RSS

Kebebasan di Bungkam

Friday, April 27, 2007

Ancaman ‘Serangga’ Kebebasan
Oleh Yusuf Tantowi*

Sekarang, pejuang demokrasi tidak cukup hanya menyemai dan menyiram bibit-bibit pluralisme dan toleransi kepada generasi muda. Tapi juga perlu dipikirkan untuk membuat insektisida (obat serangga) di tengah serangan hama kekerasan yang makin mengganas.

ANCAMAN demokrasi dan kebebasan kian nyata dinegeri ini. Ancaman itu kini tidak datang dari penguasa yang otoriter, militer yang arogan, atau invansi dari negara adidaya. Ancaman itu justru berasal dari kelompok sipil yang suka over acting, keras kepala dan merasa paling suci.

Kelompok ini ciri suka membawa pentungan, memakai baju dan sorban putih. Mereka tidak mengatasnamakan ketertiban dan pembangunan seperti di zaman Orde Baru berkuasa. Mereka juga doyan bertindak anarkis atas nama kebebasan berjubah agama dan memurnikan agama.

Tindakan itu misalnya kembali dipertontonkan Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempung (FBR) ketika menghadang aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), Kamis (29/3) lalu ketika akan mengadakan apel akbar di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan yang mengakibatkan beberapa aktivis Papernas dan anggota kepolisian mengalami luka-luka. Pada hal acara Papernas sudah mendapat izin dari Mabes Polri.

Penyerangan Papernas di atas, bukan kejadian pertama. Kejadian serupa pernah dilakukan kepada Jamaah Ahmadiyah di Kampus Al-Mubarok, Parung Bogor, Jaringan Islam libral (JIL) di Utan Kayu, Jakarta. Pengusiran Gus Dur di Purwakarta dan penyebutan “Perempuan Iblis” kepada aktivis perempuan yang tergabung dalam aksi menolak RUU APP oleh ketua FBR beberapa waktu lalu.

Patut disayangkan, aksi itu terjadi dua hari sebelum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang membawa semangat untuk menyebarkan rahmat dan kasih seyang kepada sesama. Bukankah prilaku itu juga telah melecehkan spirit Piagam Madinah berisi: kebebasan agama, larangan saling mengganggu sama lain, membantu dalam kehidupan sehari-hari, dan wajib membela negara (Madinah) jika ada serangan dari bangsa lain.

Dari kejadian tersebut, saya juga mencatat beberapa hal. Pertama, aksi itu menunjukkan semakin tajamnya pertarungan antar ideologi di Indonesia. Baik itu antara, islamis kanan (FPI, FBR, MMI dan konco-konconya) dengan Islam moderat serta organ sosialis-nasionalis.

Kedua, mereka kembali mengangkat sentimen Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memberangus kelompok lain. Hingga kini, cara ini masih sangat efektif untuk memancing emosi publik dan para korban kejahatan PKI dimasa lalu. Caranya bisa melalui media massa dan pertemuan-pertemuan terbuka ditengah masyarakat.

Ketiga, penyerangan itu bukan hanya ancaman serius bagi kebebasan berpendapat dan berorganisasi tapi juga teror agar kelompok lain menjadi jera. Oleh karena itu tantangan pejuang demokrasi bukan hanya semakin giat menyemai nilai-nilai pluralisme dan toleransi tapi juga bagaimana meredam penyebaran virus-virus radikal berjubah agama. Hal ini juga menjadi PR ormas besar seperti NU, Muhammadiyah dan Nahlatul Watan (NW) sebagai Ormas yang relatif moderat -jika tidak mau pengikutnya digerogoti.

Ironi memang kebebasan yang sudah diraih sejak reformasi dinodai oleh segelintir kelompok yang mau menang sendiri. Reformasi bukannya melahirkan masyarakat sipil yang berdaulat. Memiliki daya tawar di depan negara, tapi di dalamnya justru tumbuh kelompok sipil yang membunuh kedaulatannya sendiri. Ini kah buah reformasi yang perlu ditangisi ?

Di tengah kencangnya kebebasan beragama disuarakan berbagai kalangan, tapi jaminan kebebasan beragama seolah semakin pupus oleh aksi-aksi sekelompok orang yang tidak siap menerima perbedaan.

Hama Perusak
Terkait dengan tantangan perjuangan kebebasan dan demokrasi di Indonesia saya ibaratkan seperti petani. Sejak tumbangnya rezim Suharto, siapa pun bebas menjadi petani dari agama dan etnis manapun. Petani juga bebas menanam tanaman apa saja disawah dan di ladang. Dia bebas menentukan bibit dan masa tanamnya. Setelah melalui 3 K (Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas) para petani bisa memetik jerih payahnya.

Di sawah, ternyata tanaman yang ditanam tidak sebagus yang bayangkan sebelumnya. Banyak kendala yang dialami, seperti serangga perusak tanaman yang terus mengganas. Untuk menghentikan serangan hama tanaman tersebut, tidak ada cara lain bagi petani selain menyemprotnya insektisida (racun serangga). Itu pun harus dilakukan terus menerus dan tidak boleh terlambat. Jika terlambat, bakterinya bisa menyebar ketanaman yang lain.

Dalam konteks demokrasi, kelompok FPI, FBR dan MMI Cs. Ibarat ‘serangga-serangga’ yang suka mengganggu tanaman. Kelompok ini miskin hati nurani dan penuh amarah meski dibungkus dengan simbol-simbol agama. Di depan kita mereka mempertontonkan Islam yang sangar dan menakutkan. Mereka kadang bertindak seperti Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang melakukan penggusuran dan penertiban PKL dipinggir jalan karena dianggap mengotori pemandaan kota.

Di alam demokrasi, tindakan anarki -apapun alasannya tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu menurut saya, ‘serangga-serangga’ ini perlu disemprot. Jika tidak ‘bakteri jahat’ yang mereka bawa bisa menyebar kemana-mana. Dan yang berhak melakukan ‘penyemprotan’ sudah jelas pihak yang berwajib. Melalui penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan memutus rantai dendam dari korban.

Sekarang, pejuang demokrasi tidak cukup hanya menyemai dan menyiram bibit-bibit pluralisme dan toleransi kepada generasi muda. Tapi juga perlu dipikirkan untuk membuat insektisida (obat serangga) di tengah serangan hama kekerasan yang makin mengganas. Selanjutnya, kita berharap bisa menikmati segar dan nikmat buah kebebasan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai dasar negara []

*Koordinator Jaringan Islam Kampus (JARIK) Kota Mataram
dan Wakil Ketua PW.IPNU NTB
Read more!

Bercermin Pada 3 Tokoh

Kartini, Gie dan Ahmad Wahib
Jhellie

Raden Ajeng Kartini, Ahmad Wahid dan Soe Hok Gie? tiga nama itu sepertinya tak pernah habis menjadi bahan pembicaraan. Padahal, ketiganya adalah sosok yang jelas-jelas berbeda, hidup dalam zaman yang berbeda pula. Kartini hidup semasa kolonialisme Belanda sedang berjaya di persada nusantara. Soe Hok Gie hidup dalam zaman peralihan, masa kemunduran Soekarno transisi menuju era Soeharto. Sementara Wahib, hadir di zaman awal pemerintahan Orba, saat umat Islam mengalami posisi marginal dan stagnan.

Kartini begitu harum namanya sebagai pejuang perempuan dalam menghadapi dominasi feodalisme patriarkhi, sehingga setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, hari emansipasi kaum perempuan. Soe Hok Gie dikenal sebagai intelektual muda yang giat melawan tirani rezim Soekarno. Wahib terkenal dengan gagasan pembaruan Islamnya. Ia yang juga salah satu motor penggerak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hanya itu?

Satu hal yang mestinya dicatat tebal adalah bahwa mereka giat dan terus-menerus berusaha berjuang demi terciptanya perubahan, melalui tulisan. Dengan menulis! Kartini menggerakkan simpul-simpul perubahan, sebuah revolusi melalui lipatan surat-suratnya. Soe Hok Gie dan Wahib membuka mata hati dan pikiran kita dengan catatan hariannya, dengan buku harian.

Kita tak akan pernah kenal sosok Kartini kalau saja ia tidak menulis surat-surat, yang kemudian dikumpulkan oleh J.H Abendanon. Kita juga tak akan tahu, tak akan dengar nama Soe Hok Gie dan Wahib, kalau mereka tidak menulis catatan harian, yang kemudian dipublikasikan. Sehebat itukah menulis? Sedahsyat itukah efek yang dihasilkan dari sebuah tulisan?

Resi-resi Sejarah
Siapa pun tak bisa memungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia sebagian besar karena jasa para pengarang atau penulis. Demikian besarnya peran itu, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, menyebut pengarang sebagai ”resi-resi sejarah”.

Pengarang adalah ”the town-criers”, barometer zaman. Bila kita ingin tahu apa yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka cari apa yang terjadi dengan para penulisnya.
Tirani kekuasaan dapat merekayasa sejarah, membuat sejarah sesuka hatinya seperti yang dilakukan Orde Baru Soeharto. Masyarakat dapat bungkam dalam ketakutan dan kepasrahan, demi periuk nasi anak-anaknya. Masyarakat dapat pasrah, berserah diri dan terus menunggu datangnya zaman baru sampai penyakit waktu datang menggerogoti dirinya sendiri.

Tetapi, penulis memberontak terhadap penantian. Mereka berkisah dalam tulisan-tulisannya, dalam buku-buku tentang apa saja. Tentang ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, bumi yang rusak, otoritarianisme agama, dan banyak lagi.

Penulis adalah pekerja keabadian tanpa pamrih. Menulis adalah bekerja untuk abadi. Orang boleh pandai setingggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang tertelan masyarakat dan lenyap dari pusaran arus sejarah. Hanya orang yang menuangkan gagasannya dalam tulisanlah yang akan dikenang dalam waktu yang lama.

Dunia modern terbentuk, terbangun dan menjadi dunia seperti yang kita huni sekarang ini juga tak lepas dari keringat pergulatan para penulis dan karya-karyanya. Penulis adalah sosok yang selalu bergerak di tengah wacana dan hiruk pikuk masyarakat, kadang sejalan dengan arus, kadang melawannya untuk mengarahkan arus itu. Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie adalah beberapa di antaranya. Masih ada ribuan penulis yang dengan jerih payahnya telah menenun tali persambungan peradaban manusia.

Tak hanya itu, kemajuan suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana masyarakatnya memiliki tradisi menulis. Hanya bangsa-bangsa yang memiliki tradisi menulislah yang selalu menjadi pelopor kemajuan. Kebiasaan menulis mengantarkan manusia pada kearifan mengungkap gagasannya secara sistematis berikut apa yang dilihat, didengar, diraba dan dipegangnya.

Bekerja untuk Keabadian
Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie memiliki semangat yang luar biasa dahsyatnya, selalu disiplin dan konsisten untuk tetap menulis. Mereka begitu giat dan tekun sehingga dalam usia yang demikian muda sudah menghasilkan tulisan dengan bobot yang tak bisa dianggap remeh. Dan kita tahu, mereka mati muda.

Barangkali, mereka sama sekali tidak akan pernah menyangka kalau ternyata tulisan, goresan pena yang mereka hasilkan akhirnya menjadi perdebatan sampai sekarang. Mereka juga tak tahu, kalau ternyata nama-nama mereka justru semakin tenar dan dikenal tatkala mereka sudah pergi menghadap panggilan Ilahi untuk selamanya.

Kartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah sederet nama yang akan tetap dibaca, ditelisik, dikaji dikritisi dan dikenang sepanjang masa. Gagasan-gagasan mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi masa mendatang.

Nama-nama mereka akan selalu abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena tanpa mereka sadari, dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah dan peradaban

Kartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah cermin-cermin peradaban pada masanya sendiri. Kita hanya bisa berharap, kelak, suatu saat nanti, akan hadir Kartini-Kartini muda, Wahib-Wahib muda, Soe Hok Gie-Soe Hok Gie muda, yang mewarisi nilai-nilai perjuangan, semangat, dan cita-citanya yang luhur. Dan, kita juga berharap, mereka tidak harus mati muda…***

TOR Diskusi dan Nonton Film pada 02 September 2006 di IAIN Mataram
Read more!

Allah Bukan Tuhan Umat Islam

Paradigma Pemahaman Liberal, Allah Bukan Tuhan Umat Islam?
Eko Marhaendy

Dalam sebuah kesempatan saya membaca tulisan sdr. Mukhlish, seorang mahasiswa di Fak. Dakwah IAIN Sumatera Utara Medan berjudul Paradima Pemahaman Liberal; Allah Bukan Tuhan Umat Islam. Beliau mengaku menyajikan tulisan ini dengan berangkat dari sebuah lembaga Sains Community Study Club. Dalam tulisannya tersebut beliau mempertanyakan siapa, bagaimana. Serta dimana Tuhan? yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa “Allah bukan Tuhan umat Islam”.

