RSS

Wahib

Friday, June 27, 2008

Sayembara Penulisan Esai Ahmad Wahib Award 2008

Forum Muda Paramadina, Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) Universitas Paramadina, dan Soetrisno Bachir Foundation menyelenggarakan sayembara penulisan esai Ahmad Wahib Award bagi mahasiswa (S1) seluruh Indonesia.

Total hadiah: Rp. 45 Juta.

Ketentuan Sayembara:
1. Naskah harus asli, bukan terjemahan, saduran, atau mengambil dari karya yang sudah ada.
2. Belum pernah diterbitkan di media apapun, dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara apapun;
3. Peserta sayembara memilih salah satu dari tiga tema yang telah ditentukan;
4. Sayembara esai ini menekankan aspek argumentasi, ketajaman pemikiran, dan gaya penulisan;
5. Lima orang nominator penulis esai terbaik akan diwawancarai oleh Dewan Juri. Pemberitahuan akan disampaikan kemudian;
6. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak, mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat;
7. Naskah yang masuk menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan;
8. Sayembara ini tidak berlaku bagi panitia.

Persyaratan- Persyaratan:
1. Peserta hanya boleh mengirim 1 (satu) naskah;
2. Naskah sayembara dikirim rangkap 2 (dua), diketik di atas kertas ukuran kuarto (margin 3 cm di setiap sisi), spasi ganda, menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, dengan panjang naskah antara 20-30 halaman;
3. Kiriman naskah harus dilengkapi dengan identitas penulis: biografi singkat; fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM); 2 (dua) lembar foto berwarna ukuran 3 x 4; dan alamat lengkap, nomor telepon, serta alamat e-mail;
4. Naskah dimasukkan ke dalam amplop tertutup, dengan di sudut kiri atas amplop ditulisi “Sayembara Esai Ahmad Wahib Award”;
5. Naskah dikirim ke alamat panitia: Pondok Indah Plaza III, Blok F 4-6. Jl. TB. Simatupang, Jakarta, 12310;
6. Naskah dikirim paling lambat, Jumat, 29 Agustus 2008 (cap pos atau diantar langsung).
Rincian Hadiah:
Juara I Rp. 20..000.000,-
Juara II Rp. 15.000.000,-
Juara III Rp. 10.000.000,-

Pengumuman Pemenang
Kamis, 30 Oktober 2008
Di Universitas Paramadina, Jakarta

Tema
 Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia
 Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam
 Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?
Dewan Juri
 Budhy Munawar-Rachman
 Ihsan Ali-Fauzi
 Lies Marcoes-Natsir
 Luthfi Assyaukanie
 Maria Hartiningsih
Contact Person:
Achun (0856 9768 5005), Indra (0856 7907 785)

www.paramadina.or.id
Read more!

Demokrasi

Wednesday, June 18, 2008

Demokrasi dalam Pasungan
Oleh Yudi Latif

Kendati pidato resmi para pejabat acap dengan bangga mendaku Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, ekspresi dan kebijakan politik yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan, kita masih harus mengeja demokrasi dari dasar.

Kasus kekerasan di Monas dan penerbitan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang memasung hak berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah seakan menggemakan keluhan Bernardo Arévalo (1999) tentang rongrongan demokrasi di Guatemala, ”Kami punya perangkat keras demokrasi, tetapi perangkat lunaknya otoritarianisme.”

Dalam kedua peristiwa itu, prinsip demokrasi konstitusional dilangkahi. Ketika ekspresi dan kebijakan politik tak sejalan konstitusi dan saat kekuasaan pemerintahan memberi toleransi kepada kekuatan pemaksa dengan mempertaruhkan prinsip negara hukum, demokrasi yang dijalankan bertabrakan dengan konstitusi. Padahal, istilah demokrasi konstitusional mengandung arti, demokrasi merupakan fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

Dua pelanggaran

Dalam kasus ini, ekspresi dan kebijakan politik melakukan setidaknya dua pelanggaran sekaligus. Pertama, pelanggaran atas hak dan keadilan sipil yang bersifat setara dan tak dapat dikurangi. Bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar utama yang dijamin konstitusi, yang tanpa hal itu, semua kebebasan lain tak bermakna.

