RSS

Kok Redup Nih...!!!

Wednesday, November 21, 2007

Mengeja Redupnya Gerakan Mahasiswa
Oleh Iyya Maliya

Artikel M. Fauzi tentang Gerakan Kaum Muda yang ditulis di Pikiran Rakyat pada 2/11/07 menarik untuk dikomentari. Dalam tulisannya tersebut, Saudara Fauzi mengetengahkan uraian serta analisanya seputar mandegnya gerakan kaum muda. Baik itu kaum pemuda biasa maupun mahasiswa. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan sudut pandang yang lain dalam melihat persoalan tersebut.

Harus diakui bahwa pemimpin negeri ini gagal dalam mengelola para pemuda untuk menjadi generasi bangsa yang utuh dan memiliki kepastian orientasi, baik di masa kini maupun masa depan. Sebuah generasi yang dapat mewarisi kebesaran yang dimiliki bangsa dan negara ini. Para pemimpin kita menurut penulis, gagal melakukan itu Sebaliknya, yang tercipta justru sederet generasi bangsa dengan tingkat moralitas dan etos kerja yang rendah yaitu generasi yang larut dalam praktek korupsi tergerus dalam gelapnya dunia narkoba, larut dalam hidup gaya borjuisasi, hingga generasi bangsa yang pola hidupnya amat santai tanpa ada motivasi untuk maju. Inilah wajah generasi muda bangsa ini. Terbelah dalam beragam pola dan gaya yang negatif.

Dilihat dari satu perspektif, apa yang diungkap Saudara Fauzi dalam tulisannya bahwa, generasi muda masa kini cenderung mati gaya dan merasa eksis atau puas hanya sebagai konsumen, ketimbang sebagai pembaharu, benar adanya. Namun demikian, menurut saya, kita harus juga melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lain. Harus diakui bahwa generasi muda di negeri ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk berpartisipasi aktif dan berperan. Terutama dalam lingkup kenegaraan. Peran generasi muda cenderung dibatasi. Bahkan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan serta ide-ide mereka jarang didengar. Mengutip slogan iklan rokok, “yang muda, belum boleh bicara”. Itulah penilaian saya mengenai salah satu kondisi gerakan kaum muda Indonesia masa kini.

Gerakan Mahasiswa

Sementara mengenai peran pemuda dalam bentuk gerakan, satu hal yang ingin saya tegaskan bahwa, pada era kini gerakan mahasiswa semestinya di tafsirkan ulang secara lebih aktual dan kontekstual sesuai perkembangan sosio-kultural kehidupan bermasayrakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Gerakan mahasiswa tidak bisa tampil dengan wajah dan visi lamanya. Harus diperbaharui dan ditafsir ulang. Bahkan, perlu dikaji ulang lebih dalam lagi perihal eksistensinya. Sebab gerakan mahasiswa kini telah mati suri dan gerakannya pun sudah tak progresif lagi. Ini pertanda, bahwa ada yang salah atau telah usang dalam visi dan konsepnya.

Seusai reformasi, gerakan mahasiswa meredup dan seperti di “rumahkan” oleh waktu. Statis dan pasif. Padahal, dulu gerakan mahasiswa mampu mengubah arah sejarah negeri ini dengan ketika perjuangannya melawan rezim Soeharto hingga orang nomor satu tersebut lengser keprabon. Salah satu sebab kemandekan gerakan mahasiswa ini adalah karena gerakan mahasiswa yang dulu lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil. Sedangkan kini, gerakan mahasiswa menyempitkan peranannya hanya terbatas pada lingkup kampus saja. Semacam kembali pada sempitnya “negeri kecilnya”.

Yang lebih parah lagi, budaya hedonis berkembang di kampus, menyebar begitu cepat bak jamur di musim hujan. Rasanya jarang sekali terdengar percakapan yang akademis di lingkungan mahasiswa. Sedangkan percakapan-percakapan mengenai fashion, mode baru, sinetron baru, film baru, dan aneka bentuk hedonisme yang lain, kerap kali terdengar. Ini ironis, mengingat mahasiswa adalah corak intelektualitas dan akademis. Sepertinya, perbincangan seputar intelektualits adalah produk serta fakta yang langka ditemukan dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Inilah gambaran kondisi mahasiswa saat ini beserta gerakannya.

