RSS

Fitna

Thursday, April 3, 2008

Salah Kaprah Fitna
Oleh Saidiman

Fitna, film yang digarap oleh seorang anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, menarik perhatian masyarakat dunia.

Pelbagai kecaman muncul bukan hanya dari masyarakat Islam yang merasa terhina oleh gambaran Islam di film tersebut, kecaman juga muncul dari masyarakat Kristen Eropa dan Amerika.

Film ini dinilai sebagai bentuk provokasi dan penyebaran rasa kebencian. Meski pemerintah Belanda menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam yang merasa tersinggung oleh film tersebut, tetapi mereka bersikukuh untuk tidak menggunakan kekuasaan menghentikan peredaran film tersebut dengan landasan Konstitusi.

Film yang berdurasi 17 menit itu berisi pidato seorang ulama yang diselingi dengan pelbagai gambar kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di pelbagai penjuru dunia. Dengan visualisasi seperti itu, Wilders hendak mengungkap wajah Islam yang penuh dengan kekerasan: Islam adalah agama kekerasan. Bukan hanya fakta kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini yang dipotret oleh Wilders, tetapi juga fakta teologis yang ada dalam Kitab Suci umat Islam sendiri. Islam, bagi Wilders, adalah sesuatu yang berbahaya, yang oleh karenanya harus ditolak dalam peradaban modern Eropa. Lebih jauh Wilders mengatakan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari kitab intoleran dan pengabsah kekerasan. Wilders bahkan mempersilahkan warga Muslim Belanda meninggalkan negara itu. Jika masyarakat Muslim Belanda tetap ingin tinggal di Belanda, seru Wilders, mereka harus merobek separuh isi al-Qur’an.

Sudah bisa diduga, gelombang protes muncul dari pelbagai belahan dunia. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, bahkan menyeru pemboikotan produk-produk negeri Belanda. Gelombang protes ini diprediksi akan semakin membesar seperti yang pernah terjadi pada kasus pemuatan sejumlah karikatur Nabi Muhammad di sejumlah media Denmark. Tokoh-tokoh Islam dari pelbagai negara mengecam dengan mengatakan bahwa apa yang dikemukakan Wilders dalam film dan di sejumlah pernyataannya tidak hanya bersifat rasis, melainkan juga tidak akurat. Sikap ini dikemukakan oleh Syekh Hamza Yusuf Hansona (sarjan Muslim Amerika), Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), dan Pangeran Hassan bin Talal (Presiden Arab Thought Forum dari Yordania).

Ketidak-akuratan kesimpulan Wilders mengenai Islam juga terkonfirmasi dalam sebuah hasil survei mutakhir yang dirilis Gallup Poll. Survei yang dilaksanakan di 39 negeri Muslim itu menemukan bahwa 92 persen masyarakat Islam menyatakan bahwa aksi-aksi kekerasan tidak memiliki legitimasi teologis dalam al-Qur’an. Pada tingkat tertentu, menurut Ulil Abshar-Abdalla, pakar teologi Islam dari Universitas Harvard Amerika Serikat, apa yang dilakukan oleh Wilders tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kalangan fundamentalis Islam itu sendiri. Keduanya membaca doktrin Islam secara literer, dengan membuang konteks historisnya. Jika kalangan fundamentalis memeluk doktrin yang dipahami secara leterer itu, maka Wilders melakukan penolakan dengan keras.

Menurut Ulil, apa yang dilakukan Wilders tidak bisa disimpulkan sebagai sikap umum masyarakat Eropa atau Barat. Ini adalah semacam penyimpangan dari fenomena umum di masyarakat Eropa yang mulai memandang positif terhadap dunia Islam. Minat terhadap kajian keislaman di Barat adalah salah satu bukti kuat mengenai pandangan positif ini. Melalui kajian-kajian itu, Islam tampil dengan wajah yang lebih objektif. Islam bukanlah identitas tunggal yang bisa disimpulkan secara sederhana.

Sarjana-sarjana Barat mutakhir bahkan melangkah lebih jauh dengan mencoba memandang dunia Islam dengan memakai perspektif yang tidak lagi bias. Jika sebelumnya masyarakat Islam dipahami secara negatif sebagai masyarakat barbarian yang tidak beradab yang ditandai dengan penolakan terhadap rasionalitas dan prinsip demokrasi, maka belakangan begitu marak kajian yang justru menyimpulkan bahwa secara umum masyarakat Muslim juga bergerak dinamis ke arah ketercerahan.