Tak ada konstitusi yang sempurna. Namun, dalam masalah perlindungan hak berkeyakinan, konstitusi kita—bahkan sebelum amandemen—tidak bersifat ambigu, tetapi mendasar dan jelas. Ini tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945, diperjelas dalam konstitusi versi amandemen keempat, terutama Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 28E disebutkan, ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (Ayat 1); dan ”berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (Ayat 2).

Kovenan PBB
Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi Kovenan PBB mengenai Hak-hak Sipil Politik yang kemudian diakomodasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Pada Bab III Pasal 18 kovenan ini disebutkan: 1. ”Everyone shall have the right of freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching”; 2. ”No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.”

Baik konstitusi kita maupun kovenan ini secara nyata menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, bahkan dalam tuntutan untuk menjaga ketertiban umum, tak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap orang.

Kedua, negara juga melakukan pelanggaran terhadap hak komunitarian karena gagal memproteksi hak untuk berbeda.

Memang tak semua perbedaan harus diakomodasi karena bisa melumpuhkan prinsip kesetaraan hak sipil itu sendiri. Namun, ada perbedaan relevan yang memerlukan pengakuan dan representasi yang diakui keabsahannya, bahkan oleh paham liberalisme. Itulah perbedaan yang ditimbulkan atau dikonstruksikan oleh diskriminasi dan marjinalisasi. Proteksi dan representasi khusus kelompok yang dimarjinalkan dan didiskriminasikan ini dibenarkan karena tanpa pengakuan terhadap hak untuk berbeda, diskriminasi bisa berlanjut dan berakibat pada pengabaian secara permanen hak-hak sipil anggota komunitas itu. Contoh, pemberian kuota khusus bagi representasi kaum perempuan.

Hak berbeda

Dengan prinsip yang sama, Jemaat Ahmadiyah layak mendapat jaminan hak untuk berbeda. Dalam hal ini, tugas negara adalah memproteksi kelompok yang lemah dan didiskriminasikan, bukan malah semakin menguatkan diskriminasi.

Kedua peristiwa itu mengisyaratkan betapa pemahaman warga dan aparatur negara tentang prinsip demokrasi konstitusional masih amat lemah. Hal ini memperkuat tuntutan agar Indonesia sebagai republik harus berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral republikanisme menegaskan, proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan.

Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam. Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar.

Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Namun, oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis, bahasa, dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia , pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi dan berasosiasi, sekaligus mengandung potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan yang menyertainya.

Maka, tantangan demokrasi ke depan, bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup damai berdampingan dan produktif dalam suatu republik. Indonesia bisa!

Yudi Latif Anggota Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society dan Yayasan Nabil [Kompas, 13 Juni 2008]
Read more!

SKB

SKB Setengah Hati
Oleh Rumadi

Surat keputusan bersama dua menteri dan Jaksa Agung tentang Ahmadiyah akhirnya keluar, Senin (9/6/2008).

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) No 3/2008, No Kep-033/A/JA/ 6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat.

SKB itu mengandung enam hal. Pertama, memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan semua penganut dan pengurus JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam umumnya, seperti pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan itu dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan.

Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

Kelima, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

Keenam, memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB ini.

Dari enam poin itu, tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktivitasnya. Aktivitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktivitas komunal atau aktivitas individu. Apakah warga JAI tidak boleh shalat di masjid yang dibangun, juga tidak jelas. Namun, jika mencermati poin kedua, tidak semua kegiatan JAI diminta dihentikan, tetapi hanya yang terkait penafsiran yang dianggap tidak sesuai Islam pada umumnya. Karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah seperti biasa.

Secara substansial, SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Namun, dalam SKB itu, pemerintah masih mengakui eksistensi Ahmadiyah sehingga perlu dilindungi dari kemungkinan tindak kekerasan, seperti tercantum dalam butir keempat.

