RSS

Kata Mereka

Sunday, July 22, 2007

Apa Kata Mereka Soal Advance Training

Kehadiran Advance Training (AT) dan Training Of Trainer (TOT) malah menuai pelbagai protes dari anggota JarIK dimanapun berada. Pasalnya, persyaratan training itu dianggap membebankan peserta pelatiahn. Hingga tulisan ini diturunkan mereka masih bersikukuh soal pembuatan 4 peper.

`Yah, kita yang juga lagi sibugh dengan kegiatan lainnya tentu saja merasa lebih tertantang, apalgi dengan ketentuan minimal 20.000 karakter. Trus ditambah lagi dengan batas akhir pengiriman akhir bulan juli ini. wah, sangat menantang. Tapi, terserah seh..kita mah yang penting usaha,` tulis Bahrul Haq, JarIK Jakarta.

`SYARAT NYA ADUH KUMAHA NIH...,4 PAPER UNTUK SETIAP PAPER 20.000 KARAKTER BISA NAWAR GA.........'LSAF'?5 RB KARAKTER AJA TIAP PAPER YACH.........TERUS KIRIMAN BAHAN-BAHANNYA HARUS SECEPATNYA BIAR KAMI LEBIH MATANG DALAM PEMBUATAN PAPERNYA, usul Ani Marlina, JarIK Garut.

`Elok iki kang..banyak banget...sekitar 15 hlm kwarto spasi 1.5 font 12 times new roman...mungkin waktu kali ya yg perlu diundur..jgn 30 juli lah...sampai 10 agustus misalnya. jadi agak longgar....palagi da beberapa temen yg terbentur PKL...oke, Cetus Subkhi Ridho, Koordinator JarIK Jogyakarta.

`Saya, pradewi tri chatami menyatakan keberatan akan syarat 4 paper untuk mengikuti advance training. saya akui, tradisi menulis saya belum mapan, dan saya masih terbelit masalah akademis dalam mengikuti kuliah praktikum, yang bahkan merampok hari minggu saya menjadi rutinitas membosankan. karena waktu yang disediakan untuk menulis sangat singkat, saya jelas sangat keberatan. bahan-bahan bacaan yang akan dikirimkan (yang entah sampai kapan sampai di inbox saya) barangkali masih harus berebut atensi di 24 jam x 17 hari yang teramat singkat. apakah bahan bacaan tersebut dapat efektif? silakan anda jawab sendiri. wassalam, Papar Che, JarIK Bandung.

Yuuuk....................kawan Teche ada benernya jg....LSAF prlu mempertimbangkannya lagi dech.., ungkap Jhellie, Koordinator JarIK Mataram.

Tak ayal kiriman bahan bacaan Advance pun harus menjadi penopang pelatihan itu, demikian kata Ani.

`Bagi saya sendiri neng ani ti urang garut mah masalah 4 ppaper mah ga masalah, asalah luangin waktu 2 jam sehari ja buat bikinya pasti berez, tantangan demi tantangan harus bizalah, meski kawan teche ribet atas syarat itu, yang bikin keselnya aku nunggu kiriman bahan-bahan materinya dari LSAF mana atuh, koq gada, kapan mo dikirimkan,biar ani cepet kerjain sekarang sekarang maklum aku kan udah mulai ngajar lagi nih, jadi ketika libur gini aku pengen kerjakan syarat2 advance, jadi to LSAF................CEPET KIRIMIN YACH..........MUMPUNG ANINYA LAGI AGAK NYANTEI NIH, jelasnya.

Tak mau ketinggalan pihak LSAF pula menanggapnya dengan membuat pernyataan `Kepada kawan-kawan calon peserta advance training. sehubungan dengan prasyarat penulisan paper untuk advance training, maka kami akan mengirimkan bahan-bahan bacaan tentang Duham, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Undang-undang RI tentang HAM dan ICCPR serta kebebasan beragama, termasuk juga paper Rumadi tentang Agama-agama dan Regulasi negara di Indonesia.

Mudah-mudahan bahan-bahan tersebut bermanfaat sebagai referensi dalam menulis paper. Btw, apakah syarat menulis empat paper cukup memberatkan buat kawan-kawan?

Ingin tak disebut ikut nimbrung, Eko Marhaendry mempertanyakan bahan bacaanya. `Empat paper sich sebuah kaharusan untuk ngikuti edvance training, masalahnya waktunya terlalu mepet, jadi kualitas tulisannyapun boleh jadi "mepet juga" (he..he..he!), tegasnya.

Lagi Bahrul angkat bicara `jadi bagaimana keputusannya??? kita masih digulung dengan kesibukan nih. tolong secepatnya diberikan kejelasan tentang waktu atau pun persyaratannya.. supaya kita bisa persiapkan dengan baik dan bisa bagi-bagi waktu, ungkapnya.

Wahlasil, persyaratan 4 makalah pelatihan pun berubah menjadi 2 peper. Keputusan terakhir dari LSAF melalui pernyataan `Sehubungan dengan munculnya banyak keberatan kawan-kawan atas prasyaratan 4 paper untuk advance dan TOT, maka panitian AT & TOT akhirnya membuat perubahahan: pilih saja 2 paper untuk ditulis dari 4 pilihan yang ada.

Selain itu, ada kemungkinan kegiatan AT & TOT tersebut dimajukan menjadi awal agustus.

Demikian informasi terbaru seputar AT & TOT. Saran dan kritik kawan-kawan kami tunggu.

Benarkah dengan diturunkanya kriteria pelatihan persoalan lain tak akan bermunculan seiring perkembangan kawan-kawan. Tentu jawabanya tidak. Lihatlah respon dari Bahrul tentang pemajuan jadwal Advance. Semulah akhir Agustus menjadi awal bulan.

'Saya keberatan jika waktu AT & TOT malah akan dimajukan, saya pribadi akan sangat kesulitan dengan waktu yang pasti akan betrok dengan jadwal kegiatan lain. saat ini saya sedang menggarap Kongres ke-26 HMI MPO, saya sebagai Ketua Panitia, acara tersebut insya Allah akan digelar pada tanggal 12 s.d. 18 Agustus 2007. sedangkan, saya sangat ingin ikut menjadi peserta AT & TOT.

Demikian, mudah-mudahan rencana perubahan waktu bisa gitinjau kembali. saya berharap pengertiannya.


`Euhhhhhh
teu leures!
awal-awal
akhir-akhir!
uih yuk!
pundung abimah!!!!!, Kata Iya Maliyya, JarIK Bandung.[Ibn Ghifarie]
Read more!

Mati...!!

Thursday, July 19, 2007

Aktivis Itu Mati
Oleh Badru Tamam Mifka

Setelah dua puluh satu hari menghilang,
Magdalena ditemukan mati mengambang di sungai.
Mayatnya tersangkut di akar yang menjorok ke arus sungai.
Baunya menyengat mengundang lalat.
Perutnya kembung terisi penuh air,
kening perempuan itu memar dan tengkoraknya retak,
seperti dipukul benda tumpul—sangat keras.


Magdalena Agatha, aktivis kampus itu, kian populer di kalangan mahasiswa bahkan media massa setelah dikaitkan dengan isu pembunuhannya yang belakangan bikin kasak-kusuk pihak kepolisian, aktivis mahasiswa dan pejabat kampus. Setiap pihak saling mencurigai, menuduh, dan membantah soal matinya mahasiswa semester delapan itu. Bagi aktivis mahasiswa, Magdalena diduga dibunuh oleh pejabat kampus yang mungkin tak menyukai kritik.

Dugaan itu melebar di kalangan mahasiswa karena seminggu belakang, sebelum kematian Magdalena, pihak birokrat kampus tengah kewalahan menerima rentetan pertanyaan dari wartawan perihal kasus pelecehan seksual, korupsi dan pemalsuan gelar di jajaran pejabat kampus yang belakangan digembor-gemborkan Magdalena dan kawan-kawannya. Kecurigaan dikalangan mahasiswa itu akhirnya mendorong detektif dan polisi mengarahkan penyelidikannya ke wilayah pejabat kampus.

“Banyak isu-isu murahan yang digulirkan kelompok tertentu untuk menjatuhkan saya.” Ujar Rektor. “Tetapi soal pemalsuan gelar yang dilakukan salah seorang Dekan, kami akui ada di kampus ini. Dalam waktu dekat, kami memang akan berusaha menyelesaikannya.”

Ketika itu, memang Magdalena dan beberapa kawannya secara intens menggerakan para mahasiswa dalam aksi demonstrasi dan menerbitkan bulletin untuk mensosialisaikan isu, aspirasi dan pernyataan sikap. Buntut dari aksi ini, ketegangan antara pejabat kampus dengan kelompok mahasiswa kian meruncing. Audiensi pun digelar. Disana, Magdalena yang sangat kritis diantara kelompok demonstran, menyerang para pejabat dengan data-data dan pertanyaan yang membuat merah semua kuping pejabat. Dan dua hari setelah audiensi, Magdalena dinyatakan hilang disaat audiensi tahap kedua akan dilakukan. Karuan kawan-kawannya sibuk mencari. Telepon genggamnya tak bisa dihubungi dan, menurut keterangan ibunya, sudah empat hari Magdalena tak pulang ke rumah. Padahal, terakhir kali menelepon, Magdalena ngomong akan pulang.

Beberapa hari setelah berita kematian Magdalena, kepolisian setempat mengeluarkan pernyataan hilangnya Magdalena, seraya meminta masyarakat dan mahasiswa membantu mencarinya. Catatan panjang tentang data pribadi Magdalena segera disebarluaskan ke masyarakat dan media massa. Setelah pencarian selama lima hari tak membuahkan hasil, muncullah kecurigaan dari kelompok demonstran bahwa Magdalena diculik! Para aktivis mahasiswa mencoba mendesak para pejabat kampus tentang hilangnya Magdalena dan pihak kepolisian pun turun tangan.

Dalam hitungan hari ke dua puluh satu, akhirnya terdengar kabar buruk bahwa mayat Magdalena ditemukan mengambang di sungai, ditemukan seorang pemulung sampah. Polisi segera datang ke tampat kejadian perkara (TKP) beberapa menit kemudian. Detektif dan media mulai bekerjasama lebih erat. Tuduhan dan bantahan kian bersahutan tajam. Tuduh sana, bantah sini. Gosip sana, gosip sini. Spekulasi berkecambaah bak cendawan di musim hujan. Tak ayal, kekisruhan di tubuh kampus yang dirundung kasus ini jadi lahan segar bagi pekerja-pekerja di media massa. Banyak orang di wawancarai wartawan, polisi juga. Sampai akhirnya serbuan wartawan secara besar-besaran merangsak ke tangga-tangga para pejabat. Benarkah para pejabat kampus merencanakan pembunuhan terhadap Magdalena?

Awalnya pihak pejabat kampus bungkam seribu bahasa. Tak ada yang berkenan angkat bicara. Namun, setelah didesak wartawan-wartawan yang keras kepala, pihak pejabat kampus mau bicara lagi yang kini diwakili Pembantu Rektor.

“Apalagi ini? Ini sudah fitnah!” dalihnya gemetar menahan murka ketika seorang wartawan menodongnya dengan banyak pertanyaan terkait tuduhan mahasiswa atas keterlibatan jajaran pejabat kampus dalam kematian Magdalena.

“Demonstrasi yang mereka lakukan dengan banyak isu itu hanya strategi politis kelompok mahasiswa yang turut dipolitisasi oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan Pak Rektor. Maklum, sebentar lagi ada pemilihan raktor. Perang citra, pembunuhan karakter; Anda tahu kan? Nah, mengeksploitasi kejadian matinya aktivis itu juga jadi cara kepepet kelompok mahasiswa untuk menjatuhkan kedudukan dan citra kami hanya karena cara demonstrasi sudah tak mempan lagi. Tak efektif lagi!” ucapnya pula panjang lebar.

Akibat penyataan pedas Purek yang esok harinya dimuat di koran lokal itu, para aktivis mahasiswa kian berang melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat.

“Ini aksi lanjutan dari isu-isu kemarin. Kami akan menggerakan massa yang lebih besar karena kecurigaan kami cukup kuat, Magdalena diculik dan dibunuh!” ujar Bowo Rowo, korlap baru pengganti Magdalena, ketika diwawancarai wartawan disela-sela aksinya.

“Tetapi mengenai penyelidikan terkait pembunuhan Magdalena selanjutnya, kami sudah menyerahkan sepenuhnya pada pihak kepolisian. Kami akan menunggu. Jika hasilnya benar-benar positif terbukti bahwa jajaran pejabat kampus yang merencanakan pembunuhan ini, kami tak segan akan menyeret mereka ke pengadilan dengan kasus berlapis, yaitu korupsi, pelecehan seksual, pemalsuan gelar dan pembunuhan! Jauh hari kami telah menyerahkan laporan dan keterangan kepada pihak kepolisian tentang kasus-kasus itu. ”

Namun, soal siapa pembunuh Magdalena, para aktivis kampus kembali dikejutkan soal keterangan Lydia, kawan dekat Magdalena. Dia memberi keterangan tentang pertengkaran Magdalena dengan mantan pacarnya, Hans. Lebih lanjut, Lydia mengatakan bahwa Magdalena pernah menerima surat yang berisi ancaman pembunuhan dari Hans.

“Kenapa Hans mengancam ingin membunuh Magdalena?”

“Pertama, sakit hati. Hubungan mereka berantakkan. Hans menuntut Magdalena berhenti jadi aktivis. Ya Magdalena tak mau. Mereka bertengkar. Sampai saling tampar juga. Kedua, Hans kalah dalam pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa. Ketika itu, tim suksesi Hans mengangkat isu adanya kecurangan dalam pemilihan. Kini, setelah Magdalena tak menjabat lagi, kebencian Hans masih tetap ada. Terang saja, rugi jutaan rupiah dalam proyek pencalonan.”

“Hah?!”

Bak gula diburu semut, Hans pun jadi bulan-bulanan wartawan dan tim penyidik dari polisi. Dia diperisa berkali-kali untuk dimintai keterangan.

“Tidak benar. Ayo, mana buktinya? Ada saksi? Surat tempo lalu hanya gertakku saja. Maklum, aku lagi kalap. Tapi tak serius. Itu pun kejadiannya telah lama lewat. Saya juga sudah mulai lupa. Mana mungkin saya membunuh Magdalena.” bela Hans dengan suara gemetar.

