RSS

Syariat

Thursday, January 31, 2008

Rekontruksi Syariat Islam di Indonesia
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Sebagai sebuah bagian yang diyakini oleh sebagian kalangan merupakan ajaran agama Islam, maka Syariat Islam sejak lama tidak pernah bisa dilepaskan eksistensinya dari umat Islam.

Berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia disibukkan dengan urusan penegakkan syariat Islam ini, termasuk di dalamnya perdebatan madzhab mana yang dijadikan sebagai madzhab terbaik yang menjamin pengikutnya mendapatkan keselamatan. Nah, selama bertahun-tahun umat Islam nyatanya terjebak dalam perebutan otoritas kebenaran. Tentang siapakah, golongan manakah, madzhab manakah, ini-itu dan sebagainya.

Padahal, perbedaan-perbedaan tersebut sangatlah wajar dan manusiawi. Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya, otoritas kebenaran absolut hanyalah milik Sang Maha Benar, Tuhan. Adapun wahyu dan dakwah dari utusannya, telah tereduksi dengan sendirinya karena membutuhkan penalaran dan pemahaman yang sesuai dengan konteks ruang, waktu dan orang-orang yang dituju.

Yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa perbedaan-perbedaan pemahaman tersebut campur-aduk dengan kecongkakan hati dan kedangkalan pikiran yang tidak berkenan menerima realitas perbedaan pemahaman tersebut. Hal ini bahkan semakin diperparah dengan politisasi teks-teks keagamaan oleh pihak penguasa agar lebih mudah menjinakkan kaum yang dikuasainya, atas nama agama dan Tuhan.

Contoh dekat dari kasus politisasi Syariat misalnya terjadi di Tasikmalaya. Di Tasikmalaya, upaya penegakan Syariat Islam tak lebih dari upaya PPP untuk mencari dukungan dari konstituen Islam. Dengan kata lain, mengangkat isu syariat Islam ibarat “dagangan”politik. Pada Pemilu 1999, dagangan yang ditawarkan oleh parta Islam “fundamentalis”, khususnya PPP, berhasil mendongkrak perolehan suara dan memenangkan Pemilu di Tasikmalaya. Sayangnya, paratai-partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam pasca reformasi dinilai sangat mengecewakan. Partai-partai itu hanya memperjuangkan simbol-simbol formal, seperti anjuran memakai jilbab, baju koko, dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Di sisi lain, Tasikmalaya malah menjadi pusat judi. Selain itu, ekses lainnya malah meluasnya praktik-praktik poligami. Adapun pemberantasan korupsi tidak juga berjalan secara konsisten.1
Oleh karenanya, sepantasnyalah jika syariat Islam sudah perlu direkonstruksi oleh penganutnya. Karena, rujukan-rujukan mengenai syariat Islam ini telah lama usang dan karenanya perlu pemahaman baru agar tidak terlepas dari konteksnya.

Syariat Islam dan Negara-Bangsa
Cobaan mutakhir terhadap syariat Islam pasca perang dingin adalah terbentuknya negara-bangsa secara massif hampir di seluruh negara. Ide negara-bangsa yang merupakan dampak tidak langsung dari imperialisme negara-negara Barat atas dunia Islam menimbulkan polemik dan permasalahannya sendiri. Dunia Islam kesulitan memahami konsep negara-bangsa, berikut turunan-turunannya.

Dalam tataran konseptual, gagasan negara-bangsa tentunya sangat berbeda dari apa yang dipahami umat Islam sebagaimana yang ada dalam tradisinya. Batasan geopolitik negara-bangsa nyata-nyata berbeda secara historis-konseptual dan menyempitkan ruang geopolitik Islam. Begitu pun dalam diri Islam sendiri yang terlampau mendikotomiskan wilayah politiknya; yaitu menjadi dar al-Islam (wilayah damai), yaitu wilayah kaum muslim, dan dar al-harb (wilayah perang), yaitu non-muslim, 2 yang tentu saja dalam konteks sebuah negara-bangsa tidak bisa dibenarkan dikarenakan diskriminasinya.

Syariat Islam dan HAM
Hak Asasi Manusia dapat diartikan pada beberapa pengertian dasar, di antaranya:

1.
Jika suatu hak asasi diteguhkan sebagai HAM dan bukannya hak sipil, maka dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, sesuatu yang berlaku untuk seluruh umat menusia di mana pun juga,
2.
Hak-hak asasi dipahami sebagai mewakili tuntutan-tuntutan pribadi dan kelompok untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik dan ekonomi,
3.
Disepakati bahwa hak-hak asasi tidak selamanya bersifat mutlak, hak-hak itu dapat dibatasi atau dikekang demi kepentingan umum atau untuk melindungi hak-hak pihak lain,
4.
HAM bukanlah alat untuk melindungi keinginan pribadi,
5.
Pengertian tentang hak asasi sering mengandung kemestian adanya kewajiban-kewajiban yang terkait.3

Franklin D. Roosevelt pernah menyebutkan 4 kebebasan dasar manusiawi: 1) Kebebasan berbicara dan berekspresi, 2) Kebebasan setiap orang untuk beribadah kepada Tuhan dengan caranya sendiri, 3) Kebebasan dari kekurangan, dan 4) Kebebasan dari rasa takut.4
Secara historis, HAM lahir berasal dari Barat dan merupakan buah dari imperialisme Barat. Universalisme HAM memang menimbulkan kontroversi karenanya. Pun demikian, banyak negara-negara yang mengikuti Deklarasi Universal HAM serta konvenan-konvenan internasional lainnya yang berkaitan dengan HAM, termasuk negara-negara di dunia Islam. Bahkan hingga saat ini wacana HAM ini berusaha dikembangkan legitimasi teologisnya dalam Islam.
Ishaque (1974) menjelaskan bahwa dalam hukum Islam terdapat kira-kira 14 buah hak-hak asasi, yang kesemuanya didasarkan pada firman-firman Allah swt dalam Al-Quran. Keempat belas hak-hak itu mendukung tuuan untuk membina dan membentuk makhluk yang secara moral memiliki kesempurnaan. Hak-hak tersebut antara lain: 1) Hak memperoleh perlindungan hidup, 2) Hak memperoleh keadilan, 3) Hak memperoleh persamaan perlakuan, 4) Kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hukum, 5) Hak untuk terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat dan negara, 6) Hak memperoleh kemerdekaan, 7) Hak memperoleh kebebasan dari pengajaran dan penuntutan, 8) Hak menyatakan pendapat, 9) Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar perbedaan agama, 10) Hak untuk mendapatkan ketenangan perorangan, 11) Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh imabalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yag dilakukan, 12) Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik, 13) Hak atas harta benda dan harta milik, dan 14) Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang sepadan. Sebenarnya dari kesemua hak-hak di atas masih dapat dikembangkan Hak-hak Asasi yang lain yang lebih lanjut, seperti hak memperoleh perlindungan dari serangan fisik dari alat-alat pemerintahan dengan dalih apapun, hak untuk memperoleh bantuan dalam memperjuangkan tuntutan hukum bagi mereka yang teraniaya atau kehilangan haknya atas harta milik yang menjadi bagiannya, dan seterusnya.5

Dari sini, terlihat bahwa Islam sendiri memiliki gagasan HAM. Oleh karenanya, HAM memang dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang universal. Penegakan HAM dengan demikian, termasuk dalam hal menegakkan misi Islam di muka bumi yakni rahmatan lil alamin.

Syariat Islam dan Kesetaraan Gender
Gagasan kesetaraan gender juga termasuk isu yang awalnya diangkat di dunia Barat. Stereotif bahwa Islam tidak mengakomodir gagasan ini berdengung baik itu dari Barat maupun dari kalangan Islam sendiri. Dari kalangan Islam, hal ini nampak semakin ironis, karena penentangan atas gagasan kesetaraan gender ini tidak hanya disuarakan oleh para kaum lelaki, tapi juga secara massif disuarakan oleh para perempuan. Lagi-lagi argumen mereka sangat monolitik, bahwa ide kesetaraan gender datangnya dari para kafir Barat, dan oleh sebab itu haram diikuti.
Pun demikian, di sisi lain, terdapat arus balik dari suara mainstream umat Islam seperti itu. Mereka menyadari bahwasanya Islam sesungguhnya mengakomodir gagasan kesetaraan gender ini.