Sejujurnya, saya butuh waktu yang cukup panjang untuk memahami tulisan sdr. Mukhlish bertajuk Paradigma Pemahaman Liberal; Allah Bukan Tuhan Umat Islam. Pasalnya, saya menemukan kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi persoalan dalam tulisan tersebut, persoalan Tuhankan?, atau persoalan pemahaman liberal?. Bahkan, saya hampir menyimpulkan bahwa sdr. Mukhlis ingin memaparkan: “Allah bukan Tuhannya umat Islam menurut pemahaman liberal”.

Namun, dengan telaah yang sederhana, akhirnya saya menyadari sdr. Mulhlish sesungguhnya ingin menyingkap wacana Ketuhanan dengan mengaitkannya terhadap pemahaman liberal sebagai sebuah komunitas yang menjadi perbincangan hangat dalam dunia Islam Indonesia belakangan ini. Sayangnya, wacana menarik yang beliau lontarkan tidak memberikan penyelesaian yang jelas, sehingga mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. Karenanya, dalam uraian sederhana ini saya akan memaparkan terlebih dahulu sekelumit persoalan “Ketuhanan”, selanjutnya menyinggung sedikit fenomena liberal yang juga disinggung dalam tulisan sdr. Mukhlis.

Wacana “Tuhan” Ditinjau dari Beberapa Aspek
Dalam sebuah dialog kecil, Kautsar Azhari Noer memberikan pernyataan kepada seorang pegawai kantor Depag yang kebetulan beragama Budha. Beliau mengatakan bahwa agama Budha tidak memilki konsep yang jelas tentang Tuhan, bahkan Sidharta Ghautama tidak pernah memberikan pemehaman yang jelas tentang Tuhan. Pegawai tersebut merespon pertanyaan Kautsar dengan mengatakan: Islam sendiri mencoba membatasi Tuhan, Islam mengatakan Tuhan “begini dan begitu”, Islam mencoba melekatkan nama Tuhan, Islam mencoba mendefenisikan Tuhan yang tak terbatas dengan bahasa manusia yang serba terbatas (sumber: artikel Paramadina)

Tuhan sebuah kata yang mudah disebut namun sulit untuk dibuktikan, bahkan ada kesan “membingungkan” ketika Tuhan dibicarakan, karenanya Tuhan “tak perlu dibicarakan”. Akan tetapi ada pula yang justru merasa senang ketika membicarakan Tuhan, ada kepuasan bathin tersendiri saat Tuhan dibicarakan, sebab seperti yang pernah disebutkan seorang aktivis JIMI (Jaringan Intelektual Muda Islam), zikir yang hakiki bukanlah mengucapkan “lafazh-lafazh” tanpa pernah mengerti makna, namun zikir yang hakiki adalah ketika Tuhan dibicarakan.

Dalam sebuah materi ketuhidan yang disampaikan disalah satu kegiatan pelatihan di kota Medan, pemateri dengan meminjam pendapat Mukti Ali menyebutkan bahwa essensi Tuhan dalam wacana Tauhid bukanlah Tuhan yang “esa” (satu), akan tetapi “Tuhan pemersatu”. Pemersatunya Tuhan dapat dilihat dari sifat-sifat yang dilekatkan kepada-Nya, yang essensinya adalah sifat manusia, namun ditambah dengan sifat “maha”, totalitas dari sifat-sifat manusia itulah yang menunjukkan Tuhan sebagai pemersatu. Oleh karenanya tauhid yang sempurna adalah ketika manusia mampu merasakan bahwa mereka berasal dari sumber yang satu, dan tauhid akan sompel manakala manusia merasa ada perbedaan diantara mereka.

Pada kesempatan lain, seorang dosen dalam perkuliahan meminta mahasiswanya untuk memaparkan Tuhan menurut persepsi masing-masing. Dapat dipastikan, tidak ditemukan satu persepsi yang sama tentang “bagaimana Tuhan”, sungguhpun mereka setuju Allah adalah Tuhan mereka. Melihat kondisi tersebeut, sang dosen dengan gamblangnya mengatakan “jangan-jangan Tuhan kita berbeda”. Jika persepsi yang diminta, maka tidak dapat dibantah bahwa Tuhan masing-masing bisa saja berbeda. Apalagi Tuhan sampai hari ini hanya dapat dibuktikan dialam ide, kebenaran Tuhan tidak dapat dibuktikan secara koresponden, melankan praghmatis.

Masih tentang Tuhan, meminjam keyakinan umat Nasrani, kita dapat melihat sosok Tuhan sebagai zat tunggal yang patut diper-Tuhankan. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Kitab: “Allah benar yang tunggal (Eloah) adalah satu-satunya Tuhan, sebelum dia tidak ada Allah dibentuk, dan sesudahnya tidak akan ada lagi” (Yesaya/ 43: 10). Terlepas dari keyakinan masing-masing, dalam tataran ini tampak adanya kesamaan memahami konsep Tuhan diantara pemelu Nasrani dan umat Islam. Lihatlah bagaimana Tuhan dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai “Tuhan yang esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tiada yang setera dengan-Nya” (al-Ikhlash/ 112: 1-3) Dari beberapa wacana yang dipaparkan diatas kiranya telah cukup membantu kita untuk memahami – paling tidak – sedikit saja konsep tentang Tuhan, atau justru kita akan semakin khawatir menyimpulkan “apa dan bagaimana Tuhan”, sehingga membatasi diri hanya dengan cukup “mengimani-Nya” saja. Saya sendiri tidak mempunyai keberanian yang besar untuk menyimpulkan secara mutlak konsep Tuhan, hanya saja mengetahui Tuhan sebagai zat yang di Tuhankan menjadi harus jika kita mengaku ber-Tuhan. “Aku hanya dapat diketahu lewat prasangka hamba-Ku, maka berprasangka yang baiklah tentang Aku” kata Tuhan dalam sebuah hadits kudsi. Setidaknya hadits ini dapat membantu kita untuk lebih terarah mengenal Tuhan.

Liberal dan Pemahaman Ketuhanan
Ada sebuah stigma yang muncul dikebanyakan masyarakat Islam tentang pemahaman liberal (khususnya JIL, baca: Jaringan Islam Liberal), bahwa mereka berupaya menyamakan seluruh agama yang ada. Pertanyaannya: apa benar demikian?. Argumentasi pembenaran stigma tersebut antara lain dapat dilacak dalam buku yang ditulis Hartono Ahmad Jaiz: Membongkar Bahaya JIL dan FLA, sebuah karya yang menunjukkan kesesatan JIL dan buku Fiqih Lintas Agama (FLA) yang mereka terbitkan dengan alasan adanya upaya-upaya menyamakan seluruh agama. Sebagai contoh: kasus dibolehkannya menjawab salam orang diluar Islam, pernikahan beda agama atau doa bersama, yang menurut kebanyakan ulama “haram” dalam ajaran Islam (baca: Fiqih Lintas Agama)

Sebagai perbandingan, Nurcholish Madjid tentang pluralitas agama – sebagai salah satu yang diusung JIL – menuliskan: “…Tuhan telah membangkitkan pengajar penganut kebenaran (nabi, rasul) kepada semua umat manusia tanpa kecuali, dan pada inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang disebut al-Islam (dalam makna generik-pen), maka sesungguhnya dialog (inklusivisme-pen) adalah sesuatu yang tidal saja dimungkinkan, malah diperlukan jika tidak dikatakan harus (Nurcholish Madjid. Dialog Agama-Agama Dalam Perspektif Universalisme al-Islam dama Pasing Over; Melintasi Batas Agama. Paramadina dan Gramedia Pustaka. Jakarta. 1999. h: 19) dari sini dapat kita lihat bahwa kehadiran pemahaman liberal sesungguhnya ingin mempersepsikan wacana Ketuhanan yang satu dan sama dengan pendekatan “theologi wahyu”. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa konsep Tuhan yang tidak terbatas mustahil dirasionalkan dengan kemampuan akal manusia yang serba terbatas, maka hanya ada satu kata bahwa “Tuhanku-Tuhanmu dan Tuhan kita” essensinya merupakan Tuhan yang satu, Tuhan yang hanya mungkin diketahui melalui prasangka manusia.

Tak jarang manusia bertengkar hanya karena persoalan “Tuhanku-lah yang sebenarnya Tuhan, bukan Tuhan-mu”, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan, maka berdasarkan wacana inilah JIL dilahirkan. Dengan semangat pluralitas dan kebersamaan yang pada intinya menuju kepada Tuhan yang satu. Hal ini pula yang memungkinkan Islam hanya dapat dipandang sebagai agama rahmatan lil’alamin yang mampu bertahan disegala zaman, bukan Islam yang berwajah “sangar dengan istilah yang selalu dipropagandakan barat “pedang di tangan kanan, al-Qur’an di tangan kiri”

Penutup
Akhirnya, sajian sederhana ini hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu hasil dialog positif untuk meluruskan wacana yang dimunculkan dalam tulisan sdr. Mukhlish. Persoalan Allah bukan Tuhan umat Islam, atau justru Allah Tuhannya segala umat, agaknya hanya segelintir perbedaan bahasa untuk menyebutkan Tuhan, yang pada intinya Tuhan hanya dapat dipersepsikan melalui prasangka manusia.

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK) Sumut Read more!

Pluralisme Kenapa Tidak..!!

Mengapa Umat Islam Takut Pluralisme
Jarik Sumut

Diskusi ketiga Jarik Sumut dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2007 dengan menghadirkan dosen Ilmu perbandingan Agama Fak. Dakwah IAIN Sumatera Utara. Drs. Irwansya, M. Ag. Dalam kajian ilmu keislaman, beliau salah seorang yang dianggap memiliki pemikiran sesat di IAIN Sumatera Utara karena pernah melontarkan pendapatnya bahwa: Isra’ tidak terjadi pada Muhammad melainkan pada nabi Musa

Dalam diskusi kali ini, beliau justru mengatakan bahwa umat Islam tidak perlu takut dengan konsep pluralisme yang sesungguhnya datang dari agama Kristen, berawal dari prinsip yang dianut mereka bahwa Kristen bukanlah satu-satunya agama yang benar, “bukankah ini berarti mereka juga mengakui kebenaran agama Islam?, lantas mengapa umat Islam harus takut, wong mereka mengakui kebenaran kita?” ujarnya dengan nada iseng.

Beliau juga mengatakan bahwa keputusan MUI tentang pengharaman pluralisme juga perlu dikaji ulang, sebab fatwa tersebut merupakan bahagian paling kecil dalam agama Islam. Beliau mengatakan bahwa fatwa menempati kedudukan yang paling bawah dengan gambaran: Islam - Syariat - Ijtihad (Fatwa).

Mengakhiri diskusi tersebut beliau mengemukakan bahwa kita tidak dapat memaksakan pemahaman kita pada orang lain”, saya sendiri berbeda dengan anda, boleh jadi berbeda al-Qur’an, atau bahkan Tuhan” (menurut pemahaman-ed).
Read more!

Islamkan IAIN

Mengislamkan Orang IAIN
Jhellie

PADA 7 hingga 9 Januari 2007, saya berkesempatan mengikuti pelatihan Jaringan Islam kampus (Jarik) yang diadakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta di Mataram. Di acara itu saya –dan peserta dari berbagai kampus di NTB- difasilitasi oleh intelektual-intelektual Islam garda depan seperti Prof. Dr. Dawam Raharjo, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor dan Neng Dara Mahmudah.

Di salah satu sesi dengan tema “Teologi Islam Tentang Agama-Agama” saya dibuat kaget. Apa Pasal? Sebab Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor bertanya kepada saya tentang tiga hal substansi. Pertanyaannya pertama : Apakah semua agama mengandung kebenaran dan keselamatan?. Kedua : Apakah ada perbedaan antara kitab suci ummat Islam dengan kitab-kitab suci ummat agama lain? Dan pertanyaan ketiga : mengapa anda menganut agama Islam?. Sebelum saya menjawab, pak Kautsar wanti-wanti agar jawaban saya hanya boleh antara “iya” atau “tidak”. Saya tidak diperkenankan memberi alasan tambahan sedikit pun.

Karena latar belakang dan pengetahuan peserta pelatihan berbeda-beda jawaban yang keluar dari masing-masing peserta tampak sangat beragam. Dan saat tiba giliran saya menjawab.

