RSS

Cerpen

Wednesday, June 20, 2007

Tuhan Serumah Dengan Anjing Kurap
Cerpen Endang Suhendang

Akhir-akir ini aku semakin geram dengannya. Setiap kali aku melihatnya aku bagaikan berhadapan dengan anjing kurap yang suka menjilat-jilat dan melahap makanan pada kerajang sampang juga kerap menyolong daging dari "dapur" ibuku. Sejak pertama melihatnya aku sudah menemukan gelagat yang tidak biasa dari orang ini, aku bisa menganggap begitu dari caranya berbicara dan juga dari sikapnya. Walaupun ucapan dan sikap belum mencerminkan sifat baik atau buruk secara keseluruhan.

Dia memang bukan seorang mahasiswa sepertiku, jadi bisa dimaklumi kalau kelakuannya sangat liar dan pikirannya sangat polos. Tapi setidaknya kalau dia orang yang tau tidak tau tidak tau dirinya, dia bisa belajar dan mencontoh sikap dari aku. karena aku juga mencontoh orang lain. Karena hidup ini adalah rangkaian contoh-mencontoh dari orang lain.

Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh pada sebuah pabrik kerupuk yang pembuatannya dirumah, Dengan gaji lima puluh ribu seminggu. Uang tersebut tidak dipotong makan dan rokok, karena makan dan rokok dikasih oleh majikannya. Bisa dibayangkan jika uang tersebut pada zaman sekarang pada tahun 2007 yang hidup dikota seperti Banadung ini harus bisa untuk mencukupi berbagai kebutuhan juga beberapa keinginan. seperti makan sehari-hari, sewa kontrakan, jalan-jalan, nonton dan teraktir pacar kalau punya atau setiap malam minggu ke saritem seperti orang pasar juga orang sasar. dan keinginan untuk sedikit diberikan pada emaknya dikampung. Tentunya jika ingat hal ini aku kasihan padanya. Walaupun hidupku tidak jauh berbeda dengannya.

Tentunya pertimbangan tinggal dimesjid lebih dikarenakan karena pertimbangan ekonomi, bukan karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Karena konon mesjid merupakan rumah Tuhan. Aku juga seperti itu. Aku pikir dia tidak sadar, ngorok dimesjid sampai matahari berangkat satu tumabak ke barat tanpa shalat subuh, fasilitas listrik juga air yang jika dia ngontrak kamar bisa dipungut bayaran yang beda dengan sewa kamar. Karena di Bandung ini tidak ada yang geratis kecuali kentut dan aparat yang suka naik angkutan umum. Itu semua tanpa di bayar? Dia tidak sadar dia telah menggunakan uang rakyat- uang umat.

Hari berganti minggu dan sampai sekarang sudah lebih dari lima bulan dia "I'tikaf" di mesjid bersamaku. Sebenarnya aku sedikit bingung menghadapi tingkahnya yang membatu. Berkali-kali kuperingatkan, dia tidak pernah membantah pun tak pernah menurut. Dia orangnya polos, jujur dan sangking jujurnya kadang menjadi dungu dan sifatnya yang paling membuatku ngedumel yaitu sifat "tau" dirinya.

Dengan tanpa beban dan risih sedikitpun tiap hari dia bangun jam tujuh pagi, itupun dengan susah payah dibangunkan teman kerjanya yang tidak tidur dimasjid. Awalnya aku selalu membangunkannya pada saat adzan subuh dikumandangkan, lama kelamaan aku bosan, karena fikirku untuk usia 20 tahun seperti dia tidak wajar untuk shalat saja harus dipaksa-paksa. Tanpa adanya kesadaran. mungkin kalau usianya masih 7 tahun aku masih bisa memakluminya. Sekarang aku tidak pernah membangunkannya lagi. Karenanya dia tidak pernah shalat subuh apalagi berjamaah bersamaku. Dan tanpa merasa ada beban dan malu setidaknya, apalagi berfikir tentang dosa karena itu terlalu jauh. Dia menikmati tidurnya sampai menjelang waktu shalat dhuha.

Secara pribadi itu urusan dia, dan aku tidak berhak ikut campur. Karena itu masalah dia dengan Tuhannya. Yang lebih membuat otakku sediki stress yaitu sikap acuhnya dengan "hotel" gratisnya ini. tempatnya menginap. Dia tak pernah peduli dengan sampah yang menghiasi halaman mesjid dan debu yang membuat mesjid seperti museum benda-benda purbakala. Dia tak pernah peduli selepas magrib aku kerepotan menghadapi anak-anak yang sepereti bebek-bebek. Aku sebenarnya tidak menjadi beban jika harus memberesihkannya sendiri. Seperti sekarang ini. hanya jika memang dia capek karena bekerja dan tidak sempet membantuku beres-beres. kenapa dia tidak sasadu kepadaku dan ngomong terus terang. Mungkin aku tidak akan menganggap dia orang yang "tau" diri. Tidak seperti sekarang aku menganggap dia seperti anjing kurap, yang serumah dengan Tuhan. Yang "tau" diriannya. Karena kalau aku juga menuruti kecapekan, aku juga sama sehari-hari kuliah sampe sore ditambah tugas dari makhluk yang baru masuk sudah sibuk dengan memberikan tugas. Tapi aku tidak bisa begitu saja itu dijadikan alasan untuk bersikap bak pahlawan yang sudah berjuang di Aceh menumpas Gam. Karena aku tau aku harus tidak "tau" diri.

Memang, masyarakat sepertinya tidak mau tau dan peduli dengan kodisi mesjid karena memang mereka tidak pernah kemesjid kecuali kadang-kadang pada hari jum'at dan hari I'dul fitri juga I'dul Adha. Tapi aku meresa dibalik ketidakmau tauan masyarakat tersimpan beban moral yang begitu berat untuk dipikul. Ada amanat yang secara tidak langsung dibebankan pada diri penghuni "asrama" ini. Yaitu kepercayaan untuk menjaga kebersihan juga sekedar mengajar iqra anak-anak mereka. Kedua-duanya alhamdulillah temanku ini belum pernah memikirkannya apalagi mengerjakannya.

***
Untuk mengobati kekesalan hati yang susah digambarkan lagi, aku suka mengobti diri dengan menganggap bahwa mungkin semua orang didunia ini lebih banyak yang "tau" dirinya dari pada orang yang tau tidak tau diri. Aku melihat pada diri teman baruku ini sama seperti melihat para anggota dewan dan para pejabat yang lebih banyak "tau" dirinya dapi pada tau tidak tau dirinya. Anggota dewan dan pejabat sekarang juga mungkin tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tidak sadar dan tau bahwa ia dihidupi oleh rakyat, bukan oleh SBY juga bukan oleh Tuhan. Tapi oleh rakyat dan rakyat. Walaupun rakyat tidak sadar bahwa mereka telah memberi makan belatung-belatung busuk yang biasa mengerumuni anjing kurap yang telah mati membusuk karena kekenyangan melahap tulang dan menyolong daging dari "dapur" ibuku. Kalau mereka tau mereka telah menggaji anjing kurap, mereka tentu lebih suka uangnya diberikan pada gembel yang diseret dan dingkut Satpol PP. dari pada diberikan pada anjing kurap yang menjijikan. Dan Aku mengetahuinya. Karena aku tau dari kelakuan temanku yang sama dengan kelakuan bajingan-bajingan itu, yang berbaju besi dan berkepala batu juga berhati iblis. Itulah kelakuan kau dan dia juga mereka.

