RSS

Hak Sipil

Sunday, August 26, 2007

Agama, Negara dan Penegakkan Hak-Hak Sipil Keagamaan di Indonesia (Memetik Pelajaran dari Kasus Ahmadiyah dan Usman Roy)*
Oleh Eko Marhaendi

Menulis karya tulis bertajuk “Agama, Negara, dan Penegakkan Hak-Hak Sipil Keagamaan di Indonesia” bagi penulis menjadi sebuah tantangan besar. Penulis sebutkan sebagai tantangan karena dua hal: pertama, penulis sendiri baru pertama kalinya terlibat serius dalam sebuah lembaga yang secara khusus mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan pelanggaran hak-hak sipil keagamaan yang mucul di negeri ini, hal ini dengan sendirinya menuntut penulis untuk lebih tajam memperhatikan serta menganalisis berbagai macam kasus yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kedua, dismaping tuntutan tadi, kasus pelanggaran hak-hak sipil keagamaan ternyata masih menjadi persoalan akut di negeri ini yang perlu mendapat perhatian besar, serta menantang kita untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelesaiannya.

Ambilah contoh kasus Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy yang mendapat perlakuan “tak adil” dinegeri yang semestinya keadilan itu dipelihara dengan subur, mengingat negeri ini merupakan negeri “kaum beragama”. Akhirnya kita harus kembali bertanya, “benarkah agama menjadi monitor keadilan dan pencipta suasana kedamaian, atau justru pemicu pertikaian, perpecahan dan penyebab ketidak adilan?”. Ironisnya, yang menjadi “batu sandungan” dua kasus tadi (Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy) adalah umat Islam sendiri sebagai penganut agama yang sama dengan agama yang dianut oleh Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy. Hanya karena beberapa perbedaan penafsiran yang tidak prinsipil, dengan serta merta lantas mereka dianggap sebagai yang keluar dari agama Islam, sesat, dan mesti “dihakimi”. Yang lebih menggelitik lagi, konon ketika penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah sedang marak-maraknya (2006 lalu), Menteri Agama justru mengeluarkan pernyataan yang mengusik pendengaran kita: “seharusnya Ahmadiyah membentuk agama baru”.


Kasus Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy telah memberikan kita sebuah gambaran bagaimana negara (pemerintah), tidak saja belum mampu mawujudkan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, bahkan telah menjadi “pelaku pelanggaran” tersebut. Ironis kiranya jika kita sebut pemerintah sebagai “pelaku pelanggaran” hak-hak sipil keagamaan, meski realitasnya demikian. Apa yang pernah dinyatakan Menteri Agama tentang status keagamaan Ahmadiyah, serta hukuman yang dijatuhkan untuk Usman Roy karena sholat bilingualnya, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak dapat berlaku objektif pada kasus ini. Atau dengan kata lain, pemerintah masih berpihak pada “Islam mayoritas”.

Dengan berangkat dari contoh kasus diatas, tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan kembali wacana agama, negara dan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, bagaimanakah implementasinya, serta menawarkan solusi dan langkah yang dapat diambil untuk mewujudkan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, sebagai persoalan yang masih membutuhkan perhatian besar, baik oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan, maupun masyarakat sebagai komunitas yang bergelut langsung dengan masalah-masalah tersebut.



Relasi Agama -Negara

Setengah abad silam, ketika para founding father akan merumuskan dasar-dasar yang melatari tegaknya Indonesian State (negara Indonesia), muncul sebuah pertarungan besar tentang dasar negara yang harus diberlakukan. Sebagaian besar tokoh Islam ketika itu menginginkan syariat Islam dijadikan sebagai dasar negara dengan memasukkan tujuh kata pada pancasila dan pembukaan undang-undang dasar 1945, pristiwa ini diabadikan sejarah dengan memory “piagam jakarta”. Sedikit mirip barangkali dengan sejarah “piagam madinah” yang pernah terjadi pada masa rasulullah, sunggugpun memiliki perbedaan yang cukup jauh. Keberhasilan founding father memilih pancasila sebagai dasar negara Indonesia tentu bukan sebuah kebetulan sejarah, akan tetapi memilih pancasila tentu merupakan sebuah keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang, mengingat kondisi masyarakatnya yang plural dan beranekaragam.

Pancasila sendiri merupakan ideologi yang cukup unik menurut sebagian pendapat, ia bukan ideologi teokrasi, bukan pula ideologi sekuler. Ini berarti, Indonesia – dengan pancasila – merupakan masyarakat religius yang mengakui eksistensi Tuhan disatusisi, serta memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan disisi lain. Meski demikian ada juga yang memandang pancasila sebagai wajah lain dari ideologi sekuler, pandangan ini datang umumnya dari golongan islamisme yang merindukan syariat Islam tegak sebagai ideologi negara, bagi golongan ini memang tidak ada ideologi yang lebih layak selain Islam, ideologi apapun diluar Islam mestilah sekuler. Sunggugpun pandangan semacam ini tidak sedikitpun “merusak” tatanan pancasila sebagai ideologi yang meniscayakan pluralitas keyakinan keagamaan. Memilih sila “Ketuhanan yang Maha Esa” lebih tepat – barangkali, dari pada memakai sila “menjalankan syariat Islam” meskipun menggunakan embel-embel “bagi pemeluknya”, sebab hal ini akan mereduksi keyakinan yang lain. Bahasa “Tuhan” tentu lebih plural, agama dan keyakinan manapun pasti menuju kesana. Karenanya pancasila tidak mendiskriminasi keyakinan dan agama manapun, tidak pula menjadi penghalang realisasi syariat Islam itu sendiri.

Baru saja – diatas – kita membicarakan sejatinya pancasila, dasolen (babagimana seharusnya), bukan dasein (bagaimana adanya). Jika kasus semisal Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy – sebagaimana disinggung sebelumnya sebagai tolak ukur tulisan ini – kita bawa dalam pembicaraan ini, maka disini kita akan berbicara dasein-nya pancasila. Pancasila yang cukup unik menurut sebagian pendapat, atau arif menurut penulis, sejatinya menuntut keterbukaan masyarakat Indonesia – termasuk umat Islam – untuk toleran dan arif pula menerima perbedaan. Namun, mengapa kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy justru terancam hidup dibumi pancasila?. Siapa yang harus dipersalahkan melihat kondisi ini, pancasila-kah sebagai ideologi?, umat Islam sebagai masyrakat mayoritas? kedua kelompok tadi (Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy) sebagai objek yang dipandang menyimpang? Atau pemerintah sebagai pengambil kebijakan?,

Jika kita menjawab pancasila sebagai ideologi yang salah, maka perlu dipertanyakan pula, ideologi mana yang lebih pantas selain pancasila?. Sekuler, atau syariat Islam-kah?. Mestilah kita menjawab tidak untuk ideologi sekuler, dan mustahil jika harus syariat Islam karena terbukti telah mengalami kegagalan. Indonesia yang plural, yang tidak hanya dihuni oleh umat Islam, membutuhkan sebuah ideologi universal yang toleran terhadap pihak manapun, serta dapat diterima oleh siapapun. Disini, pancasila merupakan sebuah jawaban tepat. Jikapun setelah pancasila ada lantas ditolak (oleh sebagian) dan harus syariat Islam, inilah yang selanjutnya ingin penulis sebut sebagai “egoisme buta” yang pada gilirannya mengancam integritas bangsa.

Jika kita sebut umat Islam yang salah, ada benarnya – dan lebih banyak kelirunya. Tentu harus dipertanyakan kembali “umat Islam yang mana?” NU-kah?, Muhammadiyah, Al-Washliyah, FPI, MUI, atau yang mana?. Pertanyaan ini akan memunculkan perdebatan panjang yang tak kunjung selesai, sebab seluruh kelompok tadi toh tidak rela dikatakan bukan bahagian dari umat Islam, bahkan Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy – sebagai kelompok yang ditolak dari komuniatas Islam. Masalah ini sama rumitnya jika kita menjawab Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy sebagai yang salah, disini kita akan bersentuhan dengan argumentasi imanen, persoalan tafsir, fiqih dan lain sebagainya – yang juga mengalami perdebatan tak kunjung selesai sepanjang sejarah. Tulisan ini, penulis tegaskan, tidak punya kapasitas untuk menyelesaikan perdebatan tersebut, karenanya cukuplah masalahnya sampai disini.

Yang terakhir, mungkin kurang tepat tapi cukup beralasan bagi penulis, bahwa pemerintah – meski tidak harus disalahkan sepenuhnya – memang kurang bijak mengambil kebijakan. Apakah ini berarti – tulisan ini – bermaksud menjustifikasi pemerintah sebagai pihak yang salah?. Dengan melihat relasi agama dan negara di Indonesia, mari kita melakukan sebuah pembacaan!.

Paling tidak, ada tiga bentuk sistem pemerintahan negara terkait hubungannya dengan agama. Dua diantaranya merupakan sistem pemerintahan yang sedang marak diperbincangkan belakangan ini, yaitu sistem kenegaraan sekuler dan teokrasi. Sekuler – sebagaimana yang paling mahsyur – dipahami sebagai “pemisahan antara negara dengan agama”, dan teokrasi merupakan kebalikan dari ideologi sekuler ini, dimana agama tidak dapat dipisahkan dari kebijakan negara. Agama pada sistem pemerintahan sekuler hanya dapat berlaku pada wilayah private, sementara pada sistem teokrasi agama bukan saja tidak dibedakan, bahkan tidak dapat dipisahkan, agama adalah negara dan negara adalah agama, karenanya pada sistem teokrasi harus ada sebuah agama yang dijadikan sebagai agama resmi pada negara bersangkutan.

Pancasila barangkali dapat ditempatkan pada bentuk yang ketiga, tidak sekuler tidak pula teokrasi – jika dapat disepakati bahwa pancasila bukan merupakan bentuk lain dari wajah sekularisme. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” – sebagai pengganti tujuh kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” – mengisyaratkan bentuk pengakuan tersendiri bagi seluruh keyakinan yang ada. Karenanya, di Indonesia tidak menganut satu agama resmi sebagai agama negara, tidak pula menyingkirkan agama sebagai sebuah semangat dalam mengambil kebijakan pemerintahan. Semangat dimaksud tentu bukan semangat satu agama saja, katakanlah Islam sebagai pemeluk mayoritas, prinsip semacam inilah yang pada gilirannya melahirkan gejolak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tapi, semangat agama yang dimaksud harus dipahami sebagai semangat “moral” dan “etika”, menekankan prinsip kejujuran, keadilan dan kebersamaan yang sejatinya diajarkan pada keyakinan dan agama manapun.

Akan tetapi, kita melihat kondisi yang kurang fair dalam hal ini. Jika pancasila telah berhasil dipilih sebagai ideologi negara dengan usia lebih dari setengah abad lamanya, namun nilai-nilai pancasila – dapat dikatakan – belum berhasil diimplementasikan dalam realitas kehidupan negara. Kita harus kembali melihat kasus Jmaah Ahmadiyah dan Usman Roy sebagai “agama” (keyakinan) yang masih belum terlindungi dalam persoalan ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah posisi pemerintah menyangkut hubungan agama dan negara pada sistem pemerintahan yang beridiologikan pancasila?. Jika kita berbicara pada tataran ideal, maka jawaban yang mesti diajukan adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan – menyangkut masalah-masalah yang muncul dalam persoalan keagamaan, dan pemerintah tidak boleh berpihak pada satu agama manapun – meski itu merupakan agama yang dianutnya.

Apa yang penulis tegaskan diatas barangkali senada dengan apa yang pernah ditulis Djohan Effendi, dalam sebuah tulisannya Djohan mengutip penegasan pemerintah (Presiden Soeharto ketika itu), bahwa pemerintah tidak mencampuri masalah intern keagamaan, baik yang berkaitan dengan masalah penafsiran, pengamalan, maupun pelembagaan dari masing-masing umat beragama. Kepala Negara – ditulis Djohan – juga pernah menegaskan bahwa “kita di Indonesia tidak mengenal agama resmi dan tidak resmi”. Pernyataan ini, sebagaimana diungkapkan Djohan, merupakan penegasan atas jaminan konstitusi kita tentang kemerdekaan beragama. Dalam hal ini, Djohan melihat posisi pemerintah – semestinya – wajib memberikan pelayanan kepada semua agama dan tidak terlalu jauh mencampuri keberagamaan umat.