Saya jadi bingung, “Ini persoalan iman apa perlu saya jawab?” kata saya. “Sangat perlu” balas pak Kautsar. Maka saya jawab saja. Untuk pertanyaan pertama, apakah semua agama mengandung kebenaran dan keselamatan? Saya jawab “Iya”. Pertanyaan kedua, apakah ada perbedaan kitab suci ummat Islam dengan kitab suci ummat agama lainlain?. Saya jawab “Tidak”. Dan pada pertanyaan ketiga saya tercekat, tapi tak lama, dari mulut saya keluar kalimat, “Saya menganut Islam karena saya masuk IAIN” Ups!.

Mendengar jawaban saya yang terakhir, teman-teman peserta terlihat sewot kepada saya. Bahkan ada yang langsung berkomentar “Lho..apa dong agamamu sebelum masuk IAIN? Kristen ya?”. Waktu itu saya ingin sekali langsung memberi tanggapan? Tapi sayang, pak Kautsar hanya menginginkan jawaban sependek itu.

Sekarang, tiba-tiba saya tergelitik lagi untuk mengemukan alasan saya itu, karena saya melihat telah terjadi perubahan orientasi -walau berjalan samar-samar- dikampus bernama IAIN ini dan kemungkinan juga akan membuat saya berfikir untuk mencabut ulang jawaban saya itu. Tapi apa sebenarnya alasan saya menjawab Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor saat pelatihan yang menguras fikiran itu?.

Sebelum masuk IAIN saya memang merasa Islam banget. Islam yang sama persis seperti islamnya teman-teman mahasiswa yang lain. Saya juga santri karena pernah mondok di sebuah pesantren tua di Situbondo, Jawa Timur. Saya pernah belajar kitab-kitab kuning seperti Aqidatul Awam, Irsyadul Ibad, Fathul Qorib, Adabul Insan bahkan Ta’lim Muta’Allim. Tidak itu saja, saya juga belajar gramatika Bahasa Arab seperti Matan Jurumiah dan Ibnu Aqil. Jadi cukup lah, saya tidak meragukan Islam saya.

Tapi setelah menjadi mahasiswa di IAIN Mataram, fikiran saya tiba-tiba di telanjangi habis-habisan. Islam saya ternyata belum apa-apa?. Di IAIN saya mendengar istilah “Islam Keturunan”, “Islam Ikut-ikutan”. Dan ternyata, logis juga! Oh ternyata saya ini ummat Islam yang begitu tho? “Keturunan” fikir saya.

Semakin dalam saya membaca dan berdiskusi tentang agama di kampus ini, ternyata saya mendapat antitesis bahwa Islam itu luas sekali. Tidak sekadar Fiqh atau solat-puasa an-sich, tapi memberantas korupsi juga islam, mengentaskan kemiskinan juga islam, bicara banjir juga Islam. Lalu saya merasa menemukan Islam saya di IAIN. Sayapun menyimpulkan, inilah lebihnya kampus bernama IAIN dibanding dengan kampus umum ataupun pesantren, “Mengislam orang yang sudah ber-Islam”.

Mengapa begitu? Iya saya merasa di IAIN saya dapat mempertajam pemahaman saya terhadap ajaran-ajaran Islam yang maha luas itu. Saya dapat memetik hikmah Islam secara universal dan menegaskan kebenaran klaim saya selama ini tentang islam. Bahwa Islam itu “Yaklu Wala Yu’la Alihi” atau Islam itu “Solihun Likulli Zamaanin Wa Makanin” . Saya merasakan betul bahwa Islam itu sangat Humanis, Egaliter, Liberal bahkan juga Sekuler.
Tapi seperti jargon produk obat nyamuk di televisi “Itu dulu, IAIN sekarang beda!”.

Mengapa? Kata teman saya, IAIN sudah berubah menjadi “Mengislamkan orang yang belum ber-“Islam”. Lho kok? Apa mahasiswa-mahasiswa baru IAIN itu kafir semua?
Kata teman saya lagi, mahasiswa baru IAIN hari ini diandaikan sebagai mahasiswa-mahasiswa yang belum tahu agama secuil pun. Mereka harus di ajari cara sholat, diajak tadarrusan, bahkan bisa jadi di tuntun lagi baca fatihah seperti masa kecil mereka dulu. Dan yang paling parah tambah teman saya itu, fikiran “nakal” ala IAIN tempoe dulu mesti dibersihkan. Buku-buku merah - seperti Marxis, Lenin, Poulo Preire atau Saltre- tidak perlu dikomsumsi lagi karena demi menghindari “Su’udzon” para Tuan Guru yang memvonis kampus ini telah jadi ajang pemurtadan.

Jadi dimana lebihnya IAIN hari ini? Apa bedanya IAIN dengan pesantren?. Padahal jika kita simak pernyataan para pendiri IAIN, seperti Dr. Harun Nasution atau Cita-Cita Dr. Munawir Sadzali- IAIN diimpikan menjadi laboratorium intelektual. Pusat Studi Islam yang komprehensif. Tempat dicetaknya intelektual-intelektual muda yang bermental ulama. Maka hari ini bisa jadi cita-cita itu sudah “bubar”, dan si empunya cita-cita tinggal mengelus dada.

Lalu apa maunya? IAIN mau dikemanakan? Mau jadi apa? Saya kira kita semua yang akan menjawab. Tapi saya minta izin jika tulisan ini agak sensitif, karena persoalannya kita harus jujur-jujuran pada diri sendiri. Dan inilah realitas kita, tentang nasib lembaga pendidikan Islam kita bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Disaat kampus-kampus lain berlomba-lomba mengeruk ilmu pengetahuan -bahkan hingga ke luar negeri- sebanyak-banyaknya, eh..kita justru membikin IAIN mandeg, stagnan, ambruk dan seakan-akan (seolah-olah!) tak menghargai cita-cita para pendiri-nya. Na’udzubillah tsumma Na’udzubillah!. Nampaknya, saatnya IAIN kita kembalikan ke wujud Aslinya (Khittah), iya Khittah IAIN yang liberal, progresif, tranformatif dan inklusif. IAIN yang cinta ilmu pengetahuan, menghargai pemikiran bukan penampilan. Saya kira demikian semoga bermanfaat ! []

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK) Sumut Read more!

Bubarkan Ormas Brutal

Ormas Anarkis
Oleh Saidiman

Kebijakan pemerintah untuk menindak tegas setiap individu dan kelompok atau organisasi massa (ormas) yang berbuat anarkis patut mendapat dukungan. Ini akan membuka sejarah baru dimulainya niat besar untuk membatasi ruang gerak segala kekuatan yang tidak menginginkan demokrasi tegak berdiri.
Kekerasan yang dilakukan ormas tertentu itu telah membuat komunitas Ahmadiyah terancam dan terusir di pelbagai tempat, Jaringan Islam Liberal harus waspada setiap saat, Jamaah Syi’ah menunggu pengusiran. Berbagai tempat hiburan harus menambah dana keamanan, dan puluhan komunitas lain yang diusir, diancam, dicemooh, dan dihilangkan hak-haknya untuk hidup.

Kebijakan ini mungkin terlambat mengingat banyaknya aksi premanisme yang telah terjadi selama ini dan terkesan dibiarkan saja. Kendati terlambat, kebijakan ini tetap harus diterima secara positif sembari menunggu implementasinya.

Kebijakan menindak tegas, bahkan membubarkan, ormas anarkis adalah tindakan tepat dalam masyarakat demokratis. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan.

Negara yang menerapkan sistem kebebasan bukan berarti menghalalkan apa saja. Sistem kebebasan selalu mengandaikan pembatasan tindakan. Kebebasan akan tercipta ketika ada pembatasan dan keteraturan.

Prinsip yang dipakai adalah membebaskan melalui pembatasan. Aparat hukum dan negara adalah satu sistem yang membatasi sekaligus membelenggu. Tapi dengan aparat hukum dan negara itulah, kebebasan tercipta. Jika tidak ada negara, yang ada adalah anarki, bukan kebebasan.

Di dalam anarki, yang tercipta adalah hukum rimba, yang kuatlah yang menang. Sistem hukum rimba jelas bukan kebebasan, yang terjadi di sana adalah hilangnya hak banyak orang.

Sistem kebebasan justru menginginkan aparat hukum dan keamanan yang ketat, efektif, dan kuat. Ketika era kekerasan atas nama agama dan suku marak selama di Indonesia, tampak jelas bahwa aparat penegak hukum sangat lemah dan tidak efektif.
Aparat penegak hukum yang lemah dan tidak efektif akan dengan mudah ter-”beli” oleh pelbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun doktrin kepercayaan tertentu. Aksi-aksi anarkis yang dilakukan di depan “hidung” polisi menjadi bukti bahwa polisi begitu lemah sehingga ia terbeli.

Dibuat Aparat Sendiri

Keter-“beli”an polisi oleh kepentingan ekonomi bisa muncul ketika ternyata ormas anarkis dibuat oleh aparat itu sendiri. Ormas anarkis melakukan kekacauan untuk menarik sejumlah pelaku bisnis untuk meminta perlindungan polisi atau aparat keamanan lainnya. Perlindungan polisi adalah kata lain dari pelayanan polisi.

Sangat bisa terduga, pelayanan yang diterima oleh para pengusaha tentu tidak gratis. Semakin sering kekacauan terjadi, akan semakin intens para pengusaha minta pelayanan. Analisis ini memperoleh dukungan dari berbagai aksi kekerasan dan pengrusakan tempat hiburan yang dilakukan oleh ormas anarkis. Tempat-tempat hiburan yang dirusak selalu yang kelas pinggiran. Sementara itu, yang kelas atas tidak pernah tersentuh.

Aksi ini mirip dengan aksi polisi menggerebek tempat hiburan yang dipertontonkan oleh berbagai stasiun televisi. Hotel-hotel yang digeledah selalu merupakan hotel-hotel pinggiran. Ada apa dengan hotel-hotel berbintang, bukankah di sana lebih banyak kemungkinan terdapat apa yang disebut banyak media, ulama, ormas anarkis dan polisi sebagai praktik “amoral”?

Pilih kasih dalam memberantas “kemaksiatan” yang dilakukan oleh ormas anarkis adalah bukti keterbelian ekonomis. Usaha “maksiat” kaum kaya selamanya tidak akan tersentuh, karena mereka memiliki daya beli yang tinggi.

Wajar kemudian jika ormas anarkis tidak pernah mengusut dan menyerang praktek korupsi kelas “kakap” yang justru lebih merusak moral bangsa daripada bisnis hiburan. Para pelacur miskin lebih menarik untuk ditumpas daripada menuntut pengusutan dugaan korupsi dan penyelewengan kekuasaan semasa Orde Baru.

Bukan hanya tidak mencoba menuntut penyelewengan Orde Baru, ormas anarkis dengan terang-terangan memaafkan dan mendukung kebijakan Orde Baru menumpas dan membantai komunisme, dalam hal ini ribuan kader-kader Partai Komunis Indonesia. Tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM super berat itu diteriakkan sebagai kemenangan. Mengerikan.

Keterbelian polisi juga bisa ditinjau dari sudut pandang kepentingan politik. Maraknya aksi kekerasan terhadap berbagai kelompok masyarakat yang dinilai sesat begitu menggemparkan dan menjadi menu berita sehari-hari.

Pada saat yang sama, kritisisme masyarakat semakin meningkat, yang secara langsung menyebabkan para penguasa korup semakin terancam. Genderang pemberantasan korupsi yang ditabu berulang-ulang membuat banyak koruptor, yang juga sebagai penguasa, terjepit.

Dengan munculnya berbagai aksi teror dan kekerasan, pembicaraan media sedikit teralihkan. Ada upaya pengalihan isu dalam hal ini. Semakin para koruptor terdesak, semakin banyak aksi anarkis dari Ormas anarkis atas nama agama atau suku.

Eksklusivisme, Kebenaran Sendiri

Maraknya aksi kekerasan dengan muatan kepentingan politis juga bisa dibaca dari munculnya berbagai kepentingan yang menginginkan keterpecahan bangsa Indonesia. Kepentingan politik ini bisa berasal dari kalangan internasional yang ingin menanamkan kekuasaannya secara penuh di pelbagai wilayah Indonesia yang tercerai berai.

Dengan demikian, jika ini benar, kelompok-kelompok anarkis yang sering menuding siapapun yang bertentangan dengan mereka sebagai kaki tangan kepentingan internasional (seperti Amerika atau Yahudi), sangat mungkin justru merekalah sebetulnya agen kepentingan politik internasionl itu. Isu sektarian yang mereka usung jelas adalah isu yang memiliki bibit bagi keterpecahan bangsa Indonesia.