Pendekatan kesetaraan gender umumnya diawali dengan pencerahan bahwasanya ketidaksetaraan gender yang terjadi di masyarakat tidak lain hanyalah hasil kostruksi masyarakat beserta nilai, norma an ideologi yang dianutnya, ada bukannya sesuatu hal yang given atau kodrati dari Tuhan. Pencitraan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki juga tidak murni hadir sejak pencitaan mereka. Toh manusia – perempuan ataupun laki-laki – sama-sama telanjang tanpa sehelai benang pun.

Akan tetapi, pendekatan seperti ini tidak cukup dalam dunia Islam. Islam masyarakat memerlukan suatu legitimasi teologis sebelum mereka mempertimbangkan gagasan kesetaraan gender ini, walaupun mereka secara tidak sadar memang telah mengikuti gagasan ini. Maka, dasar-dasar teologis pun diungkap untuk mengetahui benarkah ada legitimasi teologis atas gagasan ini.

Amina Wadud menjelaskan bahwa proses penciptaan manusia sejatinya berpasang-pasangan. Meskipun Al-Quran secara jelas menerangkan hubungan perempuan dengan malahirkan anak, namun fungsi lainnya tidak pernah digambarkan sebagai karakteristik lainyag penting secara spesifik bagi perempuan. Dengan demikian, keterangan Al-Quran hanya mengacu pada fungsi biologis perempuan, bukan pada persepsi psikologis dan budaya.6 Selain itu, Amina Wadud juga menjelaskan bahwa dari segi balasan atau pahala, mereka yang berbuat baik, perempuan maupun laki-laki, mandapatkan balasan yang adil dari Tuhan.7 Hal ini menerangkan kepada kita bahwa sejatinya, peran gender antara laki-laki dan perempuan, menurut Al-Quran, setara dan keduanya memiliki hak dan kewajiban yang setara pula.

Sementara itu, Profesor Asma Barlas memberikan prespektif lain. Bahwa menurutnya cara pembacaan dan pemahaman Al-Quran selama ini telah dipelintir sehingga mengikuti dan menghasilkan budya patriarki. Artinya, budaya patriarki menyerobot pemahaman umat Islam sehingga lahirlah stereotif bahwa Islam tidak mendukung kesetaraan gender. Asma Barlas kemudian melanjutkan bahwa Al-Quran perlu dibaca dengan semangat pembebasan, pembebasan di sini yaitu pembebasan dari budaya patriarki yang mencemari semangat egalitarian Al-Quran dan Islam.8

Penentangan lainnya tentang ketidaksetaraan gender dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Thaha. M. Muh. Thaha menggugat bahwasanya ketidaksetaran gender bukanlah ajaran dasar Islam. Sebaliknya, Islam justru meninggikan tanggungjawab perseorangan dalam memikul amanahnya masing-masing. Sama sekali tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dia juga berargumen bahwa saat Islam diturunkan, ia ditujukan pada masyarakat yang sangat patriarkis, yang bahkan tega mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Dari konteks ini, pantas jika Islam tidak langsung menyampaikan revolusi tatanan sosial secara radikal. Isalam secara indah dan ramah justru mengajak umat saat itu untuk bertransisi menuju kemanusiaan yang lebih menghargai martabat perempuan. Ketentuan Islam tentang wanita mendapatkan separo dari laki-laki dalam hal warisan merupakan sebentuk ajaran transisi dari masa jahiliyah. Oleh karena itu, Thaha menentut bahwa ini bukanlah tujuan sebenarnya dari Islam. Islam justru mennjukkan semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan begitu, ajaran itu hanya cocok berlaku bagi konteks masyarakat Arab saat itu saja.9 Lebih jauh dari ini, M. Muh. Thaha sebetulnya tidak hanya menggugat ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan saja, dia juga menggugat poligami, talak, hijab dan pemisahan antara laki-laki dari perempuan, kesemuanya itu bukanlah ajaran dasar Islam, dan karenanya harus ditinggalkan.10

Syariat Islam dan Pluralisme
Fakta bahwa umat manusia diciptakan beranekaragam, maka keragaman atau pluralitas ini perlu mendapatkan jaminan ideologis, yaitu pluralisme. Pluralisme ialah paham tentang keragaman (pluralism is an ism about plurality).

Persentuhan antara syariat Islam dengan pluralisme terlihat dari landasan pemikiran syariat Islam yang memandang bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mencegah bahaya dan menepis beban dan penderitaan. Syariat Islam juga harus diwujudkan dalam kesanggupan individu dan masyarakat. Artinya, syariat Islam haruslah ditegakkan di atas landasan melindungi kepentingan orang banyak (maslahat). Syariat Islam juga dilandaskan pada pemikiran bahwa martabat manusia seluruhnya pada dasarnya setara. Selain itu, syariat Islam juga sangat menyadari kenyataan keragaman ras, suku bangsa, dan agama. Perbedaan-perbedaan ini diakomodir dalam Islam.11

Dalam Islam, non-muslim mendapatkan perlindungan, martabat dan keamanan yang sama dengan muslim. Kesaksian seorang non-muslim juga diterima setara dengan kesaksian seorang muslim. Orang-orang non muslim juga berhak menikmati keuntungan ekonomi dan mengelola kekayaan alam.12 Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan oleh Islam tidak mesti kemudian melahirkan diskriminasi. Sebaliknya Islam sangat menekankan prinsip keadilan untuk diterapkan kepada seluruh umat manusia, tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Islam dalam hal ini mengajarkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus disikapi dengan cara kekerasan. Manusia justru harus menghargai kemajemukan dan menjalin kebersamaan. Dari sinilah pentingnya bagi kita untuk tidak malah memperuncing perbedaan dan seharusnya malah harus menegaskan persamaan.

Perlunya Rekonstruksi Syariat
Persentuhan syariat Islam dengan gagasan-gagasan di atas; negara-bangsa, HAM, gender, dan pluralisme, memang merupakan ekses lain dari perjumpaan antara peradaban Barat dan Islam. Hampir seluruh gagasan itu lahir dan besar di Barat. Di sisi lain, Islam ternyata dianggap dan diyakini tidak memiliki gagasan seperti itu. Oleh karenanya, para pemikir berusaha menemukan dan membuktikan bahwa pendapat seperti itu salah, dengan cara meneliti basis teologis Islam dan peradaban Islam hingga berhasil emnemukan bahwa gagasan ini justru mejadi landasan tegaknya peradaban Islam selama berabad-abad.

Konsekuensi selanjutnya dari akomodasi atas gagasan ini di antaranya adalah liberalisasi politik dari syariat Islam. Hal ini penting mengingat terdapat kesenjangan konseptual misalnya; antara nasionalisme dengan ukhuwah Islamiyah, vox populi dengan vox dei, hak-hak dan representasi politik wanita, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, pilihan selanjutnya adalah liberalisasi syariat Islam, agar sesuai dengan konsep-konsep yang mengiringi gagasan negara-bangsa.
Dari sinilah nampaknya awal dari upaya pemahaman ulang atas syariat Islam berlangsung. Bagaimana pun, meski gagasan negara-bangsa secara langsung berasal dan dipengaruhi oleh negara-negara Barat, namun desakan atas gagasan ini nyatanya berasal dari warga negara-negara Islam itu sendiri. Oleh karenanya, semestinya upaya-upaya liberalisasi syariat Islam tidak melulu dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Justru hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat manusia.

Relasi antara agama dan negara memang seharusnya tidak dipandang secara monolitik. Negara harus secara netral bersedia menerima keberagaman pandangan dan klaim kebenaran. Jika negara tidak memiliki kesanggupan untuk mengatasi hal ini, maka akan terjadi kericuhan dan kekacauan sosial. Ancaman perpecahan dan disintegrasi akan menjadi ancaman serius setiap saat.
Walaupun pemikir-pemikir Islam berusaha menunjukkan bahwa sariat Islam dapat dikompromikan dengan gagasan seperti di atas, akan tetapi, dalam tataran politik, negara tetap harus bebas dari syariat salah satu agama. Gagasan di atas justru harus menguatkan argumen bahwa negara harus mengakomodir pluralitas masyarakat.

Hal yang lebih penting dilakukan saat ini adalah bagaimana merekonstruksi syariat Islam agar benar-benar bisa membuktikan tesis bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan bisa mengakomodir gagasan negara-bangsa, HAM, gender dan pluralisme. Syariat Islam jangan melulu meributkan madzhab mana yang paling benar, atau penafisran bahwa Islam itu adalah din wa daulah.

Rekonstruksi syariat Islam harus berhasil melampaui perdebatan-perdebatan itu. Ada hal lain yang lebih mendesak dari hal itu. Syariat Islam lebih baik menyiapkan diri untuk mendukung gagasan Islam berperadaban. Perdaban Islam tidak bisa ditegakkan di atas otoritarianisme dan pemikiran yang monolitik.