Sampai disini tentu kita dapat melihat secara arif dimana sejatiya posisi dan peran pemerintah dalam masalah keberagamaan umat. Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan pemerintah sudah cukup objektif berada pada posisi dan perannya, jika Jamaah Ahmadiyah harus disuruh membentuk agama baru oleh Menteri Agama – yang notabenenya adalah pemerintah?, atau Usman Roy yang dikawatirkan mengganggu pemahaman umum karena sholat bilingualnya, haruskah di penjara – yang justru tindakan ini mengindikasikan campur tangan pemerintah?. Kondisi semacam ini, persisnya diungkapkan pula oleh Djohan: bahwa kita belum sampai pada kondisi yang semestinya.



Menggagas Sekularisasi Melalui Sekularisme.

Bagaimana agar kita dapat sampai pada kondisi yang semestinya (dasolen) – sesuai dengan falsafah ideologi pancasila? Menurut hemat penulis, ada baiknya kita melakukan pembacaan terhadap gagasan pemikiran Nurcholish Madjid (baca Cak Nur) tentang sekularisasi sebagai proyek terbesar sepanjang hidupnya. Penulis melihat, gagasan sekularisasi yang dikampanyekan Cak Nur sejak 1970-an, senyatanya menjadi kunci jawaban pada persoalan yang kita hadapi saat ini,– atau kita bicarakan pada tulisan ini. Yang menjadi persoalan adalah, kita menemukan masalah yang cukup pelik pada gagasan sekularisasi Cak Nur. Pasalnya, istilah sekularisasi kerap disandingkan dengan sekularisme sebagai ideologi yang pernah muncul di wilayah Eropa, yang menginginkan pemisahan otoritas gereja dari kebijakan negara. Sejarah sekularisme tersebut, tentu membawa dampak tersendiri terhadap proyek sekularisasi Cak Nur. Padahal Cak Nur sendiri – sebagaimana yang sering ditegaskannya – membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, sekularisasi bagi Cak Nur merupakan sebuah proses sosial, sedangkan sekularisme ideologi yang memang mesti dihindari.

Msaalahnya semakin bertamabah pelik ketika Dawam Rahardjo tampil kehadapan publik dengan mengkapanyekan sekularisme untuk meradikalkan gagasan sekularisasi Cak Nur. Kondisi ini tentu, malah dapat dipastikan, akan memperkuat anggapan yang selama ini muncul, bahwa sekularisasi akan mustahil tanpa sekularisme. Jika benar Dawam hadir untuk meradikalkan ide sekularisasi Cak Nur, maka kita harus yakin sekularisme yang dimaksudnya adalah penghayatan yang lebih mendalam tentang gagasan sekularisasi Cak Nur, bukan ideologi yang pernah berkembang di Eropa, yang menginginkan pemisahan agama dari kebijakan negara. Meskipun demikian, istilah sekularisme yang digunakan Dawam tentu akan berbenturan dengan istilah sekularisme yang banyak dipahami orang selama ini. Akhirnya, kita harus rela menyita waktu untuk memperdebatkan satu istilah yang sama dengan makna dan tujuan yang berbeda. Menurut hemat penulis, inilah yang mesti didiskusikan terlebih dahulu sebelum kita membahas sekualrisasi yang penulis pandang sebagai kunci jawaban atas masalah yang dibahas pada tulisan ini.

Frangki Budi Hardiman, dalam makalah yang disampaikan pada kegiatan intermediate training Jarik di Jakarta April-Mei 2007 lalu, menegaskan: jika kita memusatkan perhatian pada efek negatif sekularisasi, maka sekularisasi dapat mendorong kita pada ektrem atau ekses, yaitu suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong, mengingat pada sekularisasi doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasikan didalam politik, sehingga efek positif yang dapat dilihat adalah toleransi agama. Berangkat dari catatan ini, dapatkah Dawam Rahardjo kita tempatkan sebagai vigur yang telah mengalami ekstrem atau ekses sebagaimana dimaksud Franki pada tulisannya?.

Disini penulis melihat pemaknaan yang bias terhadap istilah “meradikalkan” yang dilabelkan kepada Dawam terkait dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Terlepas apakah istilah “meradikalkan” tadi merupakan terms yang digunakan oleh Dawam sendiri, atau pelabelan yang diberikan untuknya, istilah ini – menurut penulis – membawa dampak tersendiri yang melahirkan kesan adanya sesuatu yang “berlebihan”. Jika demikian, maka Dawam dapat ditempatkan sebagai vigur yang telah mengalami ekstrem atau ekses sebagaimana disinggung sebelumnya.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Apa yang dimaksudkan Frangki dengan pluralisme sebagai yang mesti diwaspadai – karena alasan masyarakat Indonseia yang cendrung religius, tentu tidak dapat disejajarkan dengan sekularisme yang dikampanyekan Dawam, ini adalah rumusan yang perlu dipertegas. Dawam sendiri, dalam mengkapanyekan sekularisme sebagai sebuah pilihan toh tidak mengingkari adanya konsekuensi decline of religion, dan ini mesti dihindari – tegas Dawam. Disini kita melihat bahwa sekularisme yang dimaksud Dawam tentu bukanlah sekularisme sebagai yang dikhawatirkan banyak orang selama ini, sebuah ideologi yang meniscayakan adanya decline of religion. yang mengakibatkan tersingkirnya eksistensi agama

Kita tinggalkan sejenak debat soal sekularisme, sekarang mari kita lihat apa yang dimaksud Cak Nur dengan proyek sekularisasinya. M. Deden Ridwan menyebutkan, titik tolak Cak Nur dalam memahami istilah ini (sekularisasi) sangat bersifat sosiologis, bukan ideologis. Tentang hal ini, Cak Nur banyak mengutip Talcott Parson dan Harvey Cox, yang menyebutkan bahwa sekularisasi lebih banyak mengisyaratkan pengertian “kebebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan dalam hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemasyarakatan itu”. Deden selanjutnya mengutip Harvey Cox – sebagaimana dikutip Cak Nur – dengan menuliskan:

….sekularisasi merupakan sebuah proses sejarah, tesis yang hampir pasti tidak bisa diubah, dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari pengawasan nilai-nilai agama dan pandangan dunia tertutup. Kami berpendapat, bahwa secara mendasar sekularisasi adalah proses pembebasan, sedangkan sekularisme adalah nama bagi sebuah ideologi, suatu pandangan-dunia yang tertutup yang banyak berfungsi seperti agama baru.

Bertolak dari pandangan diatas, Cak Nur menegaskan – sebagaimana ditulis Deden – sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme, melainkan suatu proses pembebasan atau “menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk mengukhrawikannya. Lebih jauh Deden meuliskan:

Sekularisasi, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, menurut Nurcholish, substansi sekularisasi itu adalah memecahkan dan memahami masalah-masalah dunia dengan menggunakan rasio. Dalam pada itu, rasionalisasi yang berkonotasi berfikir ilmiah dimungkinkan, kalau dunia sebagai objek pemikiran ilmiah dibebaskan dari mitos-mitos yang mensakralkannya. Jadi, ia dapat ditundukkan pada dan direkayasa bagi kepentingan manusia. Desakralisasi, demitologisasi, atau sekularisasi mengimplisitkan “devaluasi radikal” terhadap objek-objek mitologi: diturunkannya nilai-nilai sakral menjadi objek yang hanya mengandung kegunaan praktis saja. Maka, demikian Nurcholish, segala sesuatu harus tetap dikembalikan kepada prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, dimana orang harus mantap dan tidak “mentabukan” sesuatu, kecuali Tuhan sendiri.

Dengan melakukan pembacaan pada proyek sekularisasi Cak Nur – berdasarkan kutipan-kutipan sebelumnya, tampak dengan jelas bahwa Cak Nur memahami sekularisasi sebagai sebuah keharusan sejarah bagi umat Islam. Terkait dengan masalah yang sedang kita bicarakan pada tulisan ini – relasi agama dan negara serta hubungannya dengan penegakkan hak-hak keagamaan, maka dapat disimpulkan bahwa proyek sekularisasi Cak Nur menjadi sebuah kunci jawaban dalam memecahkan persoalan kita pada tulisan ini. Pasalnya, yang menjadi benturan relasi agama dan negara di Indonesia hari ini adalah umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas. Umat Islam sebagaimana realitasnya, tampak telah mendominasi elit politik dan pemerintahan di Indonesia, sehingga wacana yang sering kali muncul adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak boleh lari dari mainstrem Islam.

Kita dapat dengan mudah membuktikan pernyataan ini. Ambilah contoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk untuk kepentingan umat Islam, mengapa pengaruhnya begitu besar terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah?. Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy boleh jadi merupakan “korban” dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipengaruhi oleh lebaga-lembaga tadi – Departemen Agama, atau MUI misalnya.

Karenanya, menggagas sekularisasi di Indonesia merupakan persoalan yang penting – bagi penulis. Mungkin proses sekularisasi itu sendiri sudah berjalan dengan sendirinya, sebagai sebuah proses sejarah seperti yang ditegaskan Cak Nur, atau sebagai teseis yang hampir pasti tidak bisa diubah – meminjam istilah Hervey Cox. Namun demikian, penting pula digaris bawahi, kesadaran pentingnya sekularisasi masih belum tumbuh pada masyarakat Indonesia, apalagi umat Islam. Kita butuh penegasan dan penekanan akan pentingnya sekularisasi tersebut tentunya dengan “sekularisme” yang tidak harus dipahami sebagai pemisahan agama dan negara, melainkan– menurut pemahaman penulis sendiri –proses yang harus lebih ditekankan melalui sebuah pemahaman. Berangkat dari kesadaran pentingnya sekularisasi ini pula – brangkali, vigur seperti Dawam Rahardjo tampil kehadapan publik mengkampanyekan sekularisme untuk meradikalkan gagasan Cak Nur. Penulis sendiri meyakini, sekularisasi toh akan mustahil tanpa “sekularisme” – dalam tanda petik.



Mempertimbangkan Visi Pluralisme

Langkah yang juga penting menurut penulis – mengingat contoh kasus diatas – adalah “menimbang ulang visi pluralisme” dengan cara “mengkaji ulang pluralisme”. Mengapa harus menimbang visi pluralisme dan mengkaji ulang pluralisme?, ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban serius. Pasalnya, pluralisme ditentang oleh mayoritas umat Islam, apalagi ketika istilah pluralisme telah masuk kedalam “catatan harian” MUI sebagai sesuatu yang difatwakan haram, jelas hal ini semakin memperkuat alasan penolakan tersebut. Padahal disisi lain, pluralisme menyimpan sebuah visi yang luhur bagi pluralitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang mampu menciptakan integritas bangsa. Pluralisme karenanya, mestilah merupakan cita-cita yang harus diwujudkan bersama, dan masalah yang perlu dipertimbangkan adalah umat Islam – sebagai masyarakat dominan – menolak visi luhur tersebut. Maka, yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang pluralisme itu sendiri, mengapa umat Islam menolak, dan seberapa pentingkah pluralisme itu mesti diwujudkan.