Spiritualisme yang berkembang pesat di dunia Islam pasca Revolusi Islam Iran, bagi sarjana-sarjana baru ini, tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi. Justru fenomena itu adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap para tiran. Legitimasi religius bagi sebuah gerakan sosial melawan kediktatoran justru sangat positif bagi gerakan demokratisasi itu sendiri. Itulah yang terjadi di Turki, Mesir, Arab Saudi, Aljazair, Malaysia, dan dalam tingkat tertentu juga Indonesia.

Adapun aksi kekerasan atas nama agama adalah sebuah penyimpangan dari bentuk religiositas yang terlalu ekstrim. Dari semua penelitian ilmiah yang dilakukan di negara-negara tersebut ditemukan bahwa kasus-kasus kekerasan itu dilakukan dan diamini oleh hanya segelintir masyarakat Islam.

Jika ditinjau dari sudut teologi, maka akan sangat sulit menemukan jenis teologi yang menghalalkan kekerasan, kecuali yang dilakukan oleh gerakan teologi Wahhabi. Wahhabisme sendiri memiliki banyak sekali varian. Menurut data yang dikemukakan oleh pakar Wahhabisme, Hamid Alghar, hanya sekitar 10 persen dari total masyarakat Muslim yang bisa diidentifikasi sebagai penganut Wahhabi di seluruh dunia dalam pelbagai variannya. Kelompok Wahhabi terbesar di Arab Saudi juga terbelah ke dalam pelbagai varian dalam menanggapi isu modernitas. Mayoritas Wahhabi yang tertindas oleh kediktatoran penguasa Arab Saudi bahkan melakukan gerakan sosial menuntut pembukaan ruang kebebasan yang lebih luas. Bahkan mayoritas penganut Wahhabi Arab Saudi bukanlah gerakan politis, melainkan gerakan kultural spiritual.

Stephen Sulaiman Schwartz, Two Faces of Islam, mengidentifikasi bahwa Islam memiliki dua wajah. Ada segelintir umat Islam yang memang menghalalkan kekerasan, dan itulah yang dilakukan oleh sebagian kelompok Wahhabi. Tetapi mayoritas besar umat Islam adalah kelompok spiritual yang mengedepankan semangat perdamaian. Kelompok mayoritas ini disebut sebagai kalangan sufi. Kelompok inilah yang mewarnai masyarakat Muslim di Iran, Turki, Indonesia, dan hampir semua masyarakat Islam lainnya.

Harus diakui bahwa memang ada segelintir orang Islam yang melakukan dan mempropagandakan kekerasan dengan dalih agama, tetapi itu adalah fenomena umum di setiap agama. Yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi masalah terhadap fenomena kekerasan agama yang dilakukan oleh segelintir penganut agama tersebut, bukan dengan memberangus eksistensi agama secara umum. Meski kerapakali agama memang bisa dijadikan legitimasi kekerasan, tetapi tidak jarang agama juga menjadi ruh bagi gerakan sosial untuk mencapai kemajuan peradaban manusia. [koran tempo 2 April 2008]
Read more!

Cak Nur

Tuesday, April 1, 2008

Cak Nur Bukan Jaringan Islam Liberal
Oleh M Deden Ridwan*

Sabtu 15 Maret 2008, Paramadina memperingati “1000 hari wafatnya
Nurcholish Madjid”. Meski sudah wafat, sosok Cak Nur masih tetap
kontroversial.

Sejumlah buletin yang beredar tiap pekan di masjid-
masjid dan materi khotbah Jumat seperti tak habis-habisnya mengkritik
Cak Nur. Salah satu sorotan paling mutakhir adalah anggapan bahwa
pikiran Cak Nur terwariskan ke Jaringan Islam Liberal (JIL).

Cak Nur dan JIL sering dianggap identik. Asumsi ini cukup beralasan,
karena Cak Nur pada 1970-an pernah mengusung gagasan sekularisasi dan
liberalisasi. Antara Cak Nur dan JIL seolah terjadi titik temu
intelektual. Apalagi, JIL mengakui bahwa gagasannya terinspirasi oleh
Cak Nur. Maka, pencitraan Cak Nur sebagai JIL pun tak terhindarkan.
Padahal, liberalisasi Cak Nur lebih bersifat sosiologis. Ia berusaha
membebaskan umat dari belenggu kultural dan tradisi yang pada waktu
itu bisa dianggap menghambat berpikir rasional. Bukan liberalisasi
dalam pengertian teologis, seperti mempertanyakan keotentikan Al-
Quran, sebagaimana dikampanyekan JIL.

