RSS

Publik

Monday, September 24, 2007

Sekulerisme; Agama Publik dan Demokrasi Dalam Wacana Rekonstruksi Religiusitas

Oleh Saeful Anwar

Masyarakat modern sebenarnya sangat sekuler, bahkan orang mengingkarinya sekalipun tetap sekuker. Ironisnys setelah kita menggali tradisi mistikdari rus utama kebudayaan dan menyatakannya tidak relevan dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tnpa kehadiranhal-hal mstik
(David Myburi-Lewis, Millenium

teriakanlah kebenaran, asal kau katakana dengan nada miring
(Emile Dickinson)

Agama, Apakah Itu?

Sebagai latar belakang untuk mencoba membahas judul diatas, dalam kesempatan ini penulis mengutip dari H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kita perlu memikirkan tentang agama . Agama dalam bahasa Sangsakerta dapat diartikan sebagai berikut; a diartikan tidak, sedangkan gama dapat diartikan kacau. Dengan kata lain dengan adanya agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Setidaknya satu perkataan yang sering dikatakan keliru, yaitu perkatan agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Seorang ahli agama yang bernama William Temple , pernah berkata “…agama adalah menuntu tpengetahuan untuk beribadat”. Dan lebih lanjut ia mengatakan pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan tapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan. Istilah agama ternyata sebuah kata yang terbentuk pada periode pertengahan dan modern, pertama, ketika gereja keristen memaksakan wewenangnya untuk membedakan anara paktik Keristenisasi sebagai agama “sejati” dengan paganisme (penyembahan berhala) sebagai agama “palsu”. Kedua, ketika para pemikir, ilmuan, dan ahli Filsafat politik modern awal hendak membedakan antara hal religiusdari hal yang sekuler

Pada permulaannya agama sebenarnya bertujuan menjadi suatu instrument untuk perdamaian dunia. Ia menjadi symbol yang selalu diimpikam semua orang, ia menjadi tumpuan akhir dari berbagai kekacauan dan kerusakan dalam dunia. Namun ketika agama jatuh pada tataran eksoteris (ekspersi manusia) ia (agama) seakan menjadi monster yang amat menakutkan. Persoalannya terletak pada tingkat mengapresiasikan nilai ketuhanan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah memiliki sekat-sekat ideologis cultural dan kepentingan politik yang berbeda beda sehingga sering terjadi benturan antara masing-masing komunitas social yang merasa mereka adalah pewaris kebenaran dari Tuhan, sehingga mereka mengklaim bahwa diluar dari golongan mereka adalah kafir. Fenomena seperti itu dapat kita rasakan pada peradaban sekarang ini dimana kelompok atau personal yang melakukan ritual yang berbeda dengan golongan lain dianggap sesat dan kafir, dan menurut sebagian orang halal untuk dibunuh seperti dalam kasusus pemboman di Bali yang mengatasnamakan agama Islam dan seakan akan pembenaran dari tindakannya yang dilkukan seakan-akan adalah kepentingan Tuhan . Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan.

Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Pada intinya agama yang benar secara universal sesungguhnya ia hadir atau diturunkan adalah untuk memperjuangkan emansipasi harkat manusia. Bukan menghancurkan atau menghilangkan existence manusia. Ketika pesan universal agama itu turun keruang budaya, ia akan mengalami proses partikularistik yang plural.realitas ini kemudian sangat membutuhkan penyikapan yang arif; diantaranya, pertama menghargai keragaman yang partikularistik-pluralistik sebagai keniscayaan dalam kehidupan. Kedua, pesan universalistic agama yang mesti memilii hubungsn benang merah dengan realitas historis yang partikularistik orisinalitasnya, maka praktek agama pada tingkat historisnya akan kehilangan makna dan fungsinya bagi kemanusiaan, bahkan akan terjadi manipulasi agama, yaitu agama dipraktekan hanya secara simbolik-formalistik.

Identitas Agama Kekinian

Sepintas thesis yang dilontarkan Samuel P. Hutinhton tampak benar, karena dalam tataran realitasnya, agama dijadikan tameng dalam berbagai peperangan dan konflik dalam suatu komunitas masyarakat. Karena merasa agamanyalah yang paling benar dan diluar sari kelompoknya dianggap sesat bahkan mengaggap kafir, meskipun satu keyakinan secara subtansi yang sama, tak jarang pemahaman fanatic buta (ta’asub) ini menjadi awal konflik atas nama agama. Seperti peperangan yang terjadi di Andalusia (Spanyol) yang lebih dikenal dengan perang salib (antara Kristen dengan Islam), juga yang terjadi di Timur Tengah (antara Yahudi dengan Islam). Bahkan yang lebih mencengangkan lagi tentang peperangan antar kelompok yang satu agama, seperti penyerangan masyarakat Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bogor, juga konflik yang berkepanjangan di Poso, penutupan dan pembakaran gereja-gereja, pengharaman terhadap kelompok yang berhaluan Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme yang diprakarsai oleh MUI, juga aliran-aliran yang lainnya, yang mengatasnamakan kebenaran dan tindakannya dilegalkan oleh agama.

Agama dalam konteks kekinian telah beralih fungsi, dari fungsi kedamaian universal kearah kedamaian lokalitas-sekterian, menjadi bukti bahwa agamapun turut menyumbangkan dalam segenap pemicu kekacauan. Namun kita tentunya tidak biasa menyalahkan agama, sebagai pemicu konflik, karena konflik yang terjadi pada dasarnya terjadi atas pemahaman person terhadap agama itu sendiri. Agama dipahami secara sempit dan cendrung letterlijk sehingga melahirkan pemahaman yang sempitpula, agama sering dipahami sebagai untouchable yang melahirkan fundamentalis religi.

Tak heran kemudian banyak muncul kecaman terhadap existensi agama-agama dalam paruh abad ini. Seperti yang dikatakan Wilson dengan rasa pesimisnya ia mengungkapkandilema agama-agama, bahwasanya;

Didalam Al-kitab (Bible) disebutkan bahwa uang merupakan sumber segala kejahatan. Atau lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan merupakan sumber segala kejahatan. Agama merupakan tragedy umat manusia. Agama mengajak kepada hal-hal yang sangat luhur, sangat murni dan sangat tinggi dalam jiwa manusia, akan tetapi hamier tidak ada satu agamapun yang tidak ikut memberikan andil dan pemicu atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan atas kebenaran. Marx pernah menggambarkanagama sebagai candu masyarakat, bahkan agama lebih berbahaya dari candu agama tidak membuat orang tertidur, agam mendorong orang untuk menganoaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas peasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri. Atas perasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya.

Ketika agama saling berperang dan dengan mengatasnamakan Tuhannya, yang dianggap sebagai perang suci dan dengan anggapan dia mati dalam syahid dan akan masuk surga. Keyakinan ini muncul karena adanya truth and salvation claim dari masing-masing agama. Secara awam masing-masing kelompok agama yan konflik diatas panggilan iman untuk membela kebenaran, seakan menjadi benturan “antara kebenaran dengan kebenaran” padahal secara subtansial jika perang antar penganut agama-agama dipikirkan secara arif dan rasional perang itu adalah “perang menodai kesucian agama”. Dengan kata lain dapat disebut sebagai kepalsuan melawan kepalsuan atau kezalimaan melawan kezaliman. Karena agama kehilangan fungsi dan berubah peran yaitu hak kemanusiaan yang harus dijunjung dan diemansifasikan-selaku cita illahiyang tertinggi, oleh karena itu peran profetis itu berubah menjadi peran anarkis dan dehumanisasi.kita mendapatkan orisinalitas dan pesan universal agama dinodai dan dimanipilasikan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tak pelak lagi kemudian kehidupan keberagamaan disatu sisi memberikan harapan dan peganggan hidup bagi orang yang memeluknya, namun disisi lain kehidupan keberagamaan pulalah yang yang menjadi sumber konflik dan malapetaka baik itu untuk manusia maupun alam semesta.

Agama dan Konflik Sosial di Indonesia

Konflik yang terjadi atas nama agama rupanya tidak hanya terjadi di dunia barat maupun Timur, namun kini telah merambah ke dalam negeri Tanah air Indonesia. Kalaulah kita mencermati perkembangan dan dialektika hubungan antar agama di Indonesia, seakan kita sampai pada eksterm bahwa agama tidak mampu melahirkan masyarakat yang harmonis, apalagi kreatif, dan tidak bisa menyentuh pada sisi esensinya sebagai agama yang membawa kebaikan (fitrah). Hal ini dapat ddibuktikan dengan semakin meluasnya konflik-konflik antar intern dan ekstern agama dalam masyarakat, seperti yang terjadi dewasa ini, manusia dengan mudahnya mengahus, memprovokasi bahkan dengan tanpa berdosanya menghilangkan nyawa orang lain, dengan dalih mengatasnaakan agama. Berbagai usaha dan terapi telah diujicbakan namun hasilnya belum memuaskan,kalau kita hendak mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang abadi (perennial), karena itu seruan untuk menerima agama yang benar harus dikaitkan dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yag tidak bisa lepas dari saling ketergantungan dengan individu maupun kelompok lain.sebagaimana kitab suci telah menulisnya dalam ayat;

“Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan manusia diatasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian manusia tidak mengetahui”

Wajah agama pada akhirnya bergerak menurun tajam dari “perekat bangsa” (obligation in supra solidum) kearah pemecah bangsa (obiligo in contravention solidium). Kegamaan pada awal kemerdekaan mejadi sentrum (lembaga) berubah menjadi disentrum (pisau). Agama yang berupa kumpulan doktrin yang mendamaikan berubah menjadi ajakan kekerasan. Agama yang berupa kumpulan teks yang membebaskan yang metafosis menjadi gumpalan yang rigid. Agama terbukti menjadi salah satu pemicu yang dipakai dalam garakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran yang berlindung didalam agama, juga yang mengkalim gerakan-gerakan separatisme-disintegrasi bangsa.

Ada beberapa model dan alasan mengapa agama terkesan gagal daram mengatasi (mengurangi) konflik sehingga terus menerus meluas. Pertama, agama di Indonesia sering menampilkan dirinya sebagai sosok “penguasa yang sakti” yang tak terbatas. Kedua, dalam derajat tertentu, agama menunggangi konflik-konflik laten dalam mayarakat. Konflik yang awalnya yang merupaan konflik personal, antar warga, antar suku, antar daerah,dan antar golongan, da meledak sesekali karena disusupi oleh agama. Ketiga, diberbagai lapisan masyayakat agama menjadi opium padt yang menghilangka rasionalitas, karena ia merupakan sesuatu yang efektif untuk menumbangkan rezim tertentu.