Ironis memang. Gerakan mahasiswa yang lingkupnya merosot hanya pada tataran kampus saja, masih diperparah dengan kecil presentase mereka yang aktif dan serta rendahnya tingkat kepedulian mereka. Jangankan untuk peduli pada negara, kebijakan pada tingkat kampus (rektorat) pun jarang direspon atau dihiraukan. Apatis, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sikap para mahasiswa masa kini beserta gerakan-gerakannya.

Faktor penghambat dan pendukung gerakan mahasiswa

Selain disebabkan faktor mahasiwa yang cenderung apatis dan tidak mempunyai keinginan untuk turut serta aktif, redupnya gerakan mahasiswa juga dilatarbelakangi oleh faktor kebijakan kampus/rekorat yang menunjukkan gejala tidak mendukung sepenuhnya gerakan mahasiwa. Mungkin pertimbangannya adalah stabilitas kampus itu sendiri jika mahasiswanya kritis, kampus/rektorat khawatir kritisisme mahasiwa berdampak pada stabilitas kampus. Jadi, kampus/rektorat berkepentingan untuk menjaga stablitas kampus dengan segala kepentingan dan praktek yang berlaku di dalamnya.

Sungguh miris memang melihat kondisi gerakan mahasiswa sekarang ini. Tapi, bagaimanapun kita harus tetap menjaga motivasi kita untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa. Dan untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa, harus ada dukungan dari berbagai pihak. Agar generasi muda mampu berkembang dan menunjukan eksistensi-nya.

Baik itu dukungan dari internal kampus, maupun pihak eksternal. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pihak rektorat, haruslah dalam rangka mendukung serta mempermudah tubuhnya gerakan mahasiswa serta peran aktifnya. Bukan justru sebaliknya, kebijakan tersebut diciptakan untuk menghambat atau mematikan mahasiswa dan gerakan-gerakannya.

Selain dari itu, peran serta dukungan masyarakat juga amat diperlukan dalam rangka menyemai kembali tumbuhnya gerakan mahasiswa. Tanpa ada dukungan dari masyarakat hampir tidak mungkin bagi mahasiswa dan gerakan-gerakan yang dibangunnya untuk eksis dan aktif. Sebab gerakan mahasiswa pada dasarnya tak lain adalah gerakan untuk masyarakat, bangsa dan negara.

Penulis Iyya Maliya Mahasiswa Jurnalistik UIN angkatan 2005
Read more!

Idul Fitri

Tuesday, November 6, 2007

Semangat Idulfitri, Semangat Toleransi
Oleh Tedi Taufiqrahman -

GEMA takbir menggema, menyambut Hari Idulfitri yang baru kita lewati, adakah keimanan yang tidak tumbuh dari keraguan?

Berbilang Ramadan juga telah kita lalui. Rasanya baru kemarin kita mengatakan marhaban ya Ramadhan dan kini dengan berat hati kita ucapkan, "selamat berpisah ya Ramadan" atau "selamat berjumpa lagi ya Ramadan". Bulan penuh berkah, menabur rasa damai, menjanjikan aura spiritual, mencacah rasa dengki, melumat dendam kesumat, membawa kita menyelam pada kedalaman rohani yang penuh keindahan dan kasih sayang.

Idulfitri merupakan penutup dari rangkaian ibadah puasa Ramadan yang dilakukan oleh kaum Muslimin selama satu bulan penuh. Dengan demikian, membincangkan tentang Idulfitri memang tidak akan lepas dari membicarakan tentang saum/puasa.

Melalui ibadah puasa, sesungguhnya Allah ingin mengingatkan manusia bahwa pada dasarnya manusia itu suci dan cenderung kepada kebaikan. Jika manusia mau melakukan latihan-latihan spiritual dan pengendalian diri secara berkesinambungan, akan membangkitkan kekuatan fitrahnya yang sejati sekaligus mengalahkan godaan nafsu jahat sehingga keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia akan terwujud.