Indonesia Sekarang; Berharap Pada Demokrasi
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi yang sangat besar untuk memulai lahirnya peradaban Islam yang terbuka dan maju, yang kelahirannya dilandasi dengan nilai-nilai universal Islam yang humanis.

Akan tetapi, Indonesia saat ini mendapatkan tantangan terutama dari pihak-pihak yang berkeinginan menegakkan syariat Islam secara formalistik. Gagasan ini tentu mengancam semangat kemajemukan bangsa Indonesia. Padahal, sudah banyak contoh penyimpangan-penyimpangan formalisasi syariat Islam yang terjadi. Terbukti, bahwa hal tersebut tidak menjadi solusi yang tepat bagi problem bangsa Indonesia.

Rakyat Indonesia saat ini bolehlah berharap pada demokrasi yang belum lama ini berjalan. Meski sesungguhnya perjalanan demokrasi masih sangat terjal dan berliku. Kita saksikan saat ini demokrasi Indonesia mengalami masalahnya sendiri. Sistem ketatanegaraan yang ada terus mendapatkan ujian dan mengalami perbaikan di sana-sini. Sistem pemilihan langsung pun mulai mengalami koreksi signifikan. Kritik di sana-sini terus dialami oleh demokrasi Indonesia. Sistem kepartaian pun tengah diguncang dengan oposisi yang tampaknya hanya bermotifkan kekuasaan belaka. Kebijakan partai-partai penguasa bisa tiba-tiba berubah-ubah tergantung pada kepentingan apa yang diusung. Selain itu, politik uang selalu lebih menentukan perubahan politik dari pada aspirasi rakyat.

Meski demikian, hal-hal ini kita bisa nilai sebagai bagian dari demokratisasi Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaimana syariat Islam bisa menempatkan diri dalam konteks tersebut. Posisi syariat Islam paling tidak seharusnya memberikan pencerahan pada motif-motif politik. Sehingga, politik tidak kemudian hanya disemangati oleh perebutan kekuasaan belaka, akan tetapi juga dilandasi oleh semangat profetisme Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Barlas, Asma., Cara Quran Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi, 2005
Barton, Greg, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer, Jakarta: Paramadina, 2005
Sholeh, Badrus (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren , Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007
Thaha, Mahmud Muhammad., Arus Balik Syariah, Yogyakarta: LKIS, 2003
Osman, Mohamed Fathi., Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, Jakarta: Paramadia, 2006
Wadud, Amina., Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2006

1 Gugatan atas politisasi syariat Islam ini juga terjadi di daerah-daerah lain; seperti Cianjur, Garut, Solo, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Lihat, S. Yunanto, Pesantren dan Politik Formalisasi Syariat Islam, dalam Badrus Sholeh (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007), hal. 95-96.
2 Azyumardi Azra, Syariat Islam dalam Bingkai Nation State, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 44.
3 Budhy Munawar-Rachman, HAM dan Persoalan Relativitas Budaya, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), op.cit, hal. 476.
4 Ibid, hal. 478.
5 Dikutip dalam Greg Barton, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 416.
6 Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 47.
7 Amina Wadud, op.cit, hal. 87-88.
8 Baca selengkapnya di Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Jakarta: Serambi, 2005).
9 Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah (Yogyakarta: LKIS, 2003) hal. 166-167.
10 Lebih lengkapnya lihat Mahmud Muhammad Thaha, op.cit. hal. 166-175.
11 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Jakarta: Paramadia, 2006), hal. 32-48)
12 Mohamed Fathi Osman, op.cit. hal 41-47.
Read more!

Kebenaran

Wednesday, January 30, 2008

Perjalanan Mencari Kebenaran
Oleh Wanddi Irfandi

“anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory)

Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga yang taat pada pada tuhan. Berbagai ritual keagamaan yang, katanya, wajib dan atau sunnah dikerjakan. Ayahku adalah salah seorang pendiri sebuah pesantren yang cukup besar di daerah. Selain itu juga ia menjadi bendahara sekaligus “Pengawal pribadi” Sedangkan Ibuku menjadi bendahara Istri di pesantren tersebut. Anak-anaknya yang berjumlah 4 orang semuanya di sekolahkan di Pesantren tersebut. Tak pelak predikat anak sholeh pun melekat padaku.

Lingkungan masyarakat yang sangat patuh terhadap norma-norma agama semakin mengukuhkan predikat soleh tersebut. Sehingga segala tingkah laku, ucapan, dan tindakan yang kulakukan harus sesuai dengan norma-norma agama bahkan harus sesuai dengan yang diajarkan oleh guru (ustadz) di pesantren tersebut, tak peduli aku faham atau tidak.

Namun predikat sholeh tersebut tak membuatku bangga atau menjadi lebih alim (sholeh). Justru menjadi sebaliknya, kebingungan akan apa yang ku alami semakin menjadi, pertanyaan-pertanyaan yang katanya nyeleneh menjadi akibat yang tak terelakan dari kebingungan tersebut. Rasa terisolir justru yang terus menerus menyengat. Terbukti aku hanya diterima oleh kawan se-pesantren di antara kawan sebaya yang ada. Entah aku yang kurang gaul atau memang mereka terlalu sungkan terhadapku.

Ayahku yang menjadi pendiri sebuah pesantren, ternyata mempunyai latar belakang yang sama sekali jauh dari keagamaan. Ia menemukan pencerahan akan keagamaan justru setelah menjadi “pengawal pribadi” pimpinan pesantren. Itu pun dalam baca tulis al-Qur’an masih belum benar-benar lancar.

Sehingga yang dilakukan ayahku hanyalah sebatas mengurus keuangan pesantren dan itu sudah berlangsung + 5 tahun. Ayahku memang menguasai tentang akuntansi dan administrasi keuangan, ma’lum ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan ekonomi dan akuntansi.

Berbeda dengan ibuku yang memang sebelumnya “katanya” sering ikut berbagai pengajian dan pendidikan keislaman walaupun ortodoks. Sehingga dalam hal pemahaman keagamaan cenderung lebih faham dari pada ayahku. Pun begitu dengan baca tulis al-Qur’an ia lebih lancar bahkan jauh lebih lancar daripada aku sendiri. Makanya ia senantiasa mengikuti pengajian dan senantiasa menjadi penda’i bagi kaum ibu-ibu.

Saat ini jadualnya dipenuhi oleh menghadiri pengajian di berbagai daerah, entah ia menjadi pembicara atau pun hanya sebatas hadir. Dalam satu bulan, biasanya ibuku menghadiri pengajian sampai dengan 3 kali di luar daerah dan setiap minggu mengisi pengajian di daerahnya di berbagai pondok pesantren atau mesjid.

Oleh karena itu anak-anaknya pun disekolahkan di pesantren dengan harapan mampu memahami dan pada akhirnya mampu mengamalkannya. Namun apa lajur keinginan yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Bahkan yang lebih parah dari 4 anak yang dimasukkan ke pesantren barangkali hanya satu yang “dianggap” berhasil lulus di pesantren itu. Sedangkan yang lainnya pindah ke sekolah umum dan tidak lagi melanjutkan pencarian ilmu keislaman.

Anak yang pertama pindah dari pesantren ketika memasuki kelas 2 dengan alasan ingin ikut jurusan IPA. Aku sendiri pindah ke sekolah umum waktu kelas 2 dan masuk jurusan Bahasa. Adikku yang lebih bungsu lebih parah lagi. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah, karena baginya sekolah hanyalah tempat manusia menjadi robot-robot industri atau menjadi kuli di sebuah perusahaan. Hanya adikku yang ke-tiga sajalah yang lulus dari pesantren tersebut.

Ketika di pesantren aku justru mencari-cari kebenaran-kebenaran ritual keagamaan (baca: Ibadah; red). Seperti bagaimana tata cara sholat yang benar beserta landasan hukum yang berlaku. Kemudian bagaimana perilaku hidup dengan lain agama, atau kenapa Islam yang ada terbagi berbagai macam aliran dan ke semuanya mengklaim paling benar.

Namun jawaban yang ku dapatkan hanyalah sebuah klaim kebenaran aliran dirinya dan ejekan bahkan caci maki terhadap aliran lain, terlebih bergaul dengan agama lain ustad tersebut, tidak disebutkan demi nama baik, menyarankan utuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama dengan alasan masih banyak orang seagama yang bisa dijadikan teman.