Ada empat varian dalam agama, yaitu siste keyakinan, organisai, identitas kelompok, dan pengaturan kemasyarakatan. Pada varian system keyakinan yang berlandaskan pada skiptural dan subtansial-agama di Indomesia menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal yang skipturis. Pada varian organisasi keagamaan yang terbagi menjadi odel organic (berepistemologi kearifan aktif) dan model cultural (berepistemologi pasif) agama di Indonesia “dalam derajat tertentu bermatamorfosis dan besimbiosis dengan konflik-konflik laten antar masyarakat”. Pada varian pengaturan kemasyarakatan yang tediri dari theocracy (masyarakat yang religius), seculer( masyarakat yang duniawi), dan seculer theistic (masyarakat pancasila, agama di Indonesia dalam waktu-waktu ttertentu berwajah dan berkekuatan “antibiotic” bagai panacea atas problem modernitas yang tak ramah. Dengan berbagai fenomena yang muncul kepermukaan sebagaimana yang dipaparkan diatas, yang dapat digarisbawahi bahwa agama di Indonesis hidup seperti dalan ungkapan “post coitum omneanimal tristist est (setelah suatu momen yang baik dan menegangkan, kita sering kehilangan sesuatu yang lebih besar), oleh karena itu mengembalikan peran properties agama-agama adalah suatu kemestian, dimana dalam suatu agamayng benar, ia harus belajar pentingnya menghargai harmoni kemanusiaan universal dan kosmos seagai tujuan penciptaan kehidupan.

Civil Religion dan Rekontruksi Sosial-Religi

Maka, karena itu langkah yang aternatif dari fenomena konflik atas nama wilayah agama adalah dengan mengedepankan kosep civil religion , ditinjau dari segi ennografis tidak ada satu kelompok manusiapun diseluruh duniayang tidak mempunyai kepercayaan. Agama menjadi lembaga, norma bahkan menjadi legenda tertua dalam sejarahdunia yang melibatkan dari jauh kedalam persoalan masyarakat.

Pada sejarah berikutnya agama berhasil membawa perubahan social. Ia mengajarkan transformasi loyalitas sektoral menuju transpormasi identitas individual yang berakhir pada transformasi nilai, dari obligation in solidum kearah obligatiain supra slidum (dari gotong royong segmentis kearah gotong royong segmentisyang diikat oleh nlai-nilai).dengan beragana ,seseorang membangun ketulusan kerja seagama, kemudian seiman dan trans-iman. Agama kenudian bertugas melakukan penyadaran secara menyeluruh (coscienzitation) terhadap proses dan pelestarian menjadi diri manusia merdeka.

Agama yang mampu berbuat seperti logika adaah agama sivil (civil religion). Sebuah agama yang menyadari bahwa tanpilan diwilayah publik hanyaah sebatas nilai dan semangatnya, bukan adanya bentuk-bentuk formal, lebih jauh lagi agama civil menghendak adanya kemerdekaan manusia bukan hanya sekedar monolog top-down melainkan pekerjaan yang menyebabkan naiknya derajat kehormatan bagi yang menjalankan. Adanya kesadaran pluralise membawa setiap manusia pada penerimaan akan terjadinya konflik, karena setiap orang miliki kebutuhan dan cara pandang yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan ketegangan serta selisih pendapat dalam berbagai dimensi aktivitas kehidupan. Bahkan Frenklin Dukes mengatakan, pada masyarakat demkratis, konflik adalah dasar dari perubaha sosisl (social change) . Demikian pula halnya dengan Lewis A Coser yang lebih tegas mengatakan bahwa konflik menunjukan terjadinya perubahan dinamika pada setiap masyarakat (dynamic change) . Oleh kaena itu yang dilakukan adalah memenaj kekerasan, justru konflik dapat dimenej menjadi potensi untuk saling membantu, bekerjaama, dan berkompetisi dalam kehidupan.
Untuk membangun kehidupan yang anti kekerasan dan cinta damai, diperlukan beberapa hal; pertama pemahaman dan sikap keberagamaanyang menghargai realitas pluralisme, kedua, perlu perlu ada transformasi pemahaman agama , dari pemahaman yang individualistic-ritualistik dan terlalu elistis-eksatologis kepada pemahaman integtalitiv-dan komprehensif, yaitu aspek kesadaran eksstensi ya illahi yang akan memberi kesadaran untuk menghargai da memberdayakan manusia.Kekerasan sosisl yang ada di Indonesia dewasa ini menggambarkan agama-agama telah kerim\ng dan telah hilang seangat profetiknya. Oleh karena itu upaya untuk membangun kesadaran prfetik adalah agenda untuk mejadkan agama secara positif dalam rangka menghargai sesame. Ketiga, perlu adanya kritik secara objektif terhadap teks-teks suci agama-agama, yang secara harfiah kelihatannya menyatakan sikap kerasterhadap kelompok lain (ada dalam sebuah agama), jika kitab suci diterjemahkan secara harfiah maka akan melahirkan sikap benci terhadp agama lain, dan akan dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan kejahatan kepada orang lain. Keempat, dengan adanya hubungan agama-agama pada masa lalu yang berdarah-darah, khususnya dengan realitas peperangan antara pemeluk agama, dan suku yang berbeda di Indonesia dewasa ini, apabila tidak dikritisi secara objektif, maka hal ini dapat membawa tarauma danrasa kebencian terhadap sesama manusia secara unuversal. Kelima, media diaolog merupakan salah satu cara untuk membangun kesadaran anti kekerasan, karena dialog merupakan media untuk membuka ruang-ruang untuk saling memahami pluralitas.

System sosial merupakan elemen structural yang sangat penting dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosisl, yang oleh mazhab fungsional sering diibaratkan sebagai organisme hidup yang satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan agar mampu berthan dan saling melangsungkan kehidupan.

Dalam pandangan Talcott Persons bahwa suatu system social dalam masyarakat agar tetap berfungsi dan mampu melangsungkan kehidupannya memiliki empat persyaratan fungsional. Persyaratan pertama, ialah adaptasi (adaptation) yaitu kemampuan setiap elemen social dalam masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga mampu bertahan dalam dinamika kehidupan. Kedua, mempunyai goal attanment, yaitu kemampuan untuk memobilisasisumberdaya guna mencapai tujuan bersama-kehidupan yang harmonis. Ketiga, integrasi (integration), yaitukemampuan setiap elemen atau system untuk menyatukan diri, sehingga terpelihara solidaritas social da keutuhan. Dan yang keempat, pemeliharaan pola (pattern manintenance) yaitu kemampuan setiap elemen untuk mempertahankandirinya dalam keseimbangan terus menerus yang membentuk orientasi nilai dalam kehidupan bersama.

Demokrasi; Teori Pembebasan

Muhammad Syahrur pernah mengatakan, bahwa inti dasar kehidupan adalah kebebasan tang tidak bisa di tawar-tawar, setiap manusia mempunyai hak untuk bebas tanpa ada intervensi dari luar, setiap orang adalah manusia yang bebas dalam menentukan pilihan-ilihan hidupnya. Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang, system kehidupan individu dan social harus dibangun untuk memelihr kebebasan setiap orang, menghindari restriksi (tekanan) atas manusia. Karena selama ini masalah eksploitasi manusia oleh manusia menjadi tema yang di usung oleh setiap agama, ideology dan pemikiran dengan klaim bahwa mereka membawa misi keselamatan bagi manusis menuju manusia yang menuju kebbasan yang menjadi fitrah manusia.

Kebebasan tidak berasal dari Tuhan, karena ia telah memberikankebebasan pada setiap hamba-Nya dengan rasa kasih sayang yang tidak terbatas, kebebasan seseorang berurusan denan tata laku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ruang privat maupun dalam ruang social, terkait dengan pola-pola relasi dan interaksi social dalam ruang sejarah. Dengan dasar kebebasan itu manusia memilikitanggungjawab moral, memiliki tanggung jawab atas seluruh perilakunya yang berdasarkan atas kebebasanyang dimilikinya. Dan tanggung jawab seseorang adalah mewujdkan system kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan ersebut supaya idak dicedrai oleh manusia itu sendiri.
Masing-masing individu dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk yang bermoral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada orang lain. Karena semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat mereka yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan . Deklarasi Hak Assi Manusia (Declaration of Human Right) merupakan bentuk jaminan kebebasan yang masih abstrak. Dokumen yang disepakati ini harus direalitaskan kekinian dengan menafsirkannya , sehingga menjadi dokumen yang kongkrit dalam sejarah
Seorang peribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama dengan nlainya dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Maka agama mengajarkan;

“Barang siapa membunuh seseorang tanpa dosa pembunuhan atau perusakan dibumi maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa yang menolong hidupnya maka bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia”.

Jadi harkat dan martabat seseorang atau pribdi manusia merupakan sebuah cermin, atau represenasi seluruh harkat martabat manisia. Maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing individu adalah amal kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Implikasi dari adanya kebebasan dalam kearifan hidup, terlahirnya sebuah system tentang pengaturan masyarakat dalam tataran negara, yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Demokrasi Indonesia atau lebih umum lagi dikenal dengan demokrasi Pancasila, secara teoritis, dorongan untuk mengembangkan demokrasi untuk menurut kondisi khusus sustu tempat adalah wajar sekali, sekalipun dasar yang paling prinsifil dai demokrasi itu universal—berlaku untuk semua tempat danwaktu, namun dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam intitusinya yang menyangkut masalah structural dan prosedural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi.
System demokrasi tidak terlepas dari berbagaii masalah, seringkali dikemukakan bahwa system demokrasi adalah system politik yang buruk seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Filsuf Yunani yaitu Plato dalam bukunya (Republik Plato) yang mengatakan bahwa system pemerintahan yang menganut system demokrasi adalah yang terjelek diantara yang lainnya. Kendati begitu ia merupakan satu-satunya (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. Manusia abad 21 tidak memiliki pilihan lain selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, dapat dilakukan terus menerus, dan ketidak mistahilan dapat mencapai kesempurnaan, jika kita mengingat bahwa didunia ini tidak ada sesuatu yang sempurna karena semuannya bersifat kerelatifan dan terus menerus berubah tidak adannya ketetapan mutlak, sesuai dengan dalil umum “segala sesuatu berubah (yakni mengalami transformasi), kecuali “esensi Tuhan” orang Yunani mengatakan, “panta rei”
Demokrasi pada dasarnya menghendaki adanya sebuah ideology yang terbuka atau ideology yang berujung terbuka (open-ended ideology), yaitu ideology yang tidak dirumuskan penjabaran rincinya “sekali dan untuk selamanya (once and for all). Tetapi ada juga ideology yang tertutup seperti komunisme. Ideology yang tertutup, yang dirumuskan penjabaran rincinya sekali untuk selamanya selalu cendrung ketinggalan jaman (obsolete). (dalam hal komunisme, peran pemimpin sangat dominan dalam penjabaran itu, atau ada hanya satu badan atau lembaga yang berhak untuk menjabarnya)
Dalam rangka proses menuju keberbagian dan persetujuan bersama itu maka harus dilaksanakan dengan musyawarah untuk arti yang seluas-luasnya.karena demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah, yang disebut partisipasi egaliter.14 khususnya bagaimana termuat dalam kitab suci dan Sunnah Nabi:

1. Manusia diikat oleh perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya. .
2. Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika seandainyatidak ada pengaruh lingkungan .
3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar.
4. Tetapi karena menusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (antara lain, berpandangan pendek, cenderung ttertarik pada hal-hal yang bersifat segera), maka etiap peribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena tergada oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek.
5. Maka, untuk hidupnya, manusia dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama , dan terbebani kewajiban terus menerus mencaridan memilih jalan yang lurus, benar dan baik
6. Jadi manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik dan buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik didunia diantara sesama manusia, maupun di akhirat dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang nisbi sehingga tidak ada kemungkinan manusia menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali tidak mungkin dihindari.
8. Pertnggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat itubersifat pribadi sama sekali, sehingga tidak ada pembelaan, hubungan solidaritas dan perkawanan, sekalipun antara sesama teman, karib kerabat, anak, dan ibu-bapak.
9. Semuannya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya diduniaini, memiliki hak dasar dalam memilih dan menentukan sendiri perilaku moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etisnya).
10. Karena hakikat dasr yang mulia itu, manusia dikatakan sebagai puncak makhluk Allah, yang diciptakan olehnya dalam sebaik-baik ciptaannya, yang menuntut asalnya berharkatdan martabat yang setinggi-tingginya.
11. Karenaitu Allah-pun memuliakan anak-cucu Adam, dan menaggungnya didaratan maupun dilutan.
12. Setiap peribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barang siapa yang merugikanseorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alas an yang sah, maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia. Dan barang siapa yang melakukan kebaikan, maka ia telahberbuat baik terhadap seluiruh umat manusia.
13. Setiap pribadi harus berbuat baik terhadap sesamanyadenngan memenuhi diri pribadi terhadap pribadi lain, dan menghormarmati hak-hak orang lain.

Musyawarah ini dijalankan dengan adanya asumsi kebebasan pada masing-masing personal manusia. Dalam rangka memberi kerangka pada pelaksanaan kebebebasan-kebebasan asasi itulah pengalaman positif Barat tentang demokrasi prosedural dalam konteks ke Indonesiaan sangat mendukung karena Indonesia masyarakatnya yang plural ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan. Karena musyawaah bukan saja menyangkut prosedur, tetapi didalam dirinya terkandung kerangka pembenaran dengan makna dan tujuan hidup manusia secara universal.

Kesimpulan

Agama adalah cara agar manusia bisa memahami dunia. Tetapi dunia yang kita diami sekarang ini adalah dunia yang makin sulit untuk dipahami, demikian ungkapan Josep Concard, memahami kehidupan agama dewasa ini. Dalam kehidupan modern kelangsunan hidup beragama tak ubah seperti bola sepak yang ditendang kesana kemari oleh pemain (penganutnya) yang didasari atas dasar ambisi.
Kehidupan agama pun kini demikian adanya, agama tidak lagi dijadikan sebagai panutan dan pedoman untuk hidup, malah dijadikan sebagai tameng bagi kehidupan. Agama sering sekali dipakai dalil untuk setiap tindak kekerasan dan melegalkan konflik, karena mereka merasa tindakannya di amini oleh Tuhan, sekalipun harus menghilangkan nyawa orang lain. Bukankah perang salib di Andalusia itu di dasarkan atas pertikaian antar agama?, dimana penyakit truth claim saat ini telah menjadi akut pada setiap pemeluknya. Bukankah kerusuhan yang terjadi di Indonesia, tepatnya terjadi dibeberapa kota baik dalam perbedaan agama, atau se-agama atau perbedaan sukudan ras. Keseluruhan konflik tak bisa terlepas dari peran serta agama yang memicunya terjadinya konflik.
Pertanyaan pertanyaan diatas bukanlah untuk diperdebatkan, melainkan untuk direnungi bagi kita semua; apakah agama yang salah atau jangan-jangan pemahaman kita selama ini terhadap agama masih minim, skipturis dan cenderung fanatik buta, sehingga mengabaikan pesan yang terkandung dalam universal agama. Dan pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana agar kehidupan beragama kembali bias harmonis. Diturunkannya agama sebenarnya demi kedamaian universal, agama yang memiliki dua dimensi yaitu esoteris dan eksoteris.
Maka kini saatnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia mencoba menata ulang system social dengan memasukan dimensi rasionalkedalam proses demokrasi social lebih sekedar mencekoki emosi kolektif yang bernafas pendek dengan berbagai symbol, ritual dankeguyuban yang semata-mata hanya nampak dipermukaan.
“Sesungguhnya bentuk-bentuk pemerintahan dan pendidikan sangat tergantung pada pandangan kita tentang manusia. Masalah ini adalah masalah yang paling sulit dan luar biasa pentingnya dewasa ini, tetapi banyak orang mencari penyelesaian-penyelesaian yang mudah” (Lois Kattsoff)
Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang karena manusia secara lahiriah adalah suci esensi Agama (din) dari seluruh rasul adalah sama. Mnusia makhluk yang universal bebas memahami hidupnya dengan jalan yang ia tempuh sendiri, tetapi manusia terbatas oleh etika dan agama dan selama ia tidak merugikan oranglain dalam hal etika dan agama (kesepakatan kolektif) itu dibenarkan dan tidak ada argumen untuk menyanggahnya.
Demokrasi merupakan satu-satunya system pemerintahan atau ketatanegaraan (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah,
Read more!

Madani

Friday, September 21, 2007

Membentuk Masyarakat Madani Yang Demokratis, Harmonis dan Partisifatif
Oleh Siti Halimah


Pendahuluan

Kita sering mendengar dan melihat berbagai kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat sudah sangat mendarah daging dalam pemberitaan pers. Bak melalui media elektronik maupun media cetak. Sebut saja kasus penindasan yang terjadi ketika orde baru masih berkuasa. Yaitu penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan dan juga contoh lainnya dengan adanya DOM (Daerah Operasional Militer di Aceh), juga kita sering mendengar dan mengetahui penculikan para aktifis demokrasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan akhir yang paling menyakitkan adalah ketika kita kehilangan ruang untuk mengemukakan pendapat kita di depan publik.

Pertanyaan – pertanyaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada perlunya mengkaji kembali kekuatan rakyat atau masyarakat (civil) dalam konteks interaksi relationship, baik antara rakyat dengan negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaksi tersebut akan memposisikan rakyat sebagai baghian integrasi dalam komunitas negara yang memiliki kekuatan bergening dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisi kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.

Kemungkinan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani. Wacana masyarakat Madani ini, merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern, yang dikenal dengan istilah civil society.

Makna Masyarakat Madani

Dalam mendefenisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosio kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan konsep yang lahir dari sejarah pergaulan bangsa Eropa Barat.

Zbiqniew Ran mendefenisikan masyarakat madani, dengan latar belakang kaitannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet, ia mengatakan bahwa yang dimakud dengan masyarakat madani adalah merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengendalikan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai – nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul diantara hubungan – hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan – hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, dan pengaruh kekuasaan keluarga dan negara dalam masyarakat madani ini diekspresikan dalam gambar ciri – cirinya, yakni individualisme, pasar (market) dan pluralisme. Batasan yang dikemukakan oleh RAU ini menekankan pada adanya ruang hidup dalma kehidupan sehari – hari serta memberikan integrasi sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme pasar (market) dan pluralisme.

Dan ada juga konsep yang dikemukakan oleh Kim Sunhuhyuk dalam konteks Korea Selatan, ia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok – kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan – gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan – satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan – kepentingan mereka menurut prinsip – prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.

Pada makna diatas menggambarkan adanya organisasi masyarakat yang secara tidak langsung mempunyai polusi yang otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi, organisasi – organisasi ini mengisyaratkan adanya ruang publik (publik sphere) yang memungkinkan untuk menuangkan kepentingan – kepentingan tertentu dengan maksud – maksud tertentu pula.

Di Indonesia, terma masayarakat madani di terjemahkan secara berbeda-beda seperti masyarakat madani sendiri, masyarkat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil sosiety (tanpa diterjemahkan).

Masyarakat madani, sebagai terjemahan istilah civil society, pertama kali digunakna oleh Pato Seri Anwar Ibrahim dalam Ceramahnya pada Simposium National dalam rangka forum Ilmiah pada acara festifal Isiqlal, 26 September 1995 di Jakara. Konsep ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peradaban maju.

Upaya untuk mengaktualisasikan demokrasi dan masyarakat madani di Indonesia melalui pendidikan kelihatannya masih harus menempuh jalan panjang. Pendidikan haruslah melakukan reorientasi dan berusaha menerapkan paradigma baru pendidikan nasional, yang tujuan akhirnya adalah pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berpegang teguh pada nilai – nilai civilitty (Keadaan).

Apabila ingin membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis maka setiap warga negara haruslah melalui karakter atau jiwa yang demokratis pula.

Sebagai warga negara yang demokratis, hendaknya memiliki rasa hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya Pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebagai warga negara yang demokrat, seorang warga negara juga dituntut untuk turut bertanggungjawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan keertiban negara yang berdiri diatas pluralitas tersebut. Setiap warga negara yang demokrat harus bersikap kritis terhadap kenyataan membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, rasional, adil dan jujur.

Dalam paham civil society, rakyat bukanlah subordinat negara melainkan partner yang setara masyarakat mempunyai peranan yang dalam segala hal.

Karakteristik Mayarakat Madani

Adapun karakteristiknya pertama, Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran. Persyarat ini dikemukakan oleh Arendit dan Habermal lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.

Kedua, Demokrasi merupakan satu entitas yang menajdi penegak wacana masyarakat madani, diaman dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasarat demokratis ini banyak di kemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.

Ketiga, toleransi meupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” anatra berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.

Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan – gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke hidupan yang berkualitas dan tamaadun (civil). Civilitas meniscayakan ideransi, yakni kesediaan individu – individu untuk menerasi pandangan – pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.