SKB ini tentu tidak memuaskan semua pihak. Kelompok anti- Ahmadiyah merasa, SKB ini banci karena hanya memberi peringatan, tidak membekukan, apalagi membubarkan. Karena itu, kelompok ini menyatakan akan terus menuntut pembubaran Ahmadiyah. Sementara kelompok yang peduli eksistensi Ahmadiyah cenderung menerima meski dengan berat hati. Mengapa? Karena SKB itu merampas hak warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinan.

Saya memahami, SKB ini merupakan jalan aman maksimal yang bisa diambil pemerintah di antara tuntutan membubarkan dan mempertahankan Ahmadiyah meski dengan risiko dikatakan SKB setengah hati.

Negara telah kalah

Ada hal-hal penting terkait munculnya SKB. Pertama, SKB merupakan buah desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, SKB ini dikeluarkan persis pada hari saat ribuan pengunjuk rasa anti-Ahmadiyah berdemonstrasi di depan istana.

SKB juga tak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah—dalam hal ini kepolisian—untuk menangkap Munarman, tersangka tragedi Monas. Sebelumnya Munarman menyatakan akan menyerahkan diri jika SKB Ahmadiyah dikeluarkan. Karena itu, SKB ini juga bisa dimaknai sebagai jawaban pemerintah atas tuntutan Munarman. Lebih jauh, SKB bisa dilihat sebagai barter. SKB dibarter penyerahan diri Munarman. Dan benar, beberapa jam setelah SKB dikeluarkan, Munarman menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya (9/6/2008). Impas!

Kedua, cara pandang itu bisa mengantar kita pada kesimpulan, negara telah kalah melawan Munarman. Isi SKB menjadi tidak terlalu penting dilihat. Jika dalam konferensi pers Presiden Yudhoyono mengutuk tragedi Monas dan mengatakan negara tidak boleh kalah, dalam konteks ini terbukti negara telah kalah. Keluarnya SKB dan penyerahan diri Munarman tidak berdiri sendiri-sendiri. Pemerintah telah menjawab permintaan Munarman. Jika saja pemerintah tidak tergopoh-gopoh mengeluarkan SKB atau mengeluarkan SKB setelah Munarman tertangkap, mungkin pemerintah masih punya wibawa dan tidak bisa dikatakan kalah.

Ketiga, kenyataan ini amat memprihatinkan. Negara amat ringkih menghadapi kekuatan massa dan tidak berdaya menghadapi Munarman. Kondisi ini membuka mata warga negara, pemerintah ini amat lemah dan mudah disandera. Sungguh amat mengkhawatirkan.

Terlepas dari situasi itu, ada hal-hal substansial yang bisa dilihat. Secara eksplisit, SKB ini mengakui perdebatan tentang Ahmadiyah adalah soal tafsir agama, seperti tercantum pada poin dua. Di sana ada kata ”menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB, pemerintah terjebak pemihakan soal tafsir agama.

Langgar hak sipil

Sampai di sini penulis perlu mengemukakan, UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dengan meratifikasi kovenan ini, pemerintah ingin menunjukkan keseriusannya dalam menjamin hak sipil dan politik warganya.

Kovenan menetapkan hak tiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama serta perlindungan atas hak-hak itu (Pasal 18); hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang dan tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak tiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22). Tampaknya pemerintah tidak terlalu mempertimbangkan hal ini, lebih mengikuti selera massa anti-Ahmadiyah.

Meski demikian, ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, meski tidak memuaskan, kita menghargai upaya pemerintah mengeluarkan SKB yang tidak membekukan dan membubarkan Ahmadiyah. Mereka yang belum puas sebaiknya menempuh jalur hukum dan menjauhkan diri dari tindak kekerasan. Saya menyadari, ibarat obat, SKB ini hanya menjadi obat penenang.

Kedua, SKB tidak boleh mengalihkan isu tragedi Monas. Pelaku kekerasan di Monas harus tetap ditindak tegas. Kepolisian dan pengadilan semestinya tidak boleh tunduk tekanan massa yang menginginkan tersangka tragedi Monas dibebaskan. Pemerintah juga perlu didesak untuk mengkaji pembubaran organisasi yang gemar melakukan kekerasan, menebar teror dan ketakutan.

Ketiga, dengan SKB ini, pemerintah harus menjamin tidak ada lagi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah.