Berkali kali aku katakana pada temanku, bahwa aku bukan orang yang baik dalam kesendirianku. Tapi aku berusaha menyembunyikan sifat busukku didepan manusia, didepan orang-orang. Juga didepan kau. Aku bukan munafik, tapi bukankah hati itu urusannya dengan Tuhan bukan urusan manusia, bukan urusan orang-orang. Juga bukan urusan kau?. Aku lebih suka sikap-sikap bukan sifat-sifat dari seorang munafik. Dari pada tidak munafik sama sekali. paling tidak dia menghargai dan memberikan contoh yang baik walaupun ucapannya tidak sesuai oleh hatinya. Itu tak apa karena hati bukan urusan kita bukan urusan manusia. Dari pada sudah mempunyai sikap dan sifat yang tidak baik lantas memperlihatkan dan menganggapnya bagai sebagai sikap dan sifat yang wajar. Dan yang paling mengkhawatirkan kau tidak sadar bahwa sikap dan sifat kau selama ini kau anggap benar.

Terhadap pendapat dan kritikanku ini, sepertinya dia kurang mengerti. karena memang dia tidak sekolah sampai tingkat lanjutan apalagi sampai perguruan tinggi. Jadi tidak mengerti analogi dan dan sindiran. Sama juga seperti mereka, para anggota dewan para wakil aku. Si anjing kurap. walaupun aku tak pernah memilih mereka. Mereka tidak sekolah, walaupun punya ijazah sampai perguruan tinggi, itu hasil membeli dengan uang hasil malingnya itu. Jadi mana mungkin dia mengerti akan sifat tau tidak tau dirinya. Mereka terpilih bukan berarti manusia pilihan. Karena mereka bukan manusia tapi anjing kurap. Kalau manusia tentunya mereka tau akan tidak tau dirinya. Kalau ada yang ngasih tau dianggap interpensi dan dianggap hal sia-sia jika ditanggapi. Mereka bisa duduk di Wastukencana dan menginap di Hotel Indonesia karena mereka pandai membohong anak-anak dan ibu-ibu dengan rayuan busuknya. Mungkin untuk hal ini lagi–lagi aku harus memaklumi anggota dewan seperti ini. Dan sedikit terobati karena ada bebrapa dari mereka para anjing kurap yang manusia dan seperti manusia Seperti bagaimana aku harus memaklumi temanku itu. Karena kepala batunya.
Dalam hati kadang aku berfikir, kenapa aku harus repot memikirkan dan memusingkan kelakuan temanku yang makin ngaco. Entoh masyarakat disekitar masjidku saja tidak pusing dan tidak mau tau. Kalaupun mereka tau tidak sampai memusingkan kepala mereka, tidak seperti aku kadang-kadang masalah ini sampai membuat aku susah tidur dan tidak enak makan. Kalau yang terakhir mungkin karena tidak ada yang bisa dimakan.

Tapi keinginan acuh tak acuh itu hilang kembali, ketika aku ingat pasilitas yang digunakan dan makanan yang dimakan temanku itu juga anggota dewan itu adalah pasilitas dan makanan dari "dapur" ibuku yang dipersiapkan untuk aku, untuk anak-anaku dan untuk cucu-cucuku dikemudian hari. Jika anjing kurap ini tetap dibiarkan aku khawatir keturunanku yang makan didapur ibuku mereka akan mengemis dan jadi gelandangan di"dapur" yang konon banyak makanannya. Karena makanan telah habis dicolong anjing kurap itu yang tidak kenal puas dan kenyang. Karena itu, dia lupa kapan waktu bangun untuk shalat dan kapan waktu sidang. Karena setelah perut kenyang anjing kurap itu bermesraan dengan model dongdot yang siap melayani siapa saja baik manusia ataupun binatang. Seperti anjing kurap itu, yang penting satu hal, dia harus berperut buncit yang kelak setelah puas "dikencingi" anjing kurap itu. Perutnya akan dibedel dan keluarlah lembaran merah dan butiran intan permata hasil jarahan dari "dapur" ibuku.

Aku kasih tau sekarang, jika kau melihat temanku juga dewan itu dimana saja dia berada kejar dan seretlah dia. Karena temanku telah ku lempar dia kepadang ilalang yang jauh dan bisu kelu. Yang mungkin suatu saat datang kembali kesekitar rumah anda. Pecahkanlah perutnya dan Keluarkanlah lembaran merah dan butiran permata yang ada didalamnya. Dan pecahkanlah kepalanya dengan ketapel ataupun dinamit yang biasa digunakan untuk memecahkan batu, karena sama kepalanya juga batu. dan lemparkanlah mayatnya kelaut, agar bangkainya dimakan paus dan tidak dikerumuni oleh belatung-belatung tengik yang doyan mengerumini setiap bangkai. Entah bangkai apapun yang penting dia bisa menghabiskan sisa daging dan daleman untuk disisakan tulangnya saja untuk disemayamkan dimakam pahlawan yang kelak akan diabadikan sebagai pahlawan anjing kurap yang berjuang untuk belatung-belatung tengik.

Bandung, 12 februari 2007

Read more!

Alternatif

Monday, June 18, 2007

Meretas Gerakan Pemikiran Alternatif
Oleh Ibn Ghifarie

Maraknya aksi bentrokan antar kelompok di pelbagai daerah membuat sebagian masyarakat tertentu mencibir peranan kaum ulama. Betapa tidak, di tengah-tengah keterpurukan bangsa dan gencar-gencarnya pemberantasan teroris hal itu terjadi.
Kini, hampir setiap hari golongan intelek sekaligus pewaris nabi acapkali berbuat ganjil, mulai dari aksi rusuh, tawuran, kekerasan fisik dan psikis, sampai tradisi menghilangkan nyawa orang lain.

Slogan islam sebagai agama pembawa rahmat lil alamin pula hanya slogan semata. Pasalnya, perbedaan pendapat tak dipahami sebagai khazanah islam yang harus kita bina dan pelihara. Malah keragaman dianggap sebagai suatu keniscayaan dan tak boleh terjadi. Ironis memang.

Tak hanya itu, jargon islam yalu wala yula alaih, mustadhafien, mujtahid dan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah ikut punah seiring derasnya arus baku hantam di kalangan kaum muslim. Seolah-olah melekatnya status cendekia tak berbanding lurus dengan kebiasaan tak terpuji saat siswa.

Adalah budaya tawuran, adu fisik dan saling kafir mengakafirkan dalam menyelesaikan segala persoalan yang sedang dihadapinya. Terlebih lagi saat MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengaluarkan 11 fatwa (2005). Walhasil, perang menjadi jurus pamungkas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Bara Itu Bernama Fatwa MUI
Tengok saja, kekerasan yang terjadi di Malang, yakni Ponpes Ma’dinul Asro, yang dipimpin oleh H Yusman Roy (2005); di Bekasi, tepatnya di daerah Bantar Gebang, yang terdapat Mazlis Dzikir Ponpes al-Musyarofah yang dikepalai oleh Syaikh Maulana (2005). Lembaga ini dinilai mengajarkaan ajaran sesat, sebab salah satu ajarannya adalah menghalalkan perbuatan zinah. Apalagi perlakuan bejad ini dilakukan secara langsung oleh kepala Ponpes tersebut kepada jemaahnya; di Probolinggo pun terjadi hal yang serupa.

Namun, berbeda caranya. Yakni dengan mengeluarkaan buku habis gelap terbitlah terang. Konon, isi buku tersebut mengajarkan kepada kita untuk berbuat zina dengan siapa pun termasuk dengan ketua ponpesnya.

