RSS

Jabar

Monday, August 25, 2008

Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Di Jawa Barat
Oleh Ingwuri Handayani

Harus diakui, bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat masih memprihatinkan. Banyaknya kasus pelanggaran ini, sebagaimana dilansir oleh jaringan kerja Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Jaker PAKB2) saat melakukan sosialisasi di hotel Mitra, 9 Juni 2008 kemarin.

Pemantauan yang dilakukan selama enam bulan ini, setidaknya menemukan hasil demikian: satu orang tertusuk saat ingin melakukan mempertahankan akidahnya, adanya diskriminasi pencatatan nikah sejumlah 111 kasus, adanya diskriminasi di tempat kerja yang mengakibatkan terhambat kenaikan pangkat, penolakan tugas karena berbeda akidah, adanya kasus pelarangan aliran kepercayaan (di Jawa Barat sendiri, sedikitnya ada 6 aliran kepercayaan).
Jaker juga menemukan adanya penutupan fasilitas umum seperti radio, penutupan ruang pertemuan, penolakan pembangunan televisi swasta, serta pelanggaran lain seperti pembakaran masjid hingga 12 kasus, penutupan tempat ibadah secara paksa yang mencapai 57 kasus, pelarangan aktifitas beribadah seperti naik haji 6 kasus, dan pengrusakan rumah yang mencapai 80 buah rumah.

Temuan lain adalah adanya diskriminasi terhadap hak layanan publik seperti pencatatan KTP atau akte kelahiran anak berdasar agama, melakukan pembatasan dalam hak kebebasan beragama seperti mengeluarkan produk hukum seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk beberapa daerah.

Dalam soal keamanan, kesan pembiaran juga masih muncul. Ini belum soal seperti pemaksaan kehendak, yang bisa ditemukan di beberapa ormas islam atau orang yang tidak satu agama atau satu akidah.

Meski diskusi terbatas, ruangan yang hanya di isi oleh 40 kursi itu berjalan cukup seru. Masing-masing pihak, berusaha memberikan tanggapan atas temuan yang didapat oleh 12 pemantau jaringan kerja untuk yang melakukan pemantauan.

Dari sekian bentuk diskriminasi ini, Jaker sendiri membagi dalam dua bentuk. pertama, pelanggaran secara langsung yang dilakukan oleh negara dan kedua, tindakan dari aktor non negara

Jaker sendiri, mulai melakukan pemantauan dari bulan Oktober 2007. Selama enam bulan, 12 orang pemantau yang diterjunkan ke masing-masing wilayah di Jawa Barat bergerak untuk mengumpulkan data dengan berbagai cara. Biasanya, pemantau mencari dari media masa yang kemudian mencari turun ke lapangan guna melakukan observasi atau wawancara.

Sebagaimana dikatakan oleh Suryadi Radjab, koordinator SC Jaker, prinsip dari lembaga ini adalah berdiri di atas prinsip non diskriminasi. Lembaga ini menjaga agar perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk hidup damai dan tolong menolong. 12 pemantau sendiri, adalah wakil dari enam lembaga PBHI jawa barat, Fahmina cirebon, LBH Bandung, GKP, JIMM, dan Desantara. Keenam lembaga ini ada di wilayah Jabar.

Berbagai Tanggapan
Tanggapan datang misalnya dari Kabid Binkum Polda Jabar, Yanuar Prayoga, SH . Ia mengatakan bahwa ada kesan, laporan yang disampaikan oleh Jaker, polisi melakukan pembiaran. Padahal sebenarnya tidak bermaksud begitu. Tetapi, ada prosedur yang harus dipakai sehingga, terkesan, polisi terlihat lambat.

Tanggapan juga datang dari kejaksaan tinggi (Kajati) Jawa Barat. Melalui wakilnya, Teten Setiawan, kajati mengatakan bahwa acuan dari segala sesuatu adalah undang-undang tertulis seperti misalnya, UU 1/PNPS/1965. “Dan itu harus ditaati walau kita tidak setuju. Barangkali pemahaman ini perlu disamakan jangan sampai seolah negara melanggar,” kata Teten.

Ia juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran itu terpaksa dipidana. Sementara, kalau seseorang dimutasi di lembaga tertentu berdasar agama, seharusnya yang bersangkutan bisa menggugat lewat lembaga itu. Ia juga mengatakan bahwa, misalnya, kalau UU no. 1/PNPS/1965 kontroversial, ada perangkat yang bisa dipakai seperti Mahkamah Konstitusi yang menguji undang-undang. “Jadi perangkat untuk uji undang-undang sudah disediakan. Jadi mungkin kita harus mencerna undang-undang itu lebih baik lagi,” sambung dia.

Sementara dari Kanwil Hukum dan Ham, Ria Anggraini menegaskan bahwa Inti permasalahannya, kita terburu-buru emosi dan ribut soal perbedaan, tapi belum pernah Ahmadiyah yang dianggap sesat diajak duduk bersama. Benarkah mereka melanggar akidah? Apakah ada pembicaraan dari hati ke hati dengan pihak Ahmadiyah? Jadi tidak tiba-tiba terjadi pengrusakan dan sebagainya, tandasnya.

Dari Kesbangpol Saefudin juga memberikan pandangan. Mengenai kekerasan terhadap agama lain tentu Pemda sangat menentang, hanya saja perlu dipahami akar masalahnya, seperti pembangunan gereja itu ada aturannya seperti SKB. Ini untuk menjaga ketertiban, seperti di Bali ingin membangun masjid harus ada tandatangan 100 keluarga, tapi muslim di sana ternyata muslim yang patuh. Asal taat saja pada ketentuan tidak akan terjadi keributan. Kami melakukan tindak prefentif, FKUB kami bentuk untuk hal itu, tapi jangan dipahami itu muslim saja. Jadi intinya kita taat pada ketetntuan, semunya dengan kepala dingin, bentuk kekerasan apapun pemerintah menentangnya.

Selain dari lembaga, beberapa tokoh masyarakat juga menyampaikan sikapnya. Kang Dina dari Akur, misalnya, ia menyatakan bahwa UUD dan pancasila adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Maka, ia bersiap untuk membela pancasila dan UUD jika ada yang mengganggu dasar negara ini.

Senada dengan akur, Asep, dari lembaga pagar nusa yang merupakan badan otonom NU, menyatakan bahwa sikap pemerintah dengan lahirnya SKB dinilainya diskriminatif. Ia juga menegaskan, seharusnya bukan Ahmadiyah yang dibubarkan tetapi lembaga yang selama ini melakukan kekerasan atas nama agama.

Beberapa Catatan
Atas temuan-temuan itu, Jaker sendiri, melalui sekretaris SC, Gatot memberi beberapa catatan. Pertama, dilanggarnya praktek kebebasan beragama di Jawa Barat, juga menimbulkan persoalan lainnya.

“Kita menangkap kecenderungan dari forum ini bahwa kita punya kesadaran utuh bahwa kebebasan beragama jadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya sehingga bisa diselesaikan dengan baik,” sambungnya.

Direktur LBH bandung itu juga memberi catatan bahwa, Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional sehingga negara memiliki berkewajiban untuk memperbaiki produk undang-undangnya termasuk praktek jaminan bahwa kebebasan agama yang merupakan hak dasar, tidak boleh dicampuri.