Empat, Pluralisme merupakan satuan prasarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatacara kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positifdan merupakan rahmat Tuhan.

Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaan. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan.

Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak menolitik.

Kelima, keadilan sosial merupakan keadilan yang menyebutkan kesimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

Dalam pemikiran mengenai format bernegara menuju Indonesia Baru Pasca Orde Baru (era reformasi ) teridentifikasi konsep masyarakat madani yang telah berkembang sebagai alternatif pendekatan, karena masyarakat madani berisikan nilai – nilai dan konsep – konsep dasar tetentu yang berguna dalam rangka pemberdayaan masyarakat atau lebih menyeimbangkan posisi dan peran penentuan yang tetap terasa pada perwujudan cita – cita berbangsa dan bernegara sebagaimana di amanatkan UUD 1945.

Adapun nilai – nilai dasar masyarakat madani antara lain adalah kebutuhan, kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan, demokrasi, kemajemukan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kesejahteraan, keadilan dan supermasi hukum, dan sebagainya.

Menciptakan masyarakat madani merupakan peluang bagi agama. Menurut Ayatullah Khomuni, ada keterkaitan erat antara agama dan politik. Masyarakat madani dapat juga dikatakan sebagai sebuah “revolusi”.

Dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara melalui :

1. Pengurangan hambatan dan landasan – landasan bagi kreatifikasi dan partisipasi masyarakat.
2. Perluasan akses, pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
3. Penghargaan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi, guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Masyarakat Madani Dan Demokrasai

Nurcholis mengatakan bahwa tantangan masa depan demokrasi di negera Indonesia ini adalah bagaimana mendorong berlangsungnya proses – proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai – nilai madani. Dalam kaitan ini dengan mengutip beberapa sumber kontemporer Nurcholis mewujudkan beberapa titik penting pandangan demokratis yang harus menjadi pandangan hidup bagi masyarakat yang ingin mewujudkan cita – cita demokrasi dalam wadah yang disebut masyarakat madani, civil society. Pandangan – pandangan tersebut diringkas sebagai berikut :

1. Pentingnya Kesadaran kemajuan atau pluralisme
2. Berpegang teguh pada prinsip musawarah.
3. Menghindari bentuk – bentuk monolitisme dan absolutisme kekuasaan.
4. Cara harus sesuai dengan tujuan sebagai lewan dan tujuan mengahalalkan segala cara.
5. Meyakini dengan tulus bahwa kemufakatan merupakan hasil akhir musyawarah.
6. Memiliki perencanaan yang matang dalam memenuhi basic needs yang sesuai dengan cara – cara demokratis.
7. Kerjasama dan sikap antar warga masyarakat yang saling mempercayai iikad baik masing – masing.
8. Pendidikan demokrasi yang lived ini dalam sistem pendidikan..
9. Demokrasi merupakan proses trial and error yang akan menghantarkanh pada kedewasaan dan kematangan.

Dengan demikian, untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara menuju peradaban baru Indonesia, negeri adil terbuka, maka demokrasi tersebut harus dibangun dengan seefektif mungkin.

Dalam masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produkstif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-gover mental untuk mencapai kebaikan bersama (public good) karena pada indepensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi masyarakat madani juga dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejahteraan hubungan antara warga negara dengan negara atas prinsip saling menghormati. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara.

Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam Bagaikar dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko – eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana – suasana demokratislah civil society dapat berkembang dengan wajar.

Menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi ini, larry Diamond secara sistematis mneyebutkan ada 6 ( enam ) konstitusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi. Pertama, ia menyediakan wacana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara. Kedua, Pluralisme dalam masyrakat madani, bila di organisir akan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik. Keenam, menghalangi dominasi rezim.

Dalam masyarakat madani terdapat nilai – nilai yang universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecendrungan partikularisme dan sektrarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan yang mana masing – masing individu, etnis dan golongan mampu mengahrgai kebhinekaan dan menghormati setiap kebutuhan yang diambil satu golongan atau individu.

Selain itu, sebagai bagian dari strategi demokratisasi , masyarakat madani memiliki perspektif sendiri dalam perjuangan demokrasi dan memiliki spekttrum yang luas dan berjangka panjang. Dalam perspektif masyarakat madani demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi diametral dan antitesa negara, melainkan bergantung pada situasi dan kondisinya. Ada saatnya demokratisasi melalui masyarakat madani harus garang dan keras terhadap pemerintah, namun ada saatnya juga masyarakat madani juga harus ramah dan lunak.

Masyarakat Madani dan Penegakan Hak – Hak Sipil Keagamaan di Indonesia

Menuju masyarakat madani melalui penegakan hak – hak sipil keagamaan dimana negara Indonesia adalah negara hukum yang diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan kesewenang – wenangan dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendak sendiri.

Sebagai unsur – unsur yang klasik yang dipakai dalam negara yaitu diakuinya adanya hak – hak asasi yang harus dilindungi oleh pihak penguasa dan sebagai jaminannya ialah diadakan pembagian kekuasaan.

Negara hukum mempunyai 4 unsur :

1. Hak – hak asasi
2. Pembagian kekuasaan.
3. Adanya undang – undang bagi tindakan pemerintah.
4. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan – bentrokan dalam masyarakat negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.

Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan – hubungan manusia dalam masyarakat dan mentertibkan gejala – gejala kekusaan manusia dalam masyarakat dan gejala – gejala kekuasaan dalam masyrakat. Negara menetapkan cara- cara dan batas – batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalma kehidupan. Pengendalian ini berdasarkan sistem hukum dan dengan peraturan pemerintah serta segala alat – alat perlengkapan.

Untuk menegaskan kedudukan agama ini maka telah disebutkan bahwa neagara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada “Ketuhaan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Sleuruh Rakyat Indonesia”.

Prinsip Ketuhanan ini menegaskan bahwa masing – masing orang Indonesia hendaknya bertuhan . Mereka yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al – Masih, yang beragama Islam menjalankan ibadahnya menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, umat Hindu menjalankan ibadahnya menurut kitab – kitab yang ada padanya, begitu pula umat Budha.

Nilai – nilai ketuhanan menuntut tumbuhnya sikap dan perbuatan yang sesuai dengan norma – norma dan moral yang diajarkan oleh agama – agama yang bersumber dari Tuhan. Hal ini mengingat bahwa agama adalah dasar dan asas moral bangsa dan masyarakat yang berfilsafah pancasila. Untuk itu maka nilai – nilai agama mendapat tempat interprestasi dan implementasi dalam pancasila sebagai dasar filsafah dan ideologi ngara. Bangsa Indonesia diakui sebagai bangsa yang beragama.

Indonesia adalah negara serba ganda (plural stabe). Bangsa Indonesia telah hidup dengan keserbagandan ini sejak zaman leluhur. Dari bisa di telusuri kembali sejarah bangsa Indonesia sejak zaman leluhur itu, tidak terdapat fakta tentang adanya usaha – usaha untuk mempermasalahkan keserbagandaan ini.

Dalam membangun dan membina masyarakat dan bangsa dengan totalitasnya, perlu dipikirkan terutama terhadap generasi penerus, agar keberagaman yang telah interen dengan alam dan kondisi Indonesia ini dipahami dan diterima oleh mereka. Dengan pengertian tidak menjadikan keberagaman ini sebagai topik permasalahan terutama yang sifatnya sensitif sekali, yaitu agama.

Indonesia sebagai negara pancasila, dalam penganutan agama prinsip kebebasan di junjung tinggi, termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangi setiap golongan agama untuk menyiarkan dan menyebarkan agamanya. Namun kebebasan disini tidak dapat ditafsirkan dengan kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan kepada prinsip pancasila dan UUD 1945 dengan berorientasi kepada pemeliharaan persatuan dan rasa kebangsaan. Pluralitas agama atau masalah agama, artinya bila masalah agama tidak menjadi perhatian yang layak sehingga tidak terciptanya kerukunan umat beragama maka integritas bangsa dan negara akan tergoyahkan, bila dimana bentuk ekstrim bahkan dapat berbahaya, masalah suku tumbuh lagi.

Hak – hak atau hak asasi dalam masyarakat dan bangsa meliputi, kemerdekaan beragama, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, kebebasan mengeluarkan pikiran baik denganh lisan atau tulisan, mendapatkan tempat atau rumah dan sebagainya.

Dalam masyarakat madani, setiap manusia mempunyai hak sama dan dipandang sebagai kenyataan, baik secara pribadi ataupun secara bergolongan. Setiap anggota masyarakat menyadari posisi masing – masing baik ia sebagai anggota masyarakat biasa, karyawan, pejabat ataupun sebagai penguasa, bahwa ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Dalam kebebasan atau kemerdekaan terkandung kebebasan beragama dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Kebabasan beragama, tiap penganut atau tiap golongan agama mempunyai kebebasan dan perlindungan yang sama dalam menganut agama dan melaksanakan ibadat agamanya. Tiap Undang – Undang atau peraturan yang dibuat pemerintah atau oleh lembaga negara tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh warganya.

Masyarakat Madani Indonesia

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai – nilai hak asasi manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak asasi mansusia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Disinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan pengembangan daya kontak masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang pada dasarnya nanti terwujud kekuatan masyrakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak – hak asasi manusia.

Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.

Berbicara mengenai kemungkinan berlembaganya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus – kasus pelenggaraan HAM dan pengecangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga – lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman orde lama dengan rezim demokrasi terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politisi dan terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya mengelibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat diwarnai sebagai kontra – revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada masa Soekarno pun mengalami kecendrungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat.

Sampai pada masa Orde Baru pun tekanan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia tersebut luas bahkan seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan untuk segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berabgai contoh kasus pada masa orde baru berkembang. Misalnya kasus pemberedakan lembaga pers, seperti AJI, DETIK dan TEMPO. Fenomena ini meruapkan sebuah fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum, apalagi pada lembaga pers yangnota bene memiliki fungsi sebagai bagian dari social control dalam menganalisa dan, mensosialisasikan berbagai kebijakan yang betul – betul merugikan masyarakat.

Selain itu banyak terjadi pengambilan hak – hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan hak asasi manusia karena hak atas nama yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat. Dipaksa dan diambil alih oleh penguasa haknya karena alasan pembanguan yang sebenarnya bersifat semu. Disisi lain, pada era orde baru banyak terjadi tindakan – tindakan anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. hal ini salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada saat itu tidak dan belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat Pluralisme.

Melihat itu semua, maka secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat, secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai – nilai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaan sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.

