvin Lie, Rabu (12/12).

Kebanjiran SMS (Sort Masage Service)
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan deringan suara Handphoneku petanda ada pesan yang masuk. Tanpa basa-basi kubuka pesan singkat itu, ‘Bang Bul (Buled sapaan akrabku-red) di SCTV aya perang Blogger Malayasia versus Indonesia, tulis Dian Bendum (Bendahara Umum) LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung.

Sejurus kemudiaan pesan singkat pun terus berdatangan kepadaku ‘Mas, mohon minta tanggapannya tentang pertengkaran para Blogger Malayasia dan Indonesia? Makasih. Anonim yang tak menyebutkan namanya.

Kang, nyuhunkeun pendapatna ngenaan ribut Blogger Indonesia sareng Malayasia soal Reog Ponorogo, Rasa Sayange. Cing kumaha saur Akang, SMS (Sort Masage Service ) kawanku.

Ayo gimana tanggapanya tentang keributan di dunia maya (blogger Indonesia dan Malayasia)? Ditunggu balasanya ya?, rekanku yang lainya.

Di Mata Serdadu Blogger
Tak ayal, ucapan permohonan tanggapan itu menghentakan perasaanku. Betapa tidak, aku mulai tak mengupdate Blogku karena asyik belajar ngedit naskah dan satu lain hal. Apalagi pascapemutusan koneksi web.idku oleh Pandi (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), sebab belum diperpanjang.

Memang ku akui, beberapa tahun ini aku mulai akrab dengan dunia blog. Hingga beberapa kawanku memberikan julukan ‘bloggger yang handal’. Jujur saja, aku masih belum menguasai media online ini, tapi keukeuh peuteukeuh rekan-rekanku memanggil sebutan itu. Entah karena pernah mengelola beberapa blog atau bertukar pengalaman soal weblog.

Adalah berjubelnya pesan singkat soal perseteruan para Blogger antara Indonesia dan Malayasia merupakan satu bukti kepercayaan sahabat-sahabatku soal dunia cyber. Terutama berkenaan dengan blog.

Tak disangka-sangka, Oval aktivis jarIK (Jaringan Islam Kampus) Bandung yang berada disampingku mengawali pembicaraanya dengan melontarkan pertanyaan ‘Wah…gimana tanggapanya menurut Serdadu Blogger (Pegiat sekaligus Bloggermania--red) soal perseteruan antara para Blogger Indonesia dan Malayasia,’ cetusnya.

Tentu tak ada jawaban dariku, selain kata ‘Tinggali wae acara ieu’ pan aya Presiden Blogger Indonesia,’

Menanggapi hal ini, Presiden Blogger Indonesia Enda Nasution menilai perang blog ini tak perlu terjadi. "Situs www.ihateindon.blogspot.com sudah melanggar term condition penyedia layanan blog," ujar Enda.

Menurut Karim Raslan, kolumnis asal Malaysia, salah satu penyebab meruncingnya hubungan Indonesia-Malaysia adalah banyaknya warga Indonesia yang datang ke Malaysia. "Ini menjadi masalah sosial buat Malaysia," ungkap Karim.

Benarkah ketidakharmonisan kedua negara serumpun ini adalah kelanjutan sejarah atas konflik yang selalu mewarnai hubungan kedua negara? Mulai dari era Sukarno hingga saling klaim hak cipta ? (Liputan 6 SCTV)

Stop Peperangan Antar Blogger
Maraknya situs yang dibuat oleh para blogger Malaysia. Isinya, kecaman dan hujatan atas Indonesia. Sebaliknya, sejumlah blogger asal Indonesia juga menumpahkan kemarahan yang sama.

Sejatinya kita kudu mengamini pernyataan Enda Nasution, seharusnya kita tidak membalas kebencian dengan kebencian, tapi menjembatani keduanya, demikianlah harapan Presiden Blogger Indonesia saat menutup perbincangan ‘Topik’ tersebut.