Keyakinanku terhadap tuhan, kebenaran terhadap ibadah ritual agama yang kulakukan mulai memudar. Hal tersebut dikarenakan persoalan yang kutanyakan selalu mendapat jawaban yang singkat serta tidak memuaskan bahkan cenderung mengejek. Ditambah lagi dengan kawan-kawanku yang selalu sinis jika aku bertanya karena dianggap memperlama jam pelajaran.

Karena ingin bisa bergaul secara wajar dengan masyarakat terutama kawan sebaya, aku memutuskan untuk pindah sekolah walau itu harus mendapat tantangan yang sangat keras dari orang tua.

Setelah pindah sekolah ternyata aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kawan sebayaku secara perlahan mulai mendekatiku secara wajar. Namun pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan masih terus menggelayut, bahkan lebih parah. Hal ini dikarenakan guru-guru agama memandangku lebih faham tentang keagamaan dari pada kawan yang lain.

Ini semakin memperberat beban psikologi yang ku tanggung. Walau aku telah mendapatkan keinginan untuk bisa bergaul dengan bebas. Namun rasa dahaga akan pencarian spiritual dan pencarian suatu kebenaran semakin menggebu. Aku memutuskan untuk mencari pengalaman dengan mengikuti organisasi keislaman yang ekstra di luar sekolah. Selain itu buku-buku keislaman serta filsafat pun coba ku baca dengan harapan bisa memahami ilmu-ilmu agama. Sedikit pencerahan mulai muncul dari benakku akan kebenaran agama. Hingga aku memutuskan untuk masuk perguruan tinggi Islam yang konsen di bidang hukum-hukum Islam

Namun kekecewaan melanda kembali, ketika aku mulai masuk ke perguruan tinggi. Harapan bahwa mahasiswa adalah seorang yang selalu mengkaji dengan radikal seolah menjadi kebohongan belaka. Karena yang kutemui, kebanyakan, hanyalah orang yang butuh nilai akademik yang bagus (dengan cara apapun). Sehingga ruang untuk berdiskusi sesama teman kuliah pasca kuliah pun menjadi jarang atau tidak sama sekali. Selain itu bayangan awal bahwa Perguruan Tinggi Islam diisi oleh laki-laki sholeh serta wanita-wanita yang sholehah runtuh seketika, ketika suatu siang di hari rabu aku menemukan kumpulan kondom bekas di sebuah toilet kampus. Kejadian-kejadian tersebut membuatku kembali mencari pelarian diluar dalam bentuk organisasi ekstra kampus.

Selama mengikuti pelatihan dasar sampai dengan menyelesaikan pelatihan advance di organisasi ekstra tersebut, aku mulai menemukan hal-hal yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan atau ditanyakan tanpa memahami kenapa itu harus tabu. Atau pertanyaan-pertanyaan baik itu berkenaan dengan tuhan atau ritual keagaamaan (baca: ibadah ) yang selama ini senantiasa menggelayut difikiran, perlahan mulai menemukan jawaban yang pada saat ini cukup mengurangi beban fikiranku.

Ibadah yang sering kulakukan pun bukan lagi atas dasar kewajiban semata atau tunduk pada perintah orang tua atau doktrin-doktrin yang disampaikan para ulama. Tapi justru atas dasar kesadaranku sebagai hamba dan bentuk terima kasihku pada pencipta (Tuhan). Pertanyaan akan ada atau tidak adanya tuhan pun perlahan sudah mulai terjawab.

Dalam perjalananku mencari akan kebenaran agama aku menemukan bahwa benar atau tidaknya suatu agama bukan ditentukan oleh manusia, bukan pula ditentukan atas dasar mayoritas atau bahkan lembaga yang berwenang baik itu pemerintah atau bukan. Tapi justru tuhan sendiri lah yang berhak membenarkan mana agama yang paling ia sukai (diridlai).

Pernyataan ini barangkali akan mengandung kontroversi karena paling tidak dalam kitab-kitab suci berbagai agama ada teks yang menyatakan agama siapa yang paling diridlai seperti

1. Islam (Al-Qur’an) :

* Surat al-maidah : 3 yang menyatakan “dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

* Surat Ali Imran : 19 yang menyatakan Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
* Al-Baqarah : 132 yang menyatakan "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
* Ali-Imran : 85 yang menyatakan “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

1. Kristen (Injil) disebutkan “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku”. (Yohanes 14 : 6).

1. Hindu (Varita suci) menyebutkan : “di setiap brahma ada nirwana, di setiap nirwana ada brahma”

Dari kutipan-kutipan itulah akhirnya aku menyimpulkan bahwa tidak seorangpun atau siapapun di dunia ini yang berhak mengklaim bahwa agamanyalah atau ajarannyalah yang paling benar dan akan masuk surga ketika ia mendapatkan kematian selain yang menciptakan manusianya itu sendiri.

Oleh karena itu, pada akhirnya kita dimestikan menciptakan kesadaran pada diri kita untuk sesegera mungkin menghilangkan kesombongan dan rasa paling benar, yang ada pada diri kita. Karena bagaimanapun saat ini agama akan semakin berperan penting di masyarakat dengan revolusi teknologi transformasi dan informatika, maka agama – bagaikan dalam dunia bisnis, kini memasuki pusaran informasi internasional.

Ketika islam dipandang sebagai agama masa depan maka akan sangat tidak adil ketika itu hanya sebuah sikap apologetis pendukungan terhadap agama mayoritas atau agama yang dianutnya. Namun harus pula dibuktikan dengan kesanggupan dan kearifan. Kesanggupan dalam arti mampu untuk mendaratkan kesempurnaan ajaran oada sendi-sendi kehidupan bukan hanya dalam ucapan dan konsep belaka. Sedangkan kearifan adalah sejauhmana kita mampu untuk membumikan aspek paling dinamis dan humanis demi kebaikan manusia.

Karena seharusnya agama masa depan tidak akan suram atau dikutiki sebagian orang, tidak akan mengabadikan perkembangan tuhan orang yahudi, konsep yang membawa aturan pada institusi Kristen, tidak akan terfikirkan tuhan yang membesarkan dan memuliakan manusia di taman yang dingin atau sebagai juru selamat yang memutuskan diantara orang yang bersengketa atau sebagai orang yang berkuasa.

Pada akhirnya saya harus membenarkan apa yang diungkapkan oleh Andrew M greely terhadap agama. Ia menyatakan “anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory). Itu pula yang terjadi pada diri saya. Dibesarkan di pesantren tetapi tidak menemukan kebenaran agama. Tapi begitu saya mencoba mencarinya diluaran, ternyata di sana banyak berserak ma’na-ma’na agung yang tersembunyi.

* Pemerhati dan aktivis kebebasan beragama
Read more!

Jalan

Sunday, January 27, 2008

JarIK Bandung; Selamat Jalan Bapak Pembangunan
Diposting Oleh Admin

Kami atas nama Keluarga Besar JarIK (Jaringan Islam Kampus) Bandung menyampaikan belasungkawa atas berpulangnya ke Ramatullah Bapak Pembangunan, H. M Soeharto, minggu (28/01) , tepat pukul 13.10 WIB, siang ini telah meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan.

Semoga amal baktinya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Keluarga Cendana yang ditinggalkan hendaknya dapat tabah menerima segala cobaanNYA. Amin Ya Robbal Alamin. Selamat Jalan Bapak Pembangunan Read more!

Soeharto

Saturday, January 26, 2008

Menelusuri Jejak Spiritual Pak Harto
Syaiful Bari

Judul: Dunia Spiritual Soeharto
Penulis: Arwan Tuti Artha
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 197 Halaman

Diakui atau tidak, Soeharto adalah aktor sejarah yang bernasib mujur. Anak petani yang dilahirkan di Desa Kemusuk, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta ini pernah menjadi presiden Indonesia dalam waktu yang sangat lama, 32 tahun. Meski Soeharto harus lengser dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998, nasib mujur masih tetap memihak kepadanya.

Buktinya, sampai saat ini, Soeharto masih bisa bernapas lega. Ia sama sekali tidak tersentuh hukum. Kebal hukum. Bahkan, diam-diam Soeharto masih dimuliakan oleh sebagian kalangan. Padahal, semua orang tahu bahwa Soeharto mempunyai banyak kejahatan yang dilakukan selama dirinya berkuasa. Mulai kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM) hingga kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pernah dilakukan oleh Soeharto. Katakanlah, Soeharto adalah (eks)-pemimpin yang represif, korup, dan otoriter.