Catatan berikutnya yang ia sampaikan adalah, seharusnya diusahakan adanya forum-forum lain yang dari situ diharapkan mampu membangun keyakinan yang utuh. Dan proses akan terlaksana jika pemerintah memfasilitasi. Ia juga menggarisbawahi bahwa, falsafah negara sudah jadi pegangan dasar oleh bangsa Indonesia hingga tidak boleh diganggu gugat.

Catatan terakhir, jaker berharap bahwa forum ini akan terus terbangun sehingga ke depan, persoalan di Jawa Barat bisa dikoordinasi dengan baik dan terjadi proses pemikiran yang baik pula hingga rekomendasi dari Jawa Barat ini, bisa disampaikan ke pusat.

Penulis pemantau Jaker PAKB2. dari Desantara
Read more!

Agustus

Refleksi Agustusan
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Hajat Agustusan jaman sekarang jarang sekali ditinggalkan. Momentum kemerdekaan negara Republik Indonesia itu menjadi sarana rakyat untuk menghempaskan segala kepenatan hidup sebagai warga negara Indonesia. Ada harapan dan keyakinan mendalam, bahwa bumi Indonesia ini masih mungkin semakin maju dan memakmurkan rakyatnya.

Ekspresi tersebut terakumulasi dalam serangkaian gegap gempita kebebasan dan kemeriahan layaknya bendera kemerdekaan yang baru saja direbut dari penjajah. Sepanjang pengalaman heroik dan qudus tersebut, adakah ibrah yang dapat diambil darinya?

Wajah Demokrasi di Agustusan
Pelajaran sesungguhnya yang dapat diambil dari agustusan adalah harapan akan demokratisasi yang lebih nyata. Hipotesis ini mendapat dukungan dari fakta bahwa partisipasi warga dalam mensukseskan agustusan teramat besar. Meski belum didukung data penelitian yang valid, saya berani mengatakan bahwa acara agustusan bahwakan mengalahkan seremoni lainnya seperti Pemilihan Umum. Padahal, acara agustusan seringkali diadakan lewat swadaya warga sendiri, bahkan nyaris tanpa perlu sosialisasi mahal untuk mensukseskannya. Hal yang cukup jauh berbeda dibandingkan dengan Pemilihan Umum.

Saya akui bahwa membandingkan antara agustusan dan pemilu menunjukkan hal lainnya yang lebih substansial. Pemilu tidak lain adalah bentuk prosedural dari demokrasi. Keberadaannya wajib ditempuh sebagai prasyarat hadirnya demokrasi pada standar minimalnya. Namun, lebih jauh dari itu, nyatanya prosedural saja tidaklah ukup. Agustusan menjadi fenomena unik yang sepertinya mencitrakan dirinya sebagai elemen substansi demokrasi. Antara lain, kebebasan, partisipasi, non-diskriminasi, jaminan hak, kerelaan, dan kedermawanan. Meski menunjukkan wajah demokrasi yang teramat lugu dan kecil, namun sesungguhnya aksi di bulan agustus ini memelihara kebutuhan dan idealitas bangsa Indonesia akan hadirnya demokrasi yang lebih substansial

Memang kita akui bahwa kesadaran seperti ini seakan masih tertidur dalam pusaranya sendiri. Untuk itu, perlu dihadirkan elemen lain, semacam anasir, yang bertugas mengingatkan dan membangunkan kesadaran tersebut dari tidur dan mimpi panjangnya. Bahwa negara ini sudah merdeka, itu pasti, namun bangsa ini belum penuh menikmati demokrasi. Eleme tersebut sangat pantas ditempati oleh para cendekiawan dan civil society. Mereka itulah yang paling mudah ditempatkan sebagai ujung tombak pemulihan kesadaran massif bangsa Indonesia. Bagaimana dengan negara dan political society lainnya? Mereka untuk sementara ini tampaknya malah menempati posisi sebagai aktor antagonis dan menjadi wabah berbahaya yang mengancam keberlangsungan demokrasi. Mereka yang tidak lain merupakan eks antek Orde Baru masih ingin mengeruk kekeyaan negara ini. Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah politisi kawakan menjadi indikator mutlak atas hal ini. Karenanya, tugas cendekiawan dan civil society untuk kembali menekan berjalannya saluran-saluran demokrasi yang sempat bocor di mana-mana. Dalam hal ini, rakyat sendiri sebaiknya tidak mudah menyerah dan berbalik mencurigai demokrasi.


Non-Diskriminasi
Semangat kemerdekaan adalah semangat non-diskriminasi. Kolonialisme dahulu dengan kejam merampas semangat kesetaraan di antara sesama manusia. Ada hirarki kejam yang berusaha dipelihara oleh kolonialisme tersebut. Demi meraih segala idealita hidup penuh kesetaraan dan non-diskriminasi, leluhur kita dulu berjuang segenap jiwa untuk merebut kemerdekaan yang didambakan dari para penjajah.

Saat ini, kita sudah melampaui perjuangan melelahkan tersebut. Namun, kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi masih jauh panggang dari api. Terdapat banyak aktor intelektual dan ideologis kontemporer yang tampak belum rela melepaskan Indonesia dari cengkeraman ketidakadilan. Keadilan dan kesetaraan yang menjadi harapan, diselimuti oleh sekat ideologis, religius, dan pragmatis. Akibatnya, terlihat di kehidupan sehari-hari, bangsa kita sangat mudah terprovokasi dalam menanggapi segala perbedaan yang muncul di masyarakat. Maka, apakah kita akan tetap membiarkan segala kekeliruan ini berlangsung?

Prinsip non-diskriminasi dikebiri oleh egoisme intelektual dan ideologis yang menginginkan keseragaman. Padahal, kodrat kehidupan manusia di alam bumi adalah keragaman. Pengebirian intelektual dan ideologis ini malah telah sampai pada tataran praktis. Perusakan dan kekerasan fisik terlihat di mana-mana, saat warga terprovokasi dalam menghadapi realitas keragaman yang nyata telah lama berlangsung di Indonesia.


Kebebasan
Inginnya kebebasan tetap melengkapi keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, istilah multitafsir ini sulit ditemukan dalam keadaan utuh di sorga Indonesia ini. Kerakusan ideologis memelintir istilah kebebasan menjadi “bebas kumaha ceuk urang”. Demokrasi pun dimanipulasi menjadi sekedar mayoritarian. Padahal, demokrasi semestinya lebih berwajah substansial, di mana hak dan kebebasan setiap warga mendapat jaminan dari negara. Kurang puas dengan hal itu, beberapa oknum ideologis memaksa sejumlah pimpinan daerah untuk menuruti kehendak komunal mereka. Prinsip netralitas dan non-diskriminasi terpaksa digadaikan oleh para pimpinan daerah demi menyelamatkan kepentingan pragmatis mereka sendiri. Di sinilah perselingkuhan kekuasaan terjadi yang mengakibatkan korban kemanusiaan dalam sejarah umat manusia.

Maka kebebasan mendapat sorotan dan hujatan lagi. Setelah memelintir kebebasan, kepentingan mereka menyudutkan kebebasan sebab mereka anggap memiliki potensi memecah belah. Padaha yang terjadi ialah bahwa ada tangan-tangan tidak bertanggungjawab yang membiaskan kebebasan demi kepentingan kelompoknya sendiri.