Malam mulai merayap. Suara jangkrik pun ikut memiahkan malam. Rasa ngantuk tak kunjung datang. Malah asyik membaca SMS sekaligus membuat coretan sambil berucap ‘Stop Peperangan Antar Blogger’’. Semoga hubungan Indonesia-Malayasia semakin harmonis, buka anarkis. Hidup Blogger [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 13/12/00;14.16 wib
Read more!

Perempuan

Tuesday, December 11, 2007

Nabi Itu Monogami
Nong Darol Mahmada

Terbitnya buku ini tak kalah kontroversinya dengan poligami Aa Gym beberapa waktu lalu yang berakibat pesantren dan usaha bisnisnya makin sepi. Meski penulisnya menolak kalau ia menulis buku ini bukan lah karena faktor itu. Konon saking kontroversinya, buku ini sempat ditarik dari peredaran karena membuat gerah aktivis dan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski yang memberi pengantar buku ini adalah istri pertama Presiden partai tersebut, Sri Rahayu Tifatul Sembiring.

Wajar saja karena buku ini ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan yang merupakan salah seorang anggota Majelis Syuro PKS. Majelis ini menempati posisi tertinggi dalam struktur partai yang berideologi Islam ini. Sementara sudah jadi rahasia umum kalau ikhwan partai ini lazim melaksanakan praktek poligami dengan tujuan untuk perluasan dakwah Islam. Mereka juga meyakini bila poligami merupakan solusi ideal relasi suami istri bila sang suami ”tergoda.”

Di sinilah menarik dan beraninya buku ini. Isinya memang benar-benar menelanjangi praktek poligami yang banyak menyengsarakan kaum istri dan anak serta lebih khusus lagi kata penulis, berakibat buruk pada dakwah Islam. Artinya penulis mendekonstruksi pemahaman dan keyakinan sebagian besar koleganya di partai. Dalam pendahuluannya, penulis mengakui bahwa sebenarnya tema ini merupakan tema yang selalu dia hindari karena supersensitif bahkan hipersensitif. Menurutnya, menulis masalah poligami bukanlah wilayah aman untuk mengungkapkannya. Keputusan penulis untuk tetap menulis tema ini, tentulah sangat tidak populer. Bahkan cenderung menentang arus, atau mungkin juga kebijakan partai.

Sedari awal penulis menekankan bahwa ia menulis buku ini bukan dalam rangka menolak hukum atau ajaran Islam tentang poligami. Yang ia tolak adalah praktek poligami itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak fakta dan kasus yang akhirnya ia sendiri punya kesimpulan kalau poligami itu bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan keluarga tapi malah menghancurkan institusi keluarga khususnya perempuan dan anak. Meski penulis mengakui pada kasus-kasus tertentu seperti menolong janda dan anak korban konflik, poligami tetaplah menjadi solusi. Tapi kenyataannya sangat jarang suami yang berpoligami karena alasan tersebut. Mayoritas berpoligami karena perempuan yang akan dijadikan istri selanjutnya itu lebih muda, lebih menarik, lebih pintar dan lebih segalanya dibanding istri pertamanya. Buku ini banyak mengungkap data dan fakta yang didasarkan pada kasus-kasus praktek poligami yang memang menjadi kecenderungan partai dimana penulis terlibat dan dari pengaduan para kliennya karena profesinya sebagai konsultan pernikahan dan keluarga di Jogja Family Center (JFC).

Karena itulah penulis menyarankan agar suami membahagiakan dan memaksimalkan diri dengan satu istri. Dari situ, penulis mengeksplorasi argumen-argumen doktrin Islam tentang monogami yang menurut saya argumen tersebut mendekonstruksi argumen tentang poligami dalam Islam.