Pertanyaan mendasar yang patut diajukan di sini adalah, kenapa Soeharto menjadi orang "mulia" dan berkuasa yang bernasib mujur? Buku Dunia Spiritual Soeharto ini memberi jawabnya. Menurut penulis buku ini, Arwan Tuti Artha, nasib mujur Soeharto tersebut karena, ternyata, Soeharto memiliki guru-guru spiritual yang andal di berbagai daerah. Tidak hanya itu, Soeharto bahkan rela nglakoni sendiri, seperti puasa, tidak makan, tidak minum, mengunjungi tempat-tempat keramat, dan bersemedi.

Jawaban Arwan Tuti Artha itu cukup bisa diterima. Sebab, paham kekuasaan yang dianut masyarakat Jawa, seperti yang lebih dulu diuraikan secara memikat oleh Anderson (1991), justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan diraih melalui berbagai laku spiritual untuk mendapatkan pulung atau wahyu kesekten, sehingga kuasa dan kemuliaan dalam masyarakat Jawa membentuk relasi-kausalitas, yang satu menyebabkan yang lain. Laku spiritual itulah yang membuat Soeharto menjadi orang mulia dan berkuasa yang bernasib baik.

Dari sini cukup bisa dipahami bahwa buku ini hendak membeberkan jejak-jejak spiritual Soeharto. Dari judulnya kita sudah mampu menebak bahwa buku ini hadir khusus untuk menelusuri laku ritual, tempat-tempat, dan guru-guru spiritual yang menjadi kekuatan pendukung Soeharto selama berkuasa di negeri ini. Boleh dikata, buku yang dilengkapi dengan foto-foto eksklusif tempat-tempat Soeharto menjalani laku spiritual ini mengungkap praktik klenik Soeharto yang selama ini menjadi pergunjingan umum.

Dalam uraiannya, Arwan Tuti Artha menjelaskan bahwa Soeharto merupakan pribadi yang akrab dengan tradisi kejawen, di mana dunia spiritual menjadi hal biasa. Penjelasan Arwan itu dibenarkan MC Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Bagi Ricklefs, Soeharto sangat memercayai klenik kebatinan Jawa pedalaman yang kental. Dalam dunia inilah, Soeharto menemukan kedamaian batin yang bisa menjelaskan gaya kepemimpinannya yang berkepala dingin selama bertahun-tahun (hlm. 15).

Di tengah gempuran modernitas, ternyata Soeharto punya banyak dukun atau guru spiritual yang dipercaya bisa melanggengkan kekuasaannya sebagai Mr Number One di Indonesia. Menurut Arwan Tuti Artha, selama Soeharto menjadi presiden RI, ia tak hanya memiliki guru spiritual, namun juga gemar mengunjungi langsung tempat-tempat keramat seperti Gunung Selok, Gunung Srandil di Cilacap, dan tempat-tempat lain yang "angker" dan keramat. Tersebarlah kepercayaan bahwa Soeharto punya dukun ampuh di mana-mana, sehingga banyak orang yang tidak berani main-main dengannya (hlm. 52).

Dengan kekuasaan dan kehebatannya itu, Soeharto sering diibaratkan oleh masyarakat Jawa sebagai aji welut putih yang selalu berhasil, bahkan dhemit ora ndulit setan ora doyan. Demit pun tidak mampu menyentuh, apalagi setan juga tidak mampu menakut-nakuti Soeharto. Muncullah kemudian apa yang disebut dengan kultus individu pada Soeharto; bahwa kekuatan, kehebatan, dan kemuliaannya itu selalu melekat pada eksistensi dirinya. Soeharto seakan menjadi orang yang tidak ada duanya.

Kepercayaan berlebih Soeharto terhadap "dunia yang tidak terlihat mata" atau klenik tersebut bisa dimengerti, karena konteks sosial dan latar pendidikan Soeharto. Soeharto adalah orang Jawa yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Sebagian besar hidupnya tidak dilalui melalui pendidikan formal dan hanya menerima pendidikan dasar, maka tidak aneh jika Soeharto banyak mempraktikkan cara-cara kepercayaan tradisional.

Yang aneh, ternyata kepercayaan terhadap dunia gaib tersebut tidak hanya monopoli Soeharto. Kepercayaan terhadap praktik perdukunan (klenik) juga pernah berkembang dan populer di Amerika, ketika Nancy Reagan mempunyai sepasukan dukun sebagai konsultan spiritualnya sehubungan dengan pribadi dan tugas suaminya sebagai presiden. Bahkan (eks)-presiden Roland Reagan sendiri juga sering mendengar nasihat spiritual yang diberikan kepadanya.

Akhirnya, cukup beralasan jika dikatakan Arwan Tuti Artha telah memberikan sumbangan berharga dalam melengkapi kajian tentang Soeharto yang sejauh ini hanya melulu dipenuhi analisis politik. Buku ini memotret sosok Soeharto dari sudut spiritual yang selama ini terabaikan. [Jawa Pos, 4/2/07].
Read more!

Minoritas

Multikulturalisme dan Hak Minoritas
Diposting Oleh Admin

Multikulturalisme adalah suatu istilah yang berkembang di Eropa lalu menyebar ke tempat lainnya. Kaitannya dengan studi postmodernisme adalah bentuk kritik terhadap pendekatan modernisme atau modernitas. Orang modern sellau berpikir tentang baik dan burukm hitam putih. Bentuknya adalah oposisi biner. Kalangan postmodernisme melakukan kritik terhadap pendekatan modern ini.

Pendekatan postmodernisme menolak kebenaran tunggal (relatif). Orang yang biasa kita bicarakan ternyata bisa berbicara sendiri. Disinilah pendekatan posmodernisme melahirkan gagasan yang moderat yaitu menhargai pendapat, perbedaan dan sejenisnya. Oleh karena itulah gagasan ini disebut multikulturalisme. Paham ini bukan sebagai suatu falsafah atau kebijakan politik tetapi lebih bermakna sebagai perspektif dan pendekatan.

Pendekatan ini harus diterjemahkan dalam kebijakan negara. Multikulturalisme lebih kepada kebijakan yang menghargai hak warga negara yang plural. Plural disini tidak hanya pada wilayah agama tetapi berbagai macam identitas, etnis, sukum, ras dan lain-lain. Tetapi memang wacana multikulturalisme menjadi issu penting dan sedikit elitis. Paham ini lebih dikosumsi bagi kalangan akademisi dan menjadi bahan diskusi saja. Mereka melihat subyek-subyek minoritas saja.

Multikulturalisme berkaitan dengan minoritas bukan hanya pada individu saja tetapi juga bersifat kolektif. Menurut Parekh, multikulturalisme mengandung tiga pandangan yaitu manusia terikat secara kultural dalam arti bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam sebuah dunia yang telah terstruktur secara kultural, budaya yang berbeda merepresentasikan sistem makna dan visi tentang kehidupan yang baik dan juga berlainan juga setiap budaya secara internal bersifat plural dan merefleksikan sebuah perbincangan yang kontinyu diantara tradisi-tradisi.

Terminologi multikulturalisme dan hak minoritas merupakan sepasang konsep yang sangat mudah disandingkan, tapi pasangan keduanya sama seklai tidak mudah ditetapkan aplikasinya. Multikulturalisme, baik sebagai sebuah wacana akademis maupun sebagai sebuah kebijakan politik, didalamnya memang hampir niscaya melingkupi persoalan-persoalan tentang hak minoritas. Akan tetapi pada saat yang sama, konsep minoritas sendiri tidak pernah bisa benar-benar ditetapkan standar pengertiannya. Dalam klaimat lain, konsep tentang minoritas didalam dirinya sendiri cenderung problematik.

Membicarakan bukan hanya individu tetapi kolektif. Gagasan multikulturalisme menjadi model alternatif kebijakan negara terhadap kebudayaan khusunya di negara-negara yang menghargai perbedaan. Yang sudah nampak menjadi kebijakan adalah Ameraika dan Australia. Multikultural tidak hanya dalam masalah agama saja. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa multikulturalisme bukanlah doktrin politik tetapi lebih sebagai perspektif dan cara pandang terhadap masyarakat.

Multikulturalisme bisa lebih mudah dipahami dalam konteks kebijakan politik negara. Sangat nampak sekali bahwa negara ini menghargai atau tidak bisa dilihat dari perspektif ini. Kebijakan seuatu negara menunjukkan apakah negara tersebut menghargai warganya atau tidak. Titik tekan multikulturalisme adalah kebijakan negara terhadap hak-hak warganya terutama yang berada di pelosok.