Belum dingin isu Hans, muncul spekulasi baru menambah daftar panjang pelaku pembunuhan Magdalena. Orang yang kena sial kemudian dan mendapat pemeriksaan intensif dari kepolisian adalah Buma. Ia teman dekat Magdalena. Tak pelak, penrhatian nyamuk pers segera tertuju kea arah Buma.

“Buma kan ketua organisasi GIMMI yang dedengkotnya kini menguasai 75 % birokrasi kampus. Secara politis, Buma menjadi miniatur kepentingan mereka di tingkatan mahasiswa. Buma punya kewajiban berbakti pada leluhur…Tentu saja, hal itu dibumbui dengan permasalahn pribadi Buma dengan Magdalena yang katanya berbuah dendam Buma yang tak reda…”

“Maksudmu?”
“Buma kan pernah murka karena ditolak cintanya sama Magdalena.
“Duh, motif asmara lagi…”

“Tak hanya itu, Buma memaksa Magdalena untuk bergabung dengan GIMMI dan menghentikan aktivitas demonstrasinya di kampus. Terjadilah perang mulut dan Magdalena sampai kini bersitegang dengan Buma karena merasa dilecehkan prinsipnya. Mereka bermusuhan, dan Buma tak menerima. Mereka kini tak berhubungan lagi, mungkin bermusuhan. Tak sampai disitu, Magdalena pernah membongkar kasus korupsi ketika Buma menjabat Presiden Badan Eksekutif sebelum periode Magdalena.”

“Jadi kamu menduga bahwa Buma yang membunuh Magdalena? Jadi, lebih dengan alasan politis atau pribadi?”

“Entahlah. Meneketehe. Pokoknya, setelah itu Magdalena sering mendapat terror SMS. Isinya ada ancaman, hinaan seperti keras kepala, aktivis reaksioner, angkuh, dan sebagainya. Aku juga awalnya menganggap ancaman itu hanya gertakan orang yang lagi emosi. Alasannya bisa politis, atau juga murni pribadi.”

Buma pun diburu dan ditetapkan jadi salah satu tersangka. Lantas, benarkah Buma yang membunuh Magdalena?

“No comment. Tunggu saja nanti hasil penyidikan polisi.” Komentar Buma singkat. Aneka tuduhan dan ragam analisa politik masih dibentur-bentur tak henti-hentinya. Menyadari masih sulitnya mencari titik terang, kepolisian kian giat membuat manuver-manuver. Yang menarik, mereka membentuk gugus tugas penyelidikan dengan nama Magda Red Team, yang terdiri dari 15 petugas. Tak hanya itu, kalangan mahasiswa tak mau kalah, muncullah berbagai gerakan-gerakan baru yang turut mewarnai ketegangan kasus. Ada MIMBAR (Mahasiswa Intelektual Mesjid Baru) yang begitu hebat mencemooh dosa-dosa pergerakan mahasiwa dan para pejabat kampus dengan setumpuk ayat-ayat suci. Solusi tobat tak luput dianjurkan. Ada juga JeTPAM (Jelata Tempel Pamplet), barisan oposan, yang tak bosan-bosan membuta teror bahasa pamplet yang spontan dan sarkas. Tak mau kalah, muncul sekelompok mahasiswa yang mendeklarasikan gerakan baru yang bernama JABLAY (Jaringan Buka Layar) yang kerjanya super-sibuk mengolah data-data, semacam tim investigasi sukarela di kalangan mahasiswa dalam berbagai kasus di kampus. Semuanya berdesakan, bersilangan diantara banyak isu-isu yang memadati ingatan orang.

Hari-hari berjalan masih penuh misteri. Setiap orang masih menebak-nebak siapa pembunuh Magdalena sebenarnya. Bahkan, di sebagian mahasiswa ada ada taruhan uang. Ada judi. Ada yang pasang pejabat kampus sebagai pelaku. Ada yang berani bertaruh pegang Hans sebagai pembunuh yang dipicu soal pribadi dan kekacauan asmara. Ada yang pasang Buma. Ada juga yang mengusulkan pilihan alternatif bahwa pembunuh bisa semuanya berdasar kecurigaan secara politis tentang mata rantai Rektor-Buma-Hans, maksudnya ide jahat dari pihak pejabat kampus dan eksekutornya dari mahasiswa yang barangkali menyewa preman. Kesepakatan akhir, ada tiga pihak yang akan bertaruh tentang siapa pelaku sebenarnya: pejabat kampus—siapapun eksekutornya—atau Hans—siapapun eksekutornya—atau Buma—siapapun eksekutornya. Soal adanya konspirasi, itu soal lain, bisa kemudian ditarik otak pembunuhannya. Mereka pun harap-harap cemas menunggu hasil penyelidikan polisi dan kawan-kawan JABLAY. Yang kelak menang, lumayan dengan taruhan 100.00 buat tambah-tambah bayar kostan atau traktir pacar makan siang.

Sementara demonstrasi terus merangsak dari hari ke hari. Karton dibanjiri tulisan. Semuanya menghujat pejabat kampus. Spanduk-spanduk di pasang. Ada tentang belasungkawa. Ada juga tentang kritik atas kecurangan moral, kegelapan intelektual dan matinya rasa kemanusiaan pejabat kampus. Isinya macam-macam. Setiap pihak kalang-kabut mengurusi masalahnya sendiri-sendiri. Hari berganti hari. Minggu juga. Bulan juga. Pihak kepolisian kian intensif melancarkan penyidikan di setiap sudut tempat. Mereka tak lelah menginterogasi saksi dan orang-orang yang dicurigai. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak polisi. Siapa pembunuh Magdalena?

Mereka bertukar spekulasi, menghimpun data-data, bertukar pengalaman dan teori tentang proses penyidikan. Mereka bekerja keras menemukan titik terang lewat data waktu, tempat kejadian, menimbang alibi semua pihak dan seterusnya dan seterusnya. Polisi menduga Magdalena dibuang pelaku ke sungai sesudah dipukul benda tumpul. Jadi, benda-benda yang ditemukan disekitar mayat tak cukup layak dijadikan bukti karena pihak penyidik harus menyusuri sungai yang panjang dan menemukan dengan pasti tempat peristiwa pembunuhan berlangsung.

Lambannya proses dan hasil penyidikan membuat gerah para aktivis. Mereka banyak-banyak mengeluh soal kinerja polisi. Ujung-ujungnya muncul dugaan konspirasi, dugaan pejabat kebal hukum, suap, rekayasa, pengalihan isu, dan sebagainya. Muncul juga keluhan besar-besaran dari Aliansi Judi Mahasiswa Bawah Tanah (AJUM-BT) yang mulai hilang kesabaran memegang taruhannya. “Mas, lamban benar hasil penyidikan, ya. Padahal saya berdoa saya menang taruhan. Soalnya ibu kost sudah mulai mengedip dan pacar sudah keranjingan menu makanan spesial dan film bioskop terbaru…”



***

Pukul 14:13, beberapa hari yang lewat, sebelum Magdalena pergi selamanya…

“Hallo…”

Tut…tut…telepon diseberang ditutup. Tak ada jawaban.

“Hallo!” Magdalena melihat ponselnya. Nomor tak dikenal. Dia mencoba menghubungi balik. Tetapi nomor itu tak lagi diaktifkan. Magdalena tak mau menghabiskan waktu cukup lama untuk menerka siapa yang menelepon itu. Maklum, setelah demonstrasi pertama kali di gelar, Magdalena sudah dibanjiri teror via telepon.

Setelah pulang audiensi pertama itu, tubuh Magdalena sangat lelah. Dia rebahkan kelelahan itu di sofa apotek. Kepalanya sakit dan Magdalena perlu sedikit obat untuk meredakannya. Jam menunjukkan pukul 14: 00. Jam tiga dia harus sampai di rumahnya. Dia sudah kangen pada ibunya. Pelan Magdalena menatap ponselnya, dan tersenyum.

“Hallo, Lena.”
“Ma, gimana sehat?”
“Mama sehat. Kamu sehat, kan? Kapan pulang? Gimana demonstrasinya?”
“Duh, pertanyaannya banyak banget. Lena sehat, Ma. Mm..cuma kepala sakit dikit. Sekarang lagi beli obat di apotek. Sekarang Lena mau pulang ke rumah. Demonstrasi? Wah, masih kusut, Ma…”

“Ya, udah. Cepet ke rumah. Mama lagi masak sop buat kamu…”
“Papa ada, Ma?”
“Belum pulang, tuh.”
“Ya. Daag, Ma…Lena cinta Mama.”
“Mama juga. Mama kangen…”

Magdalena menutup telepon. Senyum merekah dibibirnya. Di luar jendela bis, tampak matahari merumuskan senja. Magdalena berkeringat. Di dalam bis orang berdesak-desakan. Penuh dan tak ada AC.

Setengah jam perjalanan naik bis menuju rumah. Magdalena turun di terminal dan ia butuh dua kilometer lagi berjalan kaki melewati kebun jagung dan pesawahan untuk sampai ke halaman rumahnya. Dia malas naik ojek. Jalannya yang dilewatinya jelek, berbatu-batu. Cuaca mendung dan, seperti sore kemarin, sepertinya hari ini akan turun hujan deras lagi. Magdalena harus segera sampai di rumah. Ia terus berjalan melewati jalur sungai yang cukup lebar, dan bila hujan turun hebat, sungai akan meluap seperti air yang luber di dalam gelas. Lalu, seperti menyentak suara petir. Seperti menghentak suara gelas Mama jatuh dilantai. Hujan turun deras dan Magdalena berlari. Ia gentar. Disebuah tikungan jalan setapak inilah, kecelakaan itu terjadi. Magdalena terpeleset di tanah basah. Tubuhnya bergulingan ke gigir sungai. Sebelum akhirnya jatuh di arus sungai, kepalanya membentur akar pohon yang besar. Akhirnya ia hanyut dan hanyut jauh terbawa arus sungai yang meluap, seperti air yang luber di dalam gelas…

Cipadung, Maret 2007.

*Koordinator Sastra Komunitas Mata Pena (KMP) Bandung. Kini, tengah menyelesaikan Studi di Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
Read more!

Barang Antik

Sepeda Tua Aku
Oleh Sukron Abdillah*


SETELAH keluar dari sekolah tingkat dasar (SD), saya melanjutkan ke sebuah Pesantren yang terletak di kota Garut. Jarak dari kampung saya sangat jauh. Maka untuk menghemat biaya saya tinggal di asrama. Pada tingkat pertama, saya agak sedikit betah dengan suasana di pesantren. Ya, banyak teman baru, ilmu baru, dan kamar tidur baru. Apalagi, ketika saya kelas lima SD, pernah kepincut dengan status Kyai.

“Asyik betul ya kalau saya terkenal dan dihormati. Setiap kali bertemu orang, pasti mereka akan terbungkuk-bungkuk menghormati. Terus, saya juga akan diberi pahala oleh Allah. Karena telah menyebarkan ajaran-Nya”. Begitulah alasannya mengapa saya mau melanjutkan pendidikan ke pesantren, tidak ke SMP Negeri. Meskipun pada saat itu nilai di izajah bisa dibilang paling besar diantara teman-teman.

Tak heran jika guru saya yang bernama pak Tatang dan teman-teman sekelas merasa heran. Apalagi pesantren pada saat itu identik dengan para lulusan yang tak berizajah, kolot, dan tradisional. Pokoknya, masa depan yang tidak menjanjikan. Tapi, alhamdulillah, ternyata pesantren saya itu disamping memberikan pelajaran agama, tidak melupakan pelajaran umum. Malahan, setiap santri akan memeroleh tanda kelulusan yang diakreditasi pemerintah. Asyik, juga kan ? Karena saya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Itulah pesantren yang menggodok jiwa dan raga saya hingga seperti sekarang ini. Minimalnya, saya bisa sedikit tahu tentang norma-aturan agama, jadi tidak tergesa-gesa memutuskan suatu perkara. Meskipun karena kelemahan pribadi, saya kerap kali terjebak dengan yang namanya mencaci-maki para pejabat negara.

Kisah ini adalah moment yang tepat untuk menelisik masa lalu saya yang asyik sekaligus menyenangkan. Tepatnya pada saat saya menginjak kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP), karena sering berbuat onar, saya ditarik ke kampung halaman. Tadinya saya merasa gembira karena tidak akan kembali lagi ke pesantren. Ya, akan lebih gembira lagi jika berhenti sekolah.

Namun, tidak demikian dengan ibu saya. Beliau sekuat tenaga setengah banting tulang menyuruh saya untuk terus melanjutkan sekolah di Pesantren Persatuan Islam (PPI) No. 19 Garut.

“Ya, pupus sudah harapanku”. Ujar saya sembari dipendam dalam hati.

Saya pun sedikit berdalih kepadanya: “Bu.., cape ah kalau harus pulang pergi ke pesantren”.

Coba saja bayangkan jarak kampung saya dengan jalan raya yang dilewati angkot saja sekitar 4,5 Km. Busyet! Bisa-bisa betis saya seperti Maradona. Padat-berisi bagaikan tukang becak!

Akhirnya saya mengalah dan sekolah pun mulai berjalan kembali. Selama beberapa hari, saya berangkat ke pesantren berjalan kaki. Karena jarak ke jalan raya jauh, berangkatnya juga sekitar pukul 05 pagi.

Wah, kebayang tidak sih! Kalau harus berjalan kaki saat udara dingin dan matahari belum bersinar? Tapi, asyik juga. Mengapa? Dengan berjalan kaki, saya bisa berlari kencang ketika mengejar bola dilapangan Cimacan pada turnamen sepak bola antar kelas. Bahkan, saya bisa mengenal kawan-kawan dari kampung lain yang sama-sama berjalan kaki. Enak punya teman baru.

Kalau dibandingkan ketika saya di asrama dulu. Karena saya jarang pulang, maka teman yang dikenal juga hanya teman-teman sekelas waktu di SD saja. Atau paling banter teman sekelas dan sekamar di pesantren.

Lama kelamaan, saya juga bosan kalau harus berjalan. Karena semenjak saya didugdag (pulang-pergi) ke pesantren, sering kali masuk terlambat dan absen. Tak disangka-sangka saya pun dibelikan sepeda baru oleh ibu. Sepeda yang harganya sekitar Rp 300 ribu pada tahun 1996 itu dibeli kakak pertama saya dari kenalannya di Bandung .