Seperti diketahui, biasanya para pelaku poligami membenarkan perbuatannya tersebut pada dua hal: Alquran surat al-Nisa ayat 3 yang membolehkan poligami sampai empat dan mengikuti Sunnah Nabi. Padahal kata penulis, bila kita melihat kehidupan keluarga Nabi secara cermat, sesungguhnya Nabi itu melakukan monogami. Karena dalam kurun waktu kehidupan rumah tangga Nabi, Nabi itu sangat monogami. Kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah itu berlangsung 25 tahun, sementara Nabi mempraktekan poligami itu hanya 10 tahun. Itu pun setelah Khadijah wafat dan kebanyakan pernikahannya itu lebih dikarenakan menolong janda-janda sahabat beliau yang meninggal akibat perang untuk membela Islam. (hal xviii)

Sementara ayat Alquran yang menjadi acuan poligami itu pun titik tekannya pada sikap suami yang bisa berlaku adil, bukan pada bolehnya praktek poligami tersebut. Sikap adil susah sekali ukurannya karena sangat melibatkan perasaan, tidak hanya kepuasan materi dan seksual semata. Anugerah perasaan inilah yang merupakan salah satu kelebihan manusia. Seperti yang diulas dengan bagus oleh Bintu Syathi Aisyah Abdurrahman dalam bukunya Istri-istri Nabi, kehidupan istri-istri Nabi saja tak sepenuhnya harmonis, malah cenderung penuh intrik dan saling cemburu karena mereka saling bersaing untuk memperebutkan perhatian Nabi. Untuk sekualitas lelaki seperti Nabi saja, yang banyak diberi kelebihan oleh Allah, Beliau cukup kerepotan mengelola perasaan dan menghadapi isteri-isterinya. Apalagi untuk manusia biasa seperti kita semua. Karena itu kata penulis, kita ini bukan Nabi, isteri kita pun bukan Aisyah. Makanya jangan coba-coba berpoligami. (hal 238)

Ada juga yang berargumen berpoligami itu karena untuk menghindari zina. Istilahnya, dari pada selingkuh kan lebih baik poligami. Menurut penulis, kok bisa poligami dibandingkan dan disejajarkan dengan zina (selingkuh). Penyejajaran seperti ini kata penulis, merupakan cara berpikir yang tak nyambung, dan ungkapan tersebut tidak pada tempatnya sebagai alasan untuk melakukan poligami. Ia menyodorkan beberapa pilihan selain poligami. Misalnya dari pada suami berpoligami lebih baik berpuasa untuk menjaga diri atau konsentrasi dan fokus ke isteri atau onani dan masturbasi atau berkebiri atau berlari-lari untuk membuang energi atau bertobat setiap hari atau aktif dalam kegiatan berorganisasi atau segera naik haji atau banyak pilihan erbuatan yang lebih baik dan positif. Jadi bagi penulis, suami tak mesti berpoligami, atau lebih ekstrim lagi berselingkuh, karena pilihan untuk tetap beristri satu tetap yang paling realistis. (hal.99)

Penulis mengakui, banyak yang bertanya kenapa ia tak berpoligami. Jawabannya karena ingin bahagia dengan satu istri. Dengan memarodikan lagu Aa Gym, penulis menjawab:

Jagalah istri, jangan kau sakiti
Sayangi istri, amanah ilahi
Bila diri kian bersih, satu isteri terasa lebih
Bila bisa jaga diri, tidak perlu menikah lagi

Bila suami berpoligami
Dakwah akan terbebani
Demarketing menjadi jadi
Dakwah bisa dibenci

Jagalah istri, jangan khianati
Jagalah diri, tak perlu poligami

Buku ini jelas-jelas diperuntukkan untuk suami baik yang punya niat berpoligami atau tetap monogami. Bagi yang berniat poligami, setelah membaca buku ini pasti tak akan jadi menambah istrinya. Bagi yang setia dengan satu istri, pasti akan semakin membahagiakan istrinya. Bagi yang sudah berpoligami, ada dua kemungkinan: membenarkan atau menolak mentah-mentah isi buku ini.

Tentu saja buku ini tak hanya layak dibaca para suami atau lelaki meski isinya memang lebih banyak diperuntukkan untuk kaum Adam. Bagi perempuan pun, buku ini sangat bermanfaat karena banyak kiat dan nasihat agar para istri tidak dipoligami. Sayang sekali, bukunya sangat sulit untuk didapatkan sekarang. Salut untuk Ustadz Cahyadi...