Keterbelian polisi dari sudut ideologis juga mungkin ada. Ketika jamaah Ahmadiyah diusir di Bogor, para pengusir bahkan menggunakan mobil polisi sebagai panggung orasi.

Tampak jelas bahwa polisi cenderung membenarkan apa yang dilakukan para penyerang. Dengan berbekal wawasan keagamaan yang sempit dan satu arah, polisi sangat mungkin memiliki sikap keberagamaan eksklusif.

Eksklusivisme adalah sikap keberagamaan yang memaknai kebenaran milik sendiri dan kelompoknya. Sistem keberagamaan seperti ini biasanya muncul di kalangan orang-orang saleh, tapi tidak cukup menggali agama secara mendalam.

Mereka akan selalu menilai hanya diri dan kelompoknya yang paling benar. Landasan idiologis semacam inilah yang dipakai oleh ormas-ormas tertentu untuk melakukan penyerangan.

Keinginan pemerintah untuk memberantas ormas anarkis patut mendapat dukungan dan pengawasan yang terus-menerus dari seluruh rakyat Indonesia. Kerap kali aparat enggan mengambil tindakan tegas terhadap ormas anarkis karena meresa tidak mendapat dukungan serius dari mayoritas masyarakat.

Aparat hukum harus diberi kekuatan moral dan keyakinan bahwa kehadiran ormas anarkis memang meresahkan masyarakat umum. Kinerja aparat hukum dan keamanan juga harus diawasi agar praktek keterbelian di atas tidak benar-benar terjadi.

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK) dan Pusat Studi Agama dan Politik (PSAP) UIN Jakarta
Read more!

Penutup Kepala, Kenapa Tidak!

Thursday, April 26, 2007

Dilemma Akut Penutup Kepala
Iyya Maliya*

Apakah saya bukan perempuan baik-baik?

: saya masih belum tau apa saja criteria perempuan baik-baik. ….
Karena duniaku tidak mengajarkan apa yang baik, tapi apa yang aku inginkan. Tanpa menilai apakah itu baik atau tidak! Tapi, tetap konsekuensi dengan segala keputusan dan bertanggungjawab dengan pilihan.

Ketika akan masuk ke SMP ortu saya menawarkan untuk masuk MTs Muhammadiyah karena saya tidak lolos masuk SMP Negri. Dengan segera saya menolak tawaran ke MTs atau SMP Muhhamadiyah alasannya sederhana karena saya tidak ingin memakai kerudung ke sekolah.


Orang tua saya juga tidak memaksa saya untuk masuk kesekolah tersebut. saya rasa alasan orang tua saya menawarkan saya untuk sekolah disana bukan karena mereka menganut paham/aliran salah satu dari itu, melainkan karena factor biaya yang relative murah dibandingkan dengan sekolah swasta yang lain.

Dan pada akhirnya sayapun masuk pada salah satu SMP swasta pilihan saya. Dengan salah satu alasan sekolah tersebut tidak memakai kerudung dan lagi pula memang cukup baik kualitasnya meski biayanya agak sedikit mahal.

Sayangnya, Ketika memasuki tahun ke-2/ naik kelas 2, sekolah sayapun menerapkan aturan baru, yakni 5 menit pada jam pertama sebelum melasanakan kegiatan belajar para siswa diharuskan untuk membaca Al Qur’an terlebih dahulu. Peraturan itupun tak pelak saya tolak, dengan alasan bahwa kita adalah umat muslim dan membaca al-Qur’an itu adalah sesuatu yang baik dan juga mendapatkan pahala.

Hingga memasuki kelas 3 cawu ke-2, ada peraturan yang mewawajibkan siswinya untuk memakai kerudung setiap hari jum’at. Dan jika tidak melaksanakannya maka akan mendapatkan teguran dari guru kesiswaan. Sayapun tidak merasa keberatan dengan aturan itu, hanya saja kagok untuk membuat baju seragam baru yang dalam beberapa bulan lagi sekolah saya tuntas. Alhasil setiap hari jumat saya memakai kerudung meski seragam itu saya pinjam dari kakak saya yang sekolahnya memakai kerudung. Walau terkadang saya juga tidak mematuhinya karena lupa atau disengaja. Karena aturan dikerudung pada hari Jum’at itu ada ketika waktu akhir-akhir SMP saya selesai, saya juga tak terlalu memikirkan aturan itu.

Menginjak SMA pun saya tetap memilih sekolah yang bebas seragamnya dalam artian tidak memakai kerudung, karena saya tidak merasa PD jika berkerudung. Mengingat postur tubuh saya yang tidak semampai. Ketika selesai melaksanakan MOS kepala sekolah mengumumkan peraturan yang harus ditaati oleh siswa dan siswinya. Ternyata, dari pihak yayasan menerapkan aturan baru yakni seluruh sisiwinya harus memakai kerudung/jilbab dan itu didukung penuh oleh kepala sekolah saya. Pada awalnya hal itu membuat saya kecewa, tapi tak apalah toh saya masih bisa tidak memakai kerudung diluar jam sekolah. “Itu hanya sekedar seragam” pikir saya.

Namun hal itu tidak disetujui oleh beberapa siswi, mereka merasa keberatan dengna aturan itu. Sampai-sampai mereka mengumpulkan massa untuk berdemo ke kepala sekolah agar peraturan itu dicabut dan kembali keperaturan lama. Tapi, saya tidak mengikuti aksi itu, saya fikir bahwa itu adalah aturan dan sebagai siswi saya hanya bisa mengikuti dan jika tidak ingin mengikuti peraturan, pindah sekolah saja memilih yang bebas. Pada hari pertama sekolah rekan-rekan saya berdemo dengan tidak memakai seragam berkerudung. Itu berlangsung hingga beberapa hari. Otomatis kepala sekolah saya tak suka hal itu dan menantang mereka (yang berdemo) sejauh mana keberaniannya.

Tetapi bagaimanapun usaha teman-teman saya tak membuahkan hasil, malah sebaliknya jawaban yang diberikan kepala sekolah ringan dan cukup menyakitkan seperti apa yang telah kufikirkan sebelumnya. “jika kalian tak ingin mengikuti peraturan yang ada disini, gampang kalian tinggal angkat kaki dari sini dan cari sekolah lain yang sesuai dengna keinginan kalian”, jawabnya dengan tegas. dan pada akhirnya mereka yang berdemopun pasrah pada aturan.

Tapi tetap tak menyurutkan mereka untuk tampil modis, meskipun memakai kerudung tetap saja tak sesempurna apa yang diharapkan sekolah. Dan pada akhirnya menjadi langganan razia termasuk saya.

Kini, masalah itupun kembali menghatui saya, ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke UIN yang berbasis islami. Kebiasaan saya yang tidak memakai kerudung sehari-hari membuat saya lenggang berjalan tanpa merasa dosa jika tidak memakai kerudung keluar. Ataupun ketika ada laki-laki disekeliling saya, karena saya menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa.

Lain halnya dengna teman-teman saya yang ada dikosan. Mereka akan bertanya dulu siapa yang datang ketika pintu kosannya ada yang mengetuk, jika perempuan maka akan segera dibuka dan jika laki-laki mereka akan ribut satu dengan yang lainnya seperti tidak pernah melihat makhluk laki-laki sebelumnya, untuk mencari kerudung. Dan tidak membiarkan rambutnya terlihat oleh laki-laki. Pada awal kedatangan saya kesini saya merasa aneh dengan keadaan itu, kenapa harus demikian?.

Sekarang setelah saya hampir 2 tahun berada dilingkungan UIN, hal itu masih jadi beban di benak saya. Karena hingga kini saya masih belum bisa memakai kerudung seutuhnya apalagi jika untuk acara diluar jam kampus. Dan hal itupun untuk sebagian orang dianggap tidak memiliki etika, teman saya pun berkomentar “masa mahasiswi UIN tidak memakai kerudung” katanya. Hal itu tidak bisa saya jawab. Dan yang satu lagi pun tak kalah mengomentari “itukan telah melanggar etika”.

Sedikitnya saya juga merasa tersinggung ketika menyoal tentang ETIKA. Saya rasa itu tidak melanggar etika dan saya nyaman menjalaninya. Saya pun mencoba mencari tahu apa arti etika secara bahasa, dan etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jika demikian seperti apakah atika yang seharusnya?

Dan sekarang hujatan itupun masih ada didepan mata saya tertera dalam papan ungu “berbusana yang sopan”! entah apa maksudnya, saya rasa saya terlalu sopan dengan baju yang saya pakai!!!.

Mungkin mereka tidak mengerti bahwa saya belum berjilbab!!

Apakah dengan tidaknya saya memakai kerudung itu adalah sesuatu yang salah?, akan tetapi jilbab yang seharusnya tidak pernah dipermasalahkan selama ini kepada saya, padahal selama ini saya masih berkerudung akademik saja. Dan belum berjilbab.

*Penulis adalah aktivis JarIk Bandung
Read more!

Wajah Pluralisme Fathi Osman

Friday, April 20, 2007

REVIEW BUKU
Oleh : Tedi Taufiqrahman

Judul Buku : Islam, Pluralisme Dan Toleransi Keagamaan
Pengarang : Mohamed Fathi Osman
Penerbit : PSIK Universitas Paramadina

Dalam eksistensinya secara sosiologis agama memiliki beberapa fungsi, pertama sebagai institusi sanksi yang memberikan ganjaran baik dan buruk; kedua, sebagai intitusi yang memberikan contoh tindakan mana yang boleh, perilaku mana yang tidak boleh dan tidak direstui; ketiga, institusi yang memberikan “kewenangan” terhadap individu untuk mengambil keputusannya sendiri; terakhir, agama berperan sebagai institusi yang bertugas untuk mempertahankan solidaritas dan stabilitas social.

Pada fungsi yang terakhir disebutkan, agama mempunyai peran yang sangat siginifikan dan terlampau vital dalam kehidupan masyarakat. Kisruh, rusuh atau tidaknya sebuah masyarakat berada seakan-akan berada di tangan agama. Tetapi ironisnya, hampir menjadi kesepakatan umum (common sense) bahwa disamping berfungsi sebagai salah satu faktor yang dapat mengintegrasikan masyarakat, agama juga dapat berfungsi sebaliknya, yaitu faktor pemecah belah masyarakat.


Agama serta merta berubah wajah menjadi Mephistopheles yang siap menjadi prahara manakala tersentil, ibarat barang pecah belah, seperti rumput kering sekali disulut maka api pun berkobar-kobar. Kenapa hal ini bisa terjadi, itulah yang menjadi pertanyaan bagi setiap cendikiawan yang concern terhadap kajian agama.

Paling tidak, agama sebagai faktor pemersatu lebih disebabkan bahwa agama terbentuk dalam solidaritas keagamaan di antara elemen-elemen masyarakat yang memungkinkannya melakukan berbagai aktifitas social secara bersama-sama. Hal demikian lebih banyak terjadi secara internal dalam kelompok agama tertentu meski tak jarang kita juga menyaksikan terjadi konflik social dalam agama tertentu.

Sedangkan agama sebagai faktor disintegrasi, pemicu konflik dan pemecah belas karena atas nama agama orang bisa saling memusuhi, mencurigai, ekspansi untuk ‘menaklukan’ pemeluk agama lain. Bahkan dalam sejarah, sering terjadi peperangan dan saling bunuh membunuh atas nama perintah agama, meskipun yang sebenarnya terjadi adalah perebutan aset-aset social dan ekonomi. Kenyataan perih terakhir ini lebih banyak kita saksikan dalam konteks relasi antar pemeluk agama, meskipun dalam masyarakat tertentu tak jarang kita juga sering menemukan keharmonisan dan keserasian antara pemeluk beragama.

”Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian” begitu tulis Luthfi Assyaukanie. Namun celakanya, dalam kehidupan sehari-hari, ternyata kita lebih banyak menyaksikan fungsi agama sebagai faktor pemicu konflik daripada pemersatu. Relasi yang dibangun antar umat beragama lebih terkesan relasi antagonis banyak diwarnai konflik daripada kerjasama. Bahkan meskipun, di tingkat permukaan di antara mereka tenang dan rukun namun di balik itu terjadi pergolakan luar biasa yang setiap saat bisa berubah menjadi bencana, konflik terbuka, perang semisal drama kolosal.