Dalam hal ini menurut Dewan ada 3 (tiga) strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam meberdayakan masyarakat madani di Indonesia.

1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran bangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang diperlukan adalah stablitas politik sebagai landasan pembangunan karena pembangunan lebih – lebih yang terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamanakan dari demokrasi.

2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama – sama diperlukan proses demokratis yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan , maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap negara.

3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin luas.

Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh hikmah bahwa di era tradisi ini harus dipikirkan prioritas – prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target – target grup yang paling strategis serta penciptaan pendekatan – pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendikiawan, LSM, ormas sosial, keagamaan dan Mahasiswa adalah mutlak adanya karena merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.

Agama di Indonesia mengambil peranan penting dalam pembentukan masyarakat sipil. Khusunya sebagai masyarakat politik. Perkembangan masyarakat sipil ini ternyata lebih cepat dari pada perkembangan masyarakat ekonomi. Sebagai dampaknya, peranan negara lain menonjol dan justru mengambil peran sebagai agen perubahan sosial yang berdampak terbentunya masyarakat sipil, dari arti mencakup masyarakat politik maupun ekonomi.

Kecendrungan yang dominan di Indonesia adalah idealisasi negara, sebagai wadah nilai – nilai tertinggi. Perjuangan organisasi – organisasi keagamaan ikut mendorong terbentunya negara ideal, atau negara intergralistik sebagai kompromi dari konflik antara sekularisme dan teokrasi. Karena itu nilai – nilai keagamaan perlu dikembangkan dengan memperkuat masyarakat sipil, sebagai benteng (bastion) kepentingan – kepentingan dan aspirasi masyarakat dimana agama kedudukannya cukup dominan dalam masyarakat indonesia

Peranan agama yang kuat di Indonesia, sangat mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia baru yang populer diistilahkan Prof. Nurcholis Majid sebagai masyarakat madani. Disini, negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus perwujudan nilai – nilai luhur yang bersumber pada agama. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, demokrasi di beri predikat pancasila. Karena demokrasi yang dikehendaki berlaku di Indonesia adalah demokrasi untuk merealisasikan nilai – nilai luhur tujuannya seluruh agama melalui pancasila.

Ditulis sebagai persyaratan mengikuti Advance Training di Jakarta, 22-28 Agustus 2007)

REFERENSI

1. Zainun Kamal dkk, Islam Negara dan Civil Society, Paramadina, Jakarta, 2005. hal XIX
2. Tini ICCEUIN, Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN, Jakarta, 2003, hal. 248 – 250.
3. Nurcholi Madjid, Cita – cita Politic Islam Era Reformasi,Hal 105 – 113
4. Kehidupan Beragama dalam Negara Pancasila, Departemen Agama RI, Jakarta 1982, hlm. 37 – 39.
5. Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas Jakarta Februari 2001 hal 78
6. Moh. Kusnardi. S.H, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1993.
7. Pangkowilhan II Jawa Madura, Letjen. Soerono Pada Pembukaan Dialog Antar Umat Beragama di Yogyakarta, tanggal 6 Februari 1973.
8. A. Rakman Zainuddin, M. Hamdan Basyar, Syiasa dan Politik di Indonesia, Mizan, www.google.com
Read more!

Demokrasi

Prospek Demokrasi dan Hak-hak Sipil Keagamaan di Indonesia
Oleh Bahrul Haq Al-Amin*

Pembabakan sejarah politik Indonesia telah melampaui gerbang reformasi. Masa ini ditandai oleh kejatuhan rejim politik otoriter-totaliter Orde Baru. Hal ini tampak menjadi satu-satunya simbol pembabakan baru sejarah politik Indonesia. Selain itu, dengan melihat pencapaian-pencapaian reformasi yang belum maksimal, dapat disimpulkan bahwa sisanya masih menjadi problem kompleks yang sulit untuk diuraikan.

Problem-problem ekonomi, sosial dan politik menjadi pekerjaan rumah rejim politik pasca Orde Baru. Reformasi yang telah digulirkan tidak serta merta mampu menyelesaikan problematika ini. Institusionalisasi agen reformasi menemui ragam paradoks. Misalnya, harapan pada partai politik dirintangi dengan kembalinya politik aliran yang tidak substantif menyentuh permasalahan bangsa. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 begitu banyak partai politik yang berdiri dan mengeksploitasi simbol-simbol aliran politik. Mereka membangkitkan memori bangsa dengan simbol-simbol politik aliran di masa lalu, atau juga menciptakan simbol-simbol baru. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, paradoks seperti ini malah menambah malah baru. Padahal, selama lebih dari tiga dekade, rakyat Indonesia telah begitu akrab dengan penyederhanaan partai politik.

Transisi demokrasi pasca reformasi memang memunculkan anomali-anomali politik tersendiri. Peralihan dari rejim otokrasi ke demokrasi di antaranya terasa dalam bentuk pembukaan akses partisipasi politik warga negara secara merata dan luas. Meski reformasi memunculkan banyak partai politik baru, tidak berarti bahwa partai politik menjadi satu-satunya saluran politik warga. Masyarakat secara kreatif memperkuat basis jaringan sosialnya, menuju tatanan civil society yang mandiri. Pers yang bebas memfungsikan diri sebagai bagian dari rakyat dan ikut melakukan pengawasan atas penyelenggaraan negara. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pencerahan politik ini – sebab tidak diikuti dengan proses pendidikan politik yang baik – sempat disikapi secara salah oleh warga. Warga yang masih belum dewasa secara politik melahap wacana-wacana tersebut secara sembarang. Kerawanan sosial kembali membayangi kehidupan politik Indonesia. Contoh otentik di antaranya, disintegrasi Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan konflik-konflik sosial di berbagai daerah. Pers sendiri pun malah menambah kesimpang-siuran kehidupan politik. Anomali ini tentu saja bukan murni kesalahan warga sendiri, malah mereka lebih merupakan korban. Kesenjangan yang terlalu lebar antara konsep dan realitas politik juga menjadikan bangsa kita seolah-olah tidak siap. Kesalahan ini memang tanggung jawab bersama. Kita memilih untuk mengakhiri sebuah rejim politik tanpa alternatif politik yang matang. Oleh karenanya, kita harus berani menanggung resiko seperti itu. Yang terpenting adalah bahwa kita melanjutkan transisi demokrasi kita.

Kenyataan politik Indonesia pasca reformasi beberapa kali sudah mengalami pergantian kepemimpinan politik. Habibie diganti Gusdur, Gusdur digeser oleh Megawati, dan kini SBY menempati posisi Megawati. Fakta politik seperti ini bukan omong kosong belaka. Di dalamnya terdapat percaturan politik yang keras. Tidak juga bisa disederhanakan sebagai sesuatu pergantian atau perebutan kekuasaan saja. Rakyat jelas menaruh harapan besar pada prosesi ini. SBY yang terpilih pada pemilu terakhir secara langsung, juga adalah figur pertama yang terpilih secara langsung oleh rakyat. Itu sekaligus menandakan bahwa kepercayaan rakyat pada sistem politik kita sudah kembali. Maka dari itu, tidak boleh disia-siakan begitu saja.
Dalam Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika Latin (1993), kita dapat mengambil sedikit pelajaran dari proses transisi demokrasi di Amerika Latin. Dari berbagai kasus yang diungkap, muncul beberapa hal yang dapat kita pelajari.

Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa, walau faktor-faktor internasional – langsung atau tidak langsung – mengkondisikan dan mempengaruhi jalannya transisi, para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasis berasal dari dalam negeri. Kasus-kasus tersebut meperlihatkan pentingnya lembaga-lembaga, pentingnya prosedur-prosedur pangantara an forum-forum yang membantu melegitimasi para penguasa diskursus politik dalam periode perubahan. Kasus-kasus itu menggambarkan arti penting vital dari kepemimpinan dan pertimbangan politis, pentingnya peran individu-individu perorangan dalam proses-proses historis yang kompleks. Kasus-kasus itu menunjukkan pentingnya ketepatan waktu, kerumitan dari proses-proses interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang, menunjukkan berbagai cara bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi dan paradoks yang dihasilkannya.

Di atas semua itu, kasus-kasus menganalisa cara-cara bagaimana transisi-transisi dari pemerintahan otoritarian dikondisi dan dibentuk oleh keadaan-keadaan historis, yang unik untuk setiap negara tetapi mengambil pola yang bisa diramalkan, oleh cara bagaimana rejim demokratik sebelumnya runtuh, oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai rejim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya, oleh inisiatif dan ketepatan waktu gerakan-gerakan eksperimental ke arah liberalisasi, oleh tingkat keamanan dan keyakinan diri kelompok elit rejim dan oleh keyakinan dan kompetensi dari mereka yang memperjuangkan terbukanya proses politis, oleh ada atau tidak adanya sumber daya finansial, oleh pengaruh dari pihak-pihak luar, dan oleh mode internasional yang memberikan legitimasi pada bentuk-bentuk transisi tertentu.

Kerumitan proses transisi ini masih terus dapat kita rasakan hingga saat ini. Padahal, secara spasial dan masa, konteks kita saat ini telah memasuki fase konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi di awal reformasi telah berhasil membawa kita semakin dalam memasuki alam demokrasi. Rejim birokratik-otoriter-represif Orde Baru pun telah berlalu. Akan tetapi, masalah-masalah pragmatis rakyat seperti ketahanan pangan, kesehatan dan pendidikan hingga kini masih belum terselesaikan. Meski begitu, demokrasi memang tidak begitu saja menyumbang rakyat dengan pragmatisme hidup. Demokrasi membuka keran yang sebelumnya tertutup untuk mencapainya secara fair dan adil.

Konsolidasi demokrasi memang telah sedikit merubah peta politik Indonesia, hal ini terlihat dari jaminan dan kepastian hukum, partisipasi politik warga, civil society yang berusaha mandiri, kebebasan pers, perbaikan sistem Pemilu dan kepartaian, serta liberalisasi politik, ekonomi dan sosial. Sayangnya, perubahan ini masih menyisakan permasalahan, di antaranya ialah penegakan hak asasi manusia. Padahal, fundamental penting dalam konsolidasi demokrasi adalah penghargaan yang tinggi atas hak asasi manusia. Penghargaan ini tidak sekedar terwujud dalam regulasi hukum-hukum belaka, akan tetapi jaminan yang tegas dari negara.