Tulisan ini dimuat di majalah GATRA, 5 Desember 2007
Read more!

Sekuler

Benarkah Sekulerisme?
Oleh Luthfi Assyaukanie


Sekularisme sebetulnya adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.

Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.

Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.

Negara-negara Islam, seperti Turki, Mesir, dan Irak pada masa Saddam Husein, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme tapi menerapkannya secara salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja ia gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur.

Penolakan sebagian kaum Muslim terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk pada pengalaman negara-negara yang gagal menerapkan prinsip ini, seperti yang disebut di atas. Sekularisme di Turki, misalnya, diidentikkan dengan serial pelarangan terhadap atribut dan praktek-praktek keagamaan. Sekularisme berarti pelarangan jilbab, penutupan institusi pengajaran al-Qur’an, dan penangkapan terhadap aktivis Islam.

Di Mesir, sekularisme identik dengan diktatorisme. Bagi sebagian besar aktivis Islam di sana, Presiden Husni Mubarak adalah penjelmaan dari sekularisme yang buruk. Sementara di Irak pada masa Saddam Husein dulu, sekularisme identik dengan despotisme dan anti-Tuhan, khususnya karena rezim penguasa adalah partai Ba’ath yang sosialis.

Para pencemar sekularisme bukan hanya datang dari negara Islam. Di Eropa, Perancis kerap dikecam sebagai negara yang menerapkan sekularisme secara salah. Persis seperti di Turki (atau Turki memang meniru model Perancis), sekularisme di Perancis dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Memakai jilbab, karenanya, dianggap sebagai ancaman bagi sekularisme. Menarik untuk dicatat bahwa Perancis adalah salah satu dari negara-negara Barat yang paling lambat dalam menerima demokrasi.

Negara-negara yang relatif sukses dalam menerapkan demokrasi adalah negara-negara yang secara baik menempatkan hubungan agama dan negara; mereka adalah negara-negara yang mampu menjalankan prinsip sekularisme dengan benar. Di Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara demokratis lainnya, sekularisme tidak dipahami sebagai musuh agama, tapi justru dijadikan sebagai pelindung agama.

Di Inggris, perlindungan sekularisme terhadap agama itu bahkan disimbolisasikan dengan menjadikan Ratu Inggris sebagai Kepala Gereja Anglikan. Meskipun sekilas tampak bertentangan dengan prinsip sekularisme, yakni pemisahan agama dan negara, tapi Ratu Inggris sendiri, secara de facto sesungguhnya tak punya kekuatan apa-apa alias sudah terpisah dengan sendirinya dari negara (pemerintahan).

Sekularisme sesungguhnya adalah berkah bagi agama-agama. Di Turki, para aktivis Islam yang tergabung dalam Partai Kebajikan yang berorientasi Islam, menuntut negara agar menerapkan sekularisme secara fair. Merve Kavacki, anggota parlemen Turki berjilbab yang pernah membuat heboh pada tahun 2000 dengan tegas mengatakan bahwa dia dan partainya tak pernah ada masalah dengan sekularisme. “Yang kita inginkan adalah penerapan sekularisme secara adil dan benar, seperti negara-negara Barat melaksanakannya.”

Sama seperti di Turki, di India, kaum Muslim menginginkan sekularisme dan mencemaskan kalau-kalau BJP, partai fundamentalis Hindu, mengganti sekularisme dengan Hindutva, syariah-nya orang-orang Hindu. Buat kaum Muslim di sana, sekularisme adalah berkah yang tak ternilai harganya.

Alangkah tidak fair jika kita mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah. Kita tentu saja tak menginginkan model sekularisme Turki, atau Mesir, atau Perancis. Lagi pula, mengapa kita terobsesi dengan negara-negara yang gagal ini? Mengapa tak berkaca pada pengalaman yang jelas-jelas terbukti sukses?
Read more!