Situasi keberagamaan seperti inilah yang menggelayuti dan menyelimuti kita selama ini. Lebih-lebih di bawah rezim politik orde baru, relasi antar umat beragama yang nampak rukun sehingga dipuji masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah Negara majemuk yang berhasil mengelola kebhinekaan. Padahal ini yang sering dilupakan orang, kerukunan tersebut hanya ilusi, lips service, oase lebih karena tekanan Negara, bukan ketulusan yang muncul sebagai konsekuensi logis dari sikap keberagamaan. Hal ini yang kemudian bisa menjelaskan mengapa setelah kekangan orde baru melemah semua elemen masyarakat bisa mengeskpresikan keberagamaanya secara bebas yang muncul kemudian adalah konflik sara di berbagai daerah.

Sikap keberagamaan yang seperti ini dalam banyak hal justru bertentangan dengan inti keberagamaan itu sendiri. Setiap pemeluk agama pasti mendambakan ketentraman rohani, kedamaian jiwa yang pada gilirannya juga terekspresi dalam ketentraman dan kedamaian social. Namun jika sikap keberagamaan semacam ini tidak muncul dan berkembang yang ada bukan kedamaian tapi sebaliknya saling curiga dan ketidaktentraman jiwa.

Kenyataan ini memang tidak terperikan akan akibat yang dihasilkannya dan tentu saja tidak sepenuhnya dikehendaki oleh agama manapun. Bukankah setiap agama, mengajarkan kebaikan, anti kekerasan, kasih sayang dan seterusnya. Oleh karena itu format keberagamaan kita perlu dipikirkan ulang dan dikoreksi dengan menggunakan hati yang bersih, jernih dan pikiran yang tenang dan terang.
***

Untuk menjawab format keberagamaan itulah buku yang ditulis oleh Mohamed Fathi Osman ini menjadi sangat penting keberadaannya. Osman dalam bukunya ini sangat menekankan pentingnya pemahaman pluralisme dalam sikap keberagamaan dengan asumsi bahwa dengan pluralisme konflik atas nama agama disinyalir dapat diredam dan diminimalisir.

Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan (Fathi Osman, 2006; hal 3)

Penjelasan Osman mengenai pluralisme ini sangat apik dengan penjabaran landasan normatif dari ayat al Qur’an sangat tegas. Penjelasannya pun menukik tajam kearah persoalan, dari mulai penjelasan dasar bahwa umat manusia memang unik dan khas yang mana menghasilkan keyakinan dan pandangan-pandangan yang berbeda-beda.

Selain mengangkat topi atas bukunya Fathi Osman ini, kita semestinya mengucapkan tabik, salut kepada Budi Munawar Rahman yang telah sukses atau bahkan mungkin “kelewat” sukses memberikan kata pengantar yang komprehensif hampir sama dengan pembahasan satu bab dalam buku ini.

Terlepas dari itu semua, buku yang terbit hadir dan didedikasikan untuk peringatan Milad ke 20 tahun Paramadina ini, secara gambling hendak menegaskan bahwa paham pluralisme adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham inilah dipertaruhkan antara lain; sehatnya demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. Hal serupa juga yang pernah diucapkan oleh Dawam Rahardjo ketika mengisi training Jarik yang bertempat di Garut, beliau mengatakan bahwa paham semisal pluralisme, sekulerisme dan liberalisme adalah sebuah keniscayaan jikalau umat Islam di Indonesia mau maju. Islam mesti liberal, mesti sekuler dan mesti plural. Wallahu a’lam bish showab

*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Ketua Umum Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)Bandung
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com
Read more!

Model Pluralisme Fathi Osman

REVIEW BUKU
Oleh : Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz

Judul Buku : Islam, Pluralisme Dan Toleransi Keagamaan
Pengarang : Mohamed Fathi Osman
Penerbit : PSIK Universitas Paramadina

Secara sosiologis peranan agama memiliki beberapa hal yang menjadi elemen kehidupan manusia, Emile Durkheim tokoh sosiologi klasik ini misalnya memberikan tesis mengenai agama sebagi alat pemersatu solidaritas sebuah komunitas suku, tesis serupa disampaikan oleh Clifford Gertzt, bahwa agama senantiasa ada dalam sendi kehidupan manusia sehingga mengilhami terbentuknya segala bentuk peradaban yang diseluruh dunia pada elemen pertama yang disampaikan oleh Durkheim menjadikan agama sebagai sebuah pranata sangsi sanksi yang memberikan ganjaran baik dan buruk atupun benar ddan salah; lalu kedua agama sebagai motor penggerak peradaban yang paling purba dan primitif yang merembesi segala tingkah dan pola pikir manusia, agama sebagai sebuah institusi berperan dan bertugas untuk mempertahankan solidaritas dan stabilitas social.

Melihat fungsinya betapa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia agama mempunyai peran yang sangat siginifikan dan terlampau vital dalam kehidupan masyarakat. Agama menjadi pemyulut pertikaian dan segala bentuk pembantaian yang megatasnamakn tuhan Namun teramat ironis, ketika agam dapt menampilkan wajhnya yang sejuk dan menjadi salah satu faktor yang dapat mengintegrasikan masyarakat,
Agama dapat menampakan sosoknya yang sangat buas, dan biadab ketika sensitivitasnya tersentuh. Rasanya tak ada satupun agama di dunia ini yang tak pernah bermandikan darah dari penganut maupun musuh-musuhnya. Ini adalah hal yan gsangat menarik bagi mereka yang ingin memahami agama sebagi fenomena eksistensial spiritual maupun kultural sosial

Paling tidak, agama sebagai faktor pemersatu lebih akibakan karena agama terbentuk dalam solidaritas keagamaan bersama-sama di antara elemen-elemen terkacil dalm tubuh masyarakat yang memungkinkannya melakukan berbagai aktifitas social secara komunal Hal demikian lebih banyak terjadi secara internal dalam kelompok agama tertentu meski tak jarang kita juga menyaksikan terjadi konflik social dalam agama tertentu.
Sedangkan agama sebagai faktor disintegrasi, pemicu konflik dan pemecah belas karena atas nama agama orang bisa membunuh serta menaklukan pemeluk agama lain. Sejarah Mencatat, terjadi peperangan dan saling bunuh membunuh atas nama perintah agama, meskipun yang sebenarnya terjadi adalah perebutan aset-aset social dan ekonomi.peristiwa ini nampak jelas dam peristiwa perang salib antara islam dan kristen yang berlangsung selam 13 abad lamanya

***

Untuk menjawab fenomena keberagamaan itulah buku yang ditulis oleh Mohamed Fathi Osman ini menjadi fundamental da sangat penting keberadaannya dalm memahami diskursusn pluralisme. Osman dalam bukunya ini sangat menekankan pentingnya pemahaman pluralisme dalam sikap keberagamaan sehingga menimbulkan sikap toleran.meminimalisir konflik antara agama .

Fathi osamn beursaha Menyadarkan kita bahwa apa yang terjadi didunia Islam sekarang ini, akan menentukan wajah Islam dimasa mendatang tergantungberhasil atau tidak menyemai benih-benih peradaban (Budi kata pengantar,2006; hal xii)
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan (Fathi Osman, 2006; hal 3)

Penjelasan Osman mengenai pluralisme ini sangat apik dengan pemaparan asas normatif dari ayat al Qur’an sangat jelas. Penjelasannya pun menukik tajam kearah persoalan, dari mulai penjelasan dasar bahwa umat manusia memang unik dan khas yang mana menghasilkan keyakinan dan pandangan-pandangan yang berbeda-beda.

Terlepas dari itu semua, buku yang terbit hadir dan didedikasikan untuk peringatan Milad ke 20 tahun Paramadina ini, secara gambling hendak menegaskan bahwa paham pluralisme adalah bagian amat penting dari tatanan masyrakat global. Dalam paham inilah dipertaruhkan antara lain; sehatnya demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. Hal senada juga pernah diucapkan oleh Dawam Rahardjo ketika menjadi pemateri pada training Jarik seb Bandung-Garut yang bertempat di LEC Garut, beliau mengatakan seandainya Umat Isam Indoenesia ingin maju maka mereka harus menerima serta mengadopsi paham semisal pluralisme, sekulerisme dan liberalisme.maka seharusnya Islam mesti liberal, mesti sekuler dan mesti plural. Hanya Tuhan yang Tahu.
Read more!

Menyoal Pluralisme

Sekadar Refleksi Atas Prulalisme
Oleh : Naufal M. Nuhal Abrar Hafidz

Isue mengenai wacana Prularisme kembali bergejolak menjadi diskursus public setelah, Majelis ulama Indonesia (MUI) dengan lantang dan tegas mengeluarkan fatwa berkenaan dengan pengaharaman faham ini. MUI mendefinisikan prularisme sebagai faham yang membenarkan dan menyamakan seluruh agama- agama. Reaksi demi reaksi bermunculan ada yang mengamini dan menentang.

Mereka yang setuju, memahami dan menganggap prularisme sebagai faham yang merusak dan menyesatkan Aqidah umat Islam bahkan hingga sinyalemen hegemoni orientalis-orientalis barat yang ingin menghancurkan umat islam, juga salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun. Tak hanya dukungan atas fatawa ini, tapi kritikan bernada pedaspun harus ditelan mentah-mentah MUI. Kalangan yang tak sepakat dan menentang fatwa itu berpendapat, bahwa MUI terkesan tergesa dan sangat ideologis, untuk dalam mengambil keputusan tersebut. karena bagi mereka MUI tidak pernah melakukan upaya untuk berdialog bersama para punggawa aktivis prularisme, serta MUI mendefinisikan makna prularisme secara parsial alias tidak komprehensif.


Perbedaan dua mazhab pemikiran (scholl of thought) menjadi semacam Gazwhul fikri, atau perang pemikiran dikalangan umat islam Indonesia yaitu bagi mereka yang berusaha membumikan pluralisme yang diusung oleh sebagian cendikiawan muslim ternama seperti (Alm) Nurholis Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan Cak Nur ini. Beliau dianggap sebagai pelopor prularisme, beserta kawan-kawan baik tua maupun muda sebagi penerusnya. Dengan kalangan fundamentalis yang di gawangi MUI beserta sekte-sekte islam radikal.

Walaupun benar bahwa fatwa tak memeiliki legitimasi atau berkekuatan hukum formal yang secara sah tertulis akan tetapi memiliki pengaruh yang sangat kuat, karena dapat mempengaruhi psikologis umat islam di tanah air serta terjadinya pembentukan opini di masyarakat islam Indonesia. yang mayoritas bisa dilkatakan adalah masyarakat awam, yang menyandarkan pemahaman keagamaan mereka pada para ulama dan teks lama. Teks yang tak hanya berkisar pada al-quran dan hadis tapi tex-tex yang merupakan interpretasi atas ayat suci dan sunnah nabi.

Diskursus prularisme memang merupakan salah satu tema sentral yang menyita perhatian tokoh islam di Indonesia. Hal ini sangatlah bisa kita fahami, karena bersentuhan dengan realitas sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat majemuk mulai dari ras, suku, etnik, tradisi, budaya, agama dll. Kemudian mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Oleh karena itu, timbulnya konsepsi Islam tentang pruralitas adalah hal yang sangat wajar dan sangat perlu dipertimbangkan dengan sangat baik, dalam memetakan banyaknya konflik etno religius yang terjadi di Indonsia.

Apalagi jika konflik yang terjadi adalah konflik agama hal ini penting karena hal paling sensitif bahkan bagi Clifford Gertz agama adalah hal yang paling purba dan elementer serta hal yang merembesi segala bentuk peradaban manusia tak ada satu peradaban pun di dunia yang tak di ilhami oleh agama apaun bentuknya.

***

Pluralisme dapat ditinjau dan dimaknakan dari berbagai titik pandang. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "faham" yang mengakomodir adanya kemajemukan. Ini mengacu kepada kenyataan bahwa di dalam hidup ini kita tidak hanya menghadapi sesuatu yang tunggal. Kenyataan itu lebih dari satu. Maka, pluralitas adalah status yang memperlihatkan bahwa kenyataan memang lebih dari satu.

Asal-usul pluralisme secara harfiah dapat ditelusuri dalam bahasa Latin: plus, pluris yang berarti "lebih". Secara filosofis, pluralisme adalah menekankan bahwa kenyataan terdiri atas kejamakan dan/atau kemajemukan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, dan sebagai demikian, tidak boleh dimuarakan pada bentuk-bentuk penampakan dari satu kenyataan mutlak.

Dalam perspektif sosiologi, pluralisme mengacu kepada sebuah kondisi masyarakat di mana berbagai kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam posisinya masing-masing mempunyai pemikiran-pemikiran sendiri mengenai apa yang diingini secara sosial.
Sebagai demikian, setiap masyarakat dibangun atas bagian-bagian masyarakat tadi, yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial. Semakin bagian-bagian masyarakat ini bersifat institusional, semakin tampak wujud pluralisme di dalam masyarakat.