Pluralisme seyogianya menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang plural, Indonesia sendiri pada prinsipnya merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak oleh umat Islam – sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia. Toh umat Islam tidak mengingkari pluralitas sebagai sebuah kenyataan, lantas bagaimana pada saat yang sama justru pluralisme – sebagai yang lahir dari pluralitas – ditolak oleh umat Islam?. Bahkan, dalam sebuah kesempatan penulis pernah berdialog dengan aktivis HTI seputar khilafah Islamiyah, penulis bertanya: seandainya cita-cita membangun khilafah Islamiyah yang diperjuangkan rekan-rekan HTI dapat terwujud suatu saat, apakah pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah) ketika itu bisa mengakomodir kelompok-kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah, JIL atau komunitas Lia Eden – misalnya, sebagai sebuah realitas pada wilayah kekuasaannya?, tanpa celah panjang aktivis HTI tadi menjawab “bisa”, malah ditopang dengan argumentasi bahwa Rasulullah pernah menjadikan seorang Yahudi sebagai salah satu juru tulisnya. Ini sebuah jawaban luar biasa menurut penulis, yang menunjukkan mereka juga tidak mengingkari pluralitas, justru memberikan jaminan terhadap pluralitas (dengan mengakomodir berbagai kelompok tadi), bukankah hal ini merupakan wujud nyata dari pluralisme itu sendiri?

Ibarat sayur tanpa garam, menolak pluralisme ditengah keniscayaan pluralitas tentu akan menjadikan sesuatu itu “tidak berasa” sama sekali. Tidak ada pluralisme tanpa pluralitas, sebaliknya pluralitas mustahil dibangun tanpa pluralisme, yang ada malah disintegrasi masyarakat yang pluralistik akibat tidak terbangun sebuah pemahaman yang sama ditengah aneka macam perbedaan. Karenanya, bagi masyarakat yang plural, pluralisme mestilah menjadi sebuah keharusan. Hanya orang yang kesehatannya terganggu yang menginginkan “sayur tanpa garam”.

Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan terhadap pluralisme oleh umat Islam yang hidup ditengah masyarakat yang plural, terlebih Indonesia. MUI misalnya, sebagai lembaga tempat berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas sebagai sebuah keniscayaan, namun tetap saja mengharamkan pluralisme sebagai faham yang harus dihindari umat Islam. Alih-alih kang Jalal – dalam sebuah wawancara yang dilakukan tim redaksi buletin “kebebasan” – menyebut MUI tidak paham dengan “pluralisme sebagai gejala sosiologis”, sembari menempatkan Dawam Rahardjo sebagai pluralisme politis, serta mengisyaratkan dirinya sebagai pluralisme teologis. Jika demikian, wajarlah pluralisme mendapat penolakan karena maknanya masih bias dan belum mampu “didudukkan”.

Sepanjang yang pernah penulis baca dan coba pahami, beberapa tokoh pluralis ternyata mengkonsentrasikan pemikiran dan sikap pluralismenya pada beberapa persoalan yang berbeda, sungguhpun masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang lainnya. Pluralisme diyakini lahir sebagai gejala sosiologis dengan kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya, perlu dibangun sebuah kesepemahaman guna menghindari konflik dan benturan dalam interaksi individu maupun kelompok. Lihat misalnya defenisi pluralisme pada wikipedia berbahasa Inggris, yang dimaknai sebagai “pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa Indonesia : “Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan).

Apa substansi yang ingin dilahirkan dari pluralisme?, barangkali inilah pertanyaan yang tepat untuk mengukur seberapa penting pluralisme ditegakkan. Dan untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita harus berangkat dari “kekhawatiran” orang-orang yang menolak pluralisme tersebut. Umat Islam misalnya, menolak pluralisme karena dikhawatirkan akan mengarah pada sikap relativisme, singkritisme dan nihilisme. Analoginya persis seperti yang dicontohkan Adian Husaini: Juma’at sembahyang ke Mesjid, Minggu kebakatian di Gereja dan sekali waktu beribadah ke Vihara. Penulis menduga, kebanyakan orang yang menolak pluralisme dikarenakan kekhawatiran semacam ini, dan penulis ingin menegaskan “ini merupakan kekhawatiran yang keliru”.

Menurut hemat penulis, pluralisme dan relativisme – atau sejenisnya, mestilah menjadi dua persoalan yang harus dapat dibedakan. Pluralisme berangkat dari kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan, kita hanya dapat berafilisai dengan komunitas yang berbeda tadi dengan menjadikan pluralisme sebagai titik tolaknya, kalau relativisme justru sebaliknya, menganggap semuanya sama. Substansi pluralisme sendiri adalah “toleransi” dalam melakukan interaksi satu sama lain. Inilah yang penulis anggap sebagai visi luhur pluralisme, baik pluralisme sosiologis, politis maupun teologis, menginginkan lahirnya sebuah suasana yang disebut dengan “toleransi”.



Penutup

Tulisan ini sedikit banyak telah memberikan pengantar untuk melakuka pembacaan terhadap kondisi Indonesia sebagai “negeri kaum beragama” yang belum mencerminkan spirit umat beragama. Pada setiap agama manapun, selama itu masih agama, mestilah diajarkan sikap menghargai dan menghormati yang lain. Sayangnya, Indonesia sebagai “negeri kaum beragama” belum mampu mewujudkan apa yang diajarkan oleh agama. Sebab, kita masih melihat ada diskriminasi dan tindak ketidak adilan yang dilakukan oleh segelintir pihak – atau hampir semua pihak, terhadap saudara kita seperti Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy. Mereka belum memperoleh jaminan “kebebasan” untuk beragama di negeri ini, inilah PR, tugas dan tanggung jawab bersama sebagai masyarakat.

Didepan, penulis telah menawarkan langkah dan solusi yang penulis nilai sebagai solusi tepat untuk menegakkan hak-hak keagamaan di Indonesia. Mungkin solusi ini adalah solusi yang jauh hari sudah dikumandangkan orang-orang terdahulu, hanya karena dinilai kurang tepat, bahkan bukan solusi sehingga langkah seperti “sekularisasi” dan “pluralisme” juga masih sulit ditegakkan. Namun, sebagai manusia yang menginginkan perubahan, penulis, juga rekan-rekan sejalan, dapat dipastikan tidak akan bosan untuk menawarkan dan merealisasikan langkah-langkah tersebut.





* Ditulis sebagai persyaratan mengikuti Advance Trauining dan Trainer of Trainer Jaringan Islam Kampus (Jarik) di Jakarta pada tanggal, 18-28 Agustus 2007

Penulis adalah Kordinator Jarik Medan-Sumatera Utara, Kontributor pada Komuniotas Penulis Lepas di situs: www.penulislepas.com. Sekjend Himpunan Mahasiswa Al-Wahliyah Kota Medan, dan Mahasiswa Program Komunikasi Penyiaran Islam Fak. Dakwah IAIN Sumut (Semester akhir)



Reference

1. Buletin Kebebasan No 03/ V/ 2007
2. Dawam Rahardjo. Agama di Ranah Publik. (Buletin Kebebasan Edisi No 1/ XI/ 2006)
3. Djohan Effendi. Jaminan Konstitusional Bagi Kebebasan Beragama di Indonesia pada Pasing Over: Melintasi Batas Agama (Editor: Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF). Diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta. 1998
4. F. Budi Hardiman. Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. (makalah: disampaikan pada kegiatan Intermediate Training dan Konfrensi Nasional Jaringan Islam Kampus, Jakarta 27 April-2 Mei 2007).
5. Franz Magnis Suseno. Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Dikutip dari Modul Pelatihan Jarik 2007
6. Gerg Barton. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dab Abdurrahman Wahid. Diterbitkan atas Kerjasama Paramadina dan Pustaka Antara. Jakarta. 1999
7. Iqbal Hasanuddin. Sekularisme dan Revitalisasi Islam Publik. Pada Buletin Kebebasan No 01/ IX/ 2006
8. M. Deden Ridwan. Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan. Penerbit Belukar. Yogyakarta 2002
9. Oliver Roy Gagalnya Islam Politik. Penerbit Serambi. Jakarta 1996.
10. Fatwa MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005
11. www.islamlib.com
12. www.wikipedia.org
Read more!

Pluralisme

Saturday, August 18, 2007

Teologi Keberagamaan Pluralisme Liberatif
Oleh Saeful Anwar

“Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun pabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuannya terarah hanya pada satu tujuan.”
[Jalaludin Rumi]

AGAMA adalah obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman, rentangan waktu dari hal-hal yang berbau mitos hingga dimana sains mendominasi dalam berbagai hal. Hal ini di sebabkan karena fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan baik individu maupun social secara universal. Akan tetapi, di sisi lain agama sering menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan atau chaos bagi kelangsungan hidup umat manusia.


Di samping itu, fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan, agama sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya; perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Adanya truth claim; pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran diluar dari golonganya, agamanya, keyakinannya dan dicap sesat atau murtad (orang yang keluar dari agama), sedangkan yang menurut mereka benar adalah apa yang jalani menurut keyakinannya. Seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok konservatif garis keras yang menolak fakta pluralisme, yang terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu tentu saja berbahaya karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan keagamaan.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya. Munculkan klaim kebenaran dan penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda (double Standards) kebenaran. Maksudnya baik orang Islam ataupun non Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normative untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis.

Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.

Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.

Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fatabikhul khairat)

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".

Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
Fakta dan keniscayaan pluralisme

Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.

Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.
Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah (1999), realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.

Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).

Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
Pluralisme keagamaan dan praksis sosial

Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum (1999) yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.
Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.
Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993). Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.
Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.
Sekedar Penutup
Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.
*****
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Kompas, 2002.
Akbar S Ahmed. Postmodernisme and Islam, Terjemahan Afif Muhammad. Mizan, Bandung, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung: 1999.
Bulletin Kebebasan. Edisi 01,02,03 dan 04. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta; 2006
Jurnal Emanasi, edisi 01, Lembaga Kajian dan Penulisan UIN SGD Bandung, 2001
John Hickk, God and the Universe of Faiths, One World Publications Oxford, i993
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet 3
Madjid, Nurcholish. Pluralisme di Indonesia, jurnal Ulumul Qur’an, No 03, Vol VI i995
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997
Muhammad, Afif. Islam Mazhab Masa depan: Menuju Islam Non-Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme; Nurcholish Madjid. Paramadina; Jakarta 2007
Rachman, Budhy Munawar. Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Paramadina; Jakarta 2006
Schoun, frithjop. Mengenai jejak-jejak agama abadi (Sur Les traces de la Religion perenne) diterbitkan pada tahun 1982
Schoun, frithjop. Mencari titik temu Agama-agama, terj, Safroedir bahar dari judul asli, The Transenden Unity of Religion, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987
Read more!

Dialog Agama

Friday, August 17, 2007

MERETAS JALAN BARU DIALOG ANTARAGAMA:
MENUJU KEBEBASAN BERAGAMA

Oleh Subkhi Ridho

Aktivitas dialog antaragama yang sudah berjalan selama ini merupakan hal yang sangat berharga di tengah pluralitas agama di Indonesia. Tidak jarang bahwa dialog antaragama menjadi medan pelampiasan kedongkolan dan luapan luka-luka lama atau pameran kekuasaan politik suatu golongan agama tertentu dalam paggung kekuasaan.

Dalam banyak konsultasi soal dialog, nyata bahwa kebenaran agama tidak selalu menjadi agenda pembicaraan, dan dialog dipusatkan pada sikap saling menghargai, saling mendengar masalah, sampai kepada soal kerjasama bagi masyarakat yang adil dan manusiawi, serta demi perdamaian dunia.

Pertama, Hans Kung pernah mengeluarkan sebuah statemen yang berbunyi sebagai berikut: “No peace among the nations without peace among the religions, No peace among religions without dialogue between the religions; No dialogue between religions without investigation the foundation of the religions”. Yang artinya: “Tiada perdamaian bagi bangsa-bangsa tanpa perdamaian diantara agama-agama; Tiada perdamaian diantara agama-agama tanpa dialog antaragama; Tiada dialog antaragama tanpa mempelajari fondasi agama-agama”.

Kedua, Makna apa yang dapat kita ambil dibalik pernyataannya tersebut. Sebagai penganut agama tentunya kita perlu merenungkan dan sekaligus mencari jalan keluarnya apabila justeru agama yang menimbulkan “kerusuhan” dalam masyarakat. Oleh karena itu, maka Hans Kung mengajak kepada umat beragama -secara khusus ia menyebut Islam dan Kristen--untuk membangun cara pandang yang baru satu sama lain, dan melupakan sejarah masa silam keduanya yang dipenuhi konflik dan pertentangan.