Atheis

Atheis
Oleh M Dawam Rahardjo

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba’ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja’far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu’alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman. “Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?,” tanyaku pada suatu hari.

“Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin,” jawabnya.

“Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?” tanyaku lagi. “Aku ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro,” jawabnya lagi.

“Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar,” jelas saya.

“Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya.”

“Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?” tanya saya.

“Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok.”

“Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin.”

“Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah.”

“Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan,” ujar saya.

“O… Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama.”

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. “Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan,” katanya jujur.

“Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas,” jawab saya.

“Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin.” Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. “Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.

“Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis.”

“O… boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim.”

“Kalau begitu, Mas telah murtad?” tanyaku.

“Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku.”

“O… begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?” tanyaku ingin tahu.

“Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan.”

“Lalu status Mas sekarang sebagai apa?” tanyaku.

“Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas.”

“Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan.”

“Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan.”

“Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik.”

“Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya.”

“Astaghfirullahal’adzim.”

“Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka.”

“Berlindung aku dari bisikan semacam itu.”

“Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis.”

“Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua.”

“Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini.”

“Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan.”

“Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja.”

“Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan.”

“Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani.”

Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. “Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?”

“Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai.”

“Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?”

“Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya.”

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu’alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.*** [Sumber Media Indonesia, Edisi 09/02/2007]
Read more!

Kok Redup Nih...!!!

Wednesday, November 21, 2007

Mengeja Redupnya Gerakan Mahasiswa
Oleh Iyya Maliya

Artikel M. Fauzi tentang Gerakan Kaum Muda yang ditulis di Pikiran Rakyat pada 2/11/07 menarik untuk dikomentari. Dalam tulisannya tersebut, Saudara Fauzi mengetengahkan uraian serta analisanya seputar mandegnya gerakan kaum muda. Baik itu kaum pemuda biasa maupun mahasiswa. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan sudut pandang yang lain dalam melihat persoalan tersebut.

Harus diakui bahwa pemimpin negeri ini gagal dalam mengelola para pemuda untuk menjadi generasi bangsa yang utuh dan memiliki kepastian orientasi, baik di masa kini maupun masa depan. Sebuah generasi yang dapat mewarisi kebesaran yang dimiliki bangsa dan negara ini. Para pemimpin kita menurut penulis, gagal melakukan itu Sebaliknya, yang tercipta justru sederet generasi bangsa dengan tingkat moralitas dan etos kerja yang rendah yaitu generasi yang larut dalam praktek korupsi tergerus dalam gelapnya dunia narkoba, larut dalam hidup gaya borjuisasi, hingga generasi bangsa yang pola hidupnya amat santai tanpa ada motivasi untuk maju. Inilah wajah generasi muda bangsa ini. Terbelah dalam beragam pola dan gaya yang negatif.

Dilihat dari satu perspektif, apa yang diungkap Saudara Fauzi dalam tulisannya bahwa, generasi muda masa kini cenderung mati gaya dan merasa eksis atau puas hanya sebagai konsumen, ketimbang sebagai pembaharu, benar adanya. Namun demikian, menurut saya, kita harus juga melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lain. Harus diakui bahwa generasi muda di negeri ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk berpartisipasi aktif dan berperan. Terutama dalam lingkup kenegaraan. Peran generasi muda cenderung dibatasi. Bahkan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan serta ide-ide mereka jarang didengar. Mengutip slogan iklan rokok, “yang muda, belum boleh bicara”. Itulah penilaian saya mengenai salah satu kondisi gerakan kaum muda Indonesia masa kini.

Gerakan Mahasiswa

Sementara mengenai peran pemuda dalam bentuk gerakan, satu hal yang ingin saya tegaskan bahwa, pada era kini gerakan mahasiswa semestinya di tafsirkan ulang secara lebih aktual dan kontekstual sesuai perkembangan sosio-kultural kehidupan bermasayrakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Gerakan mahasiswa tidak bisa tampil dengan wajah dan visi lamanya. Harus diperbaharui dan ditafsir ulang. Bahkan, perlu dikaji ulang lebih dalam lagi perihal eksistensinya. Sebab gerakan mahasiswa kini telah mati suri dan gerakannya pun sudah tak progresif lagi. Ini pertanda, bahwa ada yang salah atau telah usang dalam visi dan konsepnya.