Gagasan Cak Nur dan JIL berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan
pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis.
Buku Islam, Doktrin dan Peradaban, menjadi bukti. Secara
paradigmatik, gagasan Cak Nur lebih sistematis. Dibandingkan dengan
JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas. Yaitu, “memelihara
yang lama yang baik dan mencari yang baru yang lebih baik”. Dalam hal
menafsirkan Al-Quran, Cak Nur mengadopsi metode double movement, dari
situasi sekarang ke situasi turunnya wahyu, lalu kembali lagi ke masa
kini untuk menggali relevansi ajaran agama.

Sebaliknya, sistematisasi ide tidak tampak pada JIL. Gagasan JIL
baru sebatas percikan ide spontan yang tercecer di surat kabar dan
milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual
dan akademis. Karena itu, gagasan JIL secara epistemologis masih
rapuh. JIL sampai kini belum punya metodologi yang jelas dalam
menafsirkan Islam. Kritik pedas seperti itu pernah dilontarkan Dr.
Haidar Bagir.

Tema pembaruan keduanya juga bisa dikontraskan. Cak Nur sangat kuat
dalam penjelajahan intelektual pada tradisi Islam klasik untuk
merespons tantangan modernitas. Ia fasih berbicara pemikiran Islam
klasik dan abad modern. Buku Khazanah Intelektual Islam yang ia
sunting dan terjemahkan adalah bukti. Ia ingin menjadi sosok pious
thinker—pemikir yang saleh. Dan rupanya, kesalehan tersebut menjadi
semacam ikon Cak Nur, baik dalam kehidupan intelektual, spiritual
maupun ritual sehari-hari.

Sementara itu, di tubuh JIL, kesalehan itu tidak menjadi
kebanggaan ketika mengumandangkan gagasan pembaruan. JIL benar-benar
ingin sekuler. Kelihatannya mereka bangga jika tercerabut dari piety
atau tradisi. Mereka tidak begitu “apresiatif” terhadap tradisi Islam
klasik. JIL benar-benar menjadi sekuler secara sempurna. Mereka ingin
membangun formasi sosial-kultural baru yang sungguh “anti agama”,
jauh dari nilai spiritual. Maka, bisa dipahami bila JIL
cenderung “anti masjid” dan sinis melihat aktivitas ritual ibadah
praktis.

Tradisi pembaruan Cak Nur berangkat dari spirit pencerahan
Amerika. Dalam spirit pencerahan Amerika, apresiasi agama sangat
tinggi untuk sekularisasi. Agama tidak pernah dipandang sebagai musuh
pencerahan dan sekularisme. Sebaliknya, di JIL, agama—khususnya Islam—
selalu dimusuhi dan dikritik di luar dosis. Di JIL, semangat
pencerahan tampaknya lebih datang dari Eropa yang memang sangat
hostile terhadap agama. Meminjam istilah Alfred Stepan, spirit di
Eropa ingin freedom of state from religion; sementara spirit Amerika
ingin freedom of religion from state.

Dalam debat mutakhir, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar
menjadikan scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public
reasioning. Dan JIL tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur, penalaran
publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran
Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind
set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan
pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.

Secara teknis, Cak Nur sangat santun dalam artikulasi pemikiran dan
tulisan. Ia berhasil menarik simpatik orang yang sebelumnya memusuhi.
JIL justru sebaliknya. Orang yang semula simpatik malah berubah
menjadi antipati. Cak Nur memiliki—memakai istilah Toqueville—habits
of the mind dan habits of the heart; pikiran dan hatinya sangat
santun. Karena itu, bisa dipahami jika Cak Nur itu sensitif terhadap
perasaan umat; suatu sikap yang sama sekali tak muncul dari tubuh
JIL.

Dengan demikian, gagasan Cak Nur lebih relevan dan punya masa depan.
Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap
ke dalam “fundamentalisme liberal”, akan sulit hidup.

*PENULIS buku Gagasan Cak Nur dan Media (2002), kini sedang menulis
buku Cak Nur Bukan JIL; konsultan media dan perbukuan di Jakarta

SUMBER: Gatra No. 19 Tahun XIV, 20 -26 Maret 2008
Read more!