Ketiga, Setiap penganut agama pasti meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan tentang persaudaraan antara sesama manusia, meskipun demikian, tidaklah dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa agama merupakan garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan, dalam perspektif tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua: ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan “bahan bakar” untuk membumi-hanguskan perdamaian manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi, atas nama agama juga, manusia saling bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain.

Keempat, Sejarah peradaban merepresentasikan contoh yang pertama. Sementara itu, sejarah peperangan menunjukkan contoh yang kedua.
Menarik ke dalam konteks Indonesia, tentunya kedua hal tersebut pernah terjadi semua dalam sejarah kehidupan antaragama di negara kita. Di masa Orde Baru, pertentangan maupun kerja sama antaragama seringkali merwarnai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya, barangkali, akibat dari sistem pemerintahan yang otoriter, konflik fisik yang terjadi relatif tidak muncul ke permukaan, bahkan setelah memasuki dasawarsa kedua pemerintahan Orde Baru jarang dijumpai konflik fisik. Justeru, konflik itu terjadi dalam ranah perpolitikan nasional.

Kelima, Dalam membangun serta mewujudkan hubungan antaragama yang konstruktif, Orde Baru telah memberikan jalan, dalam hal ini melalui Departemen Agama (Depag). Apalagi semasa Depag di bawah kepemimpinan Menteri Agama A. Mukti Ali. Kemudian didukung juga oleh individu-individu tokoh seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid yang gencar menyuarakan ide pluralisme Islam.6 Selain juga dukungan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia atau Dialog Antar Iman (DIAN/Interfidei), Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Yogyakarta, Paramadina, Masyarakat Dialog Antaragama (MADIA) di Jakarta,--untuk menyebut beberapa nama-- pada periode 90-an.

A. Format-Format Dialog Antar Agama
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dialog antar agama yang berlangsung maupun yang bisa dilakukan, ada pelbagai tipe. Dialog-dialog yang berlangsung itu dapat dilihat dalam kerangka berbagai macam. Di sini para tokoh menyebutkan bentuk-bentuk itu. Meskipun secara substansial terdapat kemiripan, akan tetapi walaupun mengambil beberapa bentuk distingtif namun hal ini saling berkaitan. Ada baiknya kita menyimak yang dikemukakan oleh mereka di bawah ini.

Dalam bukunya, N.K. Atmadja Hadinoto membagi format dialog antar agama menjadi empat macam yaitu: Pertama, Dialog Karya atau dialog yang menyangkut masalah-masalah keprihatinan bersama sebagai suatu bangsa, atau sebagai prsekutuan internasional. Misalnya penanganan masalah pelarian-pelarian politik dari negara-negara yang sedang bergolak, kurban peperangan, masalah kekurangan pangan, bencana alam, dan sebagainya. Dialog karya ini sebenarnya telah lama dipraktekkan oleh masyarakat desa dalam bentuk gotong-royong.

Kedua, Dialog dalam persekutuan (dialogue in community). Dalam dialog macam ini seperti apa yang berlangsung dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga menceritakan pengalaman dan pandangannya, dan yang lain mendengar atau mengomentarinya, namun tentunya dapat juga berlangsung pada tingkat yang lebih luas, sepeti dialog antar golongan agama-agama, dan sebagainya.

Ketiga, Dialog yang menyangkut soal kebenaran agama. Dalam dialog semacam ini diperlukan persyaratan-persyaratan yang rumit. Karena tidak saja kita perlu dengan rasa hormat dan kesabaran mau mendengar pihak mitra berdialog, tetapi dari pihak sendiri diperlukan kejernihan pandangan tentang apa yang kita percayai sebagai kebenaran agama.

Keempat, Dialog Mediatif (inner dialogue). Dialog ini menentukan sikap, mempersiapkan orang untuk memasuki dialog yang sebenarnya. Dialog ini mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik atau mistik. Kadangkala juga disebut dialog spiritual atau dialog batini.

Sementara itu, A. Mukti Ali menuliskan lima bentuk dialog yang dilakukan oleh kelompok agama.7 Diantaranya yaitu: (a). Dialog Kehidupan (dialogue of life) 8
Dalam kegiatan sehari-hari sebenarnya telah dilakukan dialog yang disebut “dialog kehidupan”. Di sini, orang dari pelbagai macam keyakinan dan agama hidup bersama, dan saling kerja sama dalam upaya memperkaya kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, dengan perantaraan melakukan nilai-nilai dari agama masing-masing tanpa diskusi formal. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing. Dialog ini dapat terjadi di lingkungan keluarga, desa, sekolah, rumah sakit, industri, kantor dan negara.

(b). Dialog dalam Kegiatan Sosial9 Yang diutamakan dalam dialog ini adalah --dalam rangka-- meningkatkan harkat umat manusia dan pembebasan integral dari umat manusia. Di sini, orang dari kelompok agama manapun dapat mengadakan kerja sama dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, dalam proyek bersama untuk membantu rakyat yang menderita dari kekeringan, kekurangan makan, membantu para pengungsi dan terutama meningkatkan keadilan dan perdamaian.

(c) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama10 Dialog ini mengambil bentuk dari pengalaman agama seperti tafakur, dzikir, puasa dan bentuk-bentuk latihan lain untuk menguasai diri, ziarah ke tempat orang suci, merenung dan mistik adalah wilayah-wilayah yang bisa dilakukan bersama oleh orang-orang yang mendalam keyakinannya. Jadi, di sini pertukaran pengalaman agama antar pelbagai penganut agama merupakan sarana bagi terciptanya dialog.

(d) Dialog untuk Doa Bersama Dalam dialog ini, lebih menitikberatkan pada doa bersama yang dilakukan oleh pelbagai macam penganut agama. Di sana, orang datang melakukan doa untuk perdamaian, keselamatan. Hanya, sudah barang tentu mereka tidak bisa melakukan doa bersama, karena doa didasarkan kepada keyakinan, sedangkan keyakinan mereka berbeda-beda. Akan tetapi, para pemeluk agama datang bersama untuk berdoa dengan maksud yang sama, yakni perdamaian, keselamatan. Setiap umat berdoa dengan caranya sendiri dan tidak mengikuti doa orang lain.

(e) Dialog Diskusi Teologis Dialog teologi ini mencakup pertemuan-pertemuan --baik reguler maupun tidak--untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis. Dalam dialog ini difokuskan pada tukar-menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan amalan-amalan agama mereka, dan berusaha untuk mencari saling pengertian melalui perantaraan diskusi tersebut.

Tema-tema yang pernah diangkat, misalnya, pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing, sifat wahyu Illahi, tanggungjawab manusia dalam masyarakat, dan sebagainya. Dalam dialog teologis dapat menjangkau hal-hal lebih luas, seperti makna tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme agama.11

Dalam dialog teologis, yang penting sebenarnya adalah berbagi pengalaman keagamaan, bukannya berdebat apalagi berbantah-bantahan, yang justru dilarang oleh al-Qur'an.12 Oleh karena itu, kita tidak perlu membayangkan tema-tema yang terlalu musykil seperti pernah disinyalir oleh Watt, misalnya. Dia mengajukan proposal bahwa demi kerukunan hidup antar umat Kristen dan Islam, maka pihak Kristen perlu mempertimbangkan kembali doktrin bahwa: “Yesus merupakan satu-satunya anak Tuhan”, dan agar umat Islam menafsirkan kembali doktrin tentang Islam agama terakhir dan Muhammad sebagai Rasul terakhir.13

Jika memang itu yang menjadi temanya, menjadi wajar kalau banyak orang yang keberatan dengan dialog agama. Tapi, sesungguhnya, dialog agama tidak perlu merelatifkan kebenaran subyektif teologis yang diyakini oleh umat beragama itu sendiri.

Untuk itu perlu disimak apa yang telah disampaikan oleh Ignas Kleden. Sejauhmana dialog teologis antar agama bisa dilakukan? Menurut Ignas, suatu dialog antar agama adalah sama dengan dialog keselamatan yang dicita-citakan oleh masing-masing agama. Bila keselamatan dibenarkan tiap agama, dan karena keselamatan selalu tidak mentolerir usaha yang merugikan keselamatan orang lain, maka sebetulnya apapun cara yang diajarkan suatu agama untuk mencapai keselamatan, yang berarti tujuan itu, keselamatan itu sendiri akan menjaga agar cara yang ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan orang lain. Karena itu, kata Ignas selanjutnya, keselamatan yang menyiapkan kemungkinan suatu dialog antaragama, memberikan juga batas-batas yang harus dijaga agar dialog itu menjadi mungkin dapat dikembangkan dan tetap menyelamatkan semua pihak.14

Memang secara eksplisit Ignas tidak menjelaskan. Kiranya penting dicatat bahwa pendekatan teologis merupakan pendekatan eksoterik (kulit luar), dan karena itu seringkali bersifat subyektif. Tapi, bukan berarti bahwa pendekatan teologis tidak penting. Justru karena sifat kesentralannya dalam bangunan agama-agama, maka dialog pada level ini tidak bisa diabaikan.

***
Bentuk-bentuk dialog itu selain menunjukkan perbedaan lingkup materi dan cakupan wilayah dialog, juga menunjukkan kualitas dan arah dialog agama itu sendiri. Selain itu, para peserta yang terlibat dalam masing-masing bentuk juga seringkali menunjukkan perbedaan sikap terhadap dialog. Mereka yang terlibat dalam dialog sosial, misalnya, belum tentu memahami, atau bahkan siap, dialog pada level teologi. Begitu juga mereka yang terlibat dalam dialog teologi, bisa saja tidak bersedia memasuki dialog spiritual.

Tidaklah terlalu penting menekankan pada level mana dialog harus dilakukan. Yang harus lebih dipikirkan adalah bagaimana dialog pada semua level itu bisa berlanjut pada sikap saling memahami dan menghargai, sehingga tidak menghalangi upaya kerjasama antar umat beragama dalam berbagai aspek kehidupan.15

Dari pelbagai bentuk dialog di atas, hampir semua itu merupakan hal yang urgen bagi terciptanya kehidupan beragama yang harmonis. Di mana prasangka dan kecurigaan sudah layaknya kita pinggirkan jauh-jauh dari pikiran setiap penganut umat beragama. Prasangka dan kecurigaan yang terjadi, selama ini, hanya mengakibatkan hubungan sesama penganut agama menjadi tidak produktif karena telah melahirkan pertikaian yang justeru menodai agama itu sendiri.

B. Wilayah-Wilayah Dialog Antaragama
Setelah mengetahui bentuk-bentuk dialog, sudah semestinya diketahui juga wilayah-wilayah dalam dialog antaragama. Wilayah-wilayah itu diperlukan sebagai sarana dan sekaligus jembatan untuk memasuki lebih jauh pergumulan dalam kegiatan dialog antaragama.
Di sini dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah teologis, kemudian wilayah humaniora dan sekaligus wilayah praksis. Untuk mengetahui dengan jelas dan supaya dapat dipahami, akan diuraikan dibawah ini.

B.1. Wilayah Teologis
Selama ini, wilayah yang satu ini, sering ditabukan untuk dibicarakan, bahkan semasa pemerintahan Orde Baru berkuasa hampir-hampir tidak pernah disentuh. Karenanya, sudah saatnya wilayah teologis mendapat perhatian yang besar bagi kalangan aktivis, pekerja, serta masyarakat yang terlibat dalam dialog antaragama atau antariman.