Seusai reformasi, gerakan mahasiswa meredup dan seperti di “rumahkan” oleh waktu. Statis dan pasif. Padahal, dulu gerakan mahasiswa mampu mengubah arah sejarah negeri ini dengan ketika perjuangannya melawan rezim Soeharto hingga orang nomor satu tersebut lengser keprabon. Salah satu sebab kemandekan gerakan mahasiswa ini adalah karena gerakan mahasiswa yang dulu lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil. Sedangkan kini, gerakan mahasiswa menyempitkan peranannya hanya terbatas pada lingkup kampus saja. Semacam kembali pada sempitnya “negeri kecilnya”.

Yang lebih parah lagi, budaya hedonis berkembang di kampus, menyebar begitu cepat bak jamur di musim hujan. Rasanya jarang sekali terdengar percakapan yang akademis di lingkungan mahasiswa. Sedangkan percakapan-percakapan mengenai fashion, mode baru, sinetron baru, film baru, dan aneka bentuk hedonisme yang lain, kerap kali terdengar. Ini ironis, mengingat mahasiswa adalah corak intelektualitas dan akademis. Sepertinya, perbincangan seputar intelektualits adalah produk serta fakta yang langka ditemukan dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Inilah gambaran kondisi mahasiswa saat ini beserta gerakannya.

Ironis memang. Gerakan mahasiswa yang lingkupnya merosot hanya pada tataran kampus saja, masih diperparah dengan kecil presentase mereka yang aktif dan serta rendahnya tingkat kepedulian mereka. Jangankan untuk peduli pada negara, kebijakan pada tingkat kampus (rektorat) pun jarang direspon atau dihiraukan. Apatis, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sikap para mahasiswa masa kini beserta gerakan-gerakannya.

Faktor penghambat dan pendukung gerakan mahasiswa

Selain disebabkan faktor mahasiwa yang cenderung apatis dan tidak mempunyai keinginan untuk turut serta aktif, redupnya gerakan mahasiswa juga dilatarbelakangi oleh faktor kebijakan kampus/rekorat yang menunjukkan gejala tidak mendukung sepenuhnya gerakan mahasiwa. Mungkin pertimbangannya adalah stabilitas kampus itu sendiri jika mahasiswanya kritis, kampus/rektorat khawatir kritisisme mahasiwa berdampak pada stabilitas kampus. Jadi, kampus/rektorat berkepentingan untuk menjaga stablitas kampus dengan segala kepentingan dan praktek yang berlaku di dalamnya.

Sungguh miris memang melihat kondisi gerakan mahasiswa sekarang ini. Tapi, bagaimanapun kita harus tetap menjaga motivasi kita untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa. Dan untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa, harus ada dukungan dari berbagai pihak. Agar generasi muda mampu berkembang dan menunjukan eksistensi-nya.

Baik itu dukungan dari internal kampus, maupun pihak eksternal. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pihak rektorat, haruslah dalam rangka mendukung serta mempermudah tubuhnya gerakan mahasiswa serta peran aktifnya. Bukan justru sebaliknya, kebijakan tersebut diciptakan untuk menghambat atau mematikan mahasiswa dan gerakan-gerakannya.

Selain dari itu, peran serta dukungan masyarakat juga amat diperlukan dalam rangka menyemai kembali tumbuhnya gerakan mahasiswa. Tanpa ada dukungan dari masyarakat hampir tidak mungkin bagi mahasiswa dan gerakan-gerakan yang dibangunnya untuk eksis dan aktif. Sebab gerakan mahasiswa pada dasarnya tak lain adalah gerakan untuk masyarakat, bangsa dan negara.

Penulis Iyya Maliya Mahasiswa Jurnalistik UIN angkatan 2005
Read more!