Setiap individu di dalam sebuah masyarakat adalah anggota dari kemajemukan institusi-institusi sosial itu. Ini mengimplikasikan bahwa semakin rumit sebuah masyarakat, semakin lenyap pula pengaruh dari suatu institusi yang bersifat dominan.
Agama sebagi sebuah institusi sosial dimana didalamnya memiliki pranta- pranata yang mengatur pola-pola interaksi yang berfungsi untuk mengintegrasikan masyarakat menuju kondisi-kondisi yang stabil seperti dalam konsepsi Durkheim agama dipandang sebagi factor yang mepersatukan masyarakat kedalam satu tubuh yang dinamakan solodaritas .

Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila nilai-pluralitas budaya itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.

Ketika berbicara mengenai pluralisme dalam konteks Islam Indonesia, maka kita tidak bisa mengeluarkn diri dari asumsi golongan islam yang mengomentari diskursus pluralisme. Secara kategoris pandangan dapat di bagi kedalam kelompok pendapat yang menempatkan dirinya masing-masing.

Bagi mereka penentang keras prularisme, menganggap pluralisme sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sejati. Karena pluralisme berangkat dari epistemologi humanisme yang merelatifkan seluruh konsep kebenaran. Dalam konsep ini, tidak akan pernah ada kebenaran hakiki yang bisa dicapai manusia, dalam hal apapun, termasuk dalam urusan agama. Menurut para pluralis, adalah bohong kalau ada yang mengatakan bahwa telah menemukan kebenaran yang pasti, termasuk misalnya meyakini secara pasti keberadaan Allah Yang Esa.

Ajaran Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa ada beberapa kebenarannya yang pasti (tidak relatif), dan itulah yang dinamakan “aqidah”. Islam juga mengajarkan bahwa satu-satunya ajaran yang benar adalah ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muhamad adalah nabi terakhir dan Islam adalah syariat paling sempurna (Al-Azhab:40, Al-Maidah: 3), setelah datangnya syariat Islam, agama-agama lain tidak ada artinya (Ali Imran :85), dan dan janji Allah berkenaan dengan superioritas Islam atas agama atau aliran lain (At-Taubah : 33).

Lebih jauh lagi, paham pluralisme agama memiliki sederet konsekwensi logis yang sangat fatal. Sebagaimana yang sudah saya sebutkan diawal artikel ini, konsep pluralisme justru akan membawa manusia kepada penyalahan semua agama. Konsekwensi lainnya adalah sebagai berikut.

Pertama, keyakinan terhadap pluralisme pada akhirnya akan menjauhkan agama dari praktek-praktek ibadahnya. Praktek ibadah menjadi tidak bermakna karena menurut konsep pluralisme, yang penting adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan (bahkan, menurut John Hick, pencetus pluralisme, yang penting adalah kepercayaan terhadap konsep kebenaran, bukan lagi kepercayaan terhadap adanya Tuhan).

Kedua, pluralisme mengandung kontradiksi logika internal dalam urusan agama. Secara akidah misalnya, pluralisme akan menyeret pengikutnya untuk membenarkan Islam sebagai agama yang meyakini Allah yang satu, dan pada saat yang sama ia juga diharuskan untuk membenarkan Kristen yang meyakini trinitas. Dan sisi ibadah Islam yang mengajarkan haramnya makan daging babi dan minuman keras adalah sama benarnya dengn penganut agama lain yang menghalalkannya.

Ketiga, pluralisme akhirnya akan menyeret orang kepada paham “non-religi”, satu kondisi ketika seseorang tidak lagi beragama karena permisifisme yang ditawarkannya sedemikian luas dan tanpa batas sehingga tidak ada lagi norma-norma agama yang layak untuk dijadikan pegangan.

Oleh karena bagi mereka, ketika umat Islam memegang Pluralisme sebagi life view, bisa dipastikan hancur Aqidahnya, Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahsia atau kunci vitaliti dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan boleh menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan

Argumen selanjutnya, berkenaan dengan Asal-usul faham pluralisme bukanlah dating dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10 000 nyawa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan seperti inilah yang lalu mengilhamkan ulangan teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahawa kebenaran dan keselamatan itu boleh saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, fahama pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historik yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimport dari setting sosio historis kaum Kristian di Eropah dan AS.

Pluralisme bukanlah kehendak Tuhan. Ia adalah sebuah komoditas politik yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk menghegemoni dunia. Dan menganggap prularisme sebagi sunnatullah adalah menyesatkan.

Sementara pendapat berbeda disampaikan oleh kalangan pluralis. Bagi para pemeluknya, prularisme itu diangap sebagai sebuah keniscayaan. Karena dalam kenyataan masyarakat itu plural (pluralitas), maka kita menghormati kepluralan, kemajemukan, dan keperbedaan itu. Jadi keperbedaannya yang ditekankan. Penghormatan terhadap perbedaan itu yang ditekankan. Sekaligus kita punya komitmen bersama bahwa dalam keberbedaan itu kita mau membangun sesuatu yang mempertemukan kita semua, yaitu civil society. Karena civil society itu masyarakat dari berbagai macam kelompok, ras, suku, agama, atau apa saja. Semuanya bisa hidup dalam suatu masyarakat. Yang di sebut civil society adalah warga negara. Yang sering dimaknai oleh Cak Nur sebagai masyrakat madani, yaitu warga negara yang mempunyai suatu etos membangun peradaban.

Dengan paham pluralisme ini umat islam dibimbing pada suatu visi. Visi kita ke mana dalam membangun masyarakat. Tapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat untuk dipecahkan dengan cara dialog, diskursus, terbuka, saling menghormati dan bebas kekuasaan Yang dengan hanya cara itulah, civil society dan demokrasi bisa dibangun, tanpa itu tidak mungkin.

Dalam konsepsi kaum pluralis mengisyaratkan adanya inklusifisme. Inklusifisme islam senidri diartikan sebagai paradigma yang menunjukan sifat terbuka islam dan menolak berbagi bentuk ekslusifisme dan absolutisme terhadap ajaran agama. Maka dengan sikap inklusifitas ini. Islam mengakomodir dan apresiatif terhadap adanya pluralisme.

Islam mentolelir dan mengakui hak-hak agama-agama lain untuk hidup dan menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh, karena pengakuan akan eksistensi agama lain sebagai sebagi dasar kemajemukan sosio kultural dan agama. Dan mengajarakan toleransi sebagai sikap yang harus dilakukan dalam menyapa kemajemukan, karena islam mengajrakn perbedaan sebagai sunnatullah.

Berbagi pendapat mengenai gunjang-ganjing diskursus pluralisme di Indonesia memang tidak akan habis diperbincangkan selama kondisi masyaraka selalu heterogen dan barangkalia kan selama sama. Dengan demikian, dalam lanskap Indonesia yang sangat pluralistis. Ini bukan sesuatu yang buruk. Bahkan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mempunyai pilarnya atas pluralisme. Perasaan dan perilaku kebangsaan (nasionalisme) kita justru didasarkan atas kesadaran bahwa kita adalah plural.
Kita sungguh menyadari bahwa masyarakat kita bersifat plural, baik dari segi suku, agama, ras, etnis dan golongan. Tetapi memang akan menjadi buruk apabila pluralitas itu dibenturkan satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, satu kelompok merasa diri paling benar atau paling unggul berhadapan dengan kelompok lainnya.

Yang lebih berbahaya lagi adalah, apabila satu kelompok memutlakkan interpretasinya terhadap kebenaran, dan meminta kelompok lain menaatinya. Keadaan seperti ini tidak mungkin menyumbang bagi kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat.
Pluralisme dengan demikian adalah sesuatu yang given, yang memang ada, disukai atau tidak disukai, mau atau tidak mau. Pluralisme tidak membutuhkan persetujuan tetapi pengakuan, dan kemampuan untuk menyikapinya sehingga kita tidak terjebak di dalam konflik-konflik sosial.

Pluralisme di dalam agama, dengan demikian tidak bisa diidentikkan dengan sinkretisme atau relativisme. Sinkretisme adalah sikap yang mencampuradukan agama-agama sehingga muncul satu agama baru. Relativisme adalah sikap yang merelatifkan segala sesuatu sehingga sendiri kehilangan pegangan.

Bahkan bagi seorang franz magniz suseno, Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.

Tantangan kita ke depan adalah peninggalan dari Cak Nur, yang harus sungguh-sungguh menyadari bahwa Islam itu seharusnya agama yang mengayomi. Hal ini sangat menentukan, apakah Islam itu nantinya jadi agama yang menarik? Atau tidak menarik. Lantas agar islam pun dapat lebih menampakan wajahnya yang ramah, toleran, dan aegalitarian, sebagai Rahmatan lil alamin. sebab menebarakan kasih sayang adalah perintah tuhan dalam Alquran

Rujukan
www.islamemansipatoris.com
www.islamlib.com
www.suarahidayah.com
http://www.suarapembaruan.com
http://bundakirana.multiply.com
http://www.ananswer.org
www.militan.blogsome.com
www.insistnet.com


*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)Bandung
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com
Read more!

Pluralisme Ala Fathi Osman

REVIEW BUKU
Pradewi [T]ri [C]hatami

Judul Buku : Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan
Pengarang : Mohamed Fathi Osman
Penerbit : PSIK Universitas Paramadina

Agama dan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, agama menjelma berbagai rupa. Ia kadang tampil sebagai institusi rigid dengan sekumpulan sanksi. Adakalanya, ia menjadi tali pedoman dalam gua gelap kehidupan, ia yang menentukan arah mana yang boleh, terlarang, atau dianjurkan. Kali lain wajahnya mengemuka sebagai lembaga yang memiliki otoritas kepada manusia agar ia dapat punya otonomi. Agama, kerap pula merupa anjing penjaga—mungkin juga satpam atau hansip—yang bertugas menjaga kesatuan dan keajegan masyarakat.

Fungsi agama yang terakhir kadang mengundang permasalahan tersendiri. Terkadang ia begitu elegan sebagai pengikat, pada simpul waktu lain ia menjadi gunting pemotong solidaritas. Barangkali karena itu berbincang mengenai agama selalu riskan, namun juga mustahil terhindarkan. Bagaimana mungkin? Apa sebab ia sevital itu?

Sepanjang peradaban manusia, agama terbukti mejadi mantra paling ampuh dalam memengaruhi manusia—baik atau buruk. Karena agama, kekuasaan Roma begitu perkasa. Juga Islam. Peperangan antara keduanya, meski sebenarnya bermotifkan hal lain, namun menjadi begitu penuh luka ketika simbol agama turut bermain.

Barangkali, agama, yang berhubungan dengan hal-hal ilahiah dan menyebabkan ia sakral, dan menimbulkan sense of belonging yang khas. Adanya praktek ritual bersama-sama menimbulkan ikatan spiritual yang kuat dan mendalam. Bersama-sama memuja Tuhan yang sama, mempercayai ajaran yang sama, menjalankan ritual bersama-sama, memakai simbol yang sama, juga penekanan tentang janji keselamatan bersama-sama di kehidupan akhir boleh jadi merupakan beberapa faktor kunci agama sebagai pengikat masyarakat. Maka, jika salah satu faktor terganggu, konflik bukan tak mungkin dihadapi.

Misalnya saja, kasus-kasus seperti penyerangan Ahmadiyah. Mengapa Ahmadiyah bisa diserang? Jika kita melihat faktor-faktor diatas, saya berasumsi bahwa adanya klaim keanggotaan agama tertentu, namun di satu sisi Ahmadiyah menggunakan citra simbol suci untuk sesuatu yang lain. Mau tak mau, ketika seorang Mirza G. Ahmad disebut nabi, mereka dianggap melanggar pakem ajaran, melanggar apa kata Tuhan. Janji Tuhan. Atau barangkali, merasa dikhianati Tuhan? Kalau begitu, untuk apa? Saya percaya Tuhan bukan pengkhianat. Jika ia begitu, maka ia bukan Tuhan, dan kita tidak perlu cemas..

Agama, agama, agama. Mengapa mesti ia memercik api konflik? Bukankah inti keberagamaan bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia? Agama adalah pemberian Tuhan untuk kehidupan manusia, agar manusia dapat merasakan kedamaian, ketentraman, segala hal yang dapat membawa kehidupan yang lebih baik. Adakah manusia salah memahami pesan ini? Bagaimana mungkin?

Mungkin, tak ada yang salah antara agama dan manusia. Barangkali ada hal yang lebih tersembunyi, seperti pesan-pesan dalam botol yang tak kasat mata. Mungkin juga pesan itu terang-terangan, pewarisan dendam dari leluka lampau yang tak jua mengering. Atau barangkali juga, sebenarnya kebencian yang disistematisasi demi kepentingan-kepentingan yang samasekali tak ilahiah?