Menurut Th. Sumartana, dialog antaragama harus didasari bahkan didahului oleh suatu dialog theologis demi untuk melakukan suatu kajian kritis terhadap diri sendiri. Langkah ini perlu dilakukan guna memisahkan harapan dari ketakutan, agar tidak bercampur-baur. Dialog theologis perlu dilakukan karena distorsi dan kesalahpahaman perlu diminimalisir, dan juga apresiasi perlu ditumbuhkan. Teologi harus dibebaskan dari memori traumatik dari hubungan manusia antarumat beragama, dan berani melangkah ke arah hubungan yang lebih manusiawi. 16

Dengan memperbanyak dialog theologis maka akan terbangun suatu kesadaran dalam diri setiap orang bahwa di luar keyakinan dan keimanan kita selama ini, ternyata ada banyak sekali keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Maka, dengan memasuki wilayah teologis pertama-tama yang akan kita hadapi adalah bagaimana kita memposisikan iman kita di tengah iman orang lain.17

Bolehkah kita secara teologis membenarkan iman orang yang berbeda agamanya dengan kita? Mungkinkah ada kebenaran selain kebenaran yang kita yakini selama ini, yang diajarkan oleh agama kita? Kalau benar ada, lalu di mana keistimewaan agama kita? Apakah masalah-masalah akidah atau keimanan perlu didialogkan, bukankah kita harus menerimanya saja dengan iman? Tidakkah nanti dialog semacam itu justru akan melunturkan akidah kita, atau merelatifkan iman kita?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu menyergap benak orang-orang yang mendengar kata dialog agama, lebih-lebih dialog antar iman. Bagaimana sikap kita selanjutnya untuk menepis segala anggapan dan kecurigaan dari pihak-pihak yang kurang atau bahkan tidak sependapat dengan degan adanya dialog-dialog antaragama. Tentu di sini diperlukan sikap kearifan dari para pelaku dialog, supaya orang yang menaruh kecurigaan itu dapat menyadari sikapnya tersebut.

Memasuki wilayah teologis sebenarnya akan memperkaya pengalaman keagamaan dan pengetahuan akan tradisi agama-agama lain. Ritual-ritual ibadah agama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain, bisa saja diperbincangkan di tengah-tengah agama lain, karena setiap agama memiliki ritus-ritus semacam itu, meski dengan tatacara yang berbeda. Dengan memperbandingkan aspek-aspek kesamaan dan pengalaman religius dalam suasana dialogis, masing-masing pemeluk agama dapat belajar bahwa semua agama sama-sama menyeru kepada kebaikan dan kebenaran.18

Dari dialog jualah, maka para pemeluk agama dapat belajar dari pengalaman masing-masing tentang bagaimana ajaran-ajaran agama dapat dipraktekkan. Sebab memang tujuan utama dialog, sebagaimana dikatakan Prof. Leonard Swidler, Guru Besar Studi Agama dari Temple University, AS, adalah belajar. Belajar haruslah dilakukan dengan sikap tulus dan jujur, bukan dengan pretensi untuk menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang lain. 19

Karenanya, dalam wilayah teologis tidak dibenarkan setiap pendialog mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini oleh umat agama lain, baik yang merupakan sistem keimanan maupun yang menjelma dalam berbagai ritus ibadahnya. Dalam setiap dialog, kata Swidler lagi, hendaknya jangan dibandingkan wawasan ideal kita dengan realitas praktis orang lain. Dalam dialog hendaklah kenyataan riil diperhadapkan dengan yang riil, dan prinsip ideal keagamaan dengan prinsip ideal keagamaan yang lain.20

Kiranya saat ini, kita tidak harus lagi memandang persoalan-persoalan teologis sebagai wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh dialog agama, apalagi memandangnya sebagai “daerah persengkataan”. Sebuah arena yang tertutup tidak akan pernah terkuak jikalau kita tidak pernah berani untuk membukanya. Persoalan-persoalan teologis bukanlah wilayah milik pribadi yang harus disimpan terus-menerus tanpa orang lain mengetahuinya. Memelihara sikap seperti ini, akan berakibat pada tumbuhnya ekslusivisme beragama yang kontra-produktif bagi keberagamaan itu sendiri. Melihat diri sendiri dan golongannya sebagai pihak yang paling benar dan menganggap orang lain berada dalam kesalahan dan yang perlu dipertobatkan.21

Di sinilah sesungguhnya letak urgensi memasuki wilayah teologis dalam dialog antaragama. Dengan berani masuk pada wilayah dianggap paling sakral dari masing-masing umat beragama, yaitu wilayah teologi untuk kemudian masuk pada masalah-masalah riil dari hubungan antaragama. Jika masalah teologi tidak selesai dibahas, hal ini bisa mengakibatkan pada jalannya dialog antaragama yang hanya akan menjadi intellectual exercise para aktivis dialog antaragama, tetapi problema antaragama terus saja menganga di depannya.22

B.2. Wilayah Humaniora
Wilayah kedua yang patut mendapat perhatian lebih dari kalangan agamawan ataupun pegiat dialog Islam-Kristen ataupun dialog antaragama yaitu wilayah humaniora.

Wilayah humaniora merupakan sebuah wilayah yang sangat universal, sehingga di sini semua hal dapat diperbincangkan dan dilakukan tanpa ada rasa canggung, ewuh-pakewuh, ataupun prasangka-prasangka kotor lainnya. Semua orang dari umat manapun dapat berpartisipasi aktiv tanpa takut kehilangan identitasnya.

Masuk pada wilayah humaniora, sebenarnya merupakan aktivitas dialog yang lebih menekankan pada adanya pemihakan yang konkret pada kaum dhuafa, kaum tertindas oleh kekuasaan maupun oleh kultur. Dialog di sini tidak secara khusus berdasarkan kepada kebenaran-kebenaran kitab suci atau doktrin-doktrin agama, namun “menyapa” realitas dengan keyakinan bahwa itulah masyarakat yang harus diselamatkan, disapa, dibantu.

Oleh karena itu, dengan memasuki wilayah yang disebut sebagai human dialogue, sebuah dialog yang berkarakter eksistensialis dan tidak mengedepankan sikap apriori atas fenomena keagamaan. Di samping itu, human dialogue merupakan model dialog yang secara periodik melakukan interpretasi-interpretasi terminologi teologis.23 Wilayah humaniora akan mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas, dan dalam kemajemukan itu tidak boleh dibiarkan sikap-sikap dan praktek-praktek diskriminatif.

Dalam wilayah humaniora yang menjadi perhatian adalah tema-tema kemanusiaan. Pelaku dialog tidak memandang partner dialognya sebagai umat agama lain, tapi dia sebagai manusia. Ketika partner menyampaikan keyakinannya, pelaku dialog mesti menempatkan posisinya sebagaimana posisi partner dialog. Artinya suatu keyakinan hanya bisa dipahami bila pelaku dialog menempatkan diri pada mindset keyakinan itu. Umat Kristen tidak lagi dipandang sebagai umat Kristen tetapi murni sebagai manusia, begitu pula dengan umat-umat agama lain.24

Th. Sumartana juga berpendapat bahwa wilayah humaniora ini akan memunculkan rasa menghargai manusia sebagai manusia, dalam keutuhan pribadinya, yakni hubungan untuk saling mempercayai dalam tingkat kehidupan yang personal. Dengan menghargai manusia kita bisa melanggar atau melecehkan kesucian pribadi seseorang adalalah melanggar kesucian keyakinan agama yang dianutnya, begitu pula sebaliknya melanggar dan melecehkan kesucian pribadi pemeluknya. Orang tak bisa menghargai integritas iman tertentu tanpa menghargai pribadi iman orang lain.25

B.3. Wilayah Praksis
Setelah bergulat dengan wacana dan dialog maka tidaklah bijak apabila hanya berhenti disitu tanpa adanya follow up atau kesinambungan sesudahnya. Di sini tidak diinginkan sikap no action talk only atau dalam bahasa al-Qur'an-nya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu lakukan.26

Oleh karena itu, dialog dan kerjasama merupakan dua hal yang sambung menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. Tidak ada kerjasama tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme (dalam arti, mengatakan sesuatu merasa telah melakukannya).

Praksis merupakan hal yang sudah semestinya atau bahkan harus dilakukan oleh para pelaku dialog. Sebuah dialog akan memberi manfaat bagi umat beragama, apabila tidak hanya mandeg dalam discourse saja, melainkan juga termanifestasikan dalam kerjasama-kerjasama lain yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat beragama secara umum.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pelaku dialog agama supaya terwujudnya kerjasama praksis. Kerjasama yang dapat dilakukan oleh kalangan lintas agama mencakup pelbagai bidang; di sini tidak harus semua, bisa dipilah-pilah. Banawiratma menyebut bentuk praksis dari dialog yaitu aksi umat antar iman dan agama bersama-sama mentranformasikan masyarakat agar menjadi lebih adil, lebih merdeka dan manusiawi, agar keutuhan ciptaan hidup dilestarikan.27 Dengan kata lain, pencerahan dan transformasi pada tataran pribadi-pribadi para pendialog dianggap tidak cukup. Mereka harus melakukan upaya tranformasi sosial. Dan upaya transformasi sosial ini harus dilakukan secara bersama-sama, lintas agama.

Wilayah praksis membuka pada sebuah dialog yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan riil di lapangan yang diangkat ke permukaan. Aktivitas dalam wilayah praksis adalah turun langsung ke lokasi dimana kaum papa, kaum terhina dan dina berada. Mereka kita entaskan baik melalui kemampuan material maupun kekuatan spiritual. Kekuatan material misalnya mereka dibantu dengan makanan pokok jika memang mereka lemah dalam hal ini.

Dalam hal spiritual, kita membantu apabila mereka mengalami depresi dan kurang percaya diri. Kaum dhuafa tidak dicarikan dasar-dasar legitimasinya untuk dibantu atau diberantas dalam arti diciduk, tetapi mereka dengan semangat religius disapa agar mereka “selamat”.

Dalam wilayah praksis inilah sebenarnya, akan didapatkan sebuah bentuk konkret dari aktivitas kaum beriman kepada Tuhan. Bukti keimanannya adalah “menyapa kaum dhuafa” tanpa pandang bulu. Menyapa tanpa melihat jenis kelamin, etnis, suku dan jabatan. Siapa saja yang membutuhkan persapaan, maka disapa tanpa tendensi religius bahwa nanti mereka akan melakukan konversi agama atau mereka akan mengatakan bahwa kita ini orang baik. Kita menyapa mereka karena terpanggil untuk jalan kemanusiaan. Kita menyapa mereka karena dorongan keimanan sejati yang tidak mengharap “imbalan” pujian dari siapa pun. Dapat atau tidak dapat pujian menyapa kaum dhuafa adalah kewajiban. Oleh karena itu, perbedaan agama bukanlah sebagai hal yang menjadi penghalang untuk menjalin kerjasama. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Tuhan menciptakan bumi ini bukan untuk satu golongan atau agama tertentu saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kebebasan memilih agama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Dengan menurunkan bermacam-macam agama tidak berarti Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia melainkan agar masing-masing umat berlomba dalam berbuat kebaikan bagi sesama. Manusia dihadapan Tuhan tetap sama, karena yang dinilai adalah kebaikan dan ketulusan dalam mengamalkan ajaran-ajarannya.

Selain hal di atas, ada beberapa bentuk kegiatan lain yang dapat dikerjakan bersama-sama secara lintas iman. Kerjasama praksis yang dilakukan tidak harus selalu terkait dengan persoalan an sich, melainkan diperluas ke bidang-bidang lain yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat umum. Kerjasama antaragama akan lebih produktif diarahkan kepada persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan (concern) bersama antar umat bergama.