Yang unik lagi, saat menjamurnya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di daerah Indaramayu terdapat satu calon Bupati dan Wakil Bupati itu melakukan kampanye dengan membubuhkan potonya di sampul al-Qur’an (2005). Tentunya naif sekali.

Hal yang sama bentrokan sekaligus pengrusakan Universitas Mubarak di Parung Bogor, gara-gara dianggap menyebarkan paham Ahmadiyyah. Pasalnya, mereka tak mengakui rasulullah sebagai penutup nabi. Malah Mirza Gulam Ahmad sebagai utusanya.
Di penghujung tahun 2005 peristiwa serupa pun menimpa Kelompok Lia Eden. Karena mereka telah melecehkan sekaligus mencemarkan agama. Yakni dengan mengakui Lia Aminuddin sebagai Tuhan dan Rahmat, salah satu muridnya sebagai nabi terakhir.

Lebih tragis lagi ini tuduhan sesat pula dialamatkan kepada Alih ulama terkemuka di Bobojong, Bogor harus kehilangan nyawanya (26/10/06). Karena menyebarkan risalah yang dapat meresahkan masyarakat luas dan menafikan Tuhan. Badanya hancur berkeping-keping akibat diseret masyarakat sekitar 700 meter.

Lain halnya dengan kelompok kajian Toko Buku Ultimus di Bandung, mereka di gerebeg sekaligus dibubarkan secara paksa oleh FPI dan Fron Anti Komunis (FAK) (2006). Karena mereka menyebarluaskan paham Karl Mark, yang dinilai embahnya ateis.

Tak berhenti sampai disitu saja, malahan di awal tahun 2007 kejadian membabi buta pula terjadi pada kelompok Papaenas (Partai Persatuan Nasional) saat konvoi, mereka dilempari batu oleh Fron Pembela Islam dan anti komunias. Sebab mereka dianggap mendirikan partai anti Tuhan. Padahal indonesia negara beragama.

Keragaman Sebagai Kehendak Tuhan
Mencermati ketidakberdayaan sekaligus tumpulnya akal dalam menuntaskan segala persoalan dengan arif, bukan memakai kekerasan. Apalagi saat MUI mendefinisikan SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme). Ketiga isme itu bagi MUI adalah haram dengan definisi liberalisme adalah pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama.

Sekularisme merupakan paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara, hubungan antara manusia dengan manusia tak bisa diatur agama.

Pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar. Padahal seseorang beragama karena keyakinannya akan suatu kebenaran.

"Yang boleh adalah pluralitas bahwa kenyataan masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik," katanya. (Kompas, 28 juli 2005)

Tentunya, kehadiran fatwa 11 itu seolah-olah melegalkan kelompok tertentu untuk berperang. Yang jelas Pluralisme agama yang hidup dan ada di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman pemahaman atau aliran keagamaan yang ada didalam tubuh interen umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Dengan kata lain, pluralisme menegaskan bahwa kemajemukan, keragaman dan perbedaan merupakan satu kenyatan kemanusiaan. Atau satu-satunya fitrah kemanusiaan, tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali heteroginitas.

Dengan begitu, fenomena di atas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda, bagaikan mata uang.

Pertama, Sisi manusia serius dengan aktivitasnya, sehingga orang yang berada di sekiatarnya tak dihiraukan.

Kedua, Manusia yang “terlalu peduli”, sehinggan ingin tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan “kebinasaan” dan “peniadan”, salah satu pihak karena tidak adanya “kesaling-mengertian” dan “kesaling-pemahaman” tentang karakter lain. Dari hal-hal yang kecil berubah menjadi yang besar. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang tidak merasa senang dengan mereka yang berbeda? bukankah kita sering menggagap sesat kepada mereka yang berbeda paham dengan kita?.

Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya” mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir” (H R Bukhari-Muslim).

Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai Rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.

Maka di sini kita patut bertanya, konsep ataukah manusianya yang melenceng? Saya kira jawabanya ada pada yang terakhir. Jika ini benar, maka yang rusak adalah sistem pengetahuan dan konstruk-budaya yang melekat pada diri kita.

Yakni cara pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang lagi. Jika perlu didekontruksi sekaligus direkontruksi menuju kepada Rahmat tadi. Dan kita sebagai manusia harus berani mengakui, baik secara nalar (episteme)—yang melahirkan beragam tafsir, maupun sikap dan jalah hidup (way of the lyfe) itu berbeda-beda.

Oleh karena itu, kita harus berani bersikap bijak (wisdem) terhadap berbagai perbedaan di antara kita. Karena dengan itu, akan melahirkan masyarakat yang penuh Rahmat—kasih sayang dan perdamaian yaitu masyarakat madani (Sivil society). Sebagaimana Tuhan berfirman, …dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan bumi dan langit serta berlain-lain bahasamu, dan warna kulitmua (QS Ar-Rum : 22); dan pada ayat lain, ….kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal dan menghormati satu sama lain (QS Al-Hujurat : 13); surat an-Naba 24-26; Katakanlah hai Muhammmad siapa yang membri rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah Allah dan sesungguhnya kami atau kamu (non muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, katakanlah kami (non muslim) tidak akan bertanggungjawab tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberikan keputusan antara kita dengan benar dan dialah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui.

Bahkan nabi Muhammad sendiri pernah di tegur secara langsung oleh Tuhan melalui firmannya, ketika ia berkeinginan kelak, nanti umatnya itu menjadi satu golonganya. Artinya tidak ber-firkah-firhak hingga 73 golongan. Maka dengan jelas Tuhan berkata, seperti yang termaktub dalam kitabnya,; kalaulah Tuhan menghendaki, tentunya akan beriman semua orang yang ada dalam bumi secara keseluruhan, maka apakah engkau Muhammad akan memaksa manusia, sehingga mereka beriman semua (QS Yunnus: 99); atau dalam ungkapan lain sebermula sekalian umat manusia merupakan satu kaum dari Adam; kemudian mereka bercerai berai, jika tidak ada pernyatan Tuhanmu sebelumnya, niscaya di putuskan masalah-masalah mereka yang di perselisihkan. Tetapi manusia tidak berselisih pendapat mengenai kebenaran itu kecuali mereka yang telah menerima tanda-tanda yang jelas; dalam hal ini mereka melakukan dalam semata-mata.(QS Al-Baqarah : 213).

Sedangkan dalam tradisi yang lain seperti Kristen, kita kenal ungkapan Konsili Vatikan II; …. yang mengakui keselamatan juga terdapat dalam ajaran agama lain selain di lingkungan Katolik Roma.

Dari Monolitik Ke Pluralistik
Namun, lagi-lagi dalam kehidupan acapkali kita menemukan bahwa kearifan yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyyah dan Insaniyyah merupakan “kata-kata” yang lebih mudah di bicarakan dan sulit dijalankan. Sebab ia, adalah yang berdasarkan pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara pemahaman dan cara pandang yang biasa kita anut—karena dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak, sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.

Berkenaan dengan hal ini, Henry Bergeson (Filusuf dari Prancis) membagi dua bentuk masyarakat. Pertama, masyarakat tertutup (fermes). Inilah masyarakat individu-individunya membentengi (ekslusif) dan membatasi dirinya dalam dinding-dinding asas, kepercayaan dan lembaga-lembaga yang diciptakannya.