Lalu kebebasan semestinya mendapat sambutan seperti apa? Kebebasan mendapatkan pembatasan dengan kebebasan lainnya. Kebebasan seseorang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Batasan legal atas kebebasan juga dapat ditentukan lewat legalisasi hukum yang adil. Kebebasan internal manusia yang tidak secara langsung bersentuhan dengan publik jelas mutlak harus mendapat perlindungan. Sedangkan, kebebasan eksternal yang menyentuh wilayah publik dapat dibatasi sepanjang tetap mempertahankan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan.


Cendekiawan-Aktifis
Satu model gerakan yang berusaha saya tawarkan di sini dalam menyikapi beberapa problema di atas ialah model cendekiawan-aktifis. Suatu framework yang peduli pada problem aktual bangsa Indonesia dengan tetap mendasarkan pada prinsip-prinsip universal. Model gerakan yang tidak mudah termakan rayuan keabadian dan ketamakan. Model yang berani berjalan sendiri menjalani pengalaman siksaan dan cemoohan. Menentang kepemimpinan demi kerakyatan. Demi kebebasan, kesetaraan, non-diskriminasi, keadilan dan nir-kekerasan. Wallahu'alam bis Showab

Bahrul Haq Al-Amin, menapaki hidup sebagai aktifis di ibukota, bersama Jaringan Islam Kampus Jakarta. Mahasiswa UIN Jakarta yang lahir 23 tahun lalu di Kota Banjar ini sebelumnya lama menikmati aktifisme bersama HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Merindukan perdamaian di bumi Indonesia dan pulang kampung ke Kota Banjar tercinta.
Read more!

Dawam

Dawam Rahardjo: Demi Toleransi dan Pluralisme
Oleh Saidiman

Prof Dr Dawam Rahardjo genap berusia 65 tahun pada 20 April 2007. Ulang tahun itu dirayakan oleh kawan-kawan dan murid-muridnya pada tanggal 4 Mei 2007 di Auditorium Universitas Paramadina. Mas Dawam (panggilan akrabnya) adalah satu dari beberapa intelektual muslim awal (sejak tahun 1960-an) yang sangat intens memperjuangkan ide-ide kebebasan dan pluralisme di Indonesia.

Beberapa yang lain adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Djohan Effendi. Sementara yang lain telah lebih dulu meninggal, seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib.
Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi gagasan kebebasan dan pluralisme yang sekarang banyak berkembang di kalangan pemikir-pemikir muda Islam. Para pemikir yang sezaman dengan mereka juga banyak yang telah mengusung gagasan itu, namun fokus bahasan mereka tidak dalam konteks keislaman, terutama dalam tataran normatif-teologis, tetapi pada aspek yang lebih umum terkait dengan persoalan kebangsaan.

Pada perayaan ulang tahun itu juga sekaligus diluncurkan sebuah buku, Demi Toleransi, Demi Pluralisme, yang berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, pe77tinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lain yang semuanya adalah teman dan murid Dawam.

Beragam tema dan latar belakang penulisnya memperlihatkan betapa Dawam merambah beragam isu sepanjang karier intelektualnya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada ini tidak hanya mahir menganalisa ekonomi, tapi juga sangat piawai bicara Islam, pluralisme, sosiologi, antropologi, filsafat, sastra, feminisme, studi perdamaian, dan lain-lain. Dawam bahkan bisa disebut sebagai perintis perkembangan beberapa teori ilmu sosial di Indonesia, seperti memperkenalkan teori dependensia dan studi perdamaian.

Infrastruktur Intelektualisme
Tak bisa disangkal, Dawam memberikan sumbangan paling besar dalam membangun infrastruktur intelektualisme Indonesia. Dawam adalah satu di antara segelintir orang Indonesia yang merintis pembangunan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sampai saat ini menjadi pusat-pusat aktualisasi para intelektual Indonesia.

Dawam telah membangun dan mendirikan sejumlah LSM ternama yang menjadi pusat kegiatan intelektual, seperti LP3ES, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), P3M, Paramadina, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan menjadi petinggi Muhammadiyah.
Dawam juga mengomandoi kelahiran dua jurnal terbesar yang pernah ada di Indonesia, yaitu Prisma (LP3ES) dan Ulumul Qur’an (LSAF). Lembaga-lembaga ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh intelektual termuka Indonesia, yang sebagian besarnya mengaku sebagai murid dan teman Dawam Rahardjo.

Merekalah yang kemudian mengisi hampir semua debat pemikiran dan intelektual Indonesia sepanjang tahun 1990-an sampai sekarang. Sebagian dari mereka menjadi guru besar dan doktor di pelbagai bidang kajian.

Sebagai intelektual yang sekaligus aktivis, Dawam tampak tidak pernah bisa diam terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dawam menjadi tipikal intelektual yang selalu kukuh di satu sudut pendirian dan keyakinan tertentu. Dawam bahkan tak segan-segan mengambil posisi yang tidak populer sejauh itu tidak bertentangan dengan keyakinannya.

Pada masa mahasiswa, tahun 1960an, ketika kebijakan politik nasional di bawah Soekarno meminggirkan “Islam,” Dawam bersama beberapa temannya mengambil posisi tegas membela kepentingan kelompok Islam yang saat itu marginal. Dawam tanpa sungkan muncul sebagai aktivis dan pemikir muda Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu terancam oleh provokasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhir tahun 1960-an, ketika kekuatan Orde Lama (PNI dan PKI) dimusuhi, Dawam dan kawan-kawannya tak segan-segan memberi dukungan terhadap penyelesaian tragedi pembantaian anggota PKI di seluruh Indonesia.

Pada saat itu pula, Dawam semakin kritis terhadap HMI yang mulai menunjukkan tanda-tanda sektarian dan politis. Ketika masuk ke jajaran kepengurusan Muhammadiyah, Dawam kembali menunjukkan sikap kritisnya terhadap semua persoalan yang ia anggap tidak tepat.

Dicoret dari Posisi
Beberapa tahun terakhir, ketika bangsa Indonesia sedang berada dalam euforia demokrasi dan kebebasan, beberapa kelompok masyarakat, dengan mengatasnamakan kebebasan, mencoba melakukan represi terhadap kelompok yang lain. Mayoritarianisme menjadi ancaman bagi kaum minoritas.

Dawam, di usia yang tidak muda lagi, tampil sebagai pembela kebebasan yang sangat gigih. Dawam bahkan tak segan-segan melakukan demonstrasi dan pembelaan terhadap pelbagai kasus yang menimpa kaum minoritas.

Di antara kelompok-kelompok yang mendapat advokasi langsung dari Dawam Rahardjo akibat diskriminasi yang mereka terima adalah Jamaah Lia Eden, Jamaah Ahmadiyah, kalangan Syi’ah, Jaringan Islam Liberal, kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya.

Tak ayal, pembelaan Dawam ini menempatkannya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi oleh kalangan mayoritas. Dengan pertimbangan itu pula, Dawam dicoret dari posisi pimpinan Muhammadiyah (organisasi masyarakat terbesar kedua di Indonesia).