Kalau saya harus memakai sepeda ke pesantren yang jaraknya puluhan kilo meter, pasti berbahaya. Maka, trik menghemat tenaga saya aplikasikan. Caranya, pada pukul setengah enam pagi saya berangkat dari rumah membonceng teman paling setia, namanya Sutisna. Kebetulan, sejak berumur tujuh tahun ia sering mondok moe (menginap) di rumah saya. Sesampainya di jalan raya, saya pun tidak lagi ketinggalan angkutan umum yang pada waktu itu langkanya minta ampun.

Teman saya Sutisna pun kembali ke kampung sembari membawa sepeda. Oh iya.., dia tidak melanjutkan sekolahnya. Entah apa alasannya, saya juga tidak tahu dan tidak pernah menanyakannya sampai sekarang. Yang jelas tanpa kehadiran dia, sekarang saya tidak akan menjadi seperti saat ini. Tidak akan bisa menulis. Tidak akan bisa mengeksplorasi ide-gagasan. Dan pasti dong tidak akan suka membaca buku. Boleh jadi sekarang ini saya sedang menggembalakan kerbau atau kambing. Hehehe

Apalagi ketika semangat belajar saya di pesantren turun karena kecapean berjalan sekitar 4,5 Km. Sepeda baru dan dirinya adalah penghantar meraih cita-cita. Cita-cita menjadi seorang Kyai? Bukan. Bukan itu. Tetapi cita-cita untuk menjadi manusia yang berguna bagi bangsa, negara dan agama.

Kurang lebih selama enam bulan saya bersepeda ria berangkat menuntut ilmu ke pesantren. Setelah itu, saya pun kembali lagi ke asrama karena keliaran hidup saya sudah mulai melunak. Kembali lagi ke asrama adalah alasan tepat dari ibu saya sehingga saya bisa lebih tenang mempelajari ilmu yang disajikan. Bisa menghafal hadits, al-quran, dan pelajaran-pelajaran yang lainnya.

Sekarang sebelas tahun berlalu, sepeda itu pun seakan tidak baru lagi. Bongkahan besinya terhempas di gudang belakang rumah saya. Namun, tidak akan pernah dijual. Mudah-mudahan besi tua ini mengingatkan saya akan pengorbanan seorang teman, ibu, dan guru ngaji (ustadz) di pesantren.

Tanpa menaiki gunung, ternyata kita tidak akan pernah sampai ke puncak. Kita hanya bisa melongo terjebak pada keindahan khayalan puncak gunung tersebut. Tanpa belajar di sekolah kehidupan, kita tidak akan menjadi manusia arif dan bijaksana. Wallahu’alam

*Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM) Bandung. Kini, tinggal di Garut.
Read more!

TOR Advance

Term of Reference (TOR)
Advance Training (AT) & Training of Trainer (TOT)

"Jaringan Islam Kampus" (JARIK)
4 Peper

I. LATAR BELAKANG
Kebebasan beragama (religius freedom) sesungguhnya telah dijamin sebagai bagian dari hak-hak sipil warga (civil rights) yang wajib dilindungi oleh negara. Hanya saja, kenyataan menunjukan bahwa masih sering terjadi pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tidak jarang negara sendiri justru yang melakukan pelanggaran tersebut. Karenannya, prinsip kebebasan beragama di Indonesia merupakan masalah bersama yang masih harus diperjuangkan secara terus-menerus oleh semua pihak, baik dari segi penajaman gagasan dan konsep maupun intensifikasi dalam wilayah advokasi legal dan perundang-undangan.


Selain itu, faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan dalam perjuangan menegakan prinsip kebebasan beragama ini adalah pendidikan kritis masyarakat. Sebab, pada akhirnya, subjek utama dalam gerak perjuangan ini adalah masyarakat itu sendiri.

Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya tidak berangkat dari nol saman sekali. Sebab, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan beragama di negeri ini sudah cukup kuat. Jaminan dimaksud yaitu:

Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1) "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;" 2) "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;" 2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."

Kedua, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;" 2) "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi: "Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah."

Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan meratifikasi ICCPR tersebut, Indonesia berarti terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum
dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak [negara yang terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut] (Pasal 27).

Sungguhpun demikian, keberadaan jaminan atas prinsip kebebasan beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini masih belum terimplementasi dengan baik dalam pratiknya. Bahkan, yang paling menggelikan, masih terdapat kontradiksi hukum atau undang-undang antara satu dengan lainnya ihwal masalah kebebasan beragama. Artinya,
masih ada beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang pada dasarnya mengancam prinsip kebebasan beragama. Di antaranya adalah:

Pertama, Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dalam SKB ini, khususnya Pasal 4, yang tidak lain adalah pengulangan dari SK Menag No. 77 tahun 1978, terdapat indikasi tindak diskriminasi yang sangat menguntungkan kelompok agama mayoritas (baca: Islam).

Kedua, UU No. 1/PNPS/1965 yang menyebutkan (Pasal 1) bahwa di Indonesia ada 6 agama yang hidup, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Meskipun demikian, dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.012/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Karenanya, Konghucu secara jelas telah diekslusi sebagai agama yang eksistensinya diakui pemerintah. Hal ini berakibat pada tidak diakuinya hak-hak sipil para pemeluk agama Konghucu di Indonesia. Misalnya saja, Kantor Catatan
Sipil tidak mau mencatat perkawinan orang-orang yang beragama Konghucu. Selain itu, anak-anak mereka tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah-sekolah. Mereka juga tidak diizinkan merayakan hari-hari keagamaannya.

Memang, hak-hak sipil pemeluk agama Konghucu dipulihkan kembali pada masa pemerintahan KH. Abdurahman Wahid dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut. Namun demikian, bukan berarti masalah hak-hak sipil keagamaan sudah selesai. Sebab, masih terdapat kelompok-kelompok lain, yakni para pengayat atau penganut aliran kepercayaan dan agama-agama lokal, yang belum mendapatkan hak-hak sipil keagamaanya sebagai warga negara. Karenannya, mereka yang dianggap sebagai bukan "agama resmi" tersebut telah mendapatkan diskriminasi yang sangat tajam. Selain masih bercokonya undang-undang atau peraturan yang sangat diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip Hak-hak Asasi Manusia tersebut, pada praktiknya negara tidak bisa menjamin tegaknya prinsip kebebasan beragama. Beberapa kasus terakir terkait dengan pelanggaran prinsip kebebasan beragama seperti kasus Lia "Eden", kasus Ahmadiyyah, kasus Salat dua bahasa, dan masih banyak lagi, menunjukan bahwa implementasi kebebasan beragama di Indonesia bagaikan mimpi di siang bolong yang masih sulit diwujudkan.

Oleh karena itu, pengembangan dan penguatan jaringan masyarakat yang mampu melakukan advokasi kebebasan beragama tersebut mutlak sangat dibutuhkan. Dengan latar belakang tersebut, Lembaga Studi Agama (LSAF) bermaksud menyelenggarakan "PELATIHAN NASIONAL ADVOKASI KEBEBASAN BERAGAMA" dalam kerangka Advance Training (AT) Jaringan Islam Kampus (Jarik) dan Training of Trainer (TOT). Dalam Jarik yang difasilitasi
oleh LSAF ini, AT dan TOT ini merupakan jenjang pelatihan tingkat lanjutan setelah basic training (BT) yang menekankan penyadaran peserta atas konsep dan prinsip kebebasan beragama serta intermediate training (IT) yang menekankan penajaman kemampuan peserta dalam analisis sosial atas masalah kebebasan beragama di Indonesia.

II. TENTANG JARINGAN ISLAM KAMPUS

Penegakan prinsip kebebasan beragama di Indonesia adalah rasison deetre kelahiran Jaringan Islam Kampus (Jarik). Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh Jarik, baik pelatihan, diskusi publik maupun penerbitan buletin, kebebasan beragama tidak pernah absen sebagai
pokok bahasan yang hendak disampaikan kepada publik Indonesia. Sungguhpun demikian, Jarik sendiri sebenarnya belum memiliki konsep gerakan, advokasi, dan sistem pengkaderan yang terrumuskan secara sistematis. Padahal, hal ini merupakan pijakan awal yang signifikan
dan tidak bisa ditawar-tawar lagi guna mengukur keberhasilan pencapaian target dalam perjuangan menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia.

Dalam bidang advokasi kebebasan beragama, Jarik sejauh ini baru bisa melakukan diskusi-diskusi publik tentang kebebasan beragama yang melibatkan para mahasiswa, dosen, aktivis LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat di masing-masing daerah seperti Jakarta, Bandung, Garut, Yogyakarta, Medan, Makassar dan Mataram. Kalaupun ada, kegiatan-kegiatan lain, semisal penerbitan buletin, debat kandidat kepala daerah dan penulisan di media massa, masih dilakukan secara sporadis dan belum terrencana dengan baik.

Dalam bidang pengembangan jaringan dan pengkaderan, Jarik sudah berhasil membangun komunitas epistemik melalui dua kali basic training di Jakarta, Bandung, Garut, Yogyakarta, Medan, Makassar dan Mataram sepanjang tahun 2006-2007. Di kota-kota tersebut, setidak-tidaknya terdapat 350 orang kader Jarik yang siap dan berkomitmen untuk memperjuangkan penegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia.

Selain itu, di antara 350 orang kader Jarik tersebut, sudah muncul 30 orang kader inti Jarik yang sudah dibekali dengan kemampuan analisis sosial yang cukup memadai dalam kegiatan intermediate training Jarik beberapa waktu lalu. Hanya saja, ketergantungan Jarik sendiri kepada Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) yang membidaninya, baik secara finansial maupun konseptual, tidak terelakan.

Dari latar belakang tersebut, terdapat dua hal yang sangat diperlukan dan mendesak dilakukan. Pertama, Advance Training (AT) Jarik yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan serta kemampuan kader-kader Jarik dalam bidang advokasi kebebasan beragama di Indonesia. Dan Kedua, Training of Trainer (TOT) Jarik yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan serta kemampuan kader-kader Jarik dalam bidang pengkaderan.


III. MAKSUD DAN TUJUAN

Secara umum, kegiatan Advance Training (AT) & Training of Trainer (TOT) ini dimaksudkan sebagai wahana untuk merumuskan konsep advokasi dan konsep gerakan Jaringan Islam Kampus (Jarik) dalam memperjuangkan prinsip kebebasan beragama dan penegakan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia. Secara khusus, kegiatan AT & TOT ini bertujuan:

1.Menumbuhkan pemahaman para peserta tentang konsep advokasi kebebasan beragama dan upaya penegakan hak-hak sipil keagamaan.

2.Menumbuhkan pemahaman para peserta tentang tantangan dan prospek kebebasan beragama sebagai hak-hak sipil di Indonesia.

3.Menumbuhkan pemahaman para peserta tentang posisi penting Jaringan Islam Kampus dalam memperjuangkan prinsip kebebasan beragama sebagai hak-hak sipil di Indonesia.

4.Meningkatkan pemahaman para peserta tentang konsep gerakan, pengembangan jaringan dan sistem pengkaderan Jaringan Islam Kampus.

IV. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari kegiatan AT & TOT ini adalah:

1.Tumbuhnya pemahaman para peserta tentang konsep advokasi kebebasan beragama dan upaya penegakan hak-hak sipil keagamaan.

2.Tumbuhnya pemahaman para peserta tentang tantangan dan prospek kebebasan beragama sebagai hak-hak sipil di Indonesia.

3.Tumbuhnya pemahaman para peserta tentang posisi penting Jaringan Islam Kampus dalam memperjuangkan prinsip kebebasan beragama sebagai hak-hak sipil di Indonesia.

4.Meningkatnya pemahaman para peserta tentang konsep gerakan, pengembangan jaringan dan sistem pengkaderan Jaringan Islam Kampus.

V. ORGANISASI PELAKSANA

Kegiatan AT & TOT ini diseleggarakan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta. Adapun susunan organisasi pelaksana kegiatan AT & TOT ini sebagai berikut:

Penanggung Jawab: Asep Gunawan (Direktur Eksekutif LSAF)

Steering Committe (SC)
Ketua : Iqbal Hasanuddin (LSAF)
Anggota : Ariful Mursyidi (LSAF)
: Tantowi (LSAF)
: Muhamad Ja'far (LSAF)
: Rifah Zainani [ex.off]

Organizing Committe (OC)
Ketua : Rifah Zainani (LSAF)
Anggota : Komala Dewi (LSAF)
: Anisa Putri (LSAF)
: Lukman (LSAF)
: Julal (LSAF)

VI. PESERTA

Peserta kegiatan AT & TOT ini adalah kader-kader Jaringan Islam Kampus (Jarik) dari Jakarta, Bandung, Garut, Yogyakarta, Semarang, Makassar, Balikpapan, Mataram dan Medan. Peserta berjumlah 25 orang yang diseleksi dari kader-kader Jarik yang sudah mengikuti intermediate
training. Para kader Jarik yang sudah mengikuti intermediate training tersebut adalah sebagai berikut:

• Proporsi Peserta dari Tiap Daerah

NO DAERAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 Jakarta 3 2 5
2 Bandung 3 3 6
3 Garut 1 1 2
4 Yogyakarta 2 4 6
5 Semarang 1 - 1
6 Balikpapan 1 - 1
7 Makassar 2 1 3
8 Mataram 2 - 2
9 Medan 2 2 4
TOTAL 17 13 30

Syarat-syarat:
•Membuat empat buah karya tulis (minimal 20.000 karakter) dengan topik (yang bisa dikembangkan menjadi berbagai judul tulisan sesuai dengan latar belakang dan minat masing-masing) sebagai berikut:
o "HAM dan ICCPR: Sejarah, Konsep dan Implementasinya di Indonesia"
o "Agama, Negara dan Penegakan Hak-hak Sipil Keagamaan di Indonesia"
o "Analisis Sosial Konflik Etno-Religius di Indonesia" (Studi Kasus di Daerah Masing-masing).
o "Tantangan dan Prospek Kebebasan Beragama di Indonesia" (Studi Kasus
di Daerah Masing-masing).

•Karya Tulis tersebut harus sudah diterima panitia selambat-lambatnya
pada Selasa,30 Juli 2007.