Pada masyarakat ini, manusia terkungkung sekaligus statis; dan pada gilirannya tidak berkembang di karenakan kemandegannya.
Kedua, masyarakat terbuka (ouverte). Adapun masyarakat ini adalah kebalikan dari masyarakat yang tertutup. Yakni masyarakat yang tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri dengan peradaban yang ada di masyarakat.

Pada masyarakat ini, keterbukan (inklusif), toleran dan sikaf kasih sayang antara sesama serta bijak dalam memahami orang lain merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan kontrak sosial yang mengacu pada nilai-nilai Insaniyyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan bersama. Inilah yang pada masa Rasululah di sebut ummah. Dan berbentuk masayarakat Madinah Al-Wunamwwarah. Tentu pada masa itu, muncul nabi Muhammad SAW menjadi figur yang menyatukan perbedaan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu Rasalullah lewat Piagam Madinah yang di sepakati oleh berbagai suku dan agama, berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.

Sebagai mana yang kita ketahui, ternyata dalam hadits-hadits, Rasulullah mewujudkan masyarakat itu berdasarkan pada nilai-nilai insaniyyah dan ilahiyyah. Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan tertentu, sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusian dalam masyarakat diprioritaskan.

Di sinilah sikap Pluralisme yang berdasarkan ukhuwwah Insaniyyah wa Ilahiyyah menjadi penting untuk di wujudkan dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat kita yang Multi-Budaya, Etis dan agama, tentu harus di realisasikan. Karena dengan itu, kita sebagai manusia tidak akan lagi tersesak dengan garis pemisah antara kita dengan “manusia” dan yang-lain sebagai bukan manusia—karena manusia sesunguhnya adalah “satu-makhluk” yang beranekaragam.

Dengan hadir dan maraknya aliran-aliran “baru”, bahkan dianggap “ganjil” oleh sebagian golongan termasuk MUI. Terutama di Malang, Probolinggo, Bekasi dan Indramayu, dll. Mudah-mudahan dapat memberikaan pemahaman yang baru dalam khazanah keilmuan Islam, yang pada akhirnya dapat membawa kita kepada derajat ketakwaan yang tebih tinggi. Itu pun akan terjadi mana kala kita mampu memahami dan mengakui perbedaan di antara kita. Baik dari segi agama, sekte/madzhab, Ormas, ras maupun etnis ini. Sehingga terbangunlah sisi persatuan dan kesatuan (kemanusiaan) yang tahun kemarin sempat awut-awutan, robek, hancur, bahkan sekaligus terkoyak.

Tak hanya itu, dengan memahami dan ikut andil dalam mewujudkaan pemahman pluralisme ini merupakan satu langkah awal menuju pintu kebajikan dan pembebasan dalam memahari keragaman yang ada pada manusia.

kendati demikian, pluralisme dalam kontek ke kinian pluralisme tidak hanya kesadaran atau pemahaman adanya heterogentas, tapi harus juga terlibat secara pro aktif dalam mengejawatahkan nilai-nilainya. Keharusan pro aktif inilah yang tidak disentuh, selama ini. Apalagi digumulai oleh orang-orang yang selama ini mengaku memehami pluralisme.

Jadi, bukan hanya mengakui tapi membiarkan orang lain yang bebeda dengan kita untuk berkretifitas dengan bebas.

Dengan demikian, pluralisme dalam pandangan Dr Alwi Shihab melalui buku Islam Inklusif (2001:41-42) harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.

Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Hal yang tak kalah menarik pun di lontarkan oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Pluralime Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur) (2002:77) tentang Pluralisme.

Adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri.

Oleh kerena itu, ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diajukannya wacana, kelopmpok, individu, komunitas, sekte, dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima.

Di sinilah kita patut mengamini pernyataan Asep Gunawan, Direktur Eksekutif LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) menjelaskan Kehadiran JarIK (Jaringan Islam Kampus) diharapkan menjadi alternatif gerakan pemikiran atas persoalan keagamaan tersebut, katanya saat membuka Pelatihan Besic di LEC (Local Education Center) Cicalengka (25-27/05).

Momentum pelatihan ini harus dimanfaatkan sedemikian rupa. Sehingga cita-cita luhur itu dapat tercapai, jelasnya. Semoga [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 28/05;23.35 wib
Read more!

Sajak (2)

Sajak-Sajak TEDI TAUFIQRAHMAN

Akhirku | Ini Hidup | Kidung Lirih | Gunung Kemusykilan | Kosong | Lolongan Anak Muda | Munafik | Sabtu Pagi | Sajak Belajar Vandal | Sepongkah Nafsu | Tak Henti Selalau.


Akhirku


Tempatku memuja
Segala rasa tercurah
Bagi semua pendosa
Dengan jalan yang di kehendaki

Tempatku berserah
Kembali pada pasrah
Tuhanku
Kuasa akan darahku
Merambah pada semua
Akankah sintuh qalbu
Sampai jadi abu


25 Januari 2006


Ini hidup


Ini hidup kawan
Bukan sinteron yang sering kau tonotn
Selalu kau menjadi arjuna
Berakhir bahagia …hah
Nonsens
Hidupmu adalah pergulatan
Tanpa upaya tak akan kau berjaya
Lihatlah alam sekitar
Makhluk mengejek tapi kau merengek
Mau jadi apa
Tatkala fenomena tak relevan dengan idealita
Jangan kau terhenyak
Karena sudah biasa
Harusnya kau katakan pada mereka
Inilah ironi dunia tak bisa tuk mengelak



Kidung Lirih


Telah sering ku senandungkan
Syair pengaduan
Degan segumpal pengharapan
Keulayangkan
Namun dapat terhiyng
Kini luka benar tubuhku
Tercabik dikoyak oleh realita
Kenyataan itu memang pahit
Mendesak, menuntut bahkan mendepakku
Susah memang
Naik banding ke alam kosmologi
Tak berawal tak kunjung berhenti
Tak nyata dalam realita
Namun pasti dalam fenomena
Kidung lirih kusenandungkan.



Gunungan Kemusykilan


Hutan rimba yang menggana
Lautan tak terawasi
Kemegahan tak terhingga
Keagungan tak berbatas
Namun apakah sudi
Turunkan keajaiban
Hanya setitik kan mengubah
Seluruh hidup umat manusia
Disini diriku mengemis
Padamu… hanya padamu
Sudi layarkan kemusthilan
Diantara akal realita fenomena
Biarkan terhenyak
Dengan satu keajaiban di realita zaman



Kosong


Tak ada yang terlihat
Begitu pula tak terjamah
Semua terasa hampa
Lemah termamah…
Hanya meragu pada ketika
Di saat pada
Aku merasa

Taman UIN SGD, 01 Februari 2006


Lolongan Anak Muda


Tetesan air mata darah
Mengalir deras di pipi
Menjadi orang yang tak berarti
Tubuh renta membanting tulang

Hanya untuk sekeping uang
Duduk termangu seperti orang dungu
Menangis tersedu
Terus dan tiada henti mengadu
Tak bisa menolong

Hanya bisa menggonggong dan melolong
Harap mereka tahu
Tak ada yang bisa kubantu
Meringankan beban menyimpan perih
Suatu hari nanti hari akan tiba
Saat aku berjaya sampai akhir usia


Munafik


Kenapa tak langsung saja kau sebut
anjing
Tak perlu ditutup-tutupi dengan
gonjang-ganjing
Bahkan argumentasi ilmiah berbau pesing

Kenapa tak langsung saja kau hujat
anjing
Tak perlu dimanis-manis dengan
teori-teori batang penis
Daripada panjang-panjang tak dimengerti
Lebih baik pendek berarti
Misalnya
Testis.