Posisi Dawam ini berlandaskan kepada prinsip pluralisme nilai. Bagi Dawam, kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, melainkan tersebar di banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak atas klaim kebenaran. Kebenaran tidak tunggal, tetapi banyak.
Universalisme kebenaran kerapkali menjadi dasar bagi munculnya sikap dan prilaku otoritarian. Prinsip kebebasan yang diperjuangkan oleh Dawam juga tidak dalam pengertian universalisme, melainkan pluralisme.

Kebebasan ala universalis mengandaikan bahwa kebebasan harus diperjuangkan meski harus menindas kebebasan orang lain. Menyerang negara orang lain dengan alasan penyebarluasan kebebasan tidak bisa diterima. Semua orang memiliki kebebasan untuk hidup, bahkan mereka yang menginginkan belenggu sekalipun harus diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan.

Jikapun kaum pluralis mengklaim universalisme, universalisme yang dimaksud adalah sesuatu yang isinya adalah keragaman. Pengakuan terhadap keragaman atau ketidaksamaan itulah yang universal, bukan nilai kehidupan tertentu.

Itulah sebabnya, Dawam bisa mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat kalangan Ahmadiyah dan Lia Eden, tapi ia berdiri paling depan membela kepentingan mereka, bahkan menjadi salah satu tokoh nasional pertama yang bersedia berdialog dengan mereka.
Apa yang dilakukan oleh Dawam adalah sesuatu yang ideal bagi bangsa Indonesia yang memang plural. Sayang, orang seperti Dawam tidak banyak yang bisa dijumpai. Selamat ulang tahun Mas Dawam.

Penulis adalah peneliti Forum Muda Paramadina.
Read more!

Dilema

Wednesday, August 20, 2008

Dilema Keragaman Islam
Oleh Ahmad Sahidin

KONON, ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuhnya. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya.

Dan jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan : membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain/pola yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang,terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Dan kita sebagai sesama muslim dianjurkan berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) dengan caa yang bijaksana pula. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu al-quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman teerhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.

Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Yang saat diturunkannya dari “langit” tidak serta merta semuanya tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis dan jiwa zaman masyarakat di waktu itu. Yang bermakna sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan memperindah bentuk tubuh; atau–dalam bahasa agama–untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dsb.

Tentang hal ini, ada catatan sejarah Arab abad enam masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Tuhan melalui utusan/pilihan-Nya yang menceritakan bahayanya “khamr” dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan. Yang sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Secara konteks sosial, turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi bahwa, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang–mungkin yang sedang ngetrendnya begitu–hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi hasratnya. Masih menurut mufasir tersebut, bahwa model pakaian seperti ini dipakai Hindun Bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud, mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil meniadakan pembawa berita Tuhan, yaitu Nabi Muhammad Bin Abdullah yang dianggap telah merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan surat an-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busana tertentu (lihat Qs. al-ahzab : 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.

Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Hal ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.

Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia. Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, …tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);…sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);…maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki….(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya. Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, …sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);…Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);…katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).

Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil. Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.

Atau sekarang muncul dua model Islam. Pertama, model Islam fundamental-radikal yang bercorak tekstual dalam memahami wahyu dan ingin menghadirkan “Islam-ideal” masa Rasulullah Saw. Kedua, model Islam liberal-plural yang bercorak kontekstual dalam memahami wahyu dan berorientasi ke depan.

Mana yang benar dari mereka dalam memegang dan menjalankan agama? Wallohu a`lam bi showab adalah jawabannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Kelompok Khawarij membunuh Imam Ali Bin Abi Thalib; Mu`tazilah membantai dengan cara mihnah pada kelompok yang tidak sepakat dengannya; Murabithun menghancurkan kelompok Muwahidun; Wahabiyah mengkafir-bid`ah-musyrikkan golongan lain.

Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.

Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di Ummat Islam (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya. Sehingga tidak dapat diingkari ketika merujuk pada kalamullah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah di atas). Jelas, yang paling bertanggung-jawab atas berbagai realitas yang tragis dan memilukan serta memalukan sejarah adalah sang kodifikator, Utsman Bin Affan. Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya, maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis maupun terus berkelanjutan sampai kini.

Tetapi persoalannya tidak selesai begitu saja. Sebab yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan, maka cerita-cerita penindasan TKW / TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam. Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, akhlakul karimah dan bukan yang sebaliknya.

Artinya, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu, atau oleh yang berhak menentukan otoritas tafsir tersebut. Bagi umat Islam-Syi`ah yang ada di Iran tentu tidak ada masalah karena yang menentukan semua persoalan agama dan keislaman adalah Imam min ahlulbait; yang secara teologis merupakan pelanjut kepemimpinan Islam setelah Rasulullah. Namun bagi kita, yang lazim disebut Islam-Sunni tidak punya konsep wilayatul faqih, karena yang kita akui adalah konsep syuro.

Dulu memang ada ulama-ulama yang kredibelitasnya tidak diragukan, tetapi sekarang di Indonesia, yang ada hanya “ulama-ulama istana” yang nilai keulamaannya jauh dari ajaran-ajaran Rasulullah. Inilah masalah lainnya yang perlu disikapi dan cermati jika benar-benar ingin membuktikan bahwa al-islamu ya`lu wala yu`la alaih.
Read more!

Iblis

Wednesday, August 6, 2008

Iblis Setitik, Rusak Manusia Sebelanga
Oleh Badru Tamam Mifka

Dosa selalu dianggap sesuatu yang di luar, semacam godaan. Tak heran jika iblis atau setan atau apapun namanya, seringkali dianggap kambing hitam atas terjadinya dosa. Iblis dianggap provokator. Ya Tuhan, lindungi aku dari godaan setan dan iblis yang terkutuk.

Begitulah doa singkat yang selalu kita ucapkan setiapkali kita sedikit merasa gentar dalam iman, merasa ingin kebaikan dan keteguhan. Lantas sedekat apakah iblis dengan kita? Sedekat hela napaskah? Seperti apakah bentuknya? Semacam hasratkah? Adakah iblis sebagai musuh nyata di luar manusia? Ataukah ia adalah bayangan kita sendiri?

Bayangan? Ya, bayangan. Ia muncul karena manusia berada diantara cahaya dan kegelapan. Ia bukan cahaya, bukan pula kegelapan. Ia diciptakan dari potensi keduanya. Jangan heran jika ada manusia yang (memilih) baik, dan ada manusia yang (memilih) jahat. Semua itu tergantung kehendak-diri, hasrat diri. Kelak manusia membangun hukum, aturan, undang-undang dan lain sebagainya. Itulah yang membedakannya dengan binatang.

Kebebasan hasrat manusia sudah ditempatkan pada aturan dan hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Jika hasrat dibiarkan seenaknya melanggar, maka itulah dosa. Dosa adalah pilihan. Jika kita memilih hal yang buruk, maka buruklah kita. Kejahatan lahir karena manusia begitu lemah mengatur dirinya sendiri. Dosa lahir karena kita ceroboh memahami dan mengendalikan keinginan diri. Hasrat tanpa aturan dan cara main yang baik, adalah hasrat iblis. Hawa nafsu tanpa filterisasi, sumber kejahatan, rahim lahirnya iblis.