Dalam ajaran agama, kebencian relatif tak diperlukan. Agama butuh dihidupi dengan cinta dan nalar yang jernih, pemahaman yang terbuka, hingga kita dapat menginsyafi keragaman sebagai keniscayaan, dan hidup bersama dalam sikap terbuka dan saling menerima satu sama lain dapat mengantar kita to the next level.

Maka disinilah kita perlu membaca buku ini. Lewat Osman, kita dapat mengenali pluralisme lebih dekat.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan (M. Fathi Osman, 2006; hal 3)

Buku ini mengandung harapan, semoga dengan pluralisme, kerukunan antar umat [yang] beragama dapat mewujud. Tentu, setelah rukun, minimalisasi konflik bukan lagi mimpi. Fathi Osman, begitu teliti dalam menghadirkan sosok pluralisme, dengan dalil Al-Quran, hingga alasan filosofis. Ia dapat begitu elegan memperkenalkan pluralisme. Ia layak dapat applause yang meriah.

Saya juga mesti mengucap salut kepada Budhy Munawar-Rachman yang memberikan pengantar yang tak sekedar. Pegantar yang cukup rancak, yang kadang membuat saya membalik urutan ketika membaca buku.


*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Women Studies Centre
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com
Read more!

Menguak Tabir HAM

HAM VS KEKERASAN:SEBUAH PR UNTUK KEMANUSIAAN
Pradewi [T]ri [C]hatrami*

“Kami sudah lelah dengan kekerasan.”

Satu kalimat itu bergaung di benak saya serupa puisi yang tak usai, janji yang menanti ditepati. Saya tahu, si empunya kalimat telah begitu luarbiasa keraskepala dan tanpa kenal lelah berupaya menyadarkan kita bahwa tindak kekerasan di bumi Indonesia ini telah sedemikian akut dan perlu ada upaya [sangat] untuk menanganinya. Sayang, 7 September 2004 silam sejumlah manusia yang barangkali merasa terancam akan kehadirannya berhasil meregang paksa nyawanya. Ia berpulang di usia sangat muda—belum lagi empatpuluh, dan menyisakan tanda tanya besar, siapa yang membunuhnya? Pertanyaan itu telah memusingkan saya lebih dari kuis statistika. Saya—seperti juga banyak orang lainnya, tidak tahu persis peristiwa peracunan Munir.

Memang, pihak kepolisian berhasil menangkap dua tersangka baru, dan akhirnya mendapat fakta baru, Munir diracun di Bandara Changi, bukan di pesawat Garuda sebagaimana ramai diketahui khalayak sebelumnya. Namun bagi saya, penemuan itu tetap tidak dapat saya percayai. Siapa dalangnya? Pertanyaan itu lebih rumit lagi. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan ke[tidak]hadirannya. Seorang kawan pernah bilang, akan lebih mudah mencari orang yang tidak tega membunuhnya daripada mencari pelaku kejahatan yang sesungguhnya.


Hanya sedikit pihak yang berharap ia [tetap] hadir. Bagaimana mungkin? Bagi saya, ia adalah seorang pahlawan bagi banyak orang, meski ia [hanya] memperjuangkan apa yang menjadi hak asasinya dan segenap manusia lain. Demi hak Asasi Manusia. Itu [hanya] karena ia lelah berhadapan dengan kekerasan. Sebab apa ia begitu gigih berjuang demi HAM? Mengapa ia lelah dengan kekerasan? Ada apa antara HAM dan kekerasan?

Barangkali pertanyaan saya diatras cukup naif, mengingat permasalahan tentang HAM dan kekerasan adalah dua dari beberapa hal yang begitu purba dalam kehidupang manusia. Tengok saja sejarah peradaban manusia, dimana kita dapat melihat lanskap penuh dengan leluka kekerasan sekaligus pergulatan demi apa yang disebut hak asasi manusia.
Sebut misalnya, kedatangan Islam ke bumi Arab pada abad VII. Konsep tentang HAM telah secara inheren dibawa Islam sebagai pencerahan atas zaman Jahiliyah yang peniuh dengan kekerasan di dataran itu. Dalam Hadits dan Al-Quran telah disebut-sebut permasalahan yang berkenaan dengan haq al insan, hak yang, menurut Maududi, “Kodrati pada manusia yang langsung diberi dari Allah, dan tidak dapat dicabut dan dikurangi oleh kekuasaan dan atau badan apapun”. Tidak hanya dalam kitab suci maupun hadits, sejarah juga mencatat adanya Piagam Madinah, yang merupakan perjanjian antara kaum muslim dan non muslim. Inti dari perjanjian tersebut antara lain:

1. Berinteraksi secara baik dengan tetangga;
2. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama ;
3. Membela mereka yang teraniaya;
4. Saling menasehati, dan
5. Menghormati kebebasan beragama.

Enam ratus tahun kemudian di kerajaan Inggris, lahir Magna Charta yang berisi prinsip penegakan hukum bagi semua—termasuk para pangeran dan bangsawan, juga kepastian supremasi hukum. Dalam perkembangannya, pada tahun 1689, Bill of Rights disahkan. Bill of Rights terutama mengedepankan prinsip kesetaraan, karena membincangkan hak kebebasan menjadi sia-sia tanpa ada hak kesetaraan. Bagaimana mungkin ada hak kebebasan jika ada stratifikasi yang membuat golongan lebih tinggi dapat memperbudak golongan rendah? Maka, kesetaraan mutlak diperlukan.
Sementara, di Indonesia baru saja menjajaki masa penjajahan. Adalah Spanyol dan Belanda, dua negara berkedok pedagang yang pertama-tama menjajah Indonesia. Sejumlah daerah melakukan perlawanan, akhirnya dijebak dengan iming-iming damai. Namun, penjajahan tak pernah punya kesempatan merasa tenang. Gelombang perjuangan mengakhiri penjajahan terus dilakukan. Pernag demi perang digelar, demi kemerdekaan, kebebasan, dan kehidupan yang layak.

Di belahan dunia yang lain, geliat perjuangan untuk hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan dari Inggris sampai ke salah satu negara jajahannya, Amerika Serikat. 4 Juni 1776 mereka mengumumkan Declaration of Independence, sebuah deklarasi kemerdekaan yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk merdeka sejak dalam perut ibunya, maka adalah irasional jika ketika lahir ia mesti terbelenggu penjajahan. Paham ini sendiri lahir dari pemikiran Rousseau dan Montesquieu, yang di negerinya sendiri akhirnya memicu Revolusi melawan kekuasaan absolut dan sewenang-wenang dari Raja Louis XIV dan sistem politik yang menyengsarakan rakyat, dimana ada stratifikasi—yang acapkali mengingatkan saya pada sistem kasta di India—antara bangsawan, agamawan dan pada lapis terakhir rakyat jelata. Sistem ini memperkosa rakyat yang dibebani dengan berbagai macam pajak berat tanpa hak bersuara dalam pembuatan kebijakan. Voltaire bahkan mengkritik tajam kehidupan kaum pendeta yang ikut-ikutan memeras rakyat dan hidup mewah dari kesengsaraan rakyat dengan mengatasnamakan agama.

Revolusi Perancis dengan semboyannya “Liberte, Egalite, Fraternite: Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan” pada 17 Juli 1789 meruntuhkan penjara Bastille—simbol kesewenagan kala itu, dan menelurkan The French Declaration yang berisi kurang lebih tentang tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang tidak sah tanpa alasan dan surat perintah yang jelas. Berkaitan dengan itu berlaku pula Presumption of Innocence—diadopsi oleh bahasa Indonesia sebagai praduga tak bersalah—setiap orang yang ditangkap dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Deklarasi itu diperkuat dengan prinsip-prinsip freedom of expression (kebebasan berpendapat), freedom of religion (kebebasan menganut dan menjalani keyakinan yang dikehendaki), the right of property (perlindungan hak milik). Prinsip-prinsip inilah yang mengandung jaminan tumbuhnya demokrasi dan berdirinya sebuah negara hukum.
Abad XX diawali oleh peperangan yang melelahkan. Perang Dunia I menggarit luka yang cukup panjang. Pemenang dan pecundang dihimpit ketegangan hingga bertahun-tahun kemudian. Beberapa negara setuju mendirikan Liga Bangsa-Bangsa, guna mencegah peperangan, namun perkumpulan itu gagal dan bubar jalan.
Kemunculan The Four Freedoms dari presiden Roosevelt pada 6 Januari 1941 sebagai respon kekhawatiran akan panasnya persaingan antara beberapa negara maju lama (baca: Imperialis Eropa), dan imperialis pendatang baru (Jepang) menjelang Perang Dunia II, membawa perkembangan HAM ke level selanjutnya.

Disebutkan secara rinci bahwa segenap manusia di seluruh dunia berhak memiliki kebebasan berpendapat; Menjalankan keyakinannya pada Tuhan dengan caranya sendiri; Kebebasan dari kemiskinan yang mengharuskan adanya economic undertsanding, hingga setiap negara berhak mengusahakan hidup damai dan sejahtera untuk setiap penduduknya; Kebebasan dari ketakutan, dengan upaya pengurangan senjata hingga tak satupun negara di dunia ini yang memiliki kesempatan menyerang negara lain. Pada pemerintahannya pula istilah human rights dari istrinya Eleanor Roosevelt diperkenalkan. Istilah ini dianggap lebih fair, mengingat istilah sebelumnya rights of men yang bias gender.
Seperti yang kita semua ketahui, Perang Dunia II pecah lebih setahun kemudian.

1942-1945, negara-negara yang telah kita lihat sebelumnya bertarung di Perang Dunia I (dengan beberapa tambahan pendatang baru), kembali berjibaku dengan menyeret negara jajahan masing-masing sebagai cadangan pemain, sekedar transit, atau bahkan gelanggang lain untuk berperang. Indonesia yang saat itu dijajah Jepang turut merasakan imbasnya. Ribuan lebih perempuan menjadi budak seks tentara atau sipil (asal mereka membayar pada pihak Jepang). Kerja paksa Romusha berlangsung, dan rakyat dipaksa menanam tanaman jarak demi kebutuhan perang. Tak hanya itu, Jepang juga merampas kekayaan rakyat, sampai-sampai terjadi krisis pangan parah, karena tak ada harta dan tanaman pangan tak banyak dikembangkan. Namun, pada zaman penjajahan Jepang juga kaum nasionalis bekerjasama dengan pihak penguasa membentuk BPUPKI dan PPKI yang merumuskan Pancasila dan UUD, yang kelak menjadi landasan HAM di Indonesia.

Pada tahun 1944, meski genderang perang tak juga henti, Philadelphia menjadi kota tempat buruh seluruh dunia mengadakan Konferensi Buruh Internasional yang menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Kesepakatan utama dalam konferensi adalah urgensi perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia tanpa diskriminasi, apapun ras, jenis kelamin, ataui kepercayaannya. Segenap manusia berhak mengejar perkembangan material dan spiritual dengan bebas dan bermartabat keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak yang disebut dalam konferensi ini dijadikan landasan bagi The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948.

Sejak dibentuk, PBB menjadi wadah formal untuk segala cikal bakal perundangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Banyak perundangan di Indonesia merupakan hasil ratifikasi dari produk PBB. Salah satu contohnya, Tap MPR XVII/1998. produk hukum yang dikeluarkan lembaga legislatif ini secara khusus mengatur ihwal penegakan HAM di indonesia. Menurut definisi dalam Tap MPR ini, sebagaimana pengertian yang telah dirancang dari sejarah perkembangannya, HAM bagi bangsa Indonesia adalah:

“Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh. Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (Tap MPR XVII/1998, D. Pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia, dengan pemotongan kalimat pertama dari penulis)

Merujuk kepada pengertian diatas, maka saya mengambil kesimpulan bahwa HAM, meskipun merupakan hak yang bersifat kodrati, ternyata tidak serta merta terlepas dari konteks sosio-historis. HAM bagaimanapun, bukan sesuatu yang taken for granted, karena setiap pemberian dari Tuhan membutuhkan interpretasi manusiawi untuk kemudian dapat dipergunakan, kewenangan yang tetap membutuhklan usaha khusus agar dapat diwujudkan. Sejarah telah mengajari kita, dari piagam Madinah sampai Piagam PBB, bahwa HAM bukan sekedar pemberian sambil lalu. Bagaimana sejarah perjuangan HAM di Indonesia?
Sejarah penegakan HAM di Indonesia sebenarnya telah begitu lampau. Syahdan, pada zaman dulu kerajaan-kerajaan di Indonesia telah mengembangkan kerukunan antar-umat beragama. Beberapa literatur menunjukkan bahwa beberapa agama dapat hidup damai dibawah kerajaan yang meresmikan satu agama. Bahkan raja mau memberi fasilitas untuk agama yang berkembang selain yang ia anut. Kebebasan beragama sebenarnya merupakan nilai asli bangsa Indonesia.