Kenapa tak langsung saja kau caci
anjing
Tak perlu dibungkus ayat-ayat suci
Tentang ajaran ramah dan sejarah para nabi
Semua mejadi terkesan recehan
Dan bau tai babi

Kenapa tak langsung jawab
Anjing
Daripada munafik
Seperti gundik kelihatan cantik
Padahal rujit

Kenapa tak langsung saja kau berubah
jadi anjing
Punya, ekor, berliur memiliki taring
Biar aku gampang memilah

Yang mana anjing
Yang mana babi
Yang mana bagong
Yang mana manusia
Yang mana maha

Ternyata kita lebih suka yang sedap-sedap
Dimuka dan dikhianati
Daripada mendengar perih dan sakit
Setidaknya ada harap
Meski jiwa kita kronis kurapan

Ternyata mental kita terganggu
Jiwa kita busuk



Sabtu Pagi


Tak ada yang dapat ku tulis
Selain menulis namamu
Tak ada yang dapat ku ucap
Selain mengucap menyayangimu
Tak ada yang dapat ku lihat
Selain melihat bayang wajahmu
Tak ada yang bisa mengalahkanmu
Sampai senyummu rasuk dalam sukmaku

04 Februari 2006

Sajak Belajar Vandal


Ada agama sedang menangis di pojok rumah
Menjerit melihat para penganut mencacah
Ajaran doktrin dan dogma dengan pongah

Ada agama sedang melamun melihat
Nasib bangsa yang dipenuhi dengan para pengkhianat
Penjilat mengerat ayat-ayat suci dengan lahap

Ada agama sedang melayang-layang mengabut di langit

Ada agama sedang meringkuk di balik jeruji
Penjara habis dihantam dibekuk dipukuli
Oleh para aparat tentara dan polisi

Agama tak punya lagi identitas
Tak memiliki wajah
Bisa dijual belikan hanya untuk segunduk uang kertas
Menjadi mantra sumpah serapah
Mengusir hantu dedemit kuntilanak beserta keturunannya

Agama bisa ditemukan di mall swalayan bahkan di pelacuran
Menjadi bahan legitimasi segala hal
Mengobral fatwa halal haram
Dari makanan, kondom sampai dildo
Mengumbar nafsu dan libido

Kekuasaan ketamakan


Sepongkah Nafsu


Tatkala tangan dunia terngangah
Tatkala kepala dunia terperangah
Bermandikan keluh kesah
Berselimutkan gelisah

Tak berdaya
Kemudian terlambat memang
Menggantungkan tanpa gantungan
Mengendarai tanpa kendaraan
Semua umat berkata bodoh tolol

Memang konyol
Kasat mata tak terlihat
Sembilu jiwa menunggu
Hal yang tak terpadu. Tak menyatu
Bodoh memang tapi kupercaya
Secuil keajaiban 'kan menolongku


Tak Henti Selalu


Setiap temu denganmu
Senyap sangsi hilang berlalu
Pertanda gambaran hatiku
Telah melukis mukamu
Dalam taman jiwaku
……?……
Tujuku tak kan henti meski termakan waktu
Selalu aku mendambamu
Setiap merindumu
Hanya kata tertulis untukmu
Pada malam hanya bisa mengadu
Kapan bersatu…


Camp The End, 29 Januari 2006
Read more!

Diskusi

Friday, June 15, 2007

Agenda Kegiatan

Hari/Tanggal : Kamis, 21 Juni 2007
Pukul : 14.00 wib – selesai
Tempat : Unpad (Universitas Padjadjaran)
Agenda : Pemaparan dan Singkronisasi Tiap Divisi
: Diskusi `Melacak Geneologi SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme)`

Pemateri : Hendar Yadi. M.Ag* (Peneliti Pusat Studi Agama dan Peradaban Jakarta)

Moderator : Dindin El-Kenis

Kehadiran rekan-rekan petanda Mewujudakan Bandung Demokratis.

*Masih dalam konfirmasi[Ibn Ghifarie]
Read more!

Harus Di Baca

Manisfesto JarIK
Oleh Iqbal Hasanudin

Demokrasi tanpa kebebasan sipil. Demikian, kira-kira, istilah yang tepat untuk menggambarkan kehidupan sosial politik Indonesia pasca-reformasi. Memang, terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) pada 1999 dan 2004 yang realtif bersih dan jujur telah memberikan sedikit harapan bagi masa depan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun demikian, keberadaan Pemilu yang bersih dan jujur—sebagai implementasi dari prosedur-prosedur demokrasi—tersebut tidak lantas dengan sendirinya mampu menutupi masalah kemanusiaan fundamental lainnya yang lebih bersifat substansial: krisis kebebasan.

Sebagaimana lazim terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan tampaknya masih menjadi barang langka di Indonesia. Karena menjalankan ibadah salat dengan menggunakan dua bahasa (Arab dan Indonesia), ustadz Usman Roy ditangkap oleh aparat keamanan untuk kemudian dipenjarakan, sementara peseantren dan para pengkutnya dibubarkan secara paksa. Hal senada juga dialami oleh komunitas “Eden” di Jakarta. Bahkan, sebagai pemimpin dari komunitas ini, Lia “Eden” ditangkap dan terancam mendapat hukuman berat karena dianggap sebagai nabi palsu yang telah melakukan penodaan terhadap ajaran agama Islam. Bahkan, tidak saja dianggap sebagai kelompok sesat dan menyesatkan, jemaah Ahmadiyyah mengalami penganiyaan yang tidak manusiawi berupa penyerangan fisik, teror mental, dan pengusiran dari rumah mereka sendiri. Penganiyayaan ini dialami oleh segenap jemaah Ahmadiyyah di seluruh pelosok Indonesia lantaran mereka diangap tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir umat Islam.

Tidak hanya itu. Absennya kebebasan di Indonesia pasca-Reformasi juga ditandai oleh aksi-aksi jalanan kelompok-kelompok berjenggot dan berjubah putih. Dengan retorika-retorika agama dan teriakan ‘Allahu Akbar”, mereka turun ke jalan untuk melakukan swepping terhadap tempat-tempat hiburan yang dianggap sebagai ladang kemaksiatan. Bahkan, karena tidak puas dengan aksi jalanan, kelompok radikal ini menggalang kerja sama dengan kelompok-kelompok Islam konservatif untuk memperjuangkan legislasi Rancangan Undang-undang Anti-Pornoaksi dan Pornografi (RUU APP) di parlemen (DPR RI) yang oleh banyak pihak disinyalir sebagai rancangan undang-undang yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties) serta merusak nilai “Bhineka Tunggal Ika” yang sedari awal sudah menjadi karakter bangsa Indonesia.

Bersamaan dengan penangkapan dan penganiyayaan yang dialami oleh ustad Usman Roy di Malang, komunitas “Eden” di Jakarta dan jemaah Ahmadiyyah di seluruh Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi keislaman di Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyyah, mengeluarkan beberapa fatwa yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok seperti Ahmadiyyah, komunitas “salat dua bahasa” dan komunitas “Eden” adalah kelompok yang “sesat dan menyesatkan,” serta bertentangan dengan Islam. Selain itu, MUI juga berusaha memberikan pelabelan “sesat dan menyesatkan” kepada kelompok-kelompok Islam yang berhaluan liberal dan pluralis dengan memunculkan fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah paham-paham yang “sesat dan menyesatkan” serta haram hukumnya bagi umat Islam untuk menganut paham-paham tersebut.