VII. NARASUMBER DAN FASILITATOR

Narasumber dan fasilitator dalam kegiatan AT & TOT ini adalah para
pemikir dan aktivis yang konsen dalam perjuangan rinsip-prinsip
kebebasan beragama dan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia. Mereka
adalah:
1.Ahmad Suaedi (Narasumber)
2............................ (Narasumber)
3............................ (Narasumber)
4............................ (Narasumber)
5............................ (Narasumber)
6............................ (Narasumber)
7............................ (Narasumber)
8.Franz Magnis-Suseno (Narasumber)
9.Ismatu Rofi (Narasumber)
10.Masdum (Narasumber)
11.Mutia Ghani Rachman (Narasumber)
12.Saiful Mujani (Narasumber)
13.Todung Mulya Lubis (Narasumber)
14.Yanti Muchtar (Fasilitator)

VIII. MATERI

Materi AT ini sebagai berikut:

1.Hak-hak Asasi Manusia (HAM)
2.International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3.Agama-agama dan Regulasi Negara di Indonesia
4.Pembuatan Naskah Akademik dan Legal Drafting
5.Community Organizing dalam Situasi Konflik dan Paska-Konflik
6.Monitoring Kebebasan Beragama di Indonesia

Adapun materi TOT sebagai berikut:

1.Konsep, Metode dan Teknik Training Jaringan Islam Kampus
2.Pembahasan Modul Basic Training Jaringan Islam Kampus
3.Simulasi Training

IX. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN

Kegiatan AT & TOT ini dilaksanakan selama tujuh hari, yakni pada
Jumat-Kamis, 23-29 Agustus 2007 di Puncak, Jawa Barat (Jadwal Terlampir).

(Informasi lengkapnya akan kami sampaikan kemudian).
Terima Kasih.

2 Peper

Sehubungan dengan munculnya banyak keberatan kawan-kawan atas
prasyaratan 4 paper untuk advance dan TOT, maka panitian AT & TOT
akhirnya membuat perubahahan: pilih saja 2 paper untuk ditulis dari 4
pilihan yang ada.

Selain itu, ada kemungkinan kegiatan AT & TOT tersebut dimajukan
menjadi awal agustus.

Demikian informasi terbaru seputar AT & TOT. Saran dan kritik kawan-
kawan kami tunggu

Terima Kasih.
Read more!

KTP Tidak

Saturday, July 14, 2007

Kolom Agama dalam KTP
Oleh Rumadi*


Sekelompok aktivis yang tergabung dalam National Integration Movement (NIM), beberapa waktu lalu membuat pernyataan tentang perlunya menghapus kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP). Alasan mereka, itu dapat menimbulkan praktik diskriminasi dan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Kolom agama dalam KTP bisa mengakibatkan orang terdiskriminasi dalam pekerjaan. Meski demikian, toh dalam UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang disahkan akhir Desember lalu, kolom agama dalam KTP masih tetap ada.

Bagi kelompok yang pro, kolom agama dalam KTP perlu karena Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menurut mereka, agama mempunyai posisi penting.

Di sisi lain, untuk keperluan administrasi kependudukan, identitas agama perlu tetap ditegaskan dalam KTP. Sehingga kalau seseorang terkena musibah (meninggal) dan tidak ada orang yang kenal, agamanya bisa segera diketahui. Ini terkait ritual agama apa yang perlu dilakukan untuk mengubur jenazah orang itu. Selebihnya, identitas agama sebenarnya bukan hanya tercantum dalam KTP, tapi hampir dalam semua administrasi kependudukan.

Kelompok lain beralasan, kolom agama mendiskriminasi warga negara karena hanya terdiri atas Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Katolik, dan (belakangan) Konghucu. Padahal tidak sedikit masyarakat yang menganut kepercayaan lokal, menganut Sikh atau Sinto.

Diskriminasi itu membawa dampak ikutan menyangkut pelayanan publik sebagai hak sipil warga negara, seperti pencatatan perkawinan, pengurusan paspor, akta kelahiran, dan sebagainya. Lalu, dalam suasana konflik bernuasa agama, KTP sering dijadikan alat untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang menjadi out groups. Karena itu, penghapusan kolom agama bisa dipandang sebagai upaya menghilangkan dampak konflik agama.

Argumen masing-masing kelompok itu tentu masih bisa diperdebatkan lebih jauh. Pertanyaannya, apa manfaat kolom agama dan apa madharat-nya jika KTP tanpa kolom tersebut? Kolom agama seolah membawa manfaat ketika administrasi kependudukan kita masih amburadul. Kalau administrasi kependudukan Indonesia sudah bagus -- sehingga identitas orang bisa diketahui melalui jaringan yang tertata rapi -- kolom agama pasti tidak banyak manfaat.

Hal yang prinsip: KTP tidak boleh dijadikan sarana melakukan diksriminasi, terutama dalam pelayanan publik. Semua warga negara -- terlepas apa pun agama dan keyakinan mereka -- harus mendapat pelayanan yang sama.

Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi, antara lain melalui UU Nomor 29 tahun 1999. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah terus melakukan diskriminasi, apalagi melalui KTP.[Sumber The Wahid Institute]

*Penulis adalah Peneliti The Wahid Institute
Read more!

Ol Bareng Yu....!!!

Maaf Untuk Ibn dkk (Tentang Chatting Perkembangan JarIK)
Pesan Eko Marhaendy

Salam,...
Melalui milis ini saya ingin menyampaikan maaf kepada sdr Ibn Ghifarie dan beberapa teman-teman lain yang sudah kadung membuat janji untuk online bareng via chating membicarakan JarIK di daerah,...maaf Ibn, kemarin saya sudah punya jadwal untuk mengunjungi lokasi PPL/ KKN mahasiswa IAIN Sumut, saya berani penuhi undangan kamu karena saya fikir disana Internet mudah, ternyata saya kesulitan untuk mencari warnet, jadi sekali lagi saya mohon maaf.

Tapi apa yang telah dilakukan ibn dan teman-teman lain saya fikir cukup positif untuk dilestarikan (Chating untuk cerita soal JarIK), dan saya berharap diwaktu yang akan datang kegiatan semaacm ini diadakan lagi,...saya tunggu lho!

Soal ngobrol bareng via chat kemarin tak banyak yang kami bicarakan. Hanya, sebatas sey hai saja. Pasalnya, kali pertama kita bisa Online dengan para pengurus JarIk daerah masih-masih.

Semula tiap daerah sudah bersedia untuk membincang sekira JariK dengan tek-tek bengeknya. Mulai dari pengurus JarIK Mataram, Jhellie; Medan, Eko; Jogyakarta, Ridho; Jakarta, Miftah sampai Bandung Oval, Che dan saya sendiri.

Saat tiba waktunya yang telah ditentukan. Tak banyak yang bisa bertegur sapa kecuali perwakilan Kota Gudeg dan Kembang saja. Meski hanya beberapa jam.

Jakarta tak bisa Ol berhubung mendapatkan giliran pemadaman listrik pesan singkatnya. Mataram hanya sebentar. Entah kemana lagi. 'Nu dah OL nich' tulisnya. Setelah itu tak nongol-nongol lagi.

Yang lebih mengherankan lagi Sumut tak ada kabarnya. Hingga pesan ini hadir. Saya kira Eko tak perlu memohon maaf. Malahan kami atas nama JarIK bandung harus mengucapkan kata maaf itu, karena sudah merepotkan kawan-kawan JarIK dimana pun berada. Padahal kami yakin setiap daerah mempunyai segudang kegiatan.

Nah, temen-teman ada sedikit cerita lucu bercampur kesa juga. Bagaimana tidak. Saat komunikasi bareng dengan kordinator Kota Pelajar tiba-tiba warnet yang kami gunakan mendadak mati lampu. Konon Bandung Timur mendapatkan giliran pemadaman. Walapun hanya sebentar.

Tak ayal, pesan singkat via sms pula menjadi solusi komunikasi. Kenapa anak-anak Bandung OF langsung?

Berkenaan dengan keterputusan informasi tiap daerah. Gimana kalau kegiatan OL bareng ini kita adakan tiap sebulan sekali atau dua minggu sekali supata mengetahui kondisi daerah masing-masing dan bisa bertukar cerita. Kira-kira menurut sahabat-sahabat gimana? Bolehkan!!

Semoga ikhtiar ini dapat mempererat temali persaudaan diantara kita.Amien.

Ibn Ghifarie Tea
Read more!

RMS

Tuesday, July 10, 2007

RMS; Merajut Benang Raja
Oleh Sayyid Madany Syani

“Maluku mengerti tentang pengkhianatan! Maluku mengerti tentang Kedudukan dan harta yang menyesatkan! Maluku mengerti tentang kepentingan pribadi! Maluku menyadari tentang arti sebuah penderitaan dan kesengsaraan! Dan dari semuanya itulah Maluku belajar.” (Sabili NO. 22 TH. XI 21 Mei 2004/ 1 RABIUL AKHIR 1425)

Awal kalimat diatas adalah petikan pidato HUT Republik Maluku Selatan ke-54 yang ditulis Alexander Manuputty di California, USA tahun 2004 yang lalu. Alex Manuputty adalah Sekjen FKM (Front Kedaulatan Maluku) yang berhasil kabur ke luar negeri, padahal sebelum ia kabur ia sempat ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Pada tanggal 29 Juni 2007, FKM/RMS membuat ulah di depan muka presiden RI atau RI-1. Panglima TNI Marsekal Djoko Soeyanto menilai, tarian Cakalele yang diakhiri dengan percobaan pembentangan bendera Benang Raja RMS ini cukup untuk membuktikan bahwa masih eksisnya gerakan separatis RMS. Sebenarnya, gerakan ini tidak pernah mati. Jika kita menyimak peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputaran Maluku pada era 1998-sekarang, maka kita dapat menyimpulkannya sendiri bahwa sejak lama RMS itu berdiri kokoh di Jazirah Al-Muluk. Hanya saja, entah kenapa kita selalu tidak mau tahu dengan urusan yang kita sendiri tidak terlibat di dalamnya.

Membicarakan Maluku tidak akan pernah lepas dari peristiwa pilu pada Idul Fitri tahun 1999. Ketika itu, ratusan Acang (sebutan bagi Muslim Maluku) meregang nyawa ditebas atau tertusuk panah Wire Obet (sebutan bagi orang Kristen Maluku). Mirisnya, peristiwa itu terjadi pada hari raya yang amat gegap gempita dirayakan oleh setiap warga muslim di lain pulau selain gugusan Maluku. Namun, berbeda keadaannya dengan muslim Maluku ketika itu yang harus bertarung mempertahankan akidah dengan darah. Saya jadi ingat puisinya Iwan Simatupang: malam lebaran/ bulan diatas kuburan.

Tidak tinggal diam, sebagian muslim di berbagai pulau di Indonesia bereaksi dan mengumandangkan Jihad. Salah satunya adalah Lasykar Jihad Ahlu Sunnah Wal Jamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang mengirimkan para lasykarnya untuk membela akidah Muslim yang terinjak-injak. Aparat masih adem-ayem dalam menghadapi kerusuhan. Bahkan cenderung memihak salah satu kubu. Alih-alih Ja’far diberikan medali penghormatan, malah dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh memprovokasi massa untuk berbuat rusuh di Maluku.

Hal ini menjadi lain jika yang terancam keselamatannya adalah Presiden Republik Indonesia. Maka, seluruh pihak yang menamakan dirinya aparat pun pada kebakaran jenggot, merasa kehilangan muka di depan presiden—merasa kecolongan dengan peristiwa pembentangan bendera Benang Raja.

Media-isnet.org pernah merilis bahwa kerusuhan Maluku dalam rentang waktu 1999-2001 didalangi oleh separatis RMS yang berada di luar negeri (khususnya Belanda) maupun di Maluku sendiri (khususnya di daerah Aboru). Sudah menjadi rahasia umum, Aboru adalah tempat bagi para pengikut setia RMS. Paling tidak, menjadi simpatisan RMS. FKM/RMS sebagai organisasi perlawanan melakukan pengkaderan secara tersistematis hingga kini. Lalu mengapa RMS mengobarkan api kerusuhan dengan menumbalkan warga muslim Maluku?

Masih di media-isnet.org, menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara kepanjangan dari RMS bukanlah Republik Maluku Selatan seperti sekarang, tetapi Republik Maluku Serani. Serani adalah sebutan bagi pemeluk Nasrani. Apakah RMS merupakan persiapan untuk mendirikan negara berdasarkan ajaran Kristus di bumi Al-Muluk? Jika ya, maka saya tidak habis pikir mengapa diperjuangkan dengan kekerasan dan darah. Apalagi tidak menganggap Muslim Maluku sebagai manusia yang punya hak juga atas tanah Maluku. Ajaran Kristus adalah ajaran cinta damai, ajaran berkasih sayang. Dan saya pikir salah jika direpresentasikan dengan pedang, ujung tombak atau panah wire. Jika dirunut sejarah, maka Nasrani bukanlah agama pertama yang masuk ke Maluku. Islam lebih dahulu masuk dan menyebarkan ajarannya sehingga Ibnu Battutah menjuluki Maluku dengan sebutan Jazirah Al-Muluk.

Namun, jika kita melihat tingkah laku pemerintah Indonesia dari dahulu sampai sekarang, maka pantas saja ada gerakan separatis di daerah-daerah seperti di Maluku, Papua Barat dan Aceh. Khusus Aceh, memang sudah kondusif. GAM maupun RI telah bersepakat membangun Aceh bersama-sama. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, semua itu karena Tsunami yang menerjang Aceh. Jika Tsunami tidak terjadi, maka mungkin saja kan GAM masih angkat senjata?

FKM/RMS menganggap pemerintah Indonesia sebagai bentuk dari new colonialism. Memaksakan kehendaknya (Jawa) kepada Maluku. Melakukan penyedotan secara sporadis terhadap hasil alam Maluku, sehingga banyak warga Maluku yang dililit kemiskinan. Pada paragraf terakhir pidato HUT RMS yang ke-54, (seperti yang dimuat pada majalah Sabili NO. 22 TH. XI 21 Mei 2004/ 1 RABIUL AKHIR 1425) Alex Manuputty menulis begini:
“Adakah hadiah-hadiah ini sebanding dengan kekayaan yang sudah Maluku berikan buat Indonesia? Adakah kebaikan yang telah Indonesia berikan bagi Maluku yang sudah berkorban bagi Indonesia selama ini? Ataukah bahwa kebaikan yang diberikan hanyalah kepada anjing-anjing kurap penjilat pantat Jawa? Hanyalah kepada anjing-anjing kurap pengkhianat bangsa Maluku yang menjual kesulungan bangsa Maluku.”