Dalam konteks konsolidasi demokrasi ini, model demokrasi Indonesia harus berjalan lebih substansial. Rakyat perlu yakin bahwa demokrasi membawa harapan terpenuhinya kesejahteraan yang adil bagi mereka. Oleh karenanya, rakyat perlu pula memahmi demokrasi sebagai sebuah sistem politik, sosial dan ekonomi. Demokrasi menyediakan saluran bagi rakyat untuk menentukan setiap kebijakan politik negara atas dirinya. Demokrasi juga memberikan jaminan kesetaraan dan fairness, tanpa memandang mayoritas atau pun minoritas politik.

Hak-hak Sipil Keagamaan
Seperti telah disinggung sedikit pada bagian terdahulu, hak asasi manusia menjadi salah satu borok yang terus menempel sejak berdirinya Indonesia hingga saat ini. Diskursus hak asasi manusia telah ada dan diatur sejak lama. Mulai dari datangnya Islam di tangan Muhammad dan diteruskan dengan Piagam Madinah, kelahiran Magna Charta, disahkannya Bill of Rights, Declaration of Independence, The French Declaration, The Four Freedoms-nya Roosevelt, DUHAM, ICCPR, CEDAW, Pancasila dan UUD 1945, hingga beragama legislasi yang mengatur HAM di Indonesia. Bersama itu pula, pelanggaran hak asasi manusia terus menerus terjadi seakan mengimbangi gagasan tersebut.

Pergantian kepemimpinan saat reformasi memang menghasilkan kemajuan cukup signifikan. Penegakan hak asasi manusia terkesan membaik. Salah satu indikasi bahwa pemerintah RI memang berniat menjalankan perbaikan, TAP MPR XVII/1998 diproduksi. Pemerintah juga meratifikasi sejumlah konvensi hak asasi manusia. Antara lain Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan Keppres No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 20/1999. tanggal 24 November 2004 UU NO. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan.

Namun, itu semua tampak belum cukup. Karena seluruh aturan-aturan tersebut menuai banyak rintangan. Terlampau banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya, kasus Timor Leste, pembunuhan Munir, kekerasan di IPDN, dan masih banyak lagi. Tidak banyak dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan dengan baik. Malah seperti kasus Tragedi Trisaksti dan Semanggi 1 & 2, oleh DPR tertolak dalam kategori kejahatan HAM berat dan pengusutannya pun terbengkalai.
Hak asasi manusia nyatanya memang masih terlalu umum. Terdapat istilah yang lebih khusus dan lebih praktis dalam hal pelaksanaannya, yaitu hak-hak sipil. Menurut Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, perlu disadari perbedaan antara hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir yang bukan pemberian apapun, yang dalam agama adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan dan bukannya oleh orang, bahkan oleh negara. Sedangkan hak sipil adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang karena kewargaannya. Hak sipil pada masyarakat atau individu berarti kewajiban bagi negara. Jadi, hak sipil ini dilindungi atau dijamin oleh negara, dan masyarakat berhak menuntut untuk dipenuhi hak-haknya dan boleh menggugat kepada negara jika hak mereka diingkari. Hak-hak asasi manusia memang lebih mendasar, namun belum tentu dilindungi oleh negara. Namun UUD 1945 telah mengesahkan beberapa hak asasi manusia (sebelum PBB mengesahkannya) menjadi hak-hak sipil, antara lain hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi perikemanusiaan, hak untuk memperoleh pendidikan atau hak untuk berpendapat dan berkumpul. Dan yang paling dianggap mendasar adalah kebebasan untuk beragama (dan tidak beragama). ii

Hal ini berarti bahwa perjuangan penegakan hak asasi manusia belum cukup. Hak-hak asasi manusia perlu ditransfer menjadi hak-hak sipil dalam bentuk legislasi. Jika tidak begini, maka penegakan hak asasi manusia hanya tinggal wacana belaka. Selain itu, tentu saja perlu ditegaskan bahwa undang-undang sendiri pun belum cukup karena harus dilakukan perwujudan nyata dari legislasi tersebut, beserta pengawasan yang berimbang dan adil. Sulitnya, di Indonesia, terlalu banyak kepentingan yang menyelimuti kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Selain istilah hak sipil, terdapat pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu kebebasan sipil. Menurut Usman Hamid, kebebasan sipil secara sederhana diartikan sebagai kebebasan individu warga negara dari kekuasaan negara. Beragam tindakan warga negara harus mensyaratkan adanya ruang sipil yang bebas dari intervensi neara. Hak menyatakan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi, serta menjalankan agama misalnya, harus bebas dari intervensi negara, kelompok atau bahkan perseorangan. Sehingga kebebasan sipil diartikan sebagai hak-hak individu yang fundamental yang dilindungi oleh undang-undang dan diekspresikan sebagai sesuatu yang tidak dapat diintervensi dan dibatasi oleh pemerintah atau siapa pun.iii

Dari sekian hak asasi manusia – di mana cukup banyak yang telah ditransfer menjadi hak sipil – adalah hak sipil keagamaan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh masyarakat Indonesia hidup di atas landasan hidup religius yang kuat. Sehingga, hampir seluruh tata hidup bermasyarakat harus memiliki legitimasi religius. Keyakinan ini terus hidup turun menurun dan secara positif diabadikan sebagai dasar negara Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.

Hak sipil keagamaan yakni seperti terlihat dalam Declaration of human rights, pasal 18:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan bahin dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”
Atau pun dalam Convenant on civil and political rights, pasal 18:
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama. Hak ini mecakup kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, serta kebebasan untuk baik secara pribadi atau pun bersama anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka atau pun tertutup, menyatakan agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan, tindakan dan ajaran;
Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya;
Kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut ketentuan-ketentuan hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral atau hak-hak dasar serta kebebasan orang lain;
Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan orang tua dan di mana berlaku wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan moral anaknya menurut keyakinannya masing-masing.

Selanjutnya, di Indonesia juga terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Kesemuanya itu sama menitikberatkan pada hak kebebasan beragama, yang mana merupakan kunci dari hak sipil keagamaan.
Namun, justru hak-hak sipil keagamaan inilah yang akhir-akhir ini sering dilanggar. Terlihat dari beberapa kasus kekerasan atas nama agama. Sebagai contoh, meski fatwa sesat terhadap aliran Ahmadiyah telah dikeluarkan sejak tahun 1968, tetapi fatwa itu dalam jangka waktu lama selama pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan dampak apa-apa dalam masyarakat. Tidak ada gerakan-gerakan affirmative action yang disertai dengan kekerasan untuk menghentikan aktivitas gerakan Jemaat Ahmadiyah yang memang sudah berlangsung sejak 1924-1925. Menurut Mas Dawam, ada dua faktor yang menyebabkan mengapa aksi-aksi kekerasan tidak timbul seperti yang terjadi akhir-akhir ini sejak pertengahan tahun 1945; pertama, ada sikap pemerintah yang tegas untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan mencegah berkembangnya gerakan Islamisme yang sekarang ni lebih populer dengan sebutan funamentalisme Islam; kedua, pandangan masyarakat dan umat Islam khususnya yang menempatkan fatwa dalam posisinya, yaitu sebagai nasehat keagamaan yang tidak mengandung konsekuensi hukum. Jadi, fatwa sifatnya tidak mengikat. Berbeda halnya dengan fatwa MUI pertengahan tahun 1965 yang menegaskan fatwa tahun 1968, fatwa ini ternyata telah menggerakkan sekelompok gerakan Islam untuk melakukan aksi kekerasan.iv

Seperti kita ketahui bersama, bahwasanya gerakan-gerakan keagamaan (baca: Islam) akhir-akhir ini semakin radikal. Betapa kita saksikan bersama bahwa telah terjadi pelanggaran hak sipil keagamaan, yakni kebebasan beragama, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok gerakan Islam radikal. Antara lain misalkan pengusiran Jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor; gangguan terhadap umat Kristen untuk beribadah di gereja (yang dianggap umat Islam sebagai “gereja liar”) di Jatiasih, Bekasi; penangkapan Lia Eden di Jakarta; dan masih banyak lagi. Tidak hanya kelompok-kelompok ini saja, akan tetapi Majelis Ulama Indonesia juga bersikap tidak fair dalam menilai dan memberi fatwa bagi Ahmadiyah, aliran kepercayaan, bahkan pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Dawam menggugat bahwa gerakan Islam di Indonesia akhir-akhir ini berakar pada tiga aliran fundamentalisme/Islamisme di Dunia Islam. Pertama, maraknya kembali Wahabisme yang berpusat dan digerakkan dari Saudi Arabia. Kedua, pengaruh paham Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Ketiga, munculnya gerakan Hizbut Tahrir yang berasal dari Palestina yang mencita-citakan berdirinya khilafah Islam. Tiga aliran itulah yang mendorong kebangkitan kembali paham gerakan Islam yang bersumber dari Piagam Jakarta yan gmenghendaki dilaksanakannya jaringan Islam melalui hukum positif negara dan juga gerakan mendirikan gerakan negara Islam yang dicita-citakan oleh DI/TII atau partai-partai politik Islam pada masa Sidang Konstituante 1957-1959. munculnya kembali aliran radikalisme Islam ini telah menaburkan bibit-bibit perpecahan dan ancaman terhadap keutuhan NKRI.v

Alih-alih memaksimalkan legislasi hak-hak sipil, negara kita malah kecolongan dengan kemuculan formalisasi syariat berupa Perda Syariat di banyak daerah. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, maka setiap daerah dapat menerbitkan peraturan daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Akan tetapi, ternyata hal itu malah dimanfaatkan oleh otoritas Islam untuk formalisasi syariat berupa Perda. Dalam perjuangan perda-perda syariah ini, syariah telah diinterpretasikan secara vulgar yang berdampak pada pelanggaran hak-hak sipil, warga negara dan perusakan terhadap filosofi bhineka tunggal ika.


Prospek Demokrasi dan Hak Sipil Keagamaan

Pada titik ini, kita akan menemukan bahwa Indonesia saat ini mengalami problem akut dalam penegakan demokrasi dan hak sipil keagamaan. Sungguh mengherankan memang, betapa konsolidasi demokrasi diiringi oleh kenyataan pelanggaran hak-hak sipil keagamaan. Padahal, bila kita perhatikan, sebetulnya pelaku penggaran hak sipil keagamaan tersebut berasal dari kelompok minoritas yang merasa memiliki otoritas. Otoritas tersebut sayangnya malah memupuk berbagai pelanggaran hak sipil keagamaan, bukannya menabur benih perdamaian. Mayoritas umat Islam justru secara sosiologis-historis-filosofis sejak lama mampu hidup dalam keberagaman. Mengapa akhir-akhir ini seperti beitu mudah tersulut kemarahannya? Analisis Mas Dawam di atas menyadarkan mungkin menyadarkan kita bahwa ideologi-ideologi Islam trans-nasional-lah yang membuat umat Islam seakan kehilangan jati diri kebangsaannya yang majemuk dan setara.