Awal abad XVI merupakan awal dari penjajahan. Pemerintah Hindia—kemudian VOC—menetapkan aturan-aturan yang samasekali mengabaikan hak asasi manusia. Kondisi timpang melahirkan berbagai perlawanan, namun perang senjata ternyata tidak efektif. Di penghujung abad XVIII, perjuangan bentuk lain dijalankan. Melawan dengan pena.
Edward Douwes Dekker alias Multatuli, seorang asisten residen Lebak Banten menulis novelnya Max Havelaar, yang mengkritik kebijakan kolonial yang memberlakukan tanam paksa. Salah satu pengagumnya, Kartini, adalah perempuan Indonesia pertama yang membicarakan nasionalisme, emansipasi, dan demokrasi. “Tujuan adalah rakyat”, begitu katanya. “Kartini adalah pemikir modern Indonesia yang pertama”, aku Pramoedya Ananta Toer. Ia menggagas (dan akhirnya mendirikan) sekolah untuk perempuan, sebagai perjuangan untuk kesetaraan gender, hak perempuan untuk dapat (juga) memperoleh pendidikan. Perjuangannya saat itu terhalang oleh cinta kepada ayahnya.

Pada masa itu juga, suratkabar buatan pribumi mulai dicetak, sebagai tempat untuk menuangkan berita versi pribumi dan pendapat pribumi. Perlawanan modern tak hanya sebatas pena. Agar kekuatan bertambah, didirikanlah perkumpulan, sebuah organisasi modern. 20 Mei 1908, Boedi Oetomo lahir. Meski dengan segala keterbatasannya sebagai organisasi yang [hanya] beranggotakan priyayi Jawa, Boedi Oetomo memang inspiratif. Dalam perkembangannya, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan menerbitkan sebuah surat kabar.

Setelah kelahiran Boedi Oetomo, organisasi mulai tumbuh menjamur. Agaknya, bangsa Indonesia mulai menyadari hak [dan kewajiban] untuk berserikat dan berkumpul. Sarekat Dagang Islam, lalu menjadi Sarekat Islam menekankan pentingnya usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan VSTP, organisasi buruh kereta api, cikal bakal PKI, sebuah partai berlandaskan komunisme lebih menaruh perhatian pada penyadaran akan hak-hak sosial ekonomi dan politik kaum proletar, (baca: kaum buruh dan tani). Organisasi yang cukup keras dalam issue penegakan HAM di Indonesia pra-kemerdekaan adalah Indische Partij. Dengan lantang mereka menyerukan tuntutan hak politik: kemerdekaan dan kesetaraan. Tentu saja, dengan sikap non kooperatif seperti itu, pihak penjajah memiliki alasan untuk mengasingkan mereka, dan membubarkan organisasi. Hal sama terjadi pada PNI. Penekanan akan tuntutan kemerdekaan membuat usia organisasi ini tak panjang. Penjajah punya kepentingan atas ke[tidak]merdekaan Indonesia. Gerakan-gerakan organisasi seperti ini bisa berbahaya.

Tahun 1942, Belanda hengkang dari Indonesia dan meninggalkan penjajah baru, Jepang. Seperti yang telah saya sebutkan, usaha penegakan HAM dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI yang merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Puncaknya, dengan sedikit pemanfaatan kekalahan Jepang dari sekutu, pada 17 Agustus 1945 Proklamasi digemakan. Indonesia sebagai nasion pun berdiri. Babak baru penegakan HAM dimulai.
Awal kemerdekaan diliputi concern pada hak merdeka, hak untuk bebas berserikat dan berkumpul melalui organisasi politik, dan hak untuk bebas menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM mulai diformalisasi melalui konstitusi. Hak politik dibuka lebar, rakyat dipersilakan mendirikan partai politik untuk dapat mengikuti pemilu yang seyogyanya akan diadakan Januari 1946. Namun, situasi pada saat itu kurang mendukung untuk melaksanakan pemilu. Pada masa itu, penegakan HAM akhirnya memiliki fokus lebih utama pada menjaga kedaulatan.

Setelah berumur 5 tahun, Indonesia memasuki fase perkembangan yang lain, periode demokrasi parlementer. Dalam masa ini, terlihat perkembangan HAM sangat signifikan. Tumbuh suburnya partai politik dengan ideologi beragam dan kebebasan pers sungguh memukau pada era itu. Pemilihan umum paling fair, demokratis, dan bebas dalam sejarah Indonesia pun berhasil digelar. Rakyat begitu antusias mengikuti pemilu, meski tanpa iming-iming uang. Legislatif memenuhi fungsi kontrolnya dengan baik dan efektif. Suasana kebebasan dan saling menghargai pendapat sangat kentara, hingga wacana HAM pun memiliki ruang yang lapang. Munculnya wacana HAM sampai ke dewan konstituante, dan mereka sepakat mengenai substansi HAM universal, hingga HAM dirasa sangat penting untuk masuk dalam UUD menjadi bab tersendiri.

Dinamika politik dalam masa demokrasi parlementer menjadi permasalahan tersendiri ketika UUDS susah ditetapkan dan perghantian pemerintah terlamapu kerap. Dengan alasan banyak agenda yang menjadi terbengkalai oleh situasi penuh kebebasan seperti masa itu, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit. 5 Juli 1959, pintu mulai tertutup bagi kebebasan dengan diterapkannya demokrasi terpimpin
Demokrasi terpimpin membuat HAM terpasung. Apalagi pemihakan presiden kepada salah satu partai politik menyebabkan kehidupan sosial-budaya ikut timpang. Kita mengenal adanya konflik antara Manikebu dan Lekra, sebagai dampak persaingan politik yang tidak sehat. Berbagai kecekaman melanda, dan pada akhirnya terjadilah peristiwa G30S/PKI yang membuat Presiden Soekarno—setelah sebelumnya sempat mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup—harus jatuh.

Beredar kabar tentang Supersemar, dan Soeharto pun tampil memegang kepemimpinan. Awalnya, wacana HAM memiliki ruang tersendiri. Berbagai seminar tentang HAM diadakan, salah satunya pada 1967 yang merekomendasikan perlunya pembentukan Komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Setahun kemudian, Seminar Nasional Hukum II menekankan pentingnya dilakukan hak uji materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Dalam rangka pelaksanaan Tap MPRS No. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara.

Pada kenyataanya, HAM hanya menjadi lip service. Jangankan ditegakan, istilah HAM pun diasingkan dari rakyat dibuat semacam menjadi ‘buah terlarang’ pada cerita kejatuhan Adam dan Hawa. Semua yang berbau barat, atau komunis, atau bahkan Islam menjadi musuh Indonesia sebagai nasion. Contoh sederhana adalah pada tahun 1979, dimana banyak terjadi pengusiran terhadap siswi sekolah umum yang berkerudung. Alasannya, karena kerudung merupakan simbol yang eksklusif, dan menggunakannya berarti tak lagi berseragam. Sebuah strategi menerapkan nasionalisme yang konyol menurut saya, meski sialnya, agak berhasil.

Sejak awal, sebenarnya Soeharto telah berkhianat pada penegakan HAM. Berbagai literatur membeberkan fakta adanya pembantaian terhadap siapapun yang dianggap berhubungan cukup mesra dengan PKI. Jika tidak hilang/dibunuh, maka konsekuensi lain yang menunggu adalah pencekalan dan pembuangan. Seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer. Ia dibuang ke Nusakambangan (Juli-Agustus 1969), Buru (Agustus 1969-12 November 1979), dan Magelang/banyumanik (November-Desember 1969) tanpa proses pengadilan.
Pada tahun 1983-1985, maraknya penembakan misterius menghadirkan teror tersendiri pada masyarakat. Target biasanya adalah orang yang dianggap preman kelas kakap, namun salah sasaran bukan jarang terjadi.

Ditengah cekam teror petrus, pemerintah mengambil keputusan cukup penting dalam penegakan HAM di bidang lain. Tahun 1984, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 sebagai pengesahan terhadap konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pada prakteknya, diskriminasi masih diberi ruang lebar dan pemerintah tidak juga memperbaiki citra perempuan agar tak terjadi stereotype yang tak seimbang di masyarakat. Pembentukan Dharma Wanita, menurut saya lumayan merugikan karena orientasinya tak jelas, dan semakin mengukuhkan pendapat bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua.

Kekerasan demi kekerasan, pelanggaran demi pelanggaran HAM terus dilakukan rezim Soeharto. Di bawah komandonya, Aceh, Irian Jaya, dan Timor Leste menjadi Daerah Operasi Militer. Kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, dan pembunuhan/penghilangan/penangkapan aktivis menjadi hal yang tidak aneh. Saya ingat Marsinah, dan berapa Marsinah lain? Saya mendadak lupa cara berhitung.

Bukan hanya itu, pembredelan terhadap media menjadi kekerasan tersendiri. Tempo, Detik, menjadi dua dari banyak media yang dibredel. Partai peserta pemilu dibatasi hanya tiga, dengan hasil pemilu seperti putar kaset. Meski pemilu tak pernah absen diadakan lima tahunan, sepertinya tak ada lagi yang baru. Wajah peserta kampanye boleh berubah, namun pemenang tetap sama.

Protes bukan tak dilakukan. Usaha penegakan HAM akhirnya dikerjakan oleh LSM dan akademisi, yang setia merajut jejaring dan melakukan lobi internasional, akhirnya mendapat upah yang cukup setimpal. 7 Juni 1993, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia resmi didirikan. Badan ini bertugas memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbanagn, dan saran kepada pemerintah sehubungan pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, serta deklarasi/perundangan terkait. Namun, kekerasan masih terjadi. Penghilangan pada aktivis terus berlangsung.

Krisis keuangan ditambah akumulasi ketidakpercayaan pada pemerintah menimbulkan sejumlah protes dan huru-hara. Mei 1998, setelah 32 tahun tak tergantikan, Soeharto dipaksa turun. Indonesia resmi meninggalkan Orde 32 dan memasuki reformasi.

Pergantian kepemimpinan memang menghasilkan kemajuan memang cukup signifikan. Penegakan HAM mulai sembuh dan bugar. Sebagai penanda bahwa pemerintah memang berniat melakukan reform, Tap MPR XVII/1998 diproduksi. Selain itu, pemerintah meratifikasi sejumlah konvensi Ham. Diantaranmya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganiosasi dengan Keppres No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 20/1999. Selain berbagai ratifikasi tersebut, pemerintah juga mencanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” yang berdasar pada

1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM;
2. Desiminasi informasi dan pendidikan di bidang HAM;
3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM;
4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi perundangan nasional.

Untuk memenuhi tuntutan re-demokratisasi di Indonesia, pemerintah pun membebaskan rakyat dalam membentuk partai politik dan menggelar pemilu 1999 dengan peserta sebanyak 48 parpol. Pesta demokrasi inipun diperbaharui pada tahun 2004 dengan menyelenggarakan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kran kebebasan pers dibuka kembali, sehingga jaminan kebebasan berpendapat kembali dinikmati. 24 November 2004 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan, dan hari itu diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Namun, era Reformasi bukan tanpa ancaman. Pembunuhan Munir adalah satu dari cacatnya pelaksanaan HAM di Indonesia. Praktek kekerasan berujung kematian yang terjadi di institusi pendidikan IPDN juga menjadi marka bagi kita bahwa ini belumusai. Selain itu, Undang-undang Pornografi yang disahkan tanpa menggubris protes sejumlah aktivis perempuan pada 6 Februari 2007 kemarin juga menjadi kontra-produktif, karena batasan tak jelas mengenai pornografi dapat menjadi bumerang dalam pewujudan HAM di Indonesia. Atau, pemerintah mulai lupa pada komitmennya terhadap penegakan HAM?
Saya jadi ingat Milan Kundera. Ia dulu pernah bilang, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”. Akankah kita lupa? Akankah kita tidak lagi merasa lelah dengan kekeerasan?

“Revolusi, bukan kata benda, melainkan kata kerja. Ia adalah situasi. Ia adalah tentang menjadi”
che; 2007

dari berbagai sumber
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatallah. 2003
Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. 2003
www.munir.or.id
www.kontras.org

*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Women Studies Centre
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com
Read more!