Sumber: Kompas Cetak
Read more!

Munarman

Ahmadiyah, Munarman, dan Negara yang Lemah
Oleh Rahman Andi Mangussara

Luar biasa! Munarman mendadak sontak jadi pahlawan, setelah sebelumnya ia dinilai sebagai pecundang karena membiarkan anak buahnya ditangkap polisi sementara ia menghilang.

Inilah drama penobatan kepahlawanan Munarman itu: hanya dalam hitungan jam setelah Menteri Agama mengumumkan pelarangan Ahmadiyah, Munarman muncul di Polda Metro Jaya. Maka, apa boleh buat, saat itu ia langsung dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai pahlawan yang membuat lahirnya surat keputusan bersama tiga menteri itu. Kepada pers yang mencegatnya, sebelum masuk ke Polda Metro Jaya, Munarman dengan tegas mengatakan, “Saya menepati janji. Saya bukan pengecut.” Kata pengecut ia ulangi beberapa kali untuk memberi tekanan.

Apa pun penilaian lawan-lawannya, harus diakui Munarwanlah pemenang dalam pertarungan melawan negara (pemerintah) . Lihatlah bagaimana ia menekan pemerintah: “Setelah pemerintah membubarkan Ahmadiyah, baru tangkap saya, Munarman, sarjana hukum.” Ia ucapkan tantangannya itu sehari setelah ia memimpin ratusan orang menyerang secara fisik lawan-lawannya di Monas. Apa yang terjadi, polisi gagal menangkapnya sekalipun puluhan anak buahnya sudah ditangkap dan dijadikan tersangka. Eh, ia tiba-tiba menyerahkan diri di Polda setelah pemerintah mengumumkan pelarangan Ahmadiyah.

Ini ironis. Munarman muncul sebagai pahlawan bukan karena kehebatannya, melainkan karena pemerintah sendiri yang membuatnya jadi pahlawan. Semua itu terjadi karena pemerintah yang lemah dan peragu. Lemah karena secara kasat mata kita menyaksikan bagaimana pemerintah (negara) tunduk pada tekanan Munarman dan kelompoknya. Peragu karena masalah Ahmadiyah ini dibahas berlama-lama tanpa satu keputusan yang pada akhirnya toh mereka putuskan juga mengikuti tekanan publik. Pernyataan Presiden bahwa negara tidak boleh kalah, yang ia lontarkan dalam jumpa pers khusus menanggapi kekerasan yang dilakukan Munarman dan kelompoknya, justru memperlihatkan sebaliknya.

Kita mungkin belum masuk kategori sebagai negara gagal, di mana salah satu indikatornya adalah tidak ada jaminan hukum dan ketertiban, tapi negeri ini sudah pasti bisa dikatakan sebagai negara lemah—ya, selemah-lemahnya negara. Pemerintah bisa didikte, lamban, peragu, dan hukum hanya ditegakkan kepada mereka yang tidak punya kelompok atau tidak punya kekuatan politik.

Dalam konteks ini pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pemerintah tidak bisa bekerja dengan fokus karena setiap hari didemo, dikritik, dicaci-maki, dituding dan tentu saja ditekan, menjadi tidak bermakna. “Presiden tidak bisa berpikir karena setiap hari dikasih mike (pengeras suara) ke arah Istana,” ujarnya pada suatu acara yang dihadiri kader-kader Golkar.

Bagi kita, soalnya bukan pada apakah ada demo setiap hari di depan Istana Presiden atau tidak, bukan pula apakah lawan-lawan politik pemerintah setiap hari berkoar-koar atau hanya diam, melainkan apakah pemerintah kuat atau tidak, apakah pemerintah bisa menandingi kekuatan lawan atau tidak. Dalam banyak hal, bisa dikatakan, pemerintah kalah dengan kelompok penekan itu.

Francis Fukuyama sudah lama menyarankan bahwa masa di mana kelompok-kelompok penekan di dalam masyarakat makin kuat, pemerintah tidak boleh lemah. Hanya dengan pemerintah yang kuat, demokrasi bisa berjalan.

Sumber: Liputan 6
Read more!