Tentu pendapat Sekjen FKM/RMS ini tidak jauh beda dengan pendapat Seth Jafet Rumkorem sebagai pimpinan dari OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pada situs KABARPAPUA ONLINE, pemimpin OPM ini mengatakan bahwa: “Kepada generasih penerus Bangsa Papua Barat bahwa saya menghimbau jangan pernah mundur namun maju terus dan gunakan seluruh ilmu dan talentamu untuk berjuang demi Bangsamu, Tanahmu dan Rakyatmu.”

Himbauan ini merupakan bagian dari seruan kemerdekaan dalam menyambut HUT kemerdekaan Papua Barat yang jatuh pada 1 Juli 2007. Masih pada situs KABARPAPUA ONLINE, seorang yang bernama Makimee menulis: “Apakah kita harus diam. Apa kita harus serahkan tanah kita dan harga diri kita secara gratis kepada Indonesia kolonialis? Tidak! Kita tentu tidak akan pernah dan mau menyerahkan tanah dan harga diri kita secara gratis. Kita tidak akan pernah mau tunduk pada penguasa yang menginjak-injak harga diri kita sebagai manusia dan bangsa.”

Lalu, Makimee ini mengutip tulisan yang ditulis oleh seseorang bernama Oridek Ap. Diketahui Oridek Ap adalah anak dari budayawan dan antropolog Melanesia Arnold C. Ap, pemimpin dari kelompok musik-tari tradisional yang bernama Mambesak. Menurut Oridek, ayahnya dibunuh oleh alat-alat pemerintah Indonesia, sehingga ia harus menulis begini: “Dengan Proklamasi itu (1 Juli 1971) kita nyatakan bahwa, kami tidak akan ikut perjuangan yang diatur oleh negara-negara kolonis (seperti Belanda atur-atur kami di tahun limapuluan dan enampuluan) sampai bisa membawa kekalahan di tahun 1969 itu. Lewat Proklamasi kami kasih tunjuk bahwa perjuangan kita buat capai West Papua Merdeka 100%. Tergantung dari kita bangsa West Papua sendiri. Kalau bapa-bapa Proklamasi (generasi tua) tidak mau dan bersengaja buat lupa tanggun jawab Proklamasi, kita anak anak Proklamasi (generasi muda) harus bertindak sendiri dan membelah Perjuangan Proklamasi, untuk capai West Papua MERDEKA 100%, diluar semua penjaja-penjaja.”

Menurut Makimee, di akhir tulisan Oridek mengatakan: “Jangan kita biarkan diri untuk dapat tipu lagi, seperti dulu Belanda tipu kami dengan janji-janjinya, yang dia tidak lunasi sampai hari ini. Belanda dulu kasih bangsa West Papua bendera 'Fajar—Bintang Kejora--' dan lagu bangsa 'Hai tanah ku Papua' juga bukan dengan maksud untuk lepaskan kami buat berdiri dan bernegara sendiri, sama sekali tidak. Indonesia itu sesatu negara yang sedang 'developing' dan ada banyak utang-utang sama negara-negara kapital, sebab Indonesia sendiri ingin jadi negara kapital. Sama saja seperti negara-negara kapital yang lain, Indonesia tidak akan terima pica belahan di dalam 'kesatuan' R.I. (Gus Dur sendiri sudah bilang) dan dia akan pakai semua cara-cara 'demokrasi', dengan maksud buat menjauhkan (kalau bisa matikan) gerakan-gerakan yang bersifat untuk bernegara sendiri. Kalau kita mau menang dan bernegara sendiri kita harus lihat kembali ke akar-akar perjuangan bangsa kita, pertanhankan 1 juli 1971 sebagai hari lahir Republik West Papua dan anggaran-anggarannya kita harus tahan sebagai anggaran-anggaran negeri kita. Sampai disini saja dulu, dan kalau saudara/ saudari rasa pendapat saya tidak betul atau tidak logis, kita bisa diskusi terus, terima kasi banyak buat saudara/ suadari punya waktu baca.”

Tentunya, setelah peristiwa di acara Harganas Ambon maupun masih antusiasnya para pengikut OPM atau RMS dalam menyuarakan kemerdekaannya, pemerintah Indonesia harus introspeksi diri, sampai sejauh manakah program otonomi daerah berjalan. Nasib rakyat di daerah, itu lebih penting daripada dana pemerintah dialokasikan kepada dana operasional pemerintah yang tidak karu-karuan. Apalagi, jika aparat pemerintah hanya sibuk dengan garis politiknya masing-masing. Bukan saja rakyat di Maluku dan di Papua yang kesal, tetapi seluruh rakyat Indonesia muak melihat dagelan pemerintah seperti itu. Uang rakyat habis percuma, tapi hasil nihil. Dan akibatnya, satu demi satu, wilayah Indonesia pun tergadaikan. Semoga tidak!

*Penulis merupakan anggota Labor Penulisan Kreatif Fak. Sastra Unand. Padang
Read more!

Belajar Yu....!!

Dua Orang Bijak Dari Makassar Abad Ke-17:
Karaeng Matoaya Dan Karaeng Pattingaloang

Oleh Iqbal Hasanuddin

Pengantar
Penampakan modernitas di wilayah Nusantara telah berlangsung pada masa-masa Abad ke-15 sampai ke-17. Berbagai peristiwa sosial dan politik yang terjadi ketika itu mendatangkan tantangan sekaligus harapan menuju masa depan yang lebih baik. Respon yang dimunculkan
terhadap penampakan modernitas ini tentunya akan sangat berpengaruh pada pola perubahan yang akan terjadi di masa-masa mendatang.

Oleh karena itu, adalah pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia saat ini yang tengah dilanda kegalauan dalam menapaki zaman modern untuk kembali menengok bagaimana orang-orang di masa lalu memberikan respon terhadap modernitas pada masa awal-awal penampakannya di wilayah Nusantara.

Sejarah mencatat bahwa dalam rangka merespon serangan monopolistik yang dilancarkan Belanda terhadap sistem perdagangan di Asia Tenggara, para pemimpin politik di wilayah Nusantara mengambil langkah-langkah mundur secara ekonomi dan politik serta defensif
secara sosial dan budaya. Dalam hal ini, Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Sultan Iskandar Muda dari Aceh (1607-1637) dan Sultan Abdul Fatah dari Banten (1651-1683) merupakan contoh yang cukup mencolok. Tiga orang pemimpin ini memberlakukan kebijakan yang tidak toleran terhadap para warganya yang berinisiatif untuk melakukan kontak dagang dan perniagaan dengan pihak asing. Mereka berupaya sekuat mungkin untuk menciptakan kondisi di mana hanya mereka dan pihak istananya saja yang bisa melakukan tawar-menawar dagang dengan pihak asing. Mereka menumpuk kekayaan yang luar biasa banyak dan membangun pasukan bersenjata yang lebih kuat dari sebelumnya demi kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri.

Sementara ditilik dari sisi personalitas politik, tiga tokoh pemimpin Nusantara ini juga bisa disebut sangat mengecewakan. Misalnya, orang-orang di sekeliling Sultan Iskandar Muda senantiasa dicekam oleh rasa takut akan ancaman hukuman mati dan penyiksaan.
Siapapun yang gagal memenuhi kehendak sang Sultan, maka ia diberikan hukuman dera yang mengerikan. Begitu juga dengan Sultan Agung. Ia sering digambarkan sebagai "raja yang tak kenal belas kasihan dan brutal." Dia membawa kehancuran dahsyat di semua daerah yang
ditaklukannya, khususnya kota-kota pesisir utara Jawa yang pernah berjaya di masa-masa sebelumnya. Bahkan, dalam rangka politik isolasi dari pengaruh ekonomi dan politik bangsa-bangsa Barat (Eropa), Sultan Agung tega menghancurkan kapal-kapal niaga orang-
orang Jawa yang berakibat pada hancurnya semangat niaga dan maritim Nusantara yang dulu pernah begitu dikenal. Paga gilirannya, sikap dan praktik seperti ini bukannya membebaskan Nusantara dari cengkraman bangsa-bangsa Eropa, melainkan memperlemah kekuatan
sendiri serta melapangkan kekuatan musuh untuk kemudian bercokol berabad-abad lamanya di Tanah Air.

Namun demikian, di tengah arus respon yang sangat menyedihkan dari para pemimpin bangsa ini terhadap tantangan modernitas tersebut, terdapat pengecualian yang cukup menakjubkan dalam diri dua orang bijak dari Makassar: Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingaloang.
Selain mampu mencipatakan semangat keterbukaan sekaligus stabilitas politik dan kesejahteraan ekonomi di sekitar wilayah Sulawesi Selatan, dua orang pemimpin Makassar ini juga mampu memaksa kuatan- kekuatan asing dari bangsa-bangsa Eropa (Belanda, Portugis, Spanyol dan Inggris) untuk meletakkan senjata sembari berniaga secara damai di Makassar. Lebih dari itu, ia juga memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan sikap keterbukaan yang mendalam untuk berdialog dengan kebudayaan Eropa modern. Selain mampu menguasai bahasa-bahasa Eropa, mereka juga tidak segan-segan untuk menyerap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang lahir semangat Renaissance di Eropa. Bahkan, pada masa mereka, Makassar sangat dikenal oleh orang-orang di Eropa karena terdapat pemimpin yang senantiasa haus untuk mengoleksi produk-produk mutakhir teknologi dan juga mengumpulkan buku-buku
yang berisikan penemuan ilmiah untuk melengkapi perpustakaan yang mereka miliki.

Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemimpin Makassar Abad ke-17 tersebut guna melihat sebuah respon postitif namun tidak lazim dari sebuah bangsa yang ada di wilayah Nusantara terhadap tantangan modernitas pada masa-masa awal penampakannya. Karenanya, pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini lebih menekankan analisis sejarah dan analisis sosiologis.

Namun, disebabkan oleh keterbatasan referensi yang saya dapatkan, maka untuk sebagian besar data sejarah yang digunakan dalam tulisan ini tidak bisa merujuk sumber-sumber primernya, tapi lebih mengandalkan bahan-bahan dari bukunya Anthony Reid, Sejarah Modern
Awal Asia Tenggara, terj. Sori Siregar, Hasif Amini dan Dahris Setiawan, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004). Adapun rujukan lain yang dipakai dalam tulisan ini adalah karya M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, terj. Satrio Wahono dkk., (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005) dan Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Tiga Jilid), terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).

Tulisan ini dibuat dengan sistematika berikut. Bagian "Penampakan Modernitas di Wilayah Nusantara" berisi tentang konteks historis bagi munculnya zaman modern di Nusantara. Bagian selanjutnya dengan topik "Karaeng Matoaya dan Masa Kejayaan Makassar" merupakan deskripsi yang lebih spesifik tentang konteks historis kejayaan Makassar di mana peran Karaeng Matoaya sangat signifikan di dalamnya. Adapun bagian selanjutnya adalah uraian tentang sosok Karaeng Pattingaloang yang mewarisi kebijaksanaan dari ayahnya
sendiri Karaeng Matoaya. Terakhir, tulisan ini ditutup dengan sebuah catatan penutup.

Penampakan Modernitas Di Wilayah Nusantara
Pada tahap awalnya, penampakan modernitas telah membawa peradaban manusia kepada titik peralihan yang sangat menentukan dalam perjalanan sejarah dunia. Secara fisik, periode awal modern menyaksikan dunia yang dipersatukan oleh terbukannya jalur-jalur perdagangan langsung antara Eropa dengan bagian-bagian lain dari penjuru dunia. Hingga abad ke-17, Eropa Barat Laut dan juga Jepang mengalami transformasi besar-besaran menjadi bangsa kapitalis yang membedakan keduanya dengan wilayah-wilayah lainnya di dunia, terutama di wilayah Eropa-Asia. Transformasi ini ditandai oleh munculnya kepincangan di antara negara-negara Eropa di pesisir Samudera Atlantik dengan dunia lainnya, baik dalam hal kekuatan militer, ekonomi, teknologi, penemuan ilmiah maupun harga diri. Di tengah "keajaiban" Eropa tersebut, Jepang menemukan "keajaiban"-nya sendiri dengan meraih kemajuan ekonomi yang berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam konteks ini, negara-negara di wilayah Nusantara juga tidak ketinggalan dalam proses transformasi menuju sistem perniagaan global pada abad ke-15 sampai abad ke-17. Hanya saja, kalau Jepang bisa mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa Eropa dalam bidang ekonomi melalui politik isolasi, maka Nusantara mendapatkan dirinya pada kondisi sulit seperti dihadapkan pada buah simalakama yang serba dilematis: pada satu sisi, perniagaan global sangat menjanjikan kemakmuran karena potensi sumber daya alam yang melimpah ruang di wilayah ini semisal sumber rempah-rempah yang sangat dibutukan oleh dunia internasional; sementara di lain sisi, Nusantara dihadapkan pada sisi negatif dari perluasan perniagaan
global dan kemajuan pesat di bidang teknologi militer yang berujung pada datangnya ancaman-ancaman penjarahan dan penaklukan.

Terlepas dari persoalan dilematis yang dihadapi oleh negara-negara yang berada di wilayah Nusantara dalam menyongsong era perniagaan global tersebut, di sini bisa dikatakan bahwa penampakan modernitas di wilayah Nusantara sangat terkait erat dengan proses-proses
perubahan sosio-budaya sebagai respon terhadap zaman baru yang sudah mulai menyingsing sebelum kedatangan armada-armada Eropa secara aktual. Merujuk kepada Anthony Reid, ahli sejarah asal Australia, terdapat empat faktor penting yang menandai munculnya zaman modern
awal di wilayah Nusantara: kemajuan perniagaan, teknologi baru militer, pertumbuhan negara baru yang lebih terpusat dan penyebaran ortodoksi agama-agama kitabiah.