Kita sendirilah yang menginginkan dosa dan kesalahan. Kitalah yang melahirkan dan membesarkan iblis. Iblis adalah nyala api dalam diri. Siapa yang menyalakan api iblis dalam diri, dialah yang kalah. Siapa yang menuruti hawa nafsu, dialah yang akan melanggar banyak hal. Hubungan sebab-akibat itulah yang ingin menjelaskan tentang dosa dan iblis. Iblis adalah metafor. Ia adalah kejatuhan, “nyala kegelapan”.

Kitalah yang memproduksi iblis, dan pada gilirannya ia akan lebih berkuasa atas diri kita. Seperti halnya manusia yang memproduksi mesin, pada gilirannya mesin bisa lebih hebat dan berkuasa atas diri kita. Atau seperti televisi yang dibuat oleh manusia sendiri, ia akan hidup lewat remote control yang berada dalam tangan kita, tapi dia bisa lebih kuat mengatur hidup kita. Disanalah kita dalam keadaan “menentukan” dan “meminta”. Begitulah iblis diri dan hawa nafsu. Siapa yang selalu menuruti keserakahan hawa nafsu, dialah yang tengah membesarkan iblis dalam dirinya. Jika ia sudah tumbuh besar, apalah daya untuk melumpuhkannya. Meskipun hanya setitik iblis dipatuhi, tentu akan demikian merusak seluruh fitrah baik kemanusiaan kita. Tak hanya secara personal, tapi kerusakan sosial.

Bayangkan saja, seperti halnya oknum pejabat setitik, rusak pejabat semuanya. Kebaikan semua ditentukan oleh kebaikan individu. Citra universal ditentukan oleh kepingan-kepingannya. Begitupun dengan iblis. Sekali saja ia menguasai diri kita, mempengaruhi kita untuk berbuat jahat, maka rusaklah keseimbangan diri. Akibat lain, kepercayaan orang lain pada kita akan susah untuk tumbuh kembali. Itu dikarenakan perbuatan yang didasari hawa nafsu yang tak dikendalikan. Hawa nafsu yang hari demi hari dimanjakan, hari demi hari ditumpuk, maka lama-lama jadi bukit yang akan membuat kita tak berdaya. Hawa nafsu dan iblis itu seperti seseorang yang lapar dan butuh teman ngobrol. Jika kita malah memberinya makan dan mengajaknya asyik ngobrol, dia akan merangkul kita demikian erat, menikam kita dari belakang dan menolak sujud pada hati nurani kita. Disanalah, ia menggantikan segalanya, menggantikan kebaikan, moralitas, Allah dan rasa kemanusiaan. Ia menjelma kesombongan kita, keserakahan kita, kezaliman kita.

Tapi, selama kita tak memilih untuk terus menyalakan api iblis dalam diri, maka dengan sendirinya ia akan padam. Iblis itu bukan attack, tapi demand, request. Keadaan dirilah yang senantiasa harus ditaklukkan, dipadamkan, diatur. Karena manusia hidup dalam proses memahami dan mengatur dirinya sendiri. Orang berkelahi karena ia tak mampu menahan marah. Atau ada orang mati karena ia memutuskan untuk tak makan selama berhari-hari. Malam ini begadang atau tidak, tentu saja tergantung kita. Kita punya pilihan bebas, tapi memerlukan tanggung jawab, mengandung resiko.

Walhasil, iblis adalah potensi manusia yang cenderung merusak. Ketidakmampuan untuk me-manage potensi itu akan membuat kita melakukan hal-hal buruk. Kesadaran akan akibat disertai pemahaman moral yang baik dapat mencegah kita melakukan hal-hal buruk. Jika mencuri itu mengakibatkan diri dan orang lain rugi, maka tak perlu. Jika korupsi itu dapat merugikan dan menyengsarakan banyak orang, maka hentikan. Iblis bukan the other, ia adalah bagian dari diri kita sendiri, dahaga hasrat kita, runcing hawa nafsu kita. Sepanjang hidup, kita terus berkelahi dengannya. Sepanjang hidup, kita harus mengaturnya, mampu menahan diri, mengalahkannya…

Sumedang, Juli 2008
Read more!

Agama

(Agama) Beda Zaman
Oleh Hatim Gazali

Konon, dari rahim Tuhan-lah Yahudi, Kristen dan Islam itu terlahir. Ketiganya dilahirkan dengan sempurna. Berat bayi yang terakhir ini, Islam, memiliki berat 114 surat dengan diameter 6686 ayat (Al-Aufaq: hal 42). Ketiganya telah ditinggal oleh baby sitter-nya yang bernama Musa, Isa dan Muhammad.

Dari ketiga “bayi” Tuhan itu, Islamlah yang paling bungsu. Sebagai anak terakhir dari keluarga semitik (Abrahamic religions), Islam lahir bukan untuk membunuh dua kakak kandungnya, tetapi untuk melengkapinya. Ini juga tak berarti dua kakaknya mengalami “catat”, tetapi agar terjalin komunikasi dan regenerasi.

Untuk itu, Muhammad sebagai “pengasuh” Islam tidak menasakh bayi sebelumnya, tetapi memberikan afirmasi dan justivikasi. Sebagai bayi termuda, Islam banyak berguru kepada dua kakaknya. Banyak sikap, perilaku dan prinsip-prinsip dasar (ajaran) yang adopted dari kakaknya. Tetapi setelah mulai remaja, proses obyektivasi (Peter L. Berger) terjadi. Islam tidak saja memberi justvikasi “kepribadian” kakak kandungnya, tetapi justru memberi warna dan corak tersendiri sesuai dengan konteks zamannya.

Perbedaan karakter dan sikap tiga bersaudara ini tidaklah begitu prinsipil, kecuali hanya pada performance. Sementara, batin dan prinsip dasarnya-esoteris dalam istilah Huston Smith atau transenden dalam sebutan Sayyed Hosein Nasr-ketiga “anak” Tuhan itu tidaklah mengalami perbedaan. Ia bersatu padu dalam kemanusiaan (the unity of humanity), dan ke-tuhan-an (the unity of God). Kini ketiganya telah dewasa. Umur si bungsu lebih dari 14 abad. Tentu diumur yang sudah matang itu telah mengalami banyak perkembangan yang cukup signifikan. Hubungan ketiga “anak” itu dalam rekaman sejarah tak selamanya berjalan harmonis, tetapi seringakali mengalami clash dan konflik dan sesekali mengalami en-counter (perjumpaan).

Pengasuh dari “anak-anak” Tuhan itu, Musa, Isa dan Muhammad, telah pergi jauh menemui “orang tua si anak”. Kini ia dibiarkan mengembara dan berpetualang. Misi ketiganya sangatlah jelas, yakni memanusiakan manusia (humanize human being), menegakkan keadilan dan mengajak kepada ketuhanan. Tak ada misi yang berbeda yang dibawa oleh “anak-anak” Tuhan itu.

Karena sudah tak ada baby-sitter-nya, ia bebas diperlakukan oleh siapapun yang menemuinya. Terkadang, sebagian merasa paling berhak untuk mengasuhnya dan merasa sebagai juru bicaranya. Kadangpula, demi “anak” itu, orang berani mengorbankan jiwa dan harta kekayaannya. Berperang, membunuh, dan melakukan pengrusakan atas nama “anak” Tuhan itu kerap terjadi. Dan, hanya sedikit saja orang yang mengingat tujuan dan misi awal “anak-anak” Tuhan itu.