Azyumardi Azra menyebut bidang-bidang yang bisa menjadi lahan garapan bersama adalah pada tingkatan etis, sosial, politis dan ekonomis.28 Namun tentu saja, hal ini tidaklah mutlak dan bisa dikembangkan ke bidang-bidang garapan lain yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Pertu dipertimbangkan juga tentang lingkungan dimana akan dilakukan kerjasama tersebut. Misalnya keluarga, merupakan lingkup sosial terkecil tentu akan berbeda dengan lingkungan sekolah, dan berbeda juga dengan lingkungan masyarakat. Meskipun demikian, ketiganya saling mempunyai keterkaitan, entah dalam pengertian positif maupun negatif.
Idealnya, tentu saja apa yang didapatkan di sekolah mengenai pemahaman agama tidak bertabrakan dengan apa yang diperoleh di rumah atau di masyarakat, misalnya. Apabila di sekolah anak diajarkan mengenai toleransi, maka sudah semestinya anak tersebut tidak mendapatkan yang sebaliknya, yang mengajarkan atau memprovokasi kebencian terhadap agama lain. Sebab hal itu bukan saja akan membuat pendidikan toleransi tidak efektif, juga kurang baik bagi anak secara psikologis. Ini akan menjadi catatan bagi semua pihak yang concern terhadap dialog antar umar beragama.

Kerjasama itu sendiri bisa bermacam-macam. Selain seperti dikemukakan di atas, yang bisa dilakukan oleh aliansi antar agama (Islam-Kristen) untuk tujuan-tujuan spesifik, yaitu:
a. Aliansi Antar Agama untuk Penangkalan Narkoba
b. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Judi
c. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Pornografi
d. Aliansi Antar Agama untuk Memerangi Minuman Keras
e. Aliansi Antar Agama untuk Penanganan Kriminalitas
f. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Korupsi29

Kegiatan-kegiatan di atas apabila dapat dilakukan oleh umat beragama secara bekerjasama justru akan memunculkan solidaritas besar antar umat beragama. Hal-hal tersebut sangat untuk dikerjakan bersama tanpa membeda-bedakan agama. Masalah-masalah di atas adalah musuh bersama umat beragama dan tidak mungkin apabila hanya ditangani oleh sekelompok agama saja, oleh karena itu semua komponen agama yang ada di negeri ini mesti dilibatkan dalam upaya penanganan persoalan-persoalan tersebut.

Memang, akan terlalu absurd apabila membayangkan aktor-aktor agama bisa menyelesaikan masalah sosial seperti kejahatan. Tetapi paling kurang ada kemauan untuk memberantas, sehingga bisa mengurangi yang sudah terjadi.

C. AKTOR-AKTOR DIALOG ANTARAGAMA
Sebuah dialog antaragama sudah semestinya memperhatikan juga para pesertanya. Dari para peserta atau pelaku dialog, tentunya dapat di pilah-pilah tentang pelbagai tema yang akan di dialog-kan sehingga dapat diketahui pula hasilnya. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, maka di sini latar belakang pelaku atau peserta menjadi menentukan dan patut dipertimbangkan; misalnya tentang latar belakang pendidikan, dari kelompok mana, serta dari institusi apa dan sebagainya. Dialog antaragama bisa tidak sesuai dengan cita-cita apabila latar belakang -yang tentunya bermacam-macam--para pelaku “diabaikan”.

Pada prinsipnya memang dialog ditujukan kepada semua orang, semua umat beragama dan penganut kepercayaan. Namun segi pelaksanaan kiranya perlu memperhatikan beberapa hal yang kongkret. Hal ini bukanlah diskriminasi, melainkan supaya lebih bisa difokuskan dan tidak melenceng dari harapan. Menurut A. Mukti Ali, tentang peserta dialog antaragama antara lai n mengatakan “Dialog-dialog ini tentunya kita mulai di daerah-daerah yang 'subur' dulu.

Sedangkan untuk 'daerah-daerah yang masih tandus' diperlukan waktu. Hujan akan tunduk di daerah-daerah tandus ini dan dengan sendirinya akan menjadi subur untuk dialog-dialog.30
Kata-kata di atas syarat dengan makna dan juga memiliki implikasi yang tidak mudah dilaksanakannya dialog itu sendiri, sebab pada akhirnya membutuhkan syarat-syarat yang spesifik pula.

Supaya lebih terarah, maka para aktor atau pelaku dialog dapat dibedakan ke dalam beberapa lingkungan peserta/pelaku. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini31:
Pertama, kaum intelektual. Di situ banyak yang dapat, bahkan perlu didialog-kan. Misalnya: pengertian dan masalah sekitar toleransi, baik dari sudut doktrin agama maupun dari sudut sosiologis dan sosio-psikologis, juga dari sudut politis. Pencapaian pengertian lebih jelas tentang posisi masing-masing agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa serta tentang wilayah di mana kerja sama dan saling mendukung mungkin. Tantangan-tantangan yang dirasakan bersama dan dapat dijawab bersama. Maasalah-masalah etika global, etika bisnis, etika politik dan lain sebagainya. Perjuangan bersama demi masyarakat yang adil dan manusiawi, sseluruh kompleks hak asasi manusia: perbedaan dan kesamaan, respon overlappingnya pandangan masing-masing agama dan perumusan sasaran bersama dalam kehidupan nasional. Tantangan demokrasi. Tantangan keadilan sosial, dan lain-lain. Di semua masalah ini peranan agama-agama di Indonesia penting, dan dialog dapat diharapkan menghasilkan saling pengertian lebih baik yang dapat, untuk sebagai, diterjemahkan ke dalam sasaran-sasaran politis bersama, alias tidak tinggal di tingkat teori semata-mata. Yang tidak dapat diharapkan juga jelas: bahwa kesadaran dan kesepakatan diantara kaum intelektual agama mempunyai dampak jangka pendek pada kehidupan masyarakat: pada rakyat dan komunitas agama, pada para pendeta dan ulama, pada organisasi-organisasi besar agama, pada birokrasi. Di situ berlaku bahwa segala kemajuan yang dicapai oleh para intelektual, dalam bidang apa pun, tidak pernah langsung dapat diterjemahkan ke dalam kenyataan sosial.32
Kedua, ialah para pemuka agama: ulama, rohaniwan/wati, pendeta dan sebagainya. Di sini tujuannya bukan pertama-tama pencapaian pengertian lebih jelas dan benar tentang pelbagai hal, melainkan sosialisasi: para tokoh rohani agama mulai saling mengenal, padahal dulu tokoh rohani agama lain penuh misteri (dan karena itu dicurigai), hubungan manusiawi bila menjadi lebih baik, barangkali bahkan dapat dibangun saling kepercayaan karena mereka lebih saling kenal. Lalu juga pelbagai salah paham dapat di bahas dan di sana-sini dapat ada koreksi. Perlu diperhatikan bahwa dialog ini dapat terjadi dari eselon paling atas sampai ke tingkat pemuka-pemuka umat lokal.33

Ketiga, adalah masyarakat dalam hidup sehari-hari; di mana senantiasa orang-orang Kristen berbaur dengan orang-orang Muslim. Dialog terjadi dalam menghadapi kejadian sehari-hari bersama: di kampung, di tempat kerja, dalam sebuah organisasi dan lain sebagainya. Unsur “dialog” sudah ada kalau diketahui bahwa di sini adalah orang Islam dan sebagainya.

Dan perlu diperhatikan juga, berhubung di tiap-tiap agama itu terdapat bermacam-macam aliran, maka dari itu umat seagama baiklah kalau mengadakan dialog terlebih dahulu. Misalnya sama-sama pemeluk agama Islam, sama-sama pemeluk agama Kristen, sama-sama agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu dan sebagainya. Setelah itu barulah dengan pemeluk agama lain.
Perbedaan peserta bukanlah untuk memberi sekat-sekat antar manusia atau antar golongan, hal ini dimaksudkan supaya dialog tidak salah sasaran. Pernyataan A. Mukti Ali di atas, dirasakan akan memperoleh tempatnya, dengan cara awal melalui intelektual, kemudian para pemuka agama dan terakhir masyarakat awam maka daerah-daerah yang kering itu akan segera terbasahi dengan dialog-dialog tersebut.

Bukan tidak mungkin, untuk selanjutnya, pada suatu ketiga kategori di atas duduk bersama dalam sebuah dialog, dan di situ membicarakan segala persoalan menyangkut hubungan antaragama maupun problematika yang sedang dihadapi maupun yang akan dihadapi oleh bangsa dan negara. Dengan demikian maka akhirnya dialog antaragama bukanlah barang mewah (luxs) yang hanya milik segelintir golongan, melainkan milik bersama yang di situ semua umat manusia mampu melaksanakannya.

D. PASSING OVER COMING BACK
Setelah mengetahui perjalanan dialog Islam-Kristen pada masa Orde Baru dengan pelbagai varian, hambatan serta dinamika yang melingkupinya. Tentu, banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan dialog tersebut. Selain juga kekurangan-kekurangan yang tidak diharapkan oleh semua pihak. Untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang telah terjadi, mesti dimunculkan cara baru dalam melakukan dialog antaragama (Islam-Kristen) atau dalam beragama sekalipun.

Beragama yang penuh kepura-puraan, hanya menjadikan agama sebgai justifikasi atas kekuasaan, atau apologi atas kebenaran dan keagungan ajarannya mesti disingkirkan jauh-jauh dari pikiran (mindset) umat beragama. Di sinilah pentingnya memasuki jantung agama lain atau disebut dengan passing over.

Passing over berarti melintas dari satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain, dari satu agama kepada agama lain. Hal ini sama sekali tidak lantas meninggalkan agama asal atau menghilangkan identitas agama seseorang. Identitas asal tetap melekat tetapi terbuka dengan keberagamaan orang lain. Karenanya, ini diikuti dengan suatu proses yang sama dan berlawanan yang disebut dengan coming back; kembali. Setelah melintas, maka kemudian kembali dengan wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup sendiri, agama sendiri. Seperti perkataan Dunne bahwa orang suci (yang cocok untuk) zaman kita, tampaknya bukanlah seorang tokoh seperti Gautama, atau Yesus, atau Muhammad, seorang yang dapat mendirikan suatu agama dunia, tetapi seorang tokoh seperti Gandhi, seorang manusia yang melintas dengan pengertian simpatik dari agamanya sendiri kepada agama-agama lain dan kembali lagi dengan wawasan baru kepada agamanya sendiri. Melintas dan kembali, tampaknya, adalah petualangan spiritual zaman kita. 34

Apa yang dikatakan oleh Dunne sangat menggugah umat beragama untuk mengembara lebih jauh dalam ragka mengerti agama orang lain serta mengetahui makna pluralitas secara mendalam. Dengan mengembara mengenal agama-agama lain, mengetahui spiritualitas mereka, akan timbul pengetahuan bahwasanya tiap-tiap agama memiliki kekhasan tersendiri serta memiliki titik temu diantara keberagaman tersebut. Pertemuan itu akan menjadi medium yang memperkaya dirinya, tetapi juga pada akhirnya ia akan kembali (coming back) kepada dirinya, dan tidak menjadi orang lain.

Dialog Islam-Kristen atau antaragama yang sudah berjalan selama sekian tahun di negrei ini mestilah jangan sampai berhenti pada hanya sebagai suatu gaya hidup (life style) tetapi juga dipikirkan untuk menjadi suatu pandangan hidup (way of life), supaya dialog tidak sekadar hanya merealisasikan proyek dari pemerintah. Beragama di alam plural seperti saat ini, dialog sudah merupakan “kewajiban” bagi setiap pemeluk agama.