Pertama, kemajuan perniagaan. Perlombaan antara Portrugis dan Spanyol untuk menemukan sumber lada, cengkeh dan pala di wilayah Nusantara merupakan pertanda bahwa Nusantara memiliki posisi penting dalam peta perniagaan global. Pada sekitar 1390-an, tidak kurang
dari enam metrik ton cengkeh dan satu setengah metrik ton pala asal Maluku telah berhasil membanjiri pasar Eropa dalam setiap tahunnya. Satu abad kemudian volume perdagangan meningkat menjadi 52 ton cengkeh dan 26 ton pala. Sementara rempah-rempah dari Nusantara di bawa melintasi Samudera Hindia oleh para saudagar Muslim dari berbagai negeri ke pasar-pasar Mesir dan Beirut untuk kemudian dibeli oleh para pedagang Italia, terutama saudagar dari Venesia. Hal ini terus berlangsung hingga abad ke-17 di mana Inggris,
Belanda, Cina, Jepang, Spanyol, Portugal dan India berlomba-lomba untuk membeli produk-produk dari kawasan Nusantara berupa lada, cengkeh, pala, kayu manis, kayu cendana, pernis, sutera dan kulit rusa. Selain sebagai konsumen, mereka datang ke Nusantara juga
disertai dengan penjualan barang-barang seperti kain, perak dan sebagainya.

Kedua, teknik-teknik baru militer. Kedatangan bangsa-bangsa asing menawarkan teknologi kemiliteran yang dibutuhkan oleh para pemimpin politik di wilayah Nusantara untuk memperkuat dan mengakumulasikan kekuasaannya. Orang-orang asal Portugis, Turki, Gujarat, Jepang dan Spanyol adalah pihak-pihak yang berhasil menjajakan teknologi kemiliteran di Nusantara berupa senjata api, meriam, kapal perang dengan daya kecepatan tinggi dan pembuatan benteng sebagai teknik pertahanan. Teknologi baru dalam bidang kemiliteran ini telah membantu Demak menjadi kerajaan terkuat di Jawa pada masa Sultan Trenggana (1520-1551) serta mendorong Aceh dan Makassar untuk memperkokoh kekuatannya sehingga berhasil memunculkan kekuasaan terpusat pada awal abad ke-17.

Ketiga, negara baru. Pada masa-masa sebelumnya, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang ditandai dengan pluralisme kekuatan politik di mana negara-negara bangkit dan runtuh dalam jangka waktu yang realtif singkat. Namun, munculnya era perniagaan global dan teknik-teknik baru di bidang kemiliteran telah membawa perubahan signifikan bagi lahirnya negara-negara baru yang relatif kokoh dan terpusat. Demikian, Melaka, Gresik, Ternate, Makassar, Banten dan Aceh muncul sebagai negara yang memusat di mana pusatnya terletak di pusat perniagaan di wilayah pesisir laut. Pada gilirannya, keuntungan-keuntungan di bidang perniagaan ini memberikan timbal-balik bagi terakumulasinya kekayaan negara sehingga mampu menciptakan pasukan militer yang kuat dan berteknologi tinggi yang mampu menopang stabilitas negara-negara pesisir tersebut.

Keempat, ortodoksi agama kitabiah. Kemunculan era perniagaan global jelas-jelas membutuhkan kerangka nilai yang sesuai di mana animisme dan dinamisme (dalam kadar tertentu juga Budhisme dan Hinduisme) tidak lagi dianggap memadai. Sebab, ajaran-ajaran yang berorientasi kepada stagnasi dan kejumudan tersebut tidak bisa memberikan dukungan acuan-acuan normatif yang melegitimasi dinamika cepat pada era perniagaan global. Karenannya, Islam dan Kristen muncul sebagai alternatif untuk memberikan kerangka nilai bagi perubahan-perubahan yang terjadi seriing dengan kemunculan era perniagaan global. Proses
Islamisasi kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatra, Melaka dan Sulawesi serta Kristenisasi yang terjadi di Nusantara bagian Timur lainnya merupakan bukti nyata yang menandai proses perubahan besar-besaran di wilayah ini.

Matoaya Dan Masa Kejayaan Makassar
Makassar pada abad ke-15 sampai abad ke-17 adalah satu tempat yang memiliki keunikan tersendiri di banding wilayah-wilayah lain di Nusantara. Keunikan-keunikan tersebut terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, karena kekuatan politik di wilayah Sulawesi Selatan relatif tidak terpusat, maka sistem politik yang dibangun di Makassar dan sekitarnya lebih mirip dengan tatanan negara semi-federal yang stabilitas politiknya didasarkan pada kontrak-kontrak
politik di antara elemen-elemen kekuatan yang ada. Kedua, karena tidak diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, Makassar lebih mengandalkan sistem perekonomiannya pada perdagangan bebas. Ketiga, karena tidak pernah mengalami masa-masa kebudayaan Hindu-Budha seperti halnya Jawa dan Sumatera, di Makassar terjadi perubahan budaya secara langsung dari budaya animisme-dinamisme kepada kebudayaan Islam. Namun demikian, catatan menarik dari proses Islamisasi Makassar ini adalah terjadinya pergulatan intelektual
dari para elite politik Makassar untuk memilih dua alternatif untuk menggantikan animisme-dinamisme: Islam atau Kristen. Meskipun pada akhirnya Islam yang dipilih, namun terdapat kecenderungan dalam masyarakat Makassar untuk menghargai pluralisme agama, terutama toleransi yang cukup besar bagai keberadaan agama Kristen yang dipeluk orang-orang Eropa yang tinggal di Makassar.

Tatanan Politik
Sebagaimana telah disinggung di atas, keunikan pertama Makassar pada abad ke-15 sampai abad ke-17 adalah posisinya dalam tatanan politik di wilayah Sulawesi Selatan yang ditandai oleh adanya pluralisme kekuatan politik yang didasarkan pada kontrak-kontrak politik di antara elemen-elemen kekuatan yang ada guna mencapai keteraturan dan stabilitas. Secara umum, terdapat dua kelompok etnis besar di Sulawesi Selatan yang satu sama lain saling bersaing, yakni: Makassar dan Bugis. Di satu pihak, supremasi Makassar di topang oleh kerajaan Gowa dan Tallo, sementara di lain pihak, Bugis ditopang oleh kerajaan Bone, Sopeng dan Wajo. Selain terjadi di antara dua kelompok etnis besar ini, juga terdapat persaingan lain yang terjadi di antara masing-masing kerajaan, baik di kalangan etnis Makassar sendiri antara Gowa dan Tallo maupun di kalangan etnis Bugis sendiri antara Bone, Sopeng dan Wajo.

Dalam hal ini, hubungan penting yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini adalah hubungan antara kerajaan Gowa dan Tallo yang kemudian membawa Makassar mencapai masa kejayaannya, tidak saja di wilayah Sulawesi Selatan, tapi juga di sebagian besar wilayah Nusantara. Meskipun pada awalnya terjadi persaingan antara Gowa dan Tallo yang disertai dengan berbagai peperangan sengit di antara keduanya, namun akhirnya muncul kesadaran di kalangan elite politik dari kedua kerajaan tersebut untuk mengakhiri persaingan dan peperangan guna menciptakan pedamaian dan kerja sama. Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa Tunipasuru, penguasa ketiga dalam silsilah kerajaan Tallo, mengadakan perjanjian sumpah setia dengan Tumpa'risi Kallona, penguasa kerajaan Gowa yang ekspansionis. Persekutuan antara Gowa dan Tallo tersebut kemudian menjadi langkah awal yang membuat
Makkasar dengan cepat menjadi kekuatan dominan di wilayah Sulawesi Selatan.

Kemunculan Makassar sebagai kekuatan dominan di wilayah Sulawesi Selatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari proses penyatuan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh Gowa dan Tallo. Kalau Gowa dikenal sebagai kerajaan yang memiliki keunggulan dalam bidang teknologi kemiliteran, maka Tallo lebih dikenal karena kekuatan perniagaan dan kemampuan dalam hal diplomasi politik. Walaupun posisi kerajaan Gowa dalam persekutuan ini lebih menonjol, namun
keberadaan kerajaan Tallo tidaklah bersifat sekunder, melainkan sangat signifikan terutama dalam menentukan urusan-urusan kerajaan. Misalnya, ketika terjadi peperangan antara Gowa dan Tallo dari pihak Makassar melawan kerajaan Bone dari pihak Bugis, Tumenanga ri Makkoayang, raja Tallo, mengambil langkah-langkah diplomasi politik yang cemerlang untuk mengakhiri perang dan membuat perjanjian damai dengan kerajaan Bone. Peran yang dimainkan Makkoayang ini sangat penting dalam menciptakan stabilitas politik di wilayah Sulawesi Selatan yang tidak saja bermanfaat guna menjamin terjadinya perdagangan yang aman dan dinamis, tapi juga untuk mengantisipasi kemungkinan penyerangan oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa.

Dalam beberapa generasi, hubungan Gowa-Tallo ditandai oleh satu bentuk persekutuan yang cukup aneh di mana raja-raja Tallo senantiasa diangkat sebagai perdana menteri di kerajaan Gowa, meskipun mereka tetap memegang jabatannya sebagai raja Tallo. Misalnya, karena jasa-jasa dan kemampuan diplomasi politiknya, raja Gowa yang berusia muda bernama Tunajallo mengangkat raja Tallo Makkoayang sebagai perdana menterinya. Hubungan politik ini menjadi semakin erat tatkala Tunajallo menikahi I Sambo, anak tertua Makkoayang. Dalam hal ini, kedekatan hubungan Gowa-Tallo dalam persekutuan Makassar, bahkan setelah diikat oleh tali perkawinan di antara mereka, tidak lantas menghilangkan otonomi dari masing-masing kerajaan tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan tradisi politik di wilayah lain di mana dua kerajaan dilebur menjadi satu seiring dengan tali perkawinan di antara dua keluarga raja.

Keinginan untuk tetap mempertahankan otonomi masing-masing kerajaan Makassar ini tampak dari penolakan, baik di kalangan Gowa maupun Tallo, terhadap berbagai upaya peleburan antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Tallo. Setelah raja Tallo sekaligus perdana menteri Gowa
Makkoayang wafat dan Tunajallo, raja Gowa, terbunuh dalam satu insiden, kemudian I Sambo kembali ke Tallo untuk memimpin kerajaan tersebut dan kekuasaan Gowa diserahkan kepada anak pertama hasil perkawinan Tunajallo dengan I Sambo yang dikenal dengan nama
Tunipasulu. Raja muda ini memiliki watak keras kepala, bertabiat buruk dan melakukan tindakan-tindakan yang mengancam otonomi Gowa dan Tallo yang pada masa-masa sebelumnya begitu dihormati. Selain suka membunuh dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, Tunipasulu juga mengecam adanya pemisahan kekuasaan antara Gowa dan Tallo serta
bermaksud menyatukan dua kerajaan ini di bawah kekuasaannya sendiri. Selain itu, Tunipasulu juga merusak perjanjian damai antara Makassar (Gowa-Tallo) dengan kerajaan-kerajaan Bugis yang sudah terbina baik pada masa Makkoayang. Pada masa kepemimpinan Tunipasulu inilah
perang Makassar-Bugis kembali berkobar. Kerajaan-kerajaan Bugis membentuk aliansi Tellumpoco yang bertujuan untuk menghancurkan Makassar.

Dalam kondisi seperti ini, muncullah sosok Karaeng Matoaya, yang tidak lain dari adik tiri I Sambo dan juga anak Makkoayang sekaligus paman Tunipasulu, sebagai tokoh Tallo kedua yang berperan besar dalam menyelesaikan masalah-masalah politik di kalangan internal Makassar dan hubungan buruk antara Makassar dengan Bugis. Setalah berhasil menggulingkan raja Tunipasulu dari kursi kerajaan Gowa, Matoaya mengangkat I Mangngarangi, adik kandung Tunipasulu yang masih berusia 7 tahun yang nantinya lebih dikenal dengan nama Sultan
Ala'uddin, sebagai raja Gowa. Sementara Matoaya sendiri memegang jabatan perdana menteri di kerajaan Gowa sekaligus raja di kerajaan Tallo. Dalam posisinya itu, Matoaya juga berhasil merehabilitasi perjanjian damai dan membangun kembali persekutuan politik dengan kerajaan-kerajaan Bugis (Bone, Sopeng dan Wajo). Dengan demikian, Matoaya telah mensejajarkan dirinya dengan ayahnya (Makkoayang) sebagai tokoh Tallo yang tidak saja memiliki kedudukan istimewa dalam persekutuan Gowa-Tallo, tapi juga memiliki kecenderungan untuk lebih mengedepankan persekutuan dan perdamaian daripada peperangan
dan penaklukan.

Perdagangan Bebas dan Teknologi Militer
Demikian, kekhasan Makassar dalam bidang politik. Selanjutnya, kekhasan Makassar yang kedua terdapat dalam bidang perekonomian. Meskipun tidak diberkahi dengan hasil bumi yang melimpah, Karaeng Matoaya dapat mengoptimalkan potensi Makassar dalam dua hal.
Pertama, ia berhasil memanfaatkan satu-satunya hasil bumi Makassar berupa tanaman padi yang terutama banyak diproduksi di daerah Maros. Dengan kecakapannya dalam bidang pemerintahan, Matoaya menjadikan Maros sebagai lumbung padi yang tidak saja dapat mencukupi kebutuhan pangan di Makassar, tapi juga terjadi surplus padi untuk kemudian
diekspor ke luar derah. Kedua, melalui bandar pelabuhan yang dimilikinya, Makassar mendapatkan keuntungan yang melimpah ruah dari bidang perniagaan. Pada masa Matoaya ini, Makassar tidak saja menjadi bandar pelabuhan terkuat di wilayah Selawesi Selatan, melainkan juga menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan dalam jalur perdagangan Jawa-Luzon dengan hegemoni mencakup seluruh Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Lombok dan Sumbawa.

Terkait dengan bidang perniagaan ini, Karaeng Matoaya dikenal juga sebagai pemimpin Makassar yang memberlakukan kebijakan pintu terbuka dan perdagangan bebas. Dengan kebijakan ini, Makassar tidak saja berhasil mendapat dukungan dari para pedagang Maluku yang berusaha menghindari cengkeraman Belanda, tapi juga saudagar-saudagar asing.
Denmark mendirikan mendirikan loji pada 1612 dan disusul Inggris pada 1613. Sementara kapal-kapal dagang Cina bisa mendarat di pelabuhan Makassar pada tahun berikutnya. Berikutnya, Golconda dan Aceh menaruh agen-agen mereka di kota ini. Tidak mau ketinggalan,
orang-orang Portugis menciptakan sebuah koloni cukup besar di Makassar. Begitu pula dengan Spanyol yang menempatkan seorang wakil resmi yang didatangkan dari Manila, Filipina sekitar 1615 dan pada tahun 1640-an.