Sebaliknya, tak sedikit orang mengajak kembali anak itu ke masa formatifnya, dimana ia diasuh oleh “baby sitter”-nya. Ia seakan tak boleh dewasa dan menemui siapa saja, apakah itu bernama modernisme, kapitalisme, sosialisme dsb. Bagi orang-orang semacam ini, bayi yang sudah tumbuh dewasa itu harus dikembalikan ke masa kanak-kanaknya, dimana tantangan dan problem masih sangat sederhana, tak sekompleks dan serumit saat ini.

Mentalitas yang bercita-cita akan masa kecil “anak” tuhan, dan menganggap perubahan zaman sebagai ancaman itulah yang melahirkan munculkan gerakan terorisme dan radikalisme. Mereka sudah lupa akan misi awal “anak” Tuhan itu dan mengutamakan akan masa kecilnya (romantisme).
Halusinasi dan imajinasi akan kembalinya anak yang sudah dewasa kepada masa kecilnya adalah sekedar harapan yang tak mungkin terwujud (tamanny). Jikapun dipaksakan, anda bisa bayangkan bagaimana orang dewasa bersikap seperti anak-anak. Kadang tampak lucu, kadangpula menggelikan. Ironis.

Karena waktu tak mungkin diputar ulang, maka dimasa remaja-atau bahkan telah memasuki era lanjut usia (lansia)-hal yang paling memungkinkan adalah meluruskan misi awal “anak-anak” Tuhan itu. Disinilah, betapa absurd-nya cita-cita penegakan khilafah Islamiyah, negara Islam dengan model dan performance Islam dimasa awal. Bahkan, sikap dan upaya itu merupakan pengkerdilan terhadap “anak” Tuhan yang tumbuh dewasa dan sempurna itu. Di era global, dimana dunia menjadi global village yang menyatu, saling terbuka, saling tahu, pertemuan ketiga “anak” Tuhan tak bisa dihindari. Begitu juga dengan problem manusia yang makin kompleks. Pilihannya bukan kembali kemasa lalu; dimana “anak” yang satu melengkapi yang lainnya, dimana persoalan masih sangat sederhana.

Akhirnya, tak boleh tidak, “anak-anak” Tuhan yang sudah tumbuh dewasa itu harus dipertemukan dalam satu forum kemanusiaan dalam rangka mempertajam dan kontekstualisasi visi-misinya. Jika tidak, “anak-anak” Tuhan hanya menjadi korban waktu, tak mampu mengemban misinya. Pilihan lain yang bisa dipilih adalah mengharap lahirnya “bayi” baru dari Tuhan yang lebih compatible, dan up to date.[]
Read more!

Balik

Titik Balik Kebangkitan Agama
Oleh Saidiman

Penutupan masjid-masjid milik jemaat Ahmadiyah belakangan ini makin marak sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung mengenai pelarangan aktivitas dakwah jemaat Ahmadiyah.

Banyak pihak yang menduga bahwa dikeluarkannya SKB tersebut karena desakan yang bertubi-tubi dari sekelompok masyarakat Islam di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Jika ini benar, maka Islam Indonesia sedang memasuki tahap yang paling krusial dan kemungkinan akan menjadi awal titik balik dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Tesis utamanya adalah bahwa agama bisa menjadi pandangan hidup yang dominan karena ia memberi kedamaian dan tawaran solusi terhadap persoalan kehidupan. Tetapi ketika agama muncul dalam bentuk beringas dan mencoba menistakan manusia, maka itulah awal kemundurannya, bahkan munkin kehancuran.

Fenomena semacam ini bisa dipelajari dari Eropa dua ratus silam. Awal kemunduran agama (Katolik) di Eropa adalah ketika agama di tangan para pemegang “otoritas”nya telah muncul dalam bentuk yang sangat dominan dan melakukan pembatasan terhadap kreatifitas dan keragaman manusia secara semena-mena. Pembelengguan yang berlebihan terhadap potensi-potensi kreatifitas manusia justru menjadi instrumen utama penghancuran otoritas tersebut. Pada tahap paling ekstrem, penghancuran otoritas agama di Perancis menyisakan trauma hingga kini.

Pengalaman serupa juga pernah terjadi pada masyarakat Islam Jawa. Menurut sejarahwan, M.C. Ricklefs, pada mulanya Islam begitu dominan dalam relung kultur masyarakat Jawa. Islam tidak hanya dianut dan dipraktikkan oleh kalangan santri pesisir, tetapi juga diakui bahkan diamalkan oleh penduduk Jawa pedalaman. Dalam kedamaian, falsafah-falsafah hidup Jawa dan Islam bercampur baur menciptakan apa yang Rcklefs sebut sebagai the mystic synthesis. Sampai pada tahun 1850-an gelombang haji meningkat tajam dan melahirkan haji-haji yang telah mengadopsi model Islam keras dan kaku khas Wahhabi Arab Saudi. Ketika kelompok Islam keras ini mulai dominan dan melakukan pemaksaan doktrin melalui apa yang mereka sebut sebagai pemurnian akidah, maka mulai pulalah gerakan perlawanan terjadi. Sebagian masyarakat Islam Jawa menyambut gerakan pemurnian ini, terutama di pesisir, tetapi sebagian besar lain melakukan perlawanan. Kelompok pemurnian akidah kemudian menamai dirinya sebagai kaum putihan (santri) dan menamai lawan ideologisnya sebagai kaum abangan. Islamisasi masyarakat Hindu dan Budha Jawa mulai tersendat. Pada titik ekstrem, gelombang konversi dari Islam ke Kristen juga terjadi. Pada akhirnya, Islam yang tadinya merupakan agama rakyat yang diterima dan diamalkan secara massif perlahan-lahan hanya “milik” kalangan santri di pesisir Jawa. Selebihnya adalah Islam Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau pindah agama. Ketika Islam makna disempitkan, maka ia menjadi sempit.

Fenomena lain bisa disaksikan saat ini di tanah kelahiran Islam itu sendiri, Jazirah Arab. Selama beratus-ratus tahun daerah ini menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam. Petaka terjadi ketika wajah Islam Jazirah Arab muncul dalam raut bengis dengan tragedi-tragedi pembungkaman dan pembantaian kelompok yang dianggap berbeda. Sejak tahun 1920-an, ketika rezim totaliter berjubah agama ini berkuasa, Jazirah Arab menjadi lahan gersang dan kering spiritualitas. Tidak lagi pernah ada ulama atau cendekiawan yang lahir dari sini.

Tidak lagi juga ada alumnus-alumnus Jazirah Arab yang disegani dan menjadi panutan di Nusantara. Semuanya itu terjadi karena di sini, tempat kelahiran Islam ini, ilmu pengetahuan dicurigai. Negara ini akhirnya menjadi salah satu negara dengan tingkat buta aksara yang paling tinggi di dunia.
Negara dengan predikat indeks kebebasan terendah di dunia ini lambat laun membuat masyarakatnya tidak tahan dan mulai melakukan gerakan perlawanan. Awalnya perlawanan itu muncul dalam bentuk gerakan spiritual. Namun pelan tapi pasti menjadi gerakan politik. Tidak hanya itu, tabu-tabu yang selama ini dipasang oleh pemerintah dan ulama mulai dipertanyakan. Para wanita menuntut hak kesetaraan di ruang publik. Mereka tidak lagi ingin dikungkung. Meraka ingin bekerja dan beraktivitas. Mereka ingin menyetir mobil. Mereka ingin memperoleh akses pendidikan. Mereka ingin lebih independen. Otoritas-otoritas agama mulai dideligitimasi karena para ulama tidak lebih dari abdi kerajaan yang korup. Mereka membuat lembaga-lembaga fatwa sendiri untuk menandingi fatwa ulama-ulama kerajaan.