Kita memang akan berdebat panjang bila mendiskusikan permalahan ini dari sudut pandang teologis, akan tetapi bila dilihat dari sudut pandang kebangsaan, maka saya kira tidak akan banyak perbedaan mendasar. Karena, kita semua – umat beragama dari berbagai agama – telah lama hidup saling hormat-menghormati. Saya yakin bahwa nilai kebangsaan ini dapat diterima seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan-perbedaan teologis. Terkecuali, bagi mereka yang tidak atau kurang paham semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Indonesia kita. Mereka yang pemikirannya lahir di luar dari konteks kita bangsa Indonesia, tentu kurang memahami damai dalam perbedaan. Bahwa kita bangsa Indonesia telah mengalami sejarah panjang demi terbentuknya negara-bangsa yang sejahtera, adil dan merata.

M. Dawam Rahardjo menggagas bahwa untuk menjamin kebebasan beragama, maka perlu diwujudkan dalam suatu undang-undang, yang di antaranya harus memuat dasasila kebebasan beragama, antara lain:vi

Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untu memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkeyakinan ateis.

Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah agama tidak berarti murtas, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak bisa disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan.

Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan cara ‘membeli’ keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak diserta syarat masuk agama tertentu.

Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yan gberisfat antiagama dan anti-Tuhan harus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam lingkup ateisme ini, juga dilarang mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, sebagai diskursus ilmiah, tidak perlu dilarang, namun sebaiknya dibantah secara ilmiah pula.

Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah agama tertentu, dianggap bertentangan dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas tidak diperlukan karena bisa membuka peluang favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh masyoritas penduduk atau mereka yang berpengaruh di pemerintahan.

Ketujuh, negara harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga yan gbersangkuta. Otoritas agama boleh saja mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda, namun fatwa itu tidak mengikat negara dan pendangan keluarga dan individu itu hnya berlaku pada dirinya sendiri.

Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak boleh berlaku otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tuda bisa memengaruhi, bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak itu mencakup pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada keharusan bagi setiap siswa atau mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika, misalnya berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik.

Kesembilan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal tidak mengganggu ketentraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila, atau menipu dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu akidah agama sebagai syarat.

Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan hukum yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. Namun otoritas keagamaan bisa memberi penerangan dan bimbingan yang bekenan dengan soal ibadah, akidah, dan syariat, tapi tidak mengikat siapa pun, baik negara maupun warga negara.

Ide ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi harus lebih substansial. Substansi demokrasi di antaranya penghargaan terhadap eksistensi minoritas. Artinya, hindarkan pemahaman dan praktik demokrasi mayoritarian. Jika demokrasi hanya dipahami sebagai perebutan suara atau perwakilan politik terbanyak, maka praktik demokrasi dapat dipastikan akan semena-mena tanpa memperhatikan nasib kaum minoritas. Demokrasi substansial juga tidak hanya berlaku di bidang politik, tapi juga sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga, minoritas-minoritas sosial, ekonomi dan budaya pun mendapatkan penghargaan yang sama sebagaimana kaum mayoritas.

Untuk menghadapi tantangan atas demokrasi dan hak sipil keagamaan seperti diuraikan di atas, maka kita perlu merumuskan pandangan yang dapat menjadi obat mujarab bagi masalah-masalah kekinian. Menurut hemat saya, liberalisme, sekularisme dan pluralisme dapat menjadi suatu hasil sintesa dari benturan-benturan masalah di atas. Ketiga paham ini mengerucut pada satu premis bahwa individu adalah satuan independen berikut hak-hak politik, religiusitas dan sosial dalam kerangka keberagaman, tanpa intervensi dari negara, kelompok, maupun individu yang mengklaim sebagai pemilik otoritas kebenaran.
Bila bangsa Indonesia sudah mampu memahami ketiga paham tersebut, maka advokasi atas persoalan-persoalan demokrasi dan hak sipil keagamaan sudah maju selangkah. Meski begitu, tetap diperlukan advokasi konkrit atas problem-problem yang terlanjur terjadi. Advokasi atas pelanggaran hak sipil keagamaan seharusnya dilakukan dengan kerja sama antara masyarakat sipil, korban dan negara.

Masih banyak yang sebetulnya dapat dieksplor dalam tulisan ini, namun karena keterbatasan penulis, maka saya cukupkan sekian. Wallahu’alam


*Bahrul Haq Al-Amin. Lahir 22 tahun yang lalu, tepatnya September 27, di Kota Banjar (dulu masuk wilayah Kab. Ciamis), Jawa Barat. Aktivis Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan Associate Researcher Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta. Email: bahrulhaq@yahoo.co.id
i Abraham F. Lowenthal, kata pengantar dalam Guillermo O’Donnel dkk.(Ed.)., Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika Latin (Jakarta: LP3ES, 1993), hal. xv
ii M. Dawam Rahardjo., Agama dan Hak-hak Sipil (http://icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15) diakses tanggal 17 Juni 2007, pukul 08:43:14 pm.
iii Dikutip dalam Fisqiyaturrahmah., Quo Vadis Kebebasan Beragama dan Kebebasan Sipil di Indonesia?, makalah tidak diterbitkan.
iv M. Dawam Rahardjo., Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil (http://icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15) diakses tanggal 17 Juni 2007, pukul 08:43:14 pm.
v Ibid.
vi M. Dawam Rahardjo., Dasasila Kebebasan Beragama (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925) diakses tanggal 16 Juni 2007, pukul 10:03:29 pm.
Read more!

Sang Nabi

Thursday, September 20, 2007

Berakit-Rakit Bersama Sang Nabi
Nasrudin

Berbeda dengan Mawlid ad-Dibaiy yang dinamis dan lebih “berwarna” secara bahasa, Maulid al-Barzanjiy lebih memfokuskan diri pada bentuk prosa. Lebih tepatnya, penulis menggunakan gaya seorang penutur, atau pendongeng, bukan gaya penyair yang mendayu-dayu dan mengharu-biru.

Tapi, sang penulis (Ja’far bn Hasan al-Barzanjy) juga menyiasati “kekeringan” ini dengan menggunakan pilihan diksi yang cukup nyeni. Utamanya, karena ia menyamakan hampir semua akhir kalimat dalam prosanya itu dengan ta’ marbuthah yang diawali dengan ya’ berharakat fathah.

Pada beberapa sisi, ia menggunakan majaz isti’ârah (peminjaman) yang dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai majas personifikasi. Atau, penulis menggunakan tasybih (penyerupaan) pada beberapa sisi. Beberapa contohnya adalah tatkala penulis memberi fâshilah (jeda) pada setiap fragmen dalam prosanya.

Tepatnya, ia menuliskan, ath-thirillâhumma qabragul karîm # bi ‘arfin syadziyyin min shalâti wa taslîm. Ya Allah, berikanlah wewangian pada kubur Muhammad yang mulia, dengan shalawat dan salam sejahtera yang mewangi. Penulis meminjam makna shalawat salam dari kata wangi.

Pada babak awal, penulis menuturkan perihal jatidiri genealogis Muhammad. Dituliskan, Muhammad bn Abdullah bn Abdul Muthalib bn Hasyim bn bn Abdi Manaf bn Qushay bn Kilab bn Murrah bn Ka’ab bn Lu’ay bn Ghârib bn Fihr (Quraysh) bn Malik bn Nadhr bn Kinanah bn Huzaimah bn Mudrikah bn Ilyas bn Mudhar bn Nizar bn Ma’add bn Adnan. Yang tersebut terakhir ini tak lain merupakan anak turun Ismail bn Ibrahim AS.

Selepas itu, sang penulis menuturkan dua ikat syair yang menegaskan keagungan nasab Muhammad SAW. Pada bagian selanjutnya, digambarkan, Nur Muhammad sudah berpindah ke rahim Aminah. Kala itu, terjadi fenomena unik yang belum pernah terjadi sebelumnya: tanah gersang menjadi subur, binatang-binatang berucap, langit cerah, buah-buahan segera masak, hingga singgasana kerajaan dzalim luluh lantak.

Dalam tidur, Aminah bermimpi mendengar hatif (suara tanpa bentuk) yang menyatakan bahwa ia sedang mengandung calon junjungan seluruh alam, makhluk terbaik yang pernah ada. Bila sudah lahir, berilah nama Muhammad!

Ketika usia kehamilan dua bulan, ayahnya meninggal dunia di Madinah dalam perjalanan saat mengunjungi keluarganya dari bani Adiy, suku Najjar. Dan ketika genap berusia sembilan bulan, Maryam dan Asiyah mendatangi Aminah bersama bidadari dari sorga.

Malam kelahiran Muhammad digambarkan dengan amat heroik. Langit diperketat penjagaannya, bintang melempari setan yang hendak naik ke atas, bintang Zuhrah hormat dn menerangi tanah haram. Sebaliknya, gedung di kota Madain (Persia) luluh lantak beserta empat belas anjungan dan singgasana Raja Anusyarwan.

Sketsa semacam ini terlihat tragik. Seolah-olah kebahagiaan akan kelahiran Muhammad merupakan kehancuran bangsa non-Arab (‘ajam). Hal ini jelas kontreadiktif dengan firman Tuhan yang menyatakan bahwa Muhammad adalah rahmat bagi sekalian alam, bukan hanya orang Arab saja, dan justru menjadi “musibah” bagi kaum lain.

Lebih jauh, tampak ashabiyah (egosentris) yang teramat kuat muncul dalam diri sang penulis. Kesan yang tertangkap, merupakan kebahagiaan bagi sang penulis bila kerusakan dan kemalangan menimpa bangsa lain. Memang, beginilah watak orang Arab, fanatik buta.

Pasca kelahiran, Muhammad hanya menyusu kepada ibunya beberapa hari saja. Selebihnya, Tsuwaybah al-Aslamiyah, budak yang dimerdekakan Abu Lahab. Sebelumnya, Tsuwaybah juga menyusui Hamzah, paman Muhammad.

Halimah kemudian mengambil alih tugas menyusui Muhammad. Keberkahan selalu melingkupi kehidupannya. Seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah lain, Muhammad sempat ditemui dua malaikat —berbeda dengan versi ad-Dibaiy yang mencantumkan tiga malaikat—yang membedah dan membersihkan hati Muhammad.

Saat berusia empat tahun, Muhammad kecil diajak pergi ke Madinah oleh ibunya bersama Ummu Ayman, budak yang dimerdekakan Abdullah. Di tengah perjalanan, tepatnya desa Abwa’, sang Ibu meninggal dan dikebumikan di situ.