Tentu saja, keinginan kuat Matoaya untuk mempertahankan Makassar sebagai daerah yang menjamin terselenggaranya perdagangan bebas cukup mengejutkan karena ketika itu wilayah-wilayah lain di Nusantara sarat diwarnai oleh kecenderungan pada monopoli
perdagangan. Belanda, misalnya, dengan sekuat tenaga berusaha melakukan monopoli di Maluku dengan melarang pedagang-pedagang lain untuk melakukan perdagangan di daerah yang dikuasainya itu. Hal yang sama juga terjadi dengan Malaka yang dikuasai oleh Portugis.
Sementara itu, dalam rangka mengimbangi upaya monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Belanda dan Portugis tersebut, Aceh juga mencoba melakukan monopoli tandingan. Dalam hal ini, keinginan untuk mempertahankan kerja sama perniagaan dengan pihak manapun di bawah
panji perdagangan bebas merupakan keunikan yang khas dimiliki Makassar ketika itu.

Namun demikian, bisa dipastikan bahwa kemampuan diplomasi politik saja tidak cukup untuk mempertahankan kerja sama perniagaan dan rezim perdagangan bebas. Sebab, upaya-upaya monopoli yang dilakukan oleh Belanda, Portugis dan juga Aceh tidak akan ditegakkan tanpa
adanya kekuatan militer yang menopangnya. Hanya saja, kekuatan militer yang dimilikinya tidak lantas membuat Belanda dengan sembarangan mencoba melakukan monopoli di Makassar. Begitu juga dengan pihak-pihak lain yang sebenarnya juga cukup kuat secara
kemiliteran. Kalau demikian, apakah memang Belanda benar-benar tidak ingin memonopoli perdagangan di Makassar yang sangat menguntungkan itu? Atau terdapat faktor lain?

Ternyata, tidak adanya monopoli perdagangan di Makassar yang coba diterapkan oleh kekuatan-kekuatan seperti Belanda dan Portugis disebabkan oleh faktor lain: selain memiliki kemampuan dalam melakukan diplomasi politik, Makassar semasa kepemimpinan Matoaya
juga memiliki kekuatan militer yang sangat diperhitungan oleh pihak-pihak lain, termasuk Belanda dan Portugis. Sejarah mencatat bahwa Matoaya adalah seorang pemimpin Makassar yang sadar bahwa perdamaian dan perniagaan bebas hanya bisa tegak dengan ditopang oleh kekuatan militer yang tangguh sebagai pelindungnya. Karenanya, Matoaya tidak segan-segan untuk melakukan penguasaan terhadap teknik-teknik militer yang sebelumnya telah dimiliki oleh bangsa-bangsa Eropa. Namun demikian, setelah memperlajari teknik-teknik militer dari
Eropa tersebut, Matoaya secara kreatif melakukan berbagai inovasi-inovasi yang cukup menakjubkan.

Keunggulan teknik militer Makassar terletak pada beberapa hal. Pertama, pembuatan benteng sebagai alat pertahan tatkala diserang oleh musuh. Dengan bantuan Portugis, Matoaya berhasil membangun tembok-tembok batu bata yang dikemudian hari berjasa besar guna menghalau serangan-serangan yang dilancarkan oleh Belanda. Kedua, pengembangan teknologi pembuatan meriam dan senapan-senapan musket. Pengembangan teknologi persenjataan ini juga membuat Matoaya dikenal sebagai pemimpin Makassar yang ahli membuat bubuk mesiu, kembang
api, petasan, dan kembang api yang dapat menyala di dalam air. Ketiga, pembuatan kapal-kapal perang. Dengan belajar kepada orang-orang Melayu, Cina, dan Eropa yang hidup di wilayah Makassar, Matoaya berhasil melakukan inovasi dalam bidang teknik perkapalan.

Reformasi Keagamaan
Terakhir, keunikan yang dimiliki Makassar adalah dalam bidang reformasi keagamaan. Lagi-lagi, Karaeng Matoaya cukup dikenal sebagai pemimpin Makassar yang melakukan Islamisasi, meskipun tergolong terlambat di banding negara-negara pesisir lain di wilayah
Nusantara. Keterlambatan proses Islamisasi ini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, unsur asing yang menetap di Makassar tidak dapat mengusik sama sekali dunia animis Sulawesi Selatan yang sangat kuat. Kalau di daerah lain, animisme tidak dapat bertahan di tengah serbuan kebudayaan baru yang dibutuhkan guna menopang masalah- masalah hukum dan perniagaan, maka Makassar mampu melakukan adaptasi dunia animis ini dalam konteks kosmopolitanisme era perniagaan global. Kedua, kalaupun mau mengambil agama baru, maka Makassar menghadapi dilema untuk mengambil pilihan model Islam/Melayu atau Kristen/Portugis. Sebab, pelaku-pelaku perniagaan di wilayah Nusantara ini banyak berasal dari dua kelompok yang berbeda jenis agama ini. Kalau dengan mengislamkan Makassar, negara ini sangat dipermudah untuk memasuki kancah perniagaan di kalangan pedagang- pedangan Muslim/Melayu menuju dunia yang lebih luas, maka hal yang sama juga berlaku untuk dunia Kristen yang dipeluk oleh saudagar-saudagar Eropa. Dengan demikian, Makassar berada di persimpangan jalan dalam memasuki dunia yang lebih luas antara Islam dan Kristen.

Pada perkembangan berikutnya, pandangan dunia animis Sulawesi Selatan ini tidak bisa selamanya bertahan. Sebab, terdapat banyak kebutuhan-kebutuhan baru dalam bidang hukum dan perniagaan yang tidak bisa lagi disediakan oleh kebudayaan yang berbasis animisme.
Karenanya, kebutuhan untuk menentukan pilihan antara Islam atau Kristen semakin mendesak. Maka, atas inisiatif dari Matoaya, kerajaan Gowa (Makassar) mengirimkan surat undangan kepada Aceh untuk mengirimkan ahli teologi Islam dan kepada Portugis yang
berkedudukan di Malaka untuk mengirimkan ahli teologi Kristen guna didengar pandangan-pendangan mereka tentang dua agama tersebut. Karena teolog Kristen yang diminta kepada Portugis tidak datang, sementara teolog Muslim dari Aceh bisa datang ke Makassar, maka dengan sendirinya Matoaya dan para pemimpin Makassar lainnya memilih Islam sebagai agama baru setelah mendengar presentasi dari teolog tersebut dan melalui proses pemikiran dan pengkajian yang berulang- ulang terhadap agama baru ini.

Setelah mantap dan yakin dengan apa yang dipilihnya, Matoaya memeluk agama Islam pada 22 September 1605 dan mengganti namanya menjadi Sultan Abdullah Awalul Islam. Tatkala Matoaya memeluk Islam, maka orang-orang terdekatnya pun turut serta memeluk agama Islam. Kemudian, Matoaya melakukan berbagai upaya untuk menyebarkan Islam di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Walaupun orang-orang disekitarnya merekomendasikan penggunaan kekuatan senjata guna menyebarkan Islam, Matoaya sendiri lebih memilih menggunakan suri-
tauladan dan persuasi guna menjadikan Islam sebagai agama yang bisa dipeluk oleh orang-orang Makassar. Beberapa waktu kemudian, orang- orang di Makassar secara sukarela mulai memeluk agama Islam, meskipun dalam kehidupan keseharian mereka masih terdapat banyak
unsur-unsur pra-Islam yang dilakukan jika di banding masyarakat pesisir lainnya di wilayah Nusantara.

Setelah melakukan proses Islamisasi di wilayah Makassar selama tiga tahun, Matoaya kemudian berupaya untuk menyebarkan Islam kepada orang-orang Bugis. Dalam konteks ini, Matoaya untuk pertama dan terakhir kalinya, menanggalkan kebijakan damai dengan kerajaan-kerajaan Bugis guna sesuatu yang ia yakini lebih besar manfaatnya jika orang-orang Bugis itu masuk Islam. Meskipun pada awalnya kerajaan-kerajaan Bugis menolak masuk Islam dan melakukan perlawanan dalam sebuah perang yang disebut dengan "perang Islam," tapi akhirnya Matoaya berhasil melakukan Islamisasi di wilayah kerajaan-kerajaan Bugis yang membuat seluruh wilayah Sulawesi Selatan menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Selanjutnya, Matoaya menyelengarakan pertemuan para pemimpin kerajaan di seluruh Sulawesi Selatan untuk membuat kontrak-kontrak politik yang baru. Semua peserta yang hadir dalam pertemuan itu diberikan satu buah cincin sebagai simbol perdamaian. Matoaya
sendiri meminta mereka untuk tidak terlibat dalam perselisihan internal karena ancaman-ancaman eksternal siap menggangu. Setelah pertemuan tersebut, hubungan Makassar dengan Bugis menjadi solid dan damai. Berkat konsolidasi yang dilakukan oleh Matoaya tersebut, Makassar kemudian berhasil juga melakukan ekspedisi-ekspedisi, selain untuk tujuan perniagaan juga melakukan Islamisasi, ke wilayah- wilayah di luar Sulawesi Selatan. Di bawah arahan Matoaya, hegemoni Makassar semakin meluas ke hampir seluruh pesisir pulau Sulawesi,
termasuk Mandar di daerah utara, pantai timur Pulau Kalimantan, dan daerah Sunda Kecil, mulai dari Lombok bagian Timur sampai sebagian Timor.

Meskipun kegigihan Matoaya terhadap Islam sangat kuat, namun bukan berarti ia tidak memiliki toleransi terhadap agama-agama lain, khususnya Kristen yang banyak dipeluk oleh orang-orang Eropa yang tinggal di Makassar. Pada masa itu, beberapa rahib Fransiskan tiba
di Makassar dan diberi ijin untuk melakukan pelayanan-pelayanan Kristen secara terbuka. Terlebih setelah Portugis kehilangan dominasinya di Malaka, maka Makassar kemudian menjadi basis utama bagi ordo-ordo Fransiskan, Jesuit serta Dominikan se-Asia Tenggara. Masing-masing ordo memiliki rumah ibadah sendiri di Makassar, termasuk keberadaan gereja kathedral yang dijalankan oleh bekas Keuskupan Malaka. Bahkan, berkat tingkat toleransi yang cukup tinggi di Makassar, setidak-tidaknya segelintir pemuka Makassar bisa ikut menikmati khotbah-khotbah Kristen.

Selain berhasil membawa Makassar kepada masa kejayaannya, Matoaya juga berhasil mewariskan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada keturunannya di mana salah seorang anaknya juga akan menjadi tokoh besar Makassar yang tidak kalah dari sang ayah dalam hal
kebijaksanaan. Anak tersebut adalah Karaeng Pattingaloang yang akan menjadi pokok bahasan pada bagian berikut.

Pattingaloang Dan Mercusuar Peradaban Abad Ke-17 Setelah Matoaya (raja Tallo dan perdana menteri Gowa) serta anak didiknya Alauddin (raja Gowa) meninggal, maka kursi kerajaan Gowa
diserahkan kepada putra sulung Alauddin berusia 30 tahun bernama Mohammad Said. Ketika Mohammad Said akan diangkat menjadi raja, konon ia mengatakan kepada para pejabat tinggi kerajaan bahwa ia akan menerima tahta jika Pattingaloang "duduk mendampingi saya dalam
pemerintahan dan memimpin rakyat sebagai satu kesatuan." Sejak saat itu, Pattingaloang meneruskan tradisi keluarga kerajaan Tallo yang menjadi bagian penting dalam masalah pemerintahan, militer dan diplomasi politik kerajaan Gowa. Sebagaimana kakek (Makkoayang) dan ayahnya (Matoaya), Pattingaloang merupakan orang Tallo ketiga yang menjadi perdana menteri di kerajaan Gowa.

Sejak masa mudanya, Pattingaloang adalah seorang pemuda yang cerdas, mahir berbahasa Portugis dan Spanyol, selain bahasa Melayu dan Makassar. Selain itu, ia juga mewarisi rasa keingintahuan ayahnya yang besar dalam segala bidang. Hal ini terbukti, misalnya, dengan
tindakannya yang meminta Inggris untuk mengirimkan penemuan-penemuan terbaru dalam bidang perkapalan yang ada di Inggris. Tentang hal ini, Alexandre de Rhodes, seorang misionaris Katolik yang ada di Makassar, memberikan catatan khusus:

Gubernur tinggi seluruh kerajaan ini…bernama Carim Patengaloa, yang saya perhatikan sangat arif bijaksana, dan terlepas dari agamanya yang jelek, dia adalah orang sangat jujur. Dia mengetahui dengan amat baik semua misteri kita, telah membaca secara seksama semua
kronik raja-raja di Eropa. Dia senantiasa memegang buku di tangannya, khususnya yang bersangkut-paut dengan ilmu pasti, yang dikuasainya dengan cukup baik. Dia memiliki semacam gairah pada semua cabang ilmu, yang dipelajarinya di siang …dan malam hari. Jika
orang mendengar dia berbicara tanpa langsung melihat dirinya, orang bisa menyangkanya orang Portugis asli karena dia memakai bahasa ini sefasih orang-orang dari Lisbon.

Selain minatnya yang besar kepada ilmu pengetahuan yang menjadikannya sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang memahami betul ihwal pentingnya ilmu matematik bagi ilmu-ilmu terapan, Pattingaloang juga berupaya sangat keras untuk senantiasa mengikuti
inovasi-inovasi teknik Eropa. Tentang hal ini, de Rhodes juga memberikan catatan:

Karena tahu dia suka berbicara soal matematika, maka saya mulai memperbincangkan hal itu dengan dia, dan atas kehendak Tuhan dia memperoleh kesenangan di bidang ini. Seperti biasa, dia menghendaki saya tetap tinggal di istana setelah percakapan usai. Secara kebetulan saya mengemukakan kepadanya sebuah ramalan tentang gerhana bulan beberapa hari kemudian terjadi. Saya menggambarkan gerhana tersebut tepat seperti yang disaksikannya kemudian. Hal itu amat memukaunya, sehingga dia menginginkan saya untuk mengajarkan segenap rahasia ilmu pengetahuan. Sebenarnya saya ingin mengajarkan dia ilmu mencapai surga daripada pengetahuan tentang peredaran bintang-bintang, sehingga setiap kali berjumpa seakan saya ingin menumpahkan segala hal yang mungkin mengerakan dia berpindah agama, dan sekalipun dia kadang-kadangmengalihkan topik pembicaraan, saya selalu kembali kepada tujuan itu…

Sewaktu saya kembali ke rumah, dia mengirimkan orang Portugis yang merupakan salah satu kepercayaannya, yang menyampaikan kepada saya ribuan pertanyaan bersahabat atas nama dia dan memberikan berbagai hadiah bersama sebuah pesan tentang karangan-karangan menarik yang dia minta dibawakan dari Eropa, dan akhirnya ditambahkan bahwa dia sangat ingin melihat saya kembali ke sini dan memohon dengan sangat agar saya singgah lagi di wilayah kekuasaannya, tempat saya senantiasa mendapatkan bukti tentang penghargaan tinggi yang selama ini diberikannya. Saya merasa senang dengan ucapannya itu dan membalasnya dengan cara serupa.