Karenanya, melintas batas (agama) seperti di atas serta --yang tidak boleh dilupakan-- kembali (coming back) adalah salah satu cara untuk menemukan titik pertemuan diantara agam-agama. Kembali dengan sebuah wawasan baru, sebuah wawasan yang luas sehingga jarak antar agama-agama semakin tipis bahkan tiada jarak -walaupun mustahil. Passing over akan semakin membuka ruang dalam hubungan antaragama. Batas-batas formal yang menyelimuti setiap agama, akan terkuak. Sehingga, kekayaan tradisi yang tak ternilai yang bisa dibagi (shared) kepada orang lain. Keberanian mengungkap sisi-sisi religiusitas dan spiritualitas paling dalam tiap-tiap agama, akan membebaskan belenggu lahiriah yang menyulitkan umat beragama itu sendiri. Dari sisi religiusitas serta spiritualitas maka pada dasarnya agama akan tampak wajahnya yang lebih humanis, manusiawi.35

Spiritualitas agama-agama juga merupakan pertemuan dari agama-agama yang dalam istilah Frithjof Schuon disebut dengan esoterisme, sedangkan formalisme agama disebut sebagai eksoterisme yang masing-masing agama berbeda-beda.36

Jika kita memang menghendaki dialog yang memadai tentang agama-agama, maka perspektif kita adalah perspektif yang meletakkan paham teologi pada tiap-tiap penganut, dan bahkan pada perspektif substansialis yang lebih mencerminkan spiritualitas agama-agama. Spiritualitas inilah yang sebenarnya melampaui simbol-simbol agama, sehingga mampu menempatkan semua pemeluk agama sebagi bagian dari dirinya sendiri. Bukan orang lain. Pada akhirnya wacana passing over akan menjadi sebuah -meminjam istilah Budhy Munawar-Rachman--ziarah religius. Sebuah ziarah yang akan membawa seseorang pada kekayaan dalam sikap beragama. Beragama menjadi bebas; bebas untuk menjalankan keyakinannya tanpa ada paksaan dari siapapun atau dari manapun termasuk negara. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama; negara hanya berhak melindungi warganya yang terancam oleh kelompok tertentu. Sekaligus bebas untuk tidak memeluk agama.

Wallahualam bishawab

*Koordinator JarIK Jogyakarta
Read more!

Demokrasi

Monday, August 6, 2007

Disiplin Demokrasi Daerah
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Masa saat ini ialah masa demokrasi. Demokrasi menjadi harapan yang semakin sakral dan diyakini dapat menjadi obat mujarab bagi terpuruknya kondisi bangsa. Setelah lelah menjalani periode demi periode otoritarianisme, maka politik Indonesia menatap demokrasi dengan penuh optimisme. Hal yang mencolok adalah reformasi konstitusi, kebebasan pers, pemilihan langsung, dan pemberantasan korupsi. Mereka ini adalah beberapa cuil daftar demokratisasi yang sedang digalakan di negeri ini.

Namun begitu, jujur harus diakui, bahwa kesempurnaan demokrasi kita masih terlampau jauh. Padahal, harapan rakyat sederhana, mereka mengharapkan kehidupan yang lebih baik dari jaminan demokrasi. Nyatanya, hak-hak rakyat hingga saat ini masih dipandang sebelah mata, bahkan digadaikan. Begitu, terlihat dari indikasi penjualan aset-aset negara dan pendidikan yang masih mahal. Kendati demikian, hal ini juga selayaknya tidak dibaca sebagai kegagalan sebuah demokrasi. Bagaimana pun, dibandingkan dengan sistem politik lainnya, demorkasi tetap yang paling bisa diharapkan, karena paling tidak demokrasi dapat terus memperbaiki dirinya. Kemampuan memperbaiki diri sendiri inilah yang sulit ditemukan dalam sistem lain.

Hantu Feodalisme
Begitu bersemangatnya seluruh elemen bangsa dalam menyambut demokrasi, hingga lupa dengan ancaman bangkitnya horor feodalisme. Horor feodalisme ini sangat manakutkan karena dalam sejarahnya sistem ini diiringi dengan kolonialisme dan imperialisme. Sejarah penjajahan Indonesia sangat jelas melukiskan perselingkuhan antara tuan tanah dengan imperialis. Bila dilihat masa sekarang, perselingkuhan ini semakin kompleks. Pengusaha dengan penguasa, pengusaha dengan penjajah asing, penguasa dengan penjajah asing, dan seterusnya. Harus diingat bahwa jarak kronologis antara feodalisme dengan demokrasi di Indonesia tidaklah terlampau jauh. Maka dari itu, kapan pun hantu itu bisa bangun dan mengganggu mekanisme kerja demokrasi kita.

Rupanya mentalitaslah yang menjadi sebab musabab bangkitnya hantu feodalisme ini. Mentalitas feodal yang masih tersisa di tiap level masyarakat maupun negara. Mental Asal Bapak Senang (baca: ABS) contohnya sangat favorit digunakan sebagai resep manjur dalam berkarir di tingkatan birokrasi pemerintahan. Kasta-kasta elit politik dalam tubuh parpol pun menjadi indikasi lain dari menatal feodalis ini. Kader-kader politik berusia muda seringkali dinomorduakan dan dianggap kurang pengalaman. Cabang-cabang anomali politik ini sungguh merugikan transisi demokrasi yang terus berjalan di negeri ini.

Ancaman feodalisme ini jelas merupakan sebuah dekadensi demokratisasi. Artinya, meski secara institusional demokrasi di Indonesia sedang mengalami lonjakan yang signifikan, akan tetapi rupanya tidak cukup mampu untuk mendewasakan pola perilaku politik masyarakat. Lagi-lagi ini menjadi semacam rapor merah self dicipline demokrasi di Indonesia.

Daerah, dalam hal ini, menjadi sarang yang paling aman bagi hantu feodalisme. Politik di daerah sangat kental diwarnai oleh perilaku politik tradisional dan begitu mengandalkan model birokrasi karismatik. Selain itu, sisi primordialisme, etnosentrisme dan tribalisme menjadi isu panas untuk menggalang legitimasi politik di daerah. Daerah juga sangat kekurangan intelektual capital untuk membantu pendidikan dan pendewasaan politik. Jadi, epistemologi politik daerah yang seperti ini akan menyulitkan perkembangan demokrasi.

Kultur Lokal Resistensi Globalisasi?
Evaluasi atas feodalisme di atas sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskreditkan kultur lokal (local culture) maupun nilai lokal (local value) yang sejatinya dimiliki tiap daerah sebagai khazanah khas masing-masing. Eksplorasi di atas paling tidak hanya mencoba mengingatkan bahwa lokalitas tidak semestinya dijadikan satu-satunya berhala yang dijunjung tinggi, sebagaimana nasionalisme ataupun globalisme. Justru pada titik inilah, saya ingin mengajak untuk mendialogkan antara lokalisme, nasionalisme dan globalisme. Pertemuan di antara mereka mudah-mudahan dapat menghasilkan simpul utama yang bisa menjaga kearifan dan persatuan peradaban manusia.

Semangat yang ada; dalam domain lokal, nasional maupun global, mestinya bersendikan motif pembangunan peradaban manusia. Persoalan umat manusia saat ini adalah persoalan peradaban besar dunia. Di antara contoh yang sedang populer antara lain; Global Warming (pemanasan global), Global Terorism (terorisme global), dan banyak lagi. Permasalahan-permasalahan tersebut secara partikular turun dalam cabang-cabang permasalahan hingga ke akar rumput di lokal kedaerahan. Pendidikan dan kesehatan adalah salah satu bab permasalahan akut yang terus meneror peradaban umat manusia.

Oleh karena itu, akan bijak jika kita menyikapi isu-isu daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari permasalahan global. Akan sulit rasanya membayangkan perbaikan peradaban umat manusia jika tidak dimulai dari titik terendah dalam level daerah. Daerah dengan potensi khasnya masing-masing membutuhkan support system yang mumpuni agar tidak tertinggal dalam menjelajahi luasnya jaringan umat manusia di bumi ini, beserta seluruh kemajuan yang dimilikinya. Daerah jangan terus diteror dengan beragam tuduhan menyesatkan; dinilai ketinggalan jaman, biang separatis-disintegratif, sarang teroris, barbar, dan seterusnya. Dengan segala kekayaan dan kearifan lokalnya, SDM daerah tentu akan lebih bijak dalam menggunakan output kemajuan jaman dibandingkan orang-orang metropolis. Mereka hanya perlu mencapai level pendidikan dan kesehatan yang setara dengan penduduk kota.

Daerah juga memiliki satu modal utama dalam membangun kapital sosial yang mapan di dalamnya. Modal tersebut adalah budaya gotong royong. Budaya ini tentu sudah menghilang di kota-kota besar. Kerja-kerja volunteer semacam ini jika dibantu dengan tingkat pengetahuan dan kesehatan yang baik tentu akan membuat mereka maju dengan merata, tanpa terjadi kesenjangan sosial. Kehidupan tanpa pamrih ini harus mendapatkan pemberdayaan dan perbantuan. Yang terjadi di daerah hingga saat ini adalah bahwa mereka memang tidak kehilangan budaya gotong royong ini, akan tetapi sayangnya tingkat pendidikan dan kesehatan mereka tidak terjaga secara konstan dan simultan. Acap kali terjadi, pembangunan di daerah hanya bermotifkan kampanye politik belaka. Mereka yang berkampanye juga lebih senang membuat/memperbaiki jalan raya daripada menyekolahkan anak miskin putus sekolah atau memberi lapangan pekerjaan bagi pemuda pengangguran desa.

Indikator-indikator keberhasilan pembangunan juga jangan melulu ditinjau dari indikator makro, bahkan indikator mikro sekalipun. Indikator utama mestinya realitas empiris yang terjadi di masyarakat. Walau sistem evaluasi pembangunan seperti ini akan sangat melelahkan dan memakan banyak waktu, akan tetapi justru di situlah diuji sejauhmanakah komitmen dan kesungguhan pemerintah dalam memajukan daerah. Demokrasi harus dibangun dalam pondasi masyarakat yang minim kesenjangan sosial. jika hal ini tidak tercapai, maka pergolakan dari daerah akan terus menjadi teror yang mengancam keutuhan peradaban manusia. Pada level manapun manusia hidup, ia tetaplah seorang manusia yang sama butuh penghargaan.

Rekayasa Disiplin Demokrasi Daerah
Beberapa tantangan dan peluang daerah yang diuraikan di atas lebih tepat untuk dilihat sebagai problematika disiplin demokrasi daerah. Daerah dengan segala batasan ketertutupan dan keterbukaannya merupakan proyek besar bagi demokrasi. Tantangan bagi demokrasi ini harus dijawab secara konkret. Seluruh elemen masyarakat harus secara sigap bersama-sama memperjuangkan tata demokrasi yang utuh dan berkeadilan di daerah.

Meski demikian, elemen utama yang paling dekat dengan masyarakat dan paling cepat digulirkan adalah civil society. Adalah civil society yang pertama harus diperkuat oleh masing-masing daerah. Bila suatu daerah hanya berharap pada political will pemerintah, maka perubahan akan terasa lambat. Namun, jika masyarakat daerah secara gotong royong memperkuat civil society, maka posisi tawar masyarakat daerah akan meningkat. Sehingga, diharapkan pemerintah dapat secara responsif memberi tanggapan positif setiap preferensi politik masyarakat daerah.

Edukasi menjadi agenda pertama civil society yang harus mendapatkan pembenahan. Pembenahan ini meski akan membutuhkan waktu lama, namun secara regeneratif akan terus memperkuat dirinya sehingga lambat laun pemerataan pendidikan akan terwujud. Bila edukasi sudah mulai mendapatkan perbaikan, maka kesehatan menjadi pekerjaan rumah berikutnya yang harus dipenuhi oleh civil society secara bertahap. Masyarakat sudah lelah dijadikan nomor dua dalam hal pelayanan kesehatan. Ingin mendapatkan layanan gratis, terlalu banyak syaratnya. Tak heran bila ada istilah “Orang Miskin Dilarang Sakit!†.

Disiplin demokrasi daerah juga perlu menghindar dari segala jenis politisasi kepentingan. Daerah jangan mudah terpancing provokasi parsial. Elemen civil society harus mengajarkan masyarakat daerah untuk waspada dalam menyaring setiap informasi yang diterima, terlebih informasi bermotif politik. Sudah sangat sering kita saksikan di banyak daerah kerusuhan antar warga disebabkan motif-motif politik. Hal demikian hanya berujung pada kerugian besar di pihak masyarakat.

Kita bersama sekali lagi harus kembali melihat substansi demokrasi yang ingin kita capai. Demokrasi tidak berjuang demi kevakuman. Demokrasi bemaksud memperjuangkan kepentingan-kepentingan minoritas. Minoritas tidak hanya dalam segi jumlah, akan tetapi representasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Pemerataan dalam bidang-bidang tersebut layak dirasakan oleh setiap masyarakat, hingga level daerah terkecil.