Kuatnya desakan memaksa pihak kerajaan mulai membuka diri. Pihak kerajaan sadar bahwa mengungkung rakyat dengan tameng ideologi apapun adalah awal bencana bagi ideologi itu sendiri. Pertama-tama yang akan dilakukan oleh rakyat yang tertindas adalah delegitimasi ideologi penindasnya, jika perlu penghancuran.

Seorang warga Ahmadiyah yang terusir dari tempat tinggalnya dan kini bermukim di pengungsian di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berujar, “Bagaimana mungkin saya memeluk agama orang yang telah membakar rumah saya?” Ideologi yang dipaksakan hanya akan melahirkan antipati dan gerakan perlawanan. Jika Islam terus muncul dalam wajah kekerasan dan penistaan keragaman manusia, maka saatnya gerakan delegitimasi dan penghancuran akan muncul dengan sendirinya.
Read more!

Plural

Orientasi Pluralisme Dalam Beragama
Oleh: Ari Kurniawan

Sekarang kita memasuku era modern, diman segala persoalan manusia menjasi lebih komplek. Agama secara normative dan ideal ialah untuk mewujudkan perdamaian bagi kemanusiaan.

Namun ketika agama ditilik dari historisnya penuh dengan konflik, kebencian, pertikaian dan kekerasan seperti terdapat pada tulisan Kausar Azhari Noer dengan tema ”Menampilkan Agama Berwajah Ramah” menjadi refleksi kita bersama bahwa agama dijadikan legitimasi untuk sebagaian kelompok yang mengatasnamakan agama yang dianutnya untuk menghancurkan atau bahkan “menghilangkan” eksistensi agama yang tidak sesua dengan yang dipercayainya. Disini tidak dijelaskan secara rinci dari berbagai peperangan atau konflik yang terjadi dulu dan sekarang tetapi ingin mencari jalan tengah dan titik temu atau meminjam istilah Cak Nur dengan “Kalimat Sawa” dari agama-agama dunia (islam, Kristen, yahudi, Hindu dan lain-lain) untuk bisa berkaca bagi masa depan agama masing-masing.

dalam tulisan Alamsyahruddin memang ingin memberikan wacana bahwa claim of truth and salvation adalah tidak mutlak milik sebagian agama (islam). Bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk berfikir dan bertindak atau menurut Huston Smith bahwa keengganan manusia untuk menerima kebenaran dari yang lain adalah karena sikpa menutup diri yang ditimbulkan dari refleksi agnostic atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justru akan lebih tinggi nilainya dari apa yang sudah ada pada kita (lihat “Sudirman Tebba, KKP Paramadina “Orientasi Sufistik Cak Nur). Walaupun tekadang agak sulit tapi kita harus bisa membuka diri untuk menerima kebenaran dari agama lain.

Telihat bahwa tulisan Alamsyah ingin meng-counter peran MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang telalu berlebihan dalam megeluarkan pendapat bahwa pluralisme adalah haram bagi umat islam. kemudian lagi bahwa fatwa MUI umat agama (islam) memiliki pola pikir “teo-Monolegalistik”, artinya umat islam menyakini bahwa tuhan memberikan legitimasi terhadap satu faham keagamaan.

Saya memandang, apa yang dinyatakan saudara Alamsyah tidak jauh berbeda ketiak MUI mengharamkan pluralisme, maksudnya Alamsyah dan MUI sama saja tetap saling mencurigai dan saling tidak percaya. Dalam buku Jalaluddin Rakhmat “Psikologi Komunikasi” dinyatakan “dua pihak yang saling tidak percaya sulit untuk saling bekerjasama”, karena menurut teolog Kristen terkenal Hans Kung “tidak akan ada kedamaian diantara bangsa-bangsa, selama tidak ada kedamaian di antara agama-agama. dan tidak ada damai di antara agama-agama selama tidak ada dialog di antar agama-agama. (lihat “Dialog Kritis & Identitas Agama”, seri DIAN 1/ tahun 1.), maksudnya jika kita ingin membuka lembaran baru bahwa plural itu jalan tengah untuk menuju kedamaian dan kemanusiaan maka kita harus memulai dengan dialog. Dialog disini harus terskop dari mulai intern dan ekstern dari masing-masing agama. Kita tidak bisa damai dan rukun jika masalah intern agama saja kita bisa menyelesaikannya. Misalnya, masalah fiqihisme yang terkadang dapat menimbulkan konflik dan perpecahan.

yang belum disentuh dari tulisan saudara Alamsyah mungkin tentang bagaimana konsep pluralisme memberikan jawaban ataupun solusi yang praktis untuk mewujudkan harmonisasi dan kerukunan umat beragama? sehingga kemajemukan (pluralis) sebagai “karya Tuhan” menurut Komaruddin Hidayat merupakan sebuah keharusan dan memang ada. Kita tidak bisa memungkiri dan harus yakin jika pluralitas memang ada dan telah mendampingi sisi kehidupan manusia, politik, sosial, budaya dan agama. Dengan plural sebagai unsur penting terciptanya perdamaian dan mengesampingkan fanatisme-egosentrisme.

Kemudian dari tulisan saudara Alamsyah ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban bersama yakni apakah sikap toleransi dapat hidup bersama dalam kemajemukan (plural) ? toleransi yang bagaiman ?. Disini saya mencoba menjawab bahwa toleransi masih menjadi satu-satunya tujuan utama dari dialog. setidaknya sarana minimal untuk hidup bersama. Toleransi yang berasal dari kata “tolerare” (Latin) yang berarti: menahan, membiarkan, memelihara, mempertahankan hidup. Dari arti secara bahasa dapat diketahui toleransi untuk memelihara sesuatu supaya tetap hidup, apapun itu dan termasuk disini pluralitas (majemuk) dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

tawaran yang memadai ialah dialog. Bentuk dialog baru yang bisa ditekankan disini adalah dialog pro-eksistensi, tokohnya yaitu Hang Kung seorang teolg Kristen Katolik dengan bukunya The Christianity of Word Religion menyatakan dengan dialog pro-eksistensi kita tidak sekedar mengumpulkan unsur-unsur persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sebagainya, tetapi juga unsur-unsur yang meliputi perbedaan bahkan mengandung potensi untuk konflik. Maksudnya, Kung memberikan tantangan bagi umat beragama untuk mengenal agama lain tanpa prasangka, tetapi juga mengenal agamanya sendiri secara kritis lewat agama-agama lain.