Terdapat bukti-bukti lain yang menunjukan kegemaran Pattiangaloang terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat ensiklopedis dan teknologi mutakhir. Hal ini tampak dalam surat-surat yang disampaikan atas nama kesultanan Gowa kepada Pemerintah Belanda di Batavia. Dalam surat yang diserahkan tanggal 3 Agustus 1641, sultan minta dikirimi "lonceng yang bunyinya bagus, beratnya sampai lima pikul" dan agar dia diberi tahu harganya. Dalam surat lain tanggal 4 Juni 1648, Karaeng Pattingaloang memberi tahu Gubernur Jenderal, "bahwa
ia mengharapkan menerima sepasang unta, jantan dan betina", dan menambahkan juga bahwa ia bersedia membayarnya.

Pesan penting lainnya yang menarik adalah surat panjang yang dibawa ke Batavia tanggal 22 Juli 1644 di mana Karaeng Pattingaloang menyertakan sebelas bahar kayu cendana seharga 60 real tiap bahar sebagi uang muka dan meminta: "Yang pertama, dua bola dunia yang kelilingnya 157 hingga 160 inci, terbuat dari kayu atau tembaga, untuk dapat menentukan letak Kutub Utara dan Kutub Selatan; yang kedua, sebuah peta dunia yang besar, dengan keterangan dalam bahasa Spanyol, Portugis dan Latin; yang ketiga, sebuah atlas yang melukiskan seluruh dunia dengan peta-peta yang keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol dan Portugis; yang keempat, dua buah teropong berkualitas terbaik, yang bagus buatannya, dengan tabung
logam yang ringan, serta sebuah suryakanta yang besar dan bagus; yang kelima, dua belas buah prisma segitiga yang memungkinkan untuk mendekomposisi cahaya; yang keenam, tiga sampai empat puluh buah tongkat baja kecil; yang ketujuh, sebuah bola dari tembaga atau baja.

Dari berbagai pesanan yang tertulis dalam suratnya, Pattingaloang tampak sebagai orang yang tidak lazim bagi zaman dan tempatnya di wilayah Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Ia sangat bergairah untuk mendalami "ilmu-ilmu yang di Eropa sendiri masih baru." Dalam
satu catatan, disebutkan bahwa Pattiangaloang sangat tertarik untuk membeli "Teleskop Galileo" melalui orang-orang Inggris. Dan pada tahun 1652, teleskop yang terkenal tersebut dibawa ke Makassar dan dibeli dengan harga yang sangat tinggi. Kalau melihat catatan bahwa
teleskop tersebut baru dibuat untuk pertama kalinya oleh Galileo pada tahun 1609, maka bisa disimpulkan bahwa Pattingaloang telah memegang "Teleskop Galileo" tersebut hanya berselang 41 tahun sejak ditemukannya benda tersebut. Artinya, Pattingaloang adalah orang Makassar yang senantiasa tidak mau ketinggalan untuk mengikuti perkembangan mutakhir ledakan ilmu pengetahuan zaman Renaissance.

Ketidaklaziman Pattingaloang ini juga sangat mengherankan para peneliti masa kini dan membuat mereka takjub yang dipernuhi rasa hormat. Robert Cribb menulis:

…salah satu dari sedikit pemimpin pribumi yang menggumi peradaban Barat adalah Karaeng Pattingaloang, menteri utama di negara Goa di Sulawesi Selatan dari tahun 1639 sampai 1654. ia sempat menguasai lima bahasa Eropa, mengumpulkan buku dan peta dari Eropa, dan menyuruh menerjemahkan karya-karya Eropa tentang ilmu altileri ke dalam bahasa lokal guna meningkatkan keterampilan aparat militernya. Perhatian Pattingaloang terhadap dunia Barat sangat tak lazim dilihat dari sudut agamanya. Dia seorang Muslim. Padahal, Islam sebagai pusat teladan lebih menarik ketimbang dunia Barat. Kekaisaran Ottoman sedang mengalami masa jayanya, dan komunikasi perdagangan langsung antara Nusantara dengan jazirah Arab telah
menjadi saluran penting bagi pedagang dan penyebar agama Islam yang secara aktif mengajar orang lain supaya memeluk agama mereka. Akhir abad keenam belas merupakan masa jaya pengetahuan Islam di Asia Tenggara, di mana Mekah, Kairo dan Istambul merupakan titik acuan eksternal yang paling penting. Baik Portugis maupun Belanda tidak dapat menyaingi Islam dalam soal daya tarik kultural yang luas.

Pada abad ke-17 ini, Pattinggaloang adalah mercusuar peradaban. Rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu disertai dengan cara berpikirnya yang rasional telah berpengaruh pada terciptanya sebuah budaya baru. Salah satu budaya baru yang tercipta pada masa Pattingaloang ini adalah: pertama, terjadinya penterjemahan buku-buku tentang teknik Eropa ke dalam bahasa lokal. Di antaranya, naskah berbahasa Spanyol tentang persenjataan abad ke-16 yang ditulis oleh "Andreas dari Monyona" telah diringkas dalam bahasa Makassar pada 1635 dan
kemudian diterjemahkan secara lengkap pada 1652. beberapa naskah tentang senjata api, serbuk mesiu, dan pembuatan bedil diterjemahkan dari bahasa Spanyol, Portugis, Turki dan Melayu. Kedua, munculnya tradisi penulisan. Tradisi ini dikenal karena kelengkapan catatan-
catatan hariannya tentang berbagai peristiwa penting. Kalau pada masa sebelunya, catatan-catatan sejarah tersebut dibuat beberapa waktu yang cukup lama setelah kejadiannya berlangsung, maka pada masa Pattiangaloang pencatatan tersebut dilakukan tepat pada
kejadian sedang berlangsung.

Di luar bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Pattingaloang juga dikenal sebagai perdana menteri yang mewarisi keahlian ayahnya Matoaya. Dia selalu mampu menyelesaikan persoalan-persoalan pemerintahan, baik internal maupun ekternal. Disebutkan dalam sebuah
catatan bahwa Pattingaloang menjalin hubungan dengan orang Portugis yang amat dibenci Belanda, namun orang-orang Belanda memperlakukan dia dengan penuh hormat. Catatan tersebut berbunyi seperti berikut:

Dia mengatur kerajaan dan bisa memberikan manfaat yang menguntungkan atau merugikan kita, sementara Raja menghabiskan sebagaian besar wakatunya untuk beranjang-sana dan berjudi…Kareng Pattingaloang menjalin hubungan akrab dengan Vlamingh dan banyak membahas kebijakan perdamaian antara Portugal dan tahta Spanyol, dia memperlihatkan diri sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan sangat luas dalam hal ilmu pasti dan memahaminya penuh kearifan.

Juga terdapat sebuah catatan yang menyebutkan bahwa periode perdamaian antara VOC dengan Gowa-Tallo 1637 sampai 1654 sebagian besar karena kearifan dan efektivitas pemerintahan Pattingaloang. Dia selalu membuka pintu bagi datangnya utusan-utusan Belanda dengan cara yang amat baik dan berusaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa perang akan jauh lebih berbahaya bagi kedua belah pihak ketimbang perdamaian. Pada masa ini, Pattingaloang lagi-lagi mewarisi ketenaran ayahnya dalam hal diplomasi politik.

Di antara sekian banyak aspek dalam sepak terjang Pattingaloang, terdapat juga masalah menarik ihwal agama. Meskipun dia seorang Muslim, tapi Pattingaloang sangat tertarik untuk mengetahui teologi Kristen. Lagi-lagi Alexander de Rhodes memberikan kesaksian:

Dia sangat memahami segala segi ajaran agama kita, dan dia kerap memperdebatkannya dengan orang yang menganut kepercayaan lain serta mematahkan semua pendapat mereka… Saya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan orang ini bagi Kristus, karena perpindahan agama seluruh kerajaan tergantung kepadanya. Dia tidak pernah menolak saya, tapi dia juga tidak pernah berubah menjadi lebih baik. Saya tidak pernah bisa menemukan harus mulai dari mana karena segala sisi kehidupannya tidaklah buruk. Dia tidak pernah terlibat masalah dengan perempuan. Saya hanya bisa menyimpulkan bah a saya adalah seorang pendosa besar yang membawa sebuah tuga sedemikian berat yang bisa membuahkan hasil. Ketika hampir tiba waktu pulang, sekali lagi saya mengunjunginya untuk memecahkan masalah keselamatan jiwanya. Saat berpamitan, saya berkata-kata penuh beruarai air mata dan menuturkan cukup banyak alasan yang sekiranya dapat menyentuh hatinya, namun sesudah saya selesai bertutur panjang lebar dia menjawab tidak lebih dari beberapa kata, "Baiklah, Bapa, anda telah melaksanakan tugas dengan baik sekali." Setelah itu dia membungkukan badan berkali-kali dan
mencium saya berulang-ulang, namun tentang soal terpenting itu dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Pada 15 September 1654, Pattingaloang wafat (tanggal wafatnya tersebut juga menunjukan bahwa ia telah meninggal tatkala Makassar ditaklukan oleh Belanda) dan meninggalkan seorang anak laki-lai yang cerdas dan cakap bernama Karaeng Karunrung (1631-1685). Selain mewarisi kerafian, Karunrung juga mewarisi perpusataakan milik ayahnya yang berisikan buku sangat banyak dalam berbagai bahasa. Hanya saja, Karunrung tidak memiliki kesempatan yang sama seperti yang telah didapat para leluhurnya dari Tallo. Raja Gowa yang Baru yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin mengumumkan bahwa jabatan perdana menteri akan dia pegang sendiri. Demikian, pada masa Sultan Hasanuddin ini, pembagian kekuasaan semi-konstitusional yang menjadi pijakan kebangkitan Makassar selama 60 tahun tiba pada ujungnya. Kemudian, Makassar terjatuh kepada apa yang dialami oleh kerjaan-kerajaan lainnya di Nusantara di mana terjadi pemusatan kekuasaan di tangan penguasa yang bertindak sewenang-wenang dan kerap kali tidak memiliki batasan kekuasaan yang jelas. Akhirnya, Makassar takluk di tangan Belanda pada 1660-1669 di mana Makassar sudah tidak lagi memiliki kesatuan dan wawasan dalam menghadapi berbagai ancaman yang menghadang.

Penutup
Kisah tentang masa Kejayaan Makassar abad ke-17 di mana dua orang bijak Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingaloang memainkan peran yang sangat penting telah memberikan pelajaran tentang kepada kita bahwa modernitas pada masa awal penampakannya di Nusantara bisa direspon secara positif. Matoaya meletakan fondasi bagi kebebesaran Makassar.
Ia memanfaatkan tatanan politik yang terdesentrelasi (yang mana di daerah lain cenderung mengarah kepada konflik) untuk melakukan kontrak-kontrak sosial politik demi perdamaian. Berkat perdamaian yang terjadi di Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan secara umum,
maka tercipta sebuah suasan kondusif bagi kerja sama antara-kelompok dan antar-bangsa. Terlebih, Matoaya menerapkan kebijakan perdagangan bebas sehingga menjamin semua pihak untuk bisa berniaga secara aman di Makassar. Akibatnya, Makassar mendapatkan keuntungan yang melimpah ruah dari perniagaan ini. Maakssar sendiri ikut terlibat dalam perniagaan ini dengan mengandalkan surplus beras sebagai kunggulan komparatifnya. Pada masa itu, Makassar menjadi pusat perniagaan terpenting di zona perdagangan Jawa-Luzon dengan hegemoni yang luas mencakup hampir seluruh Seulawesi, pantai Timur Sulawesi, dan derah Sunda Kecil. Tentu saja, sebagaimana Max Weber, proses tranformasi sosial, ekonomi dan politik senantiasa memiliki hubungan elective affinity dengan bidang kebudayaan yang dalam hal ini adalah agama. Karena animisme dianggap sudah tidak memadai lagi guna menyediakan kerangka orientasi nilai bagi era perniagaan global yang melanda Makassar, maak Matoaya dengan bijak mengambil pilihan agama Islam sebagai agama yang ia peluk sendiri dan ia sebar luaskan ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Karaeng Pattingaloang menggunakan kekayaan yang melimpah ruah sebagai hasil dari perniagaan tersebut guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia adalah orang yang memiliki minat ensiklopedis kepada semua bidang ilmu pengetahuan.
Bahkan, dengan kemampuan lima bahasa yang dimilikinya, dia mengupayakan berbagai penterjemahan naskah-naskah yang berbahasa Eropa dalam bidang ilmu dan teknologi kepada bahasa Makassar. Selain itu, dia juga berupaya mendatangakan temuan-temuan terbaru teknologi semasa Renaissance Eropa semisal "Teleskop Galileo" selang 49 tahun sejak benda itu dibuat oleh Galileo. Pattingaloang juga orang Makassar yang sangat peduli terhadap upaya pengkajian perbandingan agama, khusuanya Islam dan Kristen. Dia adalah mercusuar peradaban abad ke-17.

Kemunculan peradaban yang begitu tinggi di Makassar abad ke-17 di bawah arahan Matoaya dan Pattingaloang dengan sendirinya akan mengundang kita untuk memunculkan pertanyaan hipotetis: senadainaya saja karajaan-kerajaan maritim di Nusantara seperti Makassar ini
dapat terus mempertahankan peradabannya itu, tanpa terjebak dengan konflik internal yang mengarah pada dekadensi peradaban sehingga tidak mengalami penaklukan dan kolonialisasi oleh bangsa-bangsa Eropa, apakah akan muncul suatu bentuk pencerahan dan visi
modernitas yang khas Nusantara?
Read more!