Issu multikulturalisme ini sangat rentang sekali akan munculnya identitas lokal. Akan tetapi hal ini juga merupakan cara pandang terhadap hak warga negara. Negara harus memberikan jaminan hukum. Pemerintah harus mengambil upaya positif baik secara individu atau kelompok sehingga kaum minoritas bisa memperoleh hak-haknya. Hak tersebut adalah hak hidup, hak ekonomi, hak pendidikan, hak kesehatan, hak atas air sebagai kebutuhanh viral dan sejenisnya. Negara sepenuhnya harus mengambil upaya positif terhadap kelompok minoritas tersebut.

Ketika pemerintah membuat kebijakan maka harus ikut melibatkan masyarakat minoritas. Hal ini untuk menegaskan keterlibatan serta efek jaminan hidup mereka. Ketika peraturan dibentuk maka minoritas harus dilibatkan.

Salam,

Mahbub Ma’afi
Read more!

Lokal

Melirik Islam Lokal di Indonesia
Oleh Akhmad Kusairi

Judul : Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi dalam Agama
Pengarang : Ahmad Salehudin
Penerbit : Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiv + 132 halaman.

Dalam sekup dunia global pertemuan Islam vis to vis tradisi-tradisi yang menyertainya menjadikan Islam di Indonesia mempunyai banyak wajah. Perbedaan cara pandang dalam merespon kehadiran Islam di Indonesia dapat dipahami dari ekrpresi keislaman dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk pemikiran, ritual, atau organisasi keislamannya. Banyaknya organisasi keislaman seperti NU, Muhamadiyah, Persis, FPI, HTI dan lain-lain yang ada di Indonesia adalah bukti pluralitas ekspresi keislaman tadi.

Dengan kata lain Indonesia mempunyai banyak varian. Varian-varian itu dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal (local culture) yang sangat heterogen. Menurut banyak kalangan, termasuk di sini para orientalis, Islam di Jawa merupakan hasil perkawinan dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan (Lombard, 1996) yang mengakibatkan timbulnya wajah-wajah Islam yang berbeda (Geertz, 1960).

Menurut Clifford Geertz, pertemuan Islam dengan budaya Jawa akan menghasilkan tiga varian Islam, yaitu Abangan, Santri, dan priyayi. Kelompok abangan tumbuh berkembang di daerah pedesaan, menjalankan agama dengan menggunakan referensi budaya lokal (local cultur) yang bersifat animis dan bertemu dengan Islam hanya pada permukaannya saja (Geertz, 1964:5). Statmen Geertz ini ditolak oleh Kontjaraningrat dengan menyatakan bahwa kelompok Priyayi bukanlah kelompok keagamaan tetapi kelompok yang ditimbulkan oleh stratifikasi sosial masyarakat feodal.

Sedangkan kelompok santri berkembang di pasar, merupakan kelompok Islam yang tidak tercampur dengan tradisi lokal (local tradition), melaksakan ritual keagamaan secara ketat, serta mempunyai pengertian yang cukup terhadap agama. Kelompok Priyayi menunjuk kepada orang Jawa yang bukan muslim (kecuali pengakuan saja) dan tidak menerima konsep-konsep animisme, tetapi menerima beberapa doktrin tradisi Jawa yang lebih abstrak. Kelompok Priyayi sering juga disebut sebagai penganut mistisisme (Hasaan, 1985: 113). Sedangkan menurut Simuh, pilihan kaum Priyayi untuk memeluk Islam karena adanya orientasi pada nilai kekuasaan yang sangat besar (Simuh:, 2003: 59).

Statement serupa di atas juga dapat ditemukan dalam berbagai penelitian lainnya, baik itu penelitian yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia atau dari luar, yang meneliti tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Hasilnya akan memunculkan beragam wajah Islam baru, yang masing-masing terjadi perbedaan cara memahami, menghayati dan mengonstruksi agama yang bekerja dalam masyarakat tersebut (baca: lokal). Namun begitu, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat tiga tipologi hubungan antara agama denga budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif dan sinkretis-akulturatif.

Ketiga kecenderungan paradigmatik yang sekaligus dijadikan kata kunci ini pula lah yang menjadi kajian utama dalam buku yang berjudul Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama karangan Ahmad Salehudin ini. Yaitu dengan memfokuskan pada ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keber-agamaannya. Dengan kata lain, buku ini ingin melihat ekspresi keberagamaan yang berada dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Ahmad Salehudin selaku penulis buku, berusaha mengamati sekaligus mendengarkan suara masyarakat pegunungan dalam mengkonstruksi tradisi Islam lokal, sehingga kemudian melahirkan ekspresi keber-Islaman yang unik dalam kelompok-kelompok Islam berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal.

Dalam buku ini Salehudin, mengamati dan mengulas kembali konsepsi Islam sinkretis yang selalu diidentikkan kepada Islam pedalaman. Apabila selama ini ada pernyataan bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretis yang mencampur-adukkan ajaran Islam, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal, maka penulis buku ini akan menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat lokal dan bukan dengan meminjam pandangan orang luar (orientalis).

Buku ini merupakan hasil penelitian di Gunung Sari, dengan masyarakat yang dulu salat di satu langgar saja, tapi kelak berubah menjadi tiga tiga masjid, setelah gerakan-gerakan puritan agama masuk ke desa itu. Muhammadiyah, Islam Tauhid, dan NU punya peran penting di sini. Cuma perbedaannya, Islam Tauhid merupakan gerakan yang cukup fundamanalis. Gerakan ini mengisolasi diri dari pergaulan masyakat Gunung Sari dan juga dikucilkan oleh masyarakat itu.
Dialektika agama dan tradisi lokal selalu menarik untuk dikaji dan dikritisi. Keduanya adalah entitas yang benar dan berada dalam wilayah yang sama sehingga selalu tumpah tindih dan saling mempengaruhi. Dalam buku ini. Agama diposisikan sebagai bagian dari sistem budaya, yaitu agama yang bekerja di dalam masyarakat. Buku ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir masyarakat terhadap pluralitas ekspresi keberagamaan, sehingga tumbuh kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada, tentunya di sini kearifan lokal.

Pada bagian akhir buku ini, Penulis memberikan penilaiannya bahwa Islam dan tradisi lokal adalah entitas yang berbeda tetapi mereka tidak dapat dipisahkan. Pandangan semacam ini pernah diekspresikan dalam bahasa Jawa Kuno melalui sebuah ungkapan yang sangat terkenal dan masih sangat relevan, yaitu bhinneka tunggal ika.

Sebagai sebuah penelitian, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi penelitian ke depan, khusunya tentang Islam dan Budaya lokal. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kelemahan, banyak ejaan yang salah serta pengulangan-pengulangan kata yang sering membuat buku ini sedikit membosankan.
Read more!

Hilang

Hilangnya Esensi Cinta
Oleh Amin Fauzi

“Di zaman yang serba susah ini, masihkah ada kesetiaan…?,”
(Garin Nogroho dalam Film Opera Zaman)

Setidaknya ungkapan di atas tidak tercipta dari ruang hampa, melainkan ada bukti atau piranti-piranti yang meginspirasikan terciptanya ungkapan tersebut sehingga tercipta sebuah karya.

Ya. Kesetiaan, cinta, kasih sayang adalah tema yang tak kunjung usai pembahasanya, sudah banyak kisah menuturkan apa itu cinta, beribu-ribu rol film juga mengisahkan apa itu cinta, beribu bait puisi terlantun tentang cinta, ribuan lirik dan musik cinta senantiasa berdendang.

Karena cinta itu tidak suatu yang stagnan, keberadaanya pun terus mengalir, warna-warni rupanya pun senantiasa berubah sesuai dengan kondisi dan situasi perasaan. Tidak hanya perasaan, melainkan juga kondisi mentalitas masyarakat yang dirundung cinta itu sendiri.

Cinta yang sebenarnya suci, abstrak, sakral bahkan satu-satunya nilai yang sangat agung, diakui atau tidak disadari atau tidak pemaknaanya sudah bergeser terlampau jauh oleh masyarakat sekarang. Tidak hanya dalam segi makna namun merambah pada praktek-prakteknya.

Di zaman yang dikatakan serba modern ini, dengan berbagai kecangihan teknologinya ternyata telah mengubah berbagai dimensi nilai hidup masyarakat, termasuk cinta.

Ada satu alat untuk mengetahui pergeseran makna tersebut yaitu dengan lirik-lirik lagu yang tercipta pada tiap dekadenya. Kalau anda mau menganalisis lirik-lirik lagu cinta antara tahun 90-an dengan era sekarang, mungkin akan menemukan perbedaan yang sangat signifikan. Baik itu aransemen musiknya, kedalaman isi liriknya maupun pemaknaan nilai yang berhubungan dengan cinta dan kesetiaan.