Jadi rumusan dialog untuk memperoleh sikap toleransi dalam kemajemukan harus dimulai dengan kata sepakat dialog. Karena dialog merupakan percakapan atau komunikasi antara dua fihak yang berdeda satu sama lain, maka pelu dirumuskan unsur-unsurnya, antara lain: keterbukaan, sikap kritis, dan upaya untuk mendengar, saling belajar dan memahami orang lain secara lebih mendalam. Agama untuk manusia atau meminjam istilah Kautsar Azhari Noer dengan “agama humanis”, harus ditekankan bersama bahwa dialog bukan dimaksudkan untuk mencari kebenaran mutlak ataupun absolutisme kelompok tapi mencari titik temu dari persoalan agama untuk manusia.

(Tanggapan Terhadap Tulisan Alamsyahruddin Pasaribu Tentang “Pluralisme: Membangun Sikap Beragama Dalam Kerukunan Umat Beragam)Jarik Sumut
Read more!

Miraj

Isra Miraj dan Kebebasan Beragama
Oleh Ibn Ghifarie

Apapun alasanya mengumpat, mencaci-maki, menghancurkan tempat ibadah tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik.

Di tengah-tengah keterpurukan, masih banyak kelompok yang melakukan perbuatak senonoh atau menempuh jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan. Budaya baku hantam menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda.

Apakah kita tidak lelah? Apakah kita tidak ada kepentingan dan kebutuhan lainya yang lebih urgen dari pertengkaran tak berarti itu? Apakah kita memang lebih gandrung terhadap budaya barbar daripada duduk rukun dan bicara dari hati ke hati?

Mampukah kehadiran Isra Miraj yang jatuh pada tanggal 30 Juli 2008 (27 Rajab 1429 H) dapat memberikan spirit keadilan, kemerdekaan sekaligus membuka ruang untuk tumbuh dan berkembangnya kebebasan beragama di Indonesia bagi komunitas penghayat atau aliran kepercayaan.

Spirit Yang Terlupakan
Momentum Isra Mi'raj Nabi Muhammad merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Perintah shalat pun menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Singkatnya, perjalanan suci kenabian (dari Mesjid Haram ke Mesjid Aqsa lalu ke sidrat al-muntaha) harus menjadi tonggak keteladanan yang mesti diserap dalam kesadaran (kehidupan) umat Islam.

Pasalnya, para ulama sirah nabawiyah hampir menyepakati, seperti ditulis Zuhairi Misrawi, Isra dan Mi'raj merupakan perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Yerusalem (isra) serta dari Yerusalem menuju singgasana Tuhan atau sidrat al-muntaha (mi'raj).

Muhammad Husein Haikal dalam Hayat Muhammad menjelaskan, sebagaimana ditulis Dermenghem dan Ibnu Hisyam, setelah sampai di Yerusalem, Nabi Muhammad SAW melakukan sembahyang di atas puing-puing Kuil Sulaiman bersama utusan Tuhan yang lain, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa.

Lalu, Nabi Muhammad bersama Malaikat Jibril naik ke langit memenuhi panggilan Tuhan, hingga akhirnya melakukan negosiasi dengan Tuhan ihwal perintah shalat bagi kaum Muslim. Sejak itulah shalat disyariatkan bagi kaum Muslim hingga kini.

Bila kita kuat memegang amanat Isra Miraj niscaya tak akan ada lagi upaya 'penertibak keyakinan' oleh kelompok tertentu terhadap golongan yang berbeda sekalipun kuat memegang teguh tradisi leluhurnya. Seolah-oleh mereka tak masuk kategori islam dan harus diislamkan. Inilah wajah muram islam indonesia.

Ambil contoh perlakuan tak lazim ini menimpa komunitas penghayat Sunda Wiwitan, Cigugur Kuningan Jawa barat. Anehnya lagi pemerintah ikut melanggengkan budaya benci dan masyarakat pengkayat itu untuk memilih agama resmi yang diakui oleh negara. Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Di luar keenam keyakinan berbau tradisi lokal sarat pengawasan. Badan Kordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) pun menjadi juru kunci penguasa dalam mengatur keimanan.

Alhasil, negera tidak mengakui pernikahan masyarakat adat. Akta nikah, akta kelahiran, KTP (Kartu Tanda Penduduk) pula menjadi bagian yang sangat susah didapatkan oleh para penghayat.

Salah satunya, kasus ini menimpa Lastri, sejak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Ia acapkali diejek oleh temen-temennya manakala mengetahui dirinya penganut Sunda Wiwitan. Eh...eh..Madrais (Agama Jawa Sunda), Madrais, Kafir, Kafir dan Kafir. Terlebih lagi ditengah persaingan dunia kerja. Ia kembali dijegal status agama di KTP untuk menyatakan identitas sesungguhnya.

Perlakuan diskriminatif tak berakhir sampai disini saat ingin menggelar perkinahan pula deraan serupa menimpanya saat mencatat perkawinannya ke kantor catatan sipil daerah setempat. 'Udah atuh jangan dicatetin,' cetus petugas sipil

Dengan kesal ia menjawab 'Mba aku tuh ingin menjadi seorang warga negara Indonesia yang baik ketentuan-ketentuan yang berlaku di bumi pertiwi ini aku ingin menjalaninya,' paparnya. (Jurnal Perempuan Edisi 57)

Kebebasan Beragama
Kemerdekaan, keadilan, sikap keterbukaan menjadi barang langka di Nuasntara ini. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Padahal negara kita bukan pemerintahan teokratis atau sekuler. Namun, penertiban kepercayaan selalu digalakan. Atas nama meresahkan masyarakat, berbuat onar, menafikan Tuhan, hingga penodaan agama kerap menjadi dalih untuk membumi hanguskan keberadaan mereka.

Kiranya, jaminan kebebasan berkumpul, berserikan dan beragama sesuai dengan keyakiannya dan hak kemerdekaan pikiran, nurani dan kepercayaan hanya berhenti pada Pasal-pasal (28 ayat 2, 29 ayat 1 dan 2), Undang-undang (No 1/PNPS/1965) dan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 semata.

Salah satu hak dan kebebasan dasar yang diatur ICCPR sekaligus sudah dirativikasi adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, mencakup kebebasan menganut, menetapkan agama, kepercayaan atas pilihan sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama, di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama, kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga mengurangi kebebasan untuk menganut, menetapkan agama, kepercayaan sesuai dengan pilihannya.

Dalam urusan perkawinan. Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menjelaskan perkawinan ikatan lahir-batin anatara pria dengan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat 1 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ironis memang.

Dengan demikain, Isra Mi'raj harus menjadi ajang evaluasi kebebasan beragama. Bukan malah sebaliknya kita sengaja menabur ayat-ayat penuh kebencian dan fitna dalam wilayah keyakinan. Inilah yang di inginkan Joahim Wach, Guru Besar Perbandingan Agama dalam mengeja suatu kebenaran.

Memang benar, bahwa untuk mencintai kebenaran orang harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi tidak benar bahwa untuk memuji keyakinan sendiri, seseorang harus membenci dan merendahkan keyakinan orang lain (Joahim Wach, 2000)

Inilah makna terdalam Isra Miraj bagi komunitas penghayat. Terwujudnya kedamaian, toleransi, saling menghormati antarajaran, antaragama, dan antarkelompok menjadi cita-cita tertinggi masyarakat Indonesia yang beradab. Semoga.

*IBN GHIFARIE, Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Biro Jabar, Selasa 29 Juli 2008
Read more!