Dengan demikian, bisa dikatakan hubungan sebab-akibat antara persepsi keislaman yang ekslusif dan tertutup pada satu sisi, dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan umat Islam yang cenderung tidak toleran terhadap penafsiran, keyakinan dan praktik keagamaan lain yang berbeda. Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa krisis pemikiran keislaman telah menyebabkan munculnya krisis kebebasan yang sangat akut.

Oleh karena itu, terasa sangat diperlukan perlu untuk membuat sebuah jaringan generasi muda muslim yang mampu berpikir kritis terhadap wacana dan paradigma keislaman tradisional yang ekslusif pada satu sisi, dan mampu menjawab persoalan-persoalan keislaman dalam konteks keindonesiaan dan kemoderenan di lain sisi. Atas dasar pertimbangan itulah, Jaringan Islam Kampus (Jarik) lahir. Jaringan ini diharapkan mampu malakuakn transformasi civil society sehingga dapat memunculkan sebuah atmosfir yang kondusif bagi terciptanya—bukan sekedar illiberal democracy seperti yang ada selama ini, tapi—demokrasi liberal, yakni sistem politik demokrasi yang didasarkan atas penghargaan terhadap prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties).

Pilar-Pilar Pemikiran

1. Pencerahan, Kritik dan Rasionalitas
Jaringan Islam Kampus adalah komunitas generasi muda Muslim yang berusaha mencurahkan segenap kemampuan intelektual guna melakukan berbagai upaya ijtihad kontemporer atau pembaharuan pemikiran Islam. Tujuan utamanya adalah merintis sebuah proyek Pencerahan di Indonesia yang berbasis keumatan dan kebangsaan. Dalam hal ini, Jaringan Islam Kampus memahami konsep Pencerahan dimaksud adalah seperti yang dirumuskan Immanuel Kant: “pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri.

Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri berarti bahwa ketidakmatangan ini tidak disebabkan oleh kekurangan dalam akal budi, melainkan dalam kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan dari orang lain. Sapere aude! Beranilah memakai akal budimu sendiri.”

Mengapa Pencerahan? Jaringan Islam Kampus sangat menyadari bahwa umat Islam Indonesia saat ini tengah mengalami krisis rasionalitas, yakni krisis nalar atau krisis epistemologi keagamaan. Umat Islam di Indonesia tidak bisa memilah secara kritis antara teks-teks keagamaan dan maksud-maksud pewahyuan yang menjadi elan vital dari kemunculan Islam pada satu sisi, dengan realitas historis yang senantiasa berkembang di lain sisi. Akibatnya, umat Islam tidak mampu lagi memberikan respon aktual yang tepat dan proporsional terhadap problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer dalam konteks keindonesiaan dan kemodernan.

Dalam pemikiran Islam, krisis rasionalitas ini terjadi karena rasio begitu saja disubordinasikan di bawah teks-teks keagamaan. Hal ini merupakan warisan dari paradigma pemikiran Islam skolastik, yang anti-rasionalitas, bernuansa teosentris serta disemangati oleh pendekatan harfiyah dan fiqhiyah dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah, dalam melihat dan menyikapi setiap masalah yang muncul. Paradigma seperti ini akan senantiasa membutakan mata umat Islam terhadap gerak realitas yang terus berubah dari masa ke masa. Akibatnya, dalam menghadapi setiap masalah yang ada, umat Islam akan selalu berpaling kepada teks-teks kitab suci untuk mencari jawabannya. Padahal, al-Qur’an dan al-sunnah adalah diskursus keagamaan yang dimunculkan untuk merespon masalah-masalah masyarakat Arab pada abad ke-7 M.

Pada titik ini, Jaringan Islam Kampus adalah komunitas epistem madani yang berusaha mengumandangkan kembali seruan Immanuel Kant untuk berani memakai akal budi, menggunakan rasionalitas: Sapere Aude! Dalam konteks dunia Islam, proyek kritik pemikiran atau kritik nalar ini ditujukan kepada upaya-upaya pembebasan diri dari otoritarianisme agama berbentuk ortodoksi pemikiran Islam di bidang fiqih, kalam, filsafat dan tasawuf yang menghegemoni dan mendominasi pemikiran keagamaan umat Islam. Kritik pemikiran ini mutlak sangat dibutuhkan karena hingga saat ini terdapat anggapan yang diyakini secara umum di kalangan umat Islam bahwa wacana hegemonik itu seolah-olah telah mencapai kebenaran akhir dan karena itu merupakan—meminjam istilah Francis Fukuyama—the end of history, yaitu puncak dan akhir dari evolusi pemikiran keagamaan dalam Islam. Persepsi mengenai hal ini juga tercermin dalam pandangan “pintu ijtihad telah tertutup” yang kemudian melahirkan sikap taqlid.

Dengan demikian, tujuan akhir dari seluruh proyek kritik pemikiran Islam ini adalah tegaknya otonomi rasio yang akan dijadikan pijakan dalam berijtihad guna menyikapi problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer, seperti masalah demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar-agama. Di sini, rasio menjadi otonom karena ia tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak pula terkerangkeng di dalam teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah itu. Bagi Jaringan Islam Kampus, penggunaan rasio secara otonom sama sekali tidak bertentangan dengan spirit agama, karena akal budi merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bahkan, Tuhan dan Rasul-Nya justru memberikan perintah kepada umat Islam guna menggunakan akal pikiran sepenuh-penunya. Atau, merujuk kepada Milan Kundera, tatkala manusia berpikir, maka Tuhan pun tertawa.

2. Otonomi dan Kebebasan
Bagi Jaringan Islam Kampus, kepercayaan sepenuhnya pada kemampuan dan penggunaan rasionalitas sangat terkait erat dengan konsep otonomi dan kebebasan manusia. Adalah Immanuel Kant, dalam Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, mengatakan bahwa “semua bakat alamiah dari setiap mahluk ditakdirkan untuk berkembang sepenuh-penuhnya menuju tujuan kodratnya.” Kemudian, “Pada manusia (sebagai satu-satunya makhluk berakal budi di atas bumi) bakat-bakat alamiah tersebut, yang diarahkan kepada penggunaan akal-budi, akan berkembang sepenuh-penuhnya dalam jenis, dan bukannya dalam setiap diri seorang individu.” Berdasarkan cita-cita humanisme Kantian dan humanisme Renaissance: humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri), Jaringan Islam Kampus sangat percaya bahwa setiap manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan-tujuan lain, tetapi harus dijadikan tujuan pada dirinya dirinya sendiri.

Berpijak pada humanisme Renaissance dan humanisme Kantian yang kemudian mengkristal dalam bentuk prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) yang sudah diakui keberadaannya melalui sebuah deklarasi internasional, konsep otonomi dan kebebasan manusia tersebut sebenarnya secara gamblang telah termaktub di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Artinya, konsep otonomi dan kebebasan manusia juga telah menjadi bagian integral dari hak-hak sipil (civil rights) warga negara di Indonesia, yang di antaranya, ialah: hak-hak politik untuk memilih dan dipilih; hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan sesuai dengan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya, yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want; hak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear), kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of spech and expresion).

Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia, Jaringan Islam Kampus memperjuangkan tegaknya prinsip-prinsip sekularisme, liberalisme dan pluralisme di Indonesia. Sebab, konsep otonomi manusia, khususnya dalam bidang kehidupan beragama, pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan, karena keduanya merupakan bagian dari masalah individual. Penempatan iman dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme. Hal ini berbeda, misalnya, dengan masalah negara dan masyarakat yang termasuk ke dalam wilayah publik, yang karenanya harus dibahas secara rasional dan demokratis.

Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls dalam Political Liberalism, Jaringan Islam Kampus berkeyakinan bahwa konsep otonomi iman dan akidah bagi setiap individu yang kemudian melahirkan konsep kebebasan beragama berimplikasi pada munculnya pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Tentu saja, istilah pluralisme di sini tidak boleh disamakan secara serampangan dengan indiferentisme, yakni paham yang menganggap bahwa semua agama itu sama saja. Sebaliknya, prinsip pluralisme justru berasumsi bahwa setiap agama, bahkan semua penghayatan individual terhadap agama, memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang harus dihargai. Karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang pluralis.

Namun demikian, prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama ini juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya, prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan serta menjamin otonomi dan kebebasan manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara. Pemisahan ini mutlak harus dilakukan agar tidak terjadi pemanfaatan agama oleh negara dan juga sebaliknya, dominasi dan hegemoni agama tertentu terhadap negara. Dalam hal ini, sekularisme tidak boleh diartikan sebagai paham anti-agama yang mengarah kepada bentuk ateisme, tapi sekularisme dimaksud sepadan dengan perspektif teori sosial tentang konsep sekularisasi dan diferensiasi peran agama dalam kehidupan sosial.

Pilar-Pilar Perjuangan
Bagi Jaringan Islam Kampus, Pilar-pilar Pemikiran di atas—meminjam istilah Kontowijoyo—adalah sebuah interpretasi untuk aksi. Karenanya, diperlukan pula –rancangan-rancangan strategis guna dijadikan pijakan dalam melakukan transformasi sosial. Maka, Jaringan Islam Kampus juga telah membuat rumusan Pilar-pilar Perjuangan sebagai berikut.
1. Pembentukan dan Penguatan Nalar Publik Agama-agama
2. Penegakan Prinsip Kebebasan Beragama
3. Penegakan Hak-hak Sipil Keagamaan
4. Penguatan Prinsip Toleransi dan Pluralisme dalam Kehidupan Beragama

sumber www.lsaf.org
Read more!

Pertemuan 2

Dialog Petang

Sesuai dengan rencana semula. Pertemuan kedua ini mencoba mengurai soal `Pemaparan dan Singkronisasi Tiap Divisi` (14/06) di Sekretariat Tertunda.

Namun, apa yang terjadi sederetan agenda acara harus tertunda satu minggu. Pasalnya, kawan-kawan yang hadir pada obrolan malam berbeda dengan temen-temen dulu saat penentuan pertemuan berikutnya.

Walhasil, diskusi ngelantur pula tak terelakan lagi. Apalagi saat salah satu rekan kami mempertanyakan pertemuan kedua ini. Tentunya, hasil kesepakatan pertemuan 1 harus di bacakan ulang dengan seabreg penjelasan dan tek-tek bengeknya.


Ironis memang. Tapi inilah wajah kelompok kajian. Selalu ada proses pengulangan kejadian yang sama. Meski terdapat pemaknaan yang berbeda.

Yang jelas ngahuntu itu hanya membuang-buang energi saja sekaligus menunda pelbagai kegiatan inti.

Tak ada jaminan, saat tiba waktu penjabaran dari program kerja tiap divisi hanya sebatas pemenuhan amanah semata dengan kondisi alakadarnya.

Lagi soal energi pun harus menjadi menjadi bahan cibiran akibat terbuang banyak semangat dalam pertemuan alot petang tersebut. [Ibn Ghifarie]
Read more!

Sajak

Sajak-Sajak PRADEWI TRI CHATAMI

Anak Kecil Itu | Cinta | Indonesia | Jalang |
Just For My Self | Mendua | Selamat Datang Di Kampus-Kampusan | Wejangan Kartinian | Yang Kumau | Ziarah.



Anak Kecil Itu


Anak kecil itu masih disana
Mengais-ngais sampah,
berharap masih ada sekedar remah
untuk membungkam cacing di perutnya

Anak kecil itu masih disana
bernyanyi lantang
pasang muka yang bikin kasian
tapi ia masih tetap terabaikan

Anak kecil itu masih disana
terlelap dalam mimpi yang tak begitu indah,
di antara riak kehidupan malam yang tak ramah

Anak kecil itu masih disana
di tengah gang kecil di sudut kota
tangan kecilnya megang lem aibon
sesekali ia ketawa,
sesekali ia bengong,
sesekali ia meracau tentang ibu
yang mayat bugilnya ketemu di pinggir kali

Anak kecil itu masih disana
sekarang, dan entah sampai kapan...

Sept 12, 2k3

Cinta


Kubilang: Aku cinta kamu! Cukup??
Kuulang:
Aku cinta kamu.
Seperti cinta perempuan pada sunyi di tepi gemuruh resah
Cinta yang mengaji ayatayat gelisah pada senyap duapertiga malam.
Tak terbaca oleh dua bola mata,
Tak terkata oleh dua garis bibir,
Diam yang setia bercerita…

Aku cinta kamu,
Seperti cinta Hawa pada Adam.
Cinta yang membawa pada kejatuhan
Mengubah Taman Eden menjadi taman bermain
Mengubah sebutir Apel memjadi secawan Anggur
Mabuk, menerawangi setiap batas nalar
Sepenuh sadar…

Aku cinta kamu. Kawan. Kasih.
Dengan iman pejalan ketakpastian
Melewati setiap remang gusar diseling igau gurau
Menertawai nestapa, terbahak pada kegetiran rindu yang tak terjamah ucap…

2006


Indonesia


Berjalan di tengah remang fajar
Semburat jelaga maha kelam
Liat! Ada babi hutan naik Volvo,
dan anjing kudisan naik BMW!
Cecurut-cecurut pesta kembang api,
ngejarah nurani.

Selamat datang di labirin maha legam!
Disini, kita akan berputar di area
kemiskinan, kejahatan, basa-basi,
dan perkosaan kemanusiaan maha dahsyat!

Di tempat ini, jalan sesak
sama rambu seribu jargon!
Disini, mentari enggan terbit,
malah lari terbirit-birit!

May 20,2002


Jalang


Aku adalah perempuan jalang
Begitu kata konstruksi sosial
Perempuan jalang!
Seru moralitas konvensional
Aku memang liar,

Ingin bebas menolak dirantai
Tapi jika karena itu kalian pikir aku binal,
Maka siapa kalian sebut diri kalian
Saat kalian melacurkan apa saja
Demi belenggu yang kalian sebut
Tatanan norma

Siapa kalian panggil satu sama lain
Saat identitas yang kalian punya
Hanya merkmerk keluaran pasar besar
Yang kalian sebut sejati kehidupan beradab?
Norma kalian memaksa manusia
Melata di ujung kakinya

Untuk menjilat pemegang rantai
Peradaban kalian membuat manusia
Lupa mereka lahir merdeka

-2006-


Just For My Self...


Kemana saja kau selama ini?
Tanpa nurani, kau melayang mirip kunti,
tak lagi sebagai manusia yang membumi.
Ikuti palsunya mimpi tidur siang,
hingga hati buta tak jua tercerahkan.

Kelewat sibuk sama gosip remeh,
dan puas cuma sama omong kosong istilah-
istilah intelektual, sok ilmiah.
Cintamu juga tak mengarah, tak manusiawi.
Kau lebih busuk dari limbah!
Lebih iblis dari setan, parasit!

oh,...aku!