Pada era 1990-an, lirik-lirik lagu yang tercipta bisa jadi masih terasa menghargai kesucian makna dari cinta tersebut, sehingga cara mengapresiasikanya pun selalu melalui metafora-metafora dan tidak berani mengungkapnya secara langsung.

Ada banyak judul lagu dengan metafora yang menunjukkan arti sebuah cinta. Misalnya Mawar Berduri, Kupu-Kupu Kertas (Ebiet A Gede), Bintang Jatuh (DNA), Bunga Desa (Rhoma Irama), Restu Bumi (Dewa 19) dan masih banyak lagu lain yang mengutarakan makna cinta dengan metafora-metaforanya.

Ya. Karena begitu abstrak skaral dan sucinya cinta penyampainaya tidak berani langsung, orang-orang dahulu masih begitu menghargai dan menghormati apa itu cinta.
Sehingga kalau orang-orang dulu pernah cerita bagaimana proses mencintai seseorang, perjuangan mencari cinta sejati itu merupakan hal yang sulit di dapat, sehingga ketika memperolehnya merupakan anugerah yang luar biasa.

Banyangkan saja, bagaimana rasanya orang memendam rindu ketika lama tidak ketemu (transportasi sulit, HP belum ada), kalau tuhan menginzinkan untuk bertemu, jangankan menciumnya, memeluknya. Untuk sekeadar menggandeng tangan saja sudah malunya luar biasa, yang bisa dilakukan mungkin hanya saling menatap mesra sesekali serasa malu-malu, hanya interaksi degub jantung yang membuatnya menyatu untuk saling ada dan mengada diantaranya.

Bagaimana dengan sekarang…..?
Coba bandingkan dengan lirik-lirik lagu yang tercipta sekarang, pemaknaan terhadap cinta cenderung materiel tidak lagi abstrak tapi konkret dan dipermudah. Banyak lagu cinta yang penyampainya tidak lagi dengan metafora dan cenderung menghinati apa itu cinta. misalnya, Selingkuh, Tentang Aku Kau Dan Dia (Kangen band), Kamu Ketahuan, Play Boy (Matta band), Kekasih Gelapku (Ungu), Dirimu Dirinya (Pinkan Mambo), dan masih banyak lagu lagi yang cenderung menghianati apa itu cinta dan mesti melibatkan orang ketiga.

Bisa jadi itu bukan hanya lagu tapi sebuah pengalaman hidup dan potret dari masyarakat sekarang. Masyarakat yang tidak lagi menghargani anugrah cinta terindah dari tuhan yang di berikan kepada makhluk manusia.

Ya. Dengan teknologi di zaman modern ini, hasrat untuk memiliki sesuatu mudah di lakukan termasuk pengatasnamaan cinta yang pada buntutnya adalah penghianatan.
Dengan HP orang mudah berkomunikasi, menit ini berhubungan dengan si A, satu menit kemudian kencan dengan Si B. bukanlah hal yang sulit kalau ada fasilitas yang menunjang tanpa ada bangunan mentalitas kesetiaan.

Segalanaya sekarang terbuka, pria dan wanita bergandeng tangan sudah biasa, berpelukan, berciuman di muka umum bukan suatu hal yang asing. Tidak hanya usia dewasa melainkan remaja bahkan anak-anak di bawah usiapun sudah berani melakukan tindakah yang tak senonoh ini.

“Salah siapa….? Apakah ini dampak dari moderenisme….?,” Tanya sang pemuka agama.
“Zeihgeisth sudah berbeda pak ustadz,” jawab anak muda sekarang. Amin Fauzi
Read more!

Jahil

Friday, January 25, 2008

Jahiliyah Modern
Oleh M. Dawam Rahardjo

Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern.

Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, Mohammad Ali.

Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern.

Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern.
Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak.

Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan Barat.

Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala pengaruh luar, terutama Barat.
Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah modern, yakni situasi kegelapan atau kejumudan.

Jadi siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa terang-terangan, bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan segi-segi negatif atau mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak diimbangi oleh nilai-nilai keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan dan filsafat ilmu Islam model Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme dan modernisasi dengan melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya.

Kedua, mereka yang secara sadar atau tak sadar telah menutup pintu ijtihad dan menganggap doktrin yang sudah dirumuskan baik oleh Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah maupun Syiah sudah final dan merupakan end of history dalam perkembangan pemikiran Islam. Tapi, ketika Universitas Islam Negeri dewasa ini mengembangkan studi dan pengajaran kritis serta menyerap teori-teori sosial dalam mengembangkan pemikiran atau ijtihad, lembaga itu dituduh telah melakukan pemurtadan dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang keliru.

Para mahasiswa mempelajari ilmu fikih, tapi mereka menentang legislasi syariah sebagai hukum positif. Masalahnya di sini, fikih ortodoksi dewasa ini sudah dianggap memadai dan membuahkan masalah-masalah kontemporer, misalnya nikah beda agama atau waria yang terampas hak-haknya. Juga karena penerapan hukum-hukum syariah itu telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Tapi hal-hal seperti itu diketahui dan disadari oleh para sarjana agama sendiri. Karena itu, lembaga pendidikan tinggi ilmu-ilmu keislaman tradisional justru merupakan sarang pembaruan.

Dan akhirnya kaum jahiliyah modern adalah mereka yang mencanangkan fundamentalisme Islam dan puritanisme semacam Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir. Mereka itu tidak melihat ke depan, melainkan ke masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Padahal model itu pun tidak bisa bertahan lama, karena Islam akhirnya menyerap peradaban-peradaban Yunani, Persia, Mesir, dan India, sehingga umat Islam mengalami pencerahan dan meraih puncak peradaban dunia saat itu. Karena itu, tidak ada yang murni dalam Islam, karena Al-Quran pun berisi istilah-istilah jahiliyah dan asing.

Sumber: Koran Tempo [23 November 2007] Read more!

Nakar

Menara-Kembar Toleransi: Dari Sekularisasi ke Dimensi Publik Agama
Oleh Ihsan Ali-Fauzi,

Di bawah payung menara-kembar toleransi, pola-pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu. Dengan itu bisa dilampaui rumusan sederhana mengenai sekularisasi sebagai pemisahan "gereja" dan negara.

Belakangan ini teori sekularisasi kembali ramai diperdebatkan. Sebagian pemain lama, seperti Peter Berger yang menyunting Desecularization of the World (1996), mengaku bahwa teori lama mereka salah. Yang lain seperti Steve Bruce kukuh dengan pendapat lama. Yang lain lagi semacam José Casanova mengusulkan cara-cara baru dalam melihat sekularisasi. Tahun 2006 Hedgehog Review mengeluarkan edisi bagus dengan tema After Secularization. Sayang, isinya tak menunjukkan bahwa kita sudah berada di wilayah sesudah-sekularisasi.

Debat itu menghangat terkait dengan peningkatan pengaruh politik gerakan keagamaan: Kristen Kanan di AS, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak tempat, termasuk di Eropa. Gejala ini tak saja mengganggu asumsi pokok teori sekularisasi, tapi juga rumusan lama tentang pemisahan gereja dan negara. Inilah momen ketika, meminjam Nancy Rosenblum (2000), kewajiban kewarganegaraan makin bergesekan dengan tuntutan iman; ketika orang berusaha menyeimbangkan komitmen keagamaan mereka dengan penalaran sekular dalam rumusan Robert Audy (2003).

Kedua perkembangan tersebut bersinergi dalam praktik politik. Teori sekularisasi bisa salah bisa tidak, masih adekuat atau tidak. Itu soal riset. Yang pasti, salah satu elemennya, yakni privatisasi agama, kini makin kuat bermetamorfosis ke dalam tema diskusi yang juga menghangat: agama dalam ruang publik. Bukankah para aktivis PKS, seperti kolega mereka pendukung Partai Demokrasi Kristen di Eropa, adalah warga negara yang aspirasinya wajib didengar?

Dua kubu besar

Sulit bicara memuaskan tentang debat sekularisasi dalam ruang terbatas ini, tapi secara garis besar ada dua kubu besar di sana.

Kubu pertama ialah teori sekularisasi klasik. Kita singkat saja dengan TSK.

Rumusan awal TSK diberikan Saint-Simon dan Comte yang memandang bahwa modernitas dan agama tak mungkin bersatu. Rumusan kemudian oleh bapak ilmu sosial modern (Marx, Durkheim, dan Weber) yang dengan alasan berbeda sama-sama sepakat bahwa era agama akan lewat. Di abad ke-20 teori sekularisasi bercampur dengan teori modernisasi: makin modern masyarakat, makin kompleks penataan hidup mereka, makin rasional dan individual mereka, dan makin kurang religius mereka.