Puasa sebagai metamorfosis kehidupan dan proses transformasi diri dari keadaan yang "menjijikkan" (serba negatif) kepada keadaan yang "indah memesona" (serbapositif) seperti perubahan dari ulat menjadi kepompong, kemudian menjadi kupu-kupu yang indah, begitulah seharusnya dampak puasa bagi si pelaku.

Tujuan puasa adalah untuk membentuk orang-orang yang bertakwa sebagaimana firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Al Baqarah 2; 183).
Akhirnya, Hari Idulfitri ibarat sebuah ritual perayaan "wisuda" dalam sebuah universitas bagi mahasiswa-mahasiswa yang telah digembleng selama satu bulan mengikuti perkuliahan spiritual dalam bulan Ramadan.

Semangat toleransi
Setiap agama dan kepercayaan cenderung memiliki momen-momen tertentu di mana ia melakukan "penghancuran" atas dirinya. Atau kalau mau dikatakan dengan lebih halus dan santun, selalu ada saat-saat dalam pengalaman keberagamaan di mana batas-batas yang ditetapkan agama yang bersangkutan justru dilampauinya sendiri.

Momen ini, dalam istilah Victor Turner, disebut dengan momen liminalitas. Pada momen itu, agama persis berdiri pada sebuah perbatasan; ia ada "di dalam", tetapi sekaligus "di luar" dirinya. Misalnya ritual haji, kita akan melihat sejumlah "batas-batas" yang dilanggar. Pada ritual ini orang Islam baik lelaki atau perempuan campur baur dalam Masjidilharam untuk menunaikan salat berjemaah lima waktu. Perempuan dan laki-laki juga campur aduk melaksanakan ritus thawaf, mengelilingi bangunan kubus yang bernama Kabah.

Sejatinya, setiap hari raya adalah momen liminal, saat-saat di mana batas-batas yang sering diterapkan secara ketat dalam kehidupan normal dilanggar atau malah dihancurkan. Hari raya Idulfitri atau lebih dikenal dengan sebutan Lebaran, sulit dikatakan sebagai suatu hajatan besar milik orang-orang Islam saja. Lebaran sudah menjadi peristiwa sosial yang melibatkan semua orang dari berbagai latar belakang agama. Lebaran bukan saja milik mereka yang selama sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa, tetapi juga milik mereka yang bahkan sepanjang umur tidak pernah berpuasa dan salat.

Dengan memahami momen Idulfitri sebagai momen liminalitas tampaknya --seperti halnya perayaan Idulfitri tahun kemarin-- perjalanan puasa kita yang mesti dirampungkan dengan perbedaan waktu perayaannya, tidak terlalu menjadi masalah. Justru dengan perbedaan penentuan itulah mungkin Allah hendak mengajarkan kepada kita, bahwa hakikat kemanusiaan adalah satu, dengan tetap ada perbedaan yang tidak hakiki, yang perbedaan itu tidak seharusnya membawa kepada pertikaian.

Dalam suasana fitri tidaklah berarti bahwa perbedaan sesama manusia akan lenyap. Perbedaan yang tidak hakiki akan selamanya tetap ada di antara manusia.
Hasilnya, manusia humanis yang terlahir dari puasa dan merayakan Idulfitri adalah manusia yang sanggup menerima kehadiran orang atau kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Dia tidak memaksakan pendapat, tidak memaksakan kehendak, tidak mengklaim kelompoknya yang paling benar, sedangkan yang lain salah dan harus diluruskan.

Pendek kata, manusia humanis yang tercipta sebagai wujud nyata hasil didikan puasa adalah pada hari fitri menjadi manusia-manusia yang toleran, inklusif bukan manusia-manusia yang berdiri tegak pada eksklusivisme dan intoleransi. Wallahualam bis showab***(PR Kampus, 18/10)
Read more!