Mendua

-bwt shen-

Mendua, diantara cinta-cinta
yang tersakiti
dan menjamah bayangmu pun
menjadi lebih jadah dari dosa!
Tanganmu menghamba,
sedang ia hanya bertekuk lutut..
bulir-bulir airmata
basahi serpih hati.

April 30, 2k6



Selamat Datang Di Kampus-Kampusan


selamat datang di kampus-kampusan,
institut-institutan yang kini berubah jadi
universitas-universitasan.
Sebuah perubahan-perubahanan
Termasuk tambahan-tambahanan
Fakultas-fakultasan
Yang dibumbui
Pemilihan-pemilihanan
Dekan-dekanan

Ah, ini memang tempat-tempatan
Main-mainan
Mahasiswa-mahasiswaan
Tempat belajar-belajaran
Ilmu-ilmuan
Tempat teriakan-teriakanan
Orang-orangan
Yang gila-gilaan

2006


Wejangan Kartinian


Perempuan jaman sekarang, kata ibuku
Tak tahu terima kasih sama Kartini.
Dulu dia merjuangin pendidikan,
Bukan sibuk bersolek buat lomba kebayaan'
(waktu itu ada kontes kebaya di tv)

Perempuan jaman sekarang, kata ibuku
Tak tahu terima kasih sama Kartini.
Dulu dia merjuangin harkat martabat wanita,
Bukan maksain goyang erotis mancing birahi'
(dia lagi nonton acara gosip tentang inul)

Perempuan jaman sekarang, kata ibuku, lirih.
Tak tahu terima kasih sama Kartini.
Dulu dia nyelipin refleksi religiusitas islam
Yang membela perempuan,
Makanya dia ngutuk abis poligami,
Karena dia juga ngalamin
Langsung, ataupun engga.
Bukannya terbuai sama singkatnya asmara
Dan terseret cinta yang mendua
Dengan iming-iming surga.'
(ngomentarin isu poligami)

Ah..Ibu, kalo gitu,
Kayaknya sekarang Kartini jengah
Gerah sendirian disana di alam barzah ,
Nyari cara buat ngerangsek dari kuburnya!

April21, 2k6


Yang Kumau


Aku ingin hidup!
Aku ingin terbang!
Jika jatuh, aku ingin jatuh dari langit ketujuh
Aku ingin terbang melayang
sebelum mencium tanah dan hancur!
Aku ingin ajari orang-orang tuk bermimpi,
dan menjalani hidup demi mimpi
Aku ingin ajari orang untuk berani
wujudkan angan...
cintai kehidupan.
Aku ingin ajari orang-orang
mempersembahkan kehidupan,
dan bahagia...


Ziarah


Jalan itu memang tak lurus, sahabat
Kadang kita menemukan tikungan tajam tak terduga
kadang ada simpangan-simpangan yang membuat kita bingung,

Atau lupa pada tujuan kita,
Karena kita tertarik untuk membeli rokok
Dan menyeruput segelas kopi
Di kedai seberang jalan.
Hidup tak jauh dari yang demikian,
Dan lebih sering ia menawarkan kembang gula
Warnawarni agar kita sejenak berpaling
Tak mencari lagi harta karun kita.
Padahal ayah ibu selalu berpesan
Bahwa kita berpacu dengan waktu,
Ia yang takkan kembali setelah sekali ia jadi
Masalalu.

Tapi surga di akhirat sana penuh dengan pelanggar
Rambu-rambu jalan dunia pada masanya
Disesaki dengan halhal yang kerap buat kita
Disebut wong edan, Dipenuhi sekumpulan orang yang menggilakan dirinya
Demi harta yang disebut kebenaran dan pengetahuan,
Bukankah itu tempat dari Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, dan Maryam?

Bukankah Itu pula rumah Adam dan Hawa
Yang telah memakan buah terlarang?
Ah, sobat, bukankah yang benar selalu saja salah?
Dan kita hanyalah pejalan, sekali waktu kita tamasya
Di taman cinta, Dan saat yang lain ziarah ke pemakaman kemanusiaan
Read more!

Agenda

Agenda Kegiatan

Hari/Tanggal : Kamis, 14 Juni 2007
Pukul : 18.30 wib – selesai
Tempat : Sekretariat Tertunda
Agenda : Pemaparan dan Singkronisasi Tiap Divisi

Kehadiran rekan-rekan petanda Mewujudakan Bandung Demokratis. Tentunya tak sebatas wacana semata. Melaikan merambah kedunia lain [Ibn Ghifarie] Read more!

Silaturahmi

Obrolan Senja

Upaya memperetar temali silaturami pasca Pelatihan Besic di LEC (Local Education Center) Cicalengka JarIK (Jaringan Islam Kampus) Bandung Angkatan II, maka kami menggelar Dialog Senja (09/06) berkenaan dengan amanah Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang telah di sepakati di Sekretariat `Tertunda` Jl. Desa No 105 Cibiru Bandung 40614

Kendati acara obrolan sore itu tak banyak membuahkan hasil kecuali membentuk Visi, Misi dan Strategi, Struktur, Rencana Program Kerja dan pengadaan seperangkat infra struktur JarIK Bandung.


A. Visi, Misi dan Strategi
- Visi `Mewujudkan Bandung Demokratis`
- Misi `Transpormasi SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme)
- Strategi `Peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia), Penguatan Wacana dan Pengorganisasian

B. Struktur

Koordinator : Te.Di Taufiqrahman
Sekretaris : Ibn Ghifarie
Bendahara : Evey

Divisi Kajian
Ketua : Billy
Anggota : Faridz Ridwan
: Rukman
: Abdullah


Divisi Pelatihan
Ketua : Wandi Afandi
Anggota : Reni Sendiawati
: Shinta
: Dian
: Hadir

Divisi Pers
Ketua : Marliyya
Anggota : Via
: Freddi
: Chepi

Divisi Penelitian
Ketua : Dindin
Anggota : Ali
: Te Che
: Naufal
: Abok

C. Rancangan Program Kerja

Divisi Kajian
Jangka Pendek
- Diskusi Reguler 1 minggu sekali. Materinya berkenaan dengan SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme)
-
Jangka Panjang
- Seminar dan Bedah Buku 3 bulan sekali

Divisi Pelatihan
Jangka Pendek
- Pelatihan Mc
- Pelatihan Moderator
- Pelatihan Observer
- Pelatihan Fasilitator

Jangka Panjang
- Pengadaan Modul JarIK

Divisi Pers
Jangka Pendek
- Pelatihan jurnalistik
- Pelatihan Noutulen
- Pengadaan Buletin 1 bulan sekali
- Ngeup date Blog

Jangka Panjang
- Pengadaan Perpustakaan dan Taman Baca

Divisi Penelitian
Jangka Pendek
- Pelatihan Penelitian

Jangka Panjang
- Pembukuan hasil penelitian

D. Infra Struktur
- Sekretariat
- Komputer
- Tape Corder
- Cam Dick
- Lemari
- Karpet
- Bor
- Papan Mading
- Jam Dinding
- Listrik

Tak hanya itu, pengadaan buku-buku Islam pula menjadi modal utama dalam mentraspormasikan SPL tersebut. Mulai dari Isalam ala Rahman, Arkoun, Al-Jabiri, Hanafi, Syariati, Muthohari, Cak Nur, Dawam, Komarudin Hidayat beserta Madzab Ciputatnya. [Ibn Ghifarie]
Read more!