Selepas lima hari bersama Ummu Ayman, Muhammad diasuh oleh sang kakek. Itupun tidak lama, sang Kakek meninggal dunia. Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, sang paman.

Ketika berumur dua belas tahun, Abu Thalib mengajak Muhammad berdagang ke Syam. Di perjalanan, keduanya bertemu dengan Rahib Buhayra yang mengabarkan nubuwat Muhammad, berdasarkan kabar yang ditemukannya dalam kitab-kitab samawy. Atas petunjuk Rahib itu pulalah, keduanya pulang kembali ke Makkah, demi keamanan Muhammad.

Setelah berumur dua puluh lima tahun, Muhammad memperdagangkan barang milik Khadijah bt Khuwaylid ke Syiria. Dalam perjalanan itu, ia ditemani Maysarah, pembantu kepercayaan Khadijah.

Beragam keajaiban terjadi. Pohon meneduhkan dahannya untuk Muhammad yang duduk di bawahnya. Pendeta Nasthura memberitahukan kepada Maysarah perihal jati diri Muhammad kelak.

Semua yang dialami ini lantas diceritakan kepada Khadijah yang karenanya, Khadijah kian mantap hatinya untuk menjalin hidup bersama Muhammad. Tawaran diajukan kepada Muhammad. Berdasar pertimbangan paman-paman, Muhammad yang diwakili Abu Thalib menyetujui tawaran itu. Dari Khadijah inilah semua keturunan Muhammad kelak berasal, kecuali Ibrahim dari ibu Mariyah.

Dalam buku ini, dituturkan bagaimana keutamaan Muhammad. Mulai dari usahanya dalam menyelamatkan Makkah dari pertumpahan darah lantaran konflik penempatan hajar aswad pasca banjir. Ini terjadi sepuluh tahun sebelum Muhammad menerima wahyu pertama yang turun di Goa Hira.

Malam itu 17 Ramadhan —sebagian ulama menyatakan 27, 24 Ramadhan atau 8 Rabiul Awal— Malaikat Jibril datang yang memeluk tubuh Nabi seraya berkata,”Bacalah!”. Masa selanjutnya adalah, masa paceklik wahyu selama 3 tahun atau 30 bulan. Maka, turunlah surah al-Mudatstsir 1-5.

Beberapa orang yang Islam kali pertama adalah Abu Bakar, Ali bn Abi Thalib, Khadijah, Zaid bn Haritsah, Bilal bn Rabah, Utsman bn Affan, Sa’ad bn Abi Waqash, Said bn Zaid, Thalhah bn Ubaydillah, Abrurrahman bn Auf, dan Zubayr bn Awwam.

Setelah posisi umat Islam (agak) kuat, dimulailah dakwah secara terang-terangan dengan turunnya ayat ke-94 surat al-Hijr. Dakwah ini mendapat tentangan dari kaum Kafir Quraysh. Hingga pada tahun ke-5, umat Islam harus mencari suaka ke Habsyah (Abbesinia)

Menghadapi ancaman yang sedemikian hebat, Abu Thalib, sang paman dengan semangat tetap membantu hingga akhir hayat, 15 Syawal tahun ke-10 pasca kenabian. Disusuk tiga hari kemudian dengan kematian Khadijah, sang Istri.

Akhirnya, tekanan kaum Kafir Quraysh kian masssif dengan beragam bentuknya dari tekanan psikis, fisik, hingga boikot ekonomi. Muhammad lantas mencari suaka ke Thaif, tapi gagal. ‘Am al-Khuzni, tahun kesedihan menjadi saat yang paling memberikan kenangan dalam sejarah Nabi.

Tuhanpun berbaik hati. Diberikanlah sebuah hadiah: Isra dan Mi’raj. Sebuah perjalanan luar biasa yang hingga hampir 1500 tahun sesudahnya masih menjadi bahan berdebatan. Dalam perjalanan ini, Muhammad mendapatkan ibadah shalat lima waktu, dengan perdebatan yang alot.

Terang saja, peristiwa ini menggegerkan masyarakat Makkah. Di satu sisi, peristiwa itu tidak mungkin dilakukan. Di sisi lain, sepanjang sejarah, Muhammad terkenal sebagai al-Amin, tidak pernah berdusta, bahkan saat bercanda sekalipun. Inilah yang membuat publik terpecah ke dalam tiga kelompok: percaya sepenuhnya, ragu-ragu, dan menolak dengan tegas.

Mereka yang percaya di antaranya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sedang yang ragu adalah sebagian besar umat Islam dan kaum kufar Quraysh. Dan di tengah kekalutan semacam ini, Muhammad memanfaatkan momen haji dengan menyampaikan dakwahnya kepada jamaah haji.

Pada gelombang pertama, tercatat enam orang dari penduduk Yatsrib yang menyatakan keimanannya. Tahun berikutnya, kian banyak saja penduduk Yatsrib yang menyatakan keimanannya kepada Muhammad. Dari sini, Muhammad mendapatkan suaka politik dari dua suku besar di Yatsrib, suku Aus dan Khazraj.

Akhirnya, Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Di tempat yang baru inilah, sinar Islam menyinari segenap alam. Saat Nabi wafat, jazrah Arabia sepenuhnya berada di bawah panji-panji Islam.

Mengikuti lembar demi lembar buku ini, kita seolah berakit melalui sebuah sungai yang berkelok-kelok. Tapi, airnya tenang dan jernih. Di tepian sungai ada begitu banyak tetumbuhan yang indah dan membuat pemandangan elok dipandang. Dan tak terasa, kita terhanyut oleh akiran kisah Nabi.

Dalam buku ini, tidak banyak ditemui riak-riak gelombang atau pemandangan yang terlalu indah. Semuanya tampak nature, alami dan uniknya lagi, hampir semua paparan kisah—yang tidak hanya kelahiran Muhammad— itu dilukiskan dengan cukup detil. Kecuali beberapa sisi yang tampaknya disediakan khusus oleh sang penyusun untuk memuji kelebihan Muhammad.

Dari sini, tampak jelas bahwa sang penulis saat menggoreskan pena, menumpahkan isi hatinya, dilakukan dengan pertimbangan masak dan dengan jiwa yang tenang lagi terkendali. Ia tidak (terlalu) larut dalam kecintaan yang begitu mendarah-daging dan menggelora.

Pembacaan semacam inilah yang dibutuhkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa Muhammad “hanyalah” manusia biasa. Ia dihadirkan oleh Tuhan untuk memberikan teladan, bukan untuk dikultuskan, disucikan. Ia harus dilihat sebagai sebuah objek yang (di)netral(kan). Karena, untuk mendapatkan gambaran yang seimbang dan objektif, hanya bisa dilakukan dengan menjaga netralitas objek dan tentunya, netralitas pembaca objek. [ ]

Read more!

Stop..!!

Seks di Depan Kamera
Che

Berawal dari tersebarluasnya video yang berisi rekaman prosesi hubungan intim antara seorang mahasiswi UNPAD dan mahasiswa ITENAS yang kemudian beredar di pasaran dengan tajuk “Bandung Lautan Asmara”, seks di depan kamera kini bukan lagi sesuatu yang asing. Baik foto maupun video semacam itu bersilangan di keseharian kita. Bagaimana mungkin hal tersebut terjadi?

Beberapa kasus berawal dari masalah dengan keluarga. Adanya komunikasi yang timpang membuat anak memilih bergaul lepas tanpa batas. Selain itu, seks, dalam masyarakat timur nyaris sinonim dengan tabu. Kontrol norma yang ketat mengerat-ngerat hal-hal yang berbau seks hingga pendidikan seks tak pernah mendapat tempat yang terhormat dalam kurikulum pendidikan.

Sedangkan masa remaja adalah masa yang penuh dengan rasa ingin tahu, terkadang rasa ingin tahu itu sangat besar hingga tak lagi bisa menunda untuk terjawab. Mulailah secara sembunyi mereka menonton video porno, dan sebagian dari mereka membawanya ke tataran praktis tanpa pengetahuan yang cukup akan keamanan dan kesehatan dalam berhubungan intim. Beberapa kawan di daerah pedesaan yang terjerat masalah aborsi dan menikah karena hamil tidak mengetahui bahwa berhubungan seks dapat menyebabkan kehamilan.

Kemajuan teknologi, dalam hal ini penemuan kamera digital, ponsel berkamera dan merebaknya warnet, tak dapat dipungkiri memiliki andil tersendiri dalam meledaknya fenomena seks di depan kamera. Kini, saat kamera digital dan ponsel berkamera telah banyak di pasaran, semua yang memilikinya, atau mungkin kenal dengan orang yang memilikinya, dapat merekam atau menjepret adegan mesra mereka. Tak pelak dari murid SMP, selebritis, hingga anggota DPR memiliki rekaman yang telah tersebar luas di masyarakat. Dengan banyaknya warnet, masyarakat memperoleh akses tak terbatas untuk sekedar melihat, atau ikut memasarkan.

Hal terakhir yang merupakan penyebab fenomena tersebut adalah mengglobalnya ideologi kapitalisme yang menjadikan seks dan tubuh sebagai komoditi yang dapat didaur ulang tanpa henti. Situasi negara yang belum pulih benar menyebabkan anomie, dimana tradisi dan norma silam dianggap basi, sedang masyarakat tak jua menemukan pengganti. Disinilah, kapitalisme berbiak subur. Semakin banyaklah orang berpaling pada materi, berharap dengan begitu akan merasa yakin kembali pada sesuatu—apapun itu yang dapat mereka percayai.

Seks di depan kamera adalah sesuatu yang serius, hingga negara mesti berpartisipasi dengan memasukkan pendidikan seks sejak dini dalam kurikulum resmi sekolah. Selain itu, perlu ada pengaturan dalam dunia maya, agar orang tak lagi dapat serampangan mengakses, atau terutama meng-upload video atau foto porno. Tak lupa, tindakan tegas bagi produsen dan distributor foto maupun video porno. Pada tingkatan keluarga pun hendaknya diwujudkan komunikasi yang sehat, hingga masalah seperti seks dapat dibicarakan dengan baik dan benar, hingga anak/orangtua tak melakukan hal-hal yang dapat merusak citra keluarga.

Kini, sebagian kaum muda telah sadar akan bahaya seks di depan kamera. Beberapa memulai kampanye “Jangan Bugil didepan Kamera”. Kiranya, kampanye tersebut dapat menyadarkan semua orang, terutama kaum muda, untuk bertindak lebih bijaksana dan menghormati tubuh(diri)nya bukan sebagai komoditi semata
Read more!