Demikian etika politik dan kemanusiaan kita akan selalu diuji dalam memperjuangkan demokrasi di daerah. Demokrasi yang disiplin dalam mengusung sisi substansial dari dirinya. Semoga.
Read more!

Nonton Nih..!!

Sunday, August 5, 2007

Mahasiswa Hanya Penonton..!!
Oleh Amin Fauzi

Pelibatan mahasiswa dalam Pilderek tak ubahnya hanya sandiwara. Karena suara senatlah yang paling menentukan.

Tahun 2003, masing-masing Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memperoleh Statuta dari Menteri Agama (Menag) RI. Jilidan tebal tampak rapi itu berisi bab per bab, pasal per pasal, item demi item tentang kejelasan hukum atau anggaran dasar ke mana PTAI akan dibawa.

Setelah diteliti dan diverifikasi oleh masing-masing PTAI, statuta bernomor 59 itu menjadi pijakan dalam mengelola PTAI. Statuta yang disahkan pada 25 Februari 2003 oleh Prof DR Said Aqil al-Munawar MA, mengatur semua hal baik hak maupun kewajiban pemegang otoritas di Perguruan Tinggi Islam (PTAI) di seluruh Indonesia.

Salah satu bab dari statuta itu mengatur tentang pemilihan pimpinan PTAI. Berbeda dengan statuta sebelumnya, statuta baru ini dipandang lebih terbuka dan demokratis. Dalam statuta lama, pimpinan PTAI dipilih oleh senat yang bersangkutan. Sedang dalam statuta baru, semua civitas akademika dilibatkan termasuk mahasiswa, meski berbeda satu sama lain di masing-masing PTAI.

Di IAIN Walisongo, senat memutuskan bahwa tata cara pemilihan rektor dan dekan tertuang dalam Bab III Pasal 7. Pasal tersebut menjelaskan, pemilihan rektor dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap I untuk menjaring bakal calon rektor dan tahap II memilih calon rektor.

Tahap I dilaksanakan untuk menjaring bakal calon rektor yang diikuti oleh dosen tetap, mahasiswa program S-1 semester lima ke atas, mahasiswa program pascasarjana semester tiga ke atas dan mahasiswa diploma semester tiga ke atas, yang secara kumulatif, terdaftar pada semester di mana pelaksanaan pemilihan tahap I dilakukan. Suara seluruh dosen dan suara mahasiswa diberi bobot proporsi yang sama, yaitu 50:50 persen.

Sementara tahap II prosesi pemilihan rektor, diikuti oleh seluruh dosen tetap, wakil mahasiswa (BEMI & DPMI) dan seorang wakil karyawan. Pemilihan tahap II tidak dilaksanakan apabila dalam pemilihan tahap I terdapat bakal calon yang memperoleh suara lebih dari separuh bobot proporsi suara dosen dan atau lebih dari separuh suara kumulatif.

Aturan di atas, jelas berbeda dengan aturan sebelumnya (2002) yang tidak melibatkan mahasiswa sama sekali. Prosesi pemilihan hanya dipilih lewat representasi senat yang hanya terdiri dari beberapa gelintir orang

Meski dalam statuta dinyatakan pelibatan karyawan dan mahasiswa dalam Pilderek, namun masih sangat diskriminatif dan setengah hati. tidak semua mahasiswa dilibatkan. Hanya mereka yang semester lima ke atas saja diikutkan dalam prosesi Pilderek tersebut.

Mengapa mahasiswa semester lima ke atas? “Karena mereka paling tidak sudah mengerti peta perpolitikan kampus,” ujar Pembantu Rektor I, Prof Dr Ibnu Hajar M.Ed.

Kesan diskriminatif itu semakin kentara dengan munculnya Surat Edaran (SE) No. Dj.II/PP.10.9/482/2006 yang dikeularkan Departemen Agama RI mengenai revisi statuta yang dikirimkan ke seluruh PTAI se-Indonesia pada 13 Juni 2006.

Tiga helai surat revisi statuta yang di tandatangani oleh H Jahja Umar, Ph.D selaku Direktur Jendral BAGAIS tersebut terdiri dari 14 perubahan item. Salah satu item dalam SE tersebut membahas peran mahasiswa kaitannya dengan prosesi pemilihan pimpinan perguruan tinggi.
Ada salah satu item yang dianggap mempengaruhi peran mahasiswa yaitu Item No 8; “Mahasiswa sebagai pihak yang menuntut dan mengkaji ilmu di perguruan tinggi bukan merupakan komponen yang dilibatkan dan dimobilisasi secara langsung dan formal dalam proses penentuan pimpinan perguruan tinggi agama Islam”.

Revisi dalam item tersebut menafikan keterlibatan mahasiswa dalam Pilderek. Mahasiswa dikembalikan pada tugas asalnya yaitu menuntut dan mengkaji ilmu di PT tersebut.

Presiden BEMI Fauzun Nihayah menilai Surat Edaran itu sangat memojokan mahasiswa. “Mahasiswa diciptakan seperti halnya tahun 1970-an yang hanya bertugas menuntut dan menimba ilmu tanpa ikut andil dalam menentukan kebijakan,” katanya geram.

Ia menambahkan, SE itu juga masih membingungkan dan tidak tegas. Sebab masih ada benturan-benturan antarpoin. “Poin 8 menyatakan mahasiswa tidak dilibatkan. Tetapi di point lain, pemilihan dilakukan oleh civitas akademika. Otomatis mahasiswa ikut di dalamnya,” katanya.

Hadiq, salah satu dari Menteri BEMI juga merasakan hal yang sama dengan Fauzun. “Mahasiswa seharusnya dilibatkan dalam pilderek. eh, ini malah tidak diberi kesempatan sama sekali seperti ini,” keluhnya.

Beda Pelaksanaan
Meskipun statuta yang ditetapkan oleh Depag RI itu sama, namun aturan dan pelaksanaanya di masing-masing PT berbeda-beda. Pelaksanaan pemilihan Ketua STAIN Kudus, misalnya. Setelah suara mahasiswa dan dosen dikalkulasi, kemudian diserahkan kepada senat. Senat lalu melaporkan ke Departemen Pendidikan Tinggi Agama Islam (DIKTI). DIKTI inilah yang memutuskan siapa yang terpilih secara sah.

Di STAIN Kudus, Masyharuddin terpilih sebagai Ketua menggantikan seniornya Prof. Dr. Muslim A. Kadir, MA. Padahal arus bawah, mahasiswa, tidak mengehendaki Masyhar.

“Sebenarnya, wahana pemilihan langsung untuk rektor di kampus tidak berpengaruh sama sekali. Mahasiswa hanya dijadikan lipstick dalam pesta besar itu. Meski mahasiswa diibatkan, toh pada akhirnya senat lah yang memutuskan,” ujar Hamdan, mahasiswa STAIN Kudus 2003.
Lain Kudus lain Salatiga. STAIN Salatiga, pada Pilket (pemilihan Ketua) yang telah digelar 29 November 2005 dan 10 Desember 2005 kemarin, setelah sebelumnya dipilih senat, kini untuk pertama kalinya dipilih oleh dosen tetap. Namun sebelum itu, mahasiswa dilibatkan dalam proses penjaringan bakal calon ketua.

Di sana, ada 14 nama bakal calon yang akan diambil maksimal 6 besar dan minimal 3 besar, yang akan bertarung dalam Pilket periode 2006-2010. Pemilihan dilakukan dalam 2 tahap. Penjaringan bakal calon melibatkan mahasiswa semester 3 ke atas, karyawan dan dosen. Sedang dalam pemilihan calon, hanya dosen tetap dan 2 perwakilan mahasiswa yang memilih.

Menurut salah satu mahasiswa STAIN Salatiga, Harun, Pilket dipandang tidak aspiratif. “Mahasiswa hanya dijadikan kambing hitam, karena tidak dilibatkan secara keseluruhan.”
Di IAIN Sunan Ampel, Pemilihan Rektor (Pilrek) periode 2004-2008 dilakukan secara langsung oleh civitas akademika. Sejak awal Februari 2004, tata cara Pilrek sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan positif dari segenap civitas akademika.

Ada 3 tahapan pemilihan yang dilalui. Yaitu proses penjaringan bakal calon rektor (24/3/2004), penetapatan calon rektor (31/4/2004) dan puncaknya adalah pemilihan rektor itu sendiri (28/4/2004). Sebelumnya, masing-masing calon rektor harus menyampaikan visi misi dan program kerja di hadapan senat insitut dan sivitas akademika.

Mahasiswa semester satu hingga lima tidak dilibatkan dalam pemilihan, karerna dianggap belum memenuhi persyaratan. Mahasiswa semester lima ke atas yang diikutkan.

Aturan yang sama berlaku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pilderek di sana melibatkan dosen, mahasiswa dan karyawan. Sistem pemilihan balon rektor dilakukan melalui tiga tahap, yakni penjaringan, penetapan dan pemilihan calon.

Persyaratan umum calon berusia setinggi-tingginya 61 tahun dan serendah-rendahnya menduduki jabatan fungsional Lektor Kepala. Bersedia dicalonkan menjadi rektor yang dinyatakan secara tertulis, tidak sedang menduduki jabatan rektor periode kedua berturut-turut. Dan secara khusus, calon harus berpendidikan S3.

Selanjutnya adalah proses penjaringan. Panitia Peilihan Rektor (PPR) memilih sekurang-kurangnya tiga orang calon, yang kemudian diajukan ke Senat Institut untuk dilakukan pemilihan lalu diserahkan ke menteri agama untuk diusulkan kepada presiden dan ditetapkan sebagai rektor.

Hampir sama sebenarnya pola pemilihan yang ada di setiap PTAI. Hanya perbedaan – perbedaan kecil yang tidak berarti yang mengemuka di setiap PTAI. Ini tentu karena perbedaan pengelolaan PTAI yang berbeda satu sama lain.

Suara Senat Suara “Tuhan”
Meski banyak perguruan tinggi sudah melibatkan mahasiswanya dalam Pilderek, apapun yang terjadi keputusan mahasiswa, namun toh pada akhirnya keputusan ada di tangan senat. Senatlah yang punya otoritas penuh.

Bahkan ada juga perguruan tinggi yang tidak melibatkan sama sekali mahasiswanya. Terutama sekali perguruan tinggi umum di bawah Diknas (Departemen Pendidikan Nasional) seperti halnya UNDIP dan UNNES Semarang yang baru saja melakukan Pilderek tahun ini.

UNNES, baru saja melakukan Pilderek pada April 2006 lalu. Mekanisme Pilderek diawali dengan rapat senat. Senat membuat tim khusus pelaksanaan Pilderek yang terdiri dari senat, BEM universitas, BEM fakultas dan DPM. Tim tersebut kemudian membuat regulasi atau Juklak Pilderek. Sementara panitia pelaksanaan Pilderek terdiri dari anggota senat, BEM dan UKM. Sedang yang mempunyai suara untuk memilih hanya anggota senat.

Hamdan, Pemimpin redaksi KOMPAS Mahasiswa UNNES menyesalkan mahasiswa tidak dilibatkan dalam Pilderek. “ Debat kandidat pun mahasiswa tidak dilibatkan. Kecuali ketika secara informal BEM Univesitas dan BP2M mengadakan debat kandidat rektor secara independen”.

Nasib Pilerek di UNDIP tak jauh berbeda dengan UNNES. Mahasiwa sama tidak dilibatkan. Namun agaknya dibanding UNNES, UNDIP lebih mendingan karena debat kandidat calon rektor di adakan secara terbuka. Semua civitas termasuk mahasiswa boleh ikut. Tapi, “Lagi-lagi dalam Pilderek, senat lah yang menentukan,” ujarnya kecewa. ***

AMIN FAUZI, Skm Amanat Edisi 107
Read more!