TSK mengajukan sejumlah bukti. Yang cukup jelas, kita terus menyaksikan ekspansi lembaga-lembaga sekular dalam berbagai bidang yang memainkan peran yang dulu dimainkan agama. Para dukun makin kehilangan pasien sebab yang disebut terakhir beralih ke dokter, misalnya. Lalu dari jendela awal abad ke-21 ini kita mencatat kepercayaan Kristen Ortodoks terus merosot yang sebenarnya dimulai sejak awal abad ke-19.

Dua keberatan diajukan kepada TSK. Pertama menyangkut data: rentang waktu yang dijadikan bukti kurang panjang dan umumnya diambil dari sejarah Barat abad ke-20. Lagi pula, apakah betul Kristen Ortodoks merosot. Tidak mungkinkah ia sedang mengalami transisi, jadi tak sepenuhnya mati? Kedua menyangkut tafsir atas data. Jika benar klaim TSK bahwa sekularisasi diakibatkan modernisasi, kita berharap menemukan korelasi kuat dan langsung antara dimensi-dimensi modernisasi (urbanisasi, rasionalisasi, dan seterusnya) dan indikator-indikator sekularisasi (menurunnya partisipasi keagamaan) di sepanjang waktu dan tempat. Dari bukti-bukti secara umum, sepertinya kita menemukan korelasi itu. Namun, kalau variasi internalnya dilihat lebih jauh, yang ada adalah gambaran lebih kompleks. Bandingkan misalnya negara-negara Skandinavia yang amat sekular dengan Belanda yang kurang sekular. Bagaimana hal ini dijelaskan, padahal Belanda lebih dulu mengalami modernisasi?

Kubu kedua ialah model ekonomi agama. Kita singkat saja sebagai MEA.

MEA yang diinspirasikan ekonomi neoklasik berargumen bahwa vitalitas agama berhubungan secara positif dengan kompetisi agama dan secara negatif dengan regulasi agama. Ringkasnya: bila pasar agama didominasi sedikit "perusahaan" (gereja) besar atau banyak diregulasi negara, yang terjadi adalah tumbuhnya "perusahaan" agama yang geraknya lamban, "produk" agama yang buruk, dan tingkat "konsumsi" agama yang rendah. Dengan kata lain: stagnasi agama. Kata pendukung MEA, kalau ada variasi dalam vitalitas agama, itu tak disebabkan oleh sekularisasi, melainkan oleh perubahan-perubahan dalam "ekonomi agama". Kata Stark dan Iannaccone, dua dedengkot MEA, "Teori sekularisasi harus kita drop dari diskusi, kita makamkan, dan kita tulis RIP di atas makamnya."

Sejak dasawarsa 1980-an para pendukung MEA mempelajari hubungan antara pluralisme dan vitalitas keagamaan di AS. Umumnya mereka menemukan hubungan positif di antara keduanya. Vitalitas ini tak bisa dijelaskan kecuali dengan melihat keragaman organisasi-organisasi agama, kompetisi di antara organisasi-organisasi itu, kebebasan beragama, dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Denominasi-denominasi mainstream yang usianya lebih tua di AS, seperti Katolik dan Episcopal, terus ditantang oleh gereja-gereja evangelis yang menuntut lebih banyak energi dan waktu dari para penganutnya, tetapi juga menawarkan produk lebih menarik.

Namun, kata lawan mereka, data MEA melulu diangkat dari kasus AS. Dari ranah Eropa, MEA tak bisa menjelaskan mengapa kongregasi di beberapa negara di Eropa Selatan seperti Spanyol terus bertahan: monopoli Gereja Katolik tak diikuti oleh menurunnya "permintaan" akan agama. MEA dianggap terlalu menekankan aspek-aspek institusional ("pasar agama" dan "regulasi agama") yang menawarkan agama, tetapi menyepelekan hasrat individual manusia akan agama. Bantahan MEA atas teori sekularisasi dianggap berlebihan: teori itu adalah teori mengenai perubahan sosial- struktural dan pengaruhnya terhadap agama, bukan teori mengenai perilaku individual yang menjadi fokus perhatian MEA.

Terobosan baru

Hingga titik ini debat sekularisasi seperti berjalan di tempat. Ada cara pandang Eropa dan AS dalam melihat persoalan ini, dan mereka tidak bicara mengenai hal yang sama. TSK mencirikan umumnya sosiologi agama Eropa (kata Casanova: menjadi semacam European fait accompli!). MEA banyak berkembang di AS.

Selain itu, kadang para ilmuwan sosial mencampuradukkan deskripsi tentang sekularisasi dengan hasrat mereka untuk menjadikannya sesuatu yang normatif. Di sini kita menjumpai tautologi: naiknya fundamentalisme agama dipandang hanya sebagai menunjukkan merebaknya perlawanan terhadap modernitas dan gagalnya modernisasi. Di sini teori sekularisasi "diselamatkan" dengan menjadikannya sesuatu yang normatif: agar sebuah masyarakat menjadi modern, maka ia harus sekular; dan agar ia sekular, masyarakat itu harus menempatkan agama di ruang-ruang yang nonpolitis karena aransemen ini esensial bagi masyarakat modern.

Namun, kemandekan diskusi di atas mungkin juga karena sekarang kita makin pintar. Kata José Casanova: "Bukan makhluk yang kita teliti yang berubah atau berbeda, tetapi cara kita melihat makhluk itu yang kini makin canggih."

Dari sini muncul sejumlah terobosan. Dalam Sacred and Secular (2004), Pippa Norris dan Ronald Inglehart mengeluarkan hasil survei mereka atas 80 masyarakat di dunia, mengenai hubungan antara apa yang mereka sebut existential security dengan sekularisasi. Di sini wilayah riset diperlebar, tapi faktor penjelas sekularisasi dipersempit. Data-data mereka menunjukkan: kelompok masyarakat dunia yang hidup sehari-hari anggotanya dipengaruhi oleh ancaman kemiskinan, penyakit, dan kematian dini tetap religius sebagaimana mereka religius seabad yang lalu. Namun, mereka juga mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Sebaliknya, di masyarakat-masyarakat yang kaya, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sekularisasi sudah berlangsung setidaknya sejak pertengahan abad ke-20 (mungkin lebih awal), tapi pada saat yang sama, tingkat pertumbuhan penduduk di sana stagnan.

Jika dikombinasikan, catat Norris dan Inglehart, kecenderungan-kecenderungan di atas menunjukkan dua hal penting. Pertama, masyarakat-masyarakat yang kaya menjadi makin sekular, tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang.

Pada titik ini mereka sepakat dengan tesis Huntington tentang benturan peradaban. Bedanya, Norris dan Inglehart melihat bahwa benturan itu tak mesti berujung pada konflik kekerasan antara kubu yang sakral dan yang sekular. Itu tergantung pada sejauh mana kaum fanatik dan demagog di kubu masing-masing berhasil atau tidak dalam memanfaatkan jurang yang ada, untuk mengaktualkannya menjadi konflik kekerasan.

Terobosan lain ditawarkan Casanova. Untuk kepentingan analitis, menurut Casanova, penting bagi kita memilah tiga unsur dalam teori sekularisasi yang selalu dipandang sebagai bagian esensial dari modernisasi: (1) diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial, yang berakibat pada pemisahan agama dari politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan seterusnya; (2) privatisasi agama; dan (3) merosotnya peran sosial dari keyakinan, komitmen, dan lembaga-lembaga keagamaan.

Dari ketiga unsur di atas, kata Casanova, yang sepenuhnya mungkin untuk dikenai sekularisasi terhadapnya hanyalah unsur (1) dan (3), sedangkan unsur (2) tidak. Deprivatisasi (lawan privatisasi) tidak serta-merta merupakan penolakan atas teori sekularisasi karena hal itu dapat berlangsung dalam cara yang konsisten dengan prasyarat-prasyarat masyarakat modern, termasuk sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain, soalnya bukanlah apakah agama itu pada esensinya bersifat privat atau publik, dan karenanya sesuai atau tidak dengan modernisasi dan Pencerahan, tetapi bagaimana agama menjadi publik.

Dimensi publik agama: toleransi kembar

Di sini kita sebenarnya sudah memasuki wilayah debat baru, yaitu mengenai batas-batas "publik" dari agama. Dalam pandangan Casanova, jika ekspresi publik agama atau deprivatisasi agama memperkuat bangunan masyarakat sipil (seperti di Polandia dan Filipina: Gereja Katolik mendukung demokratisasi) atau turut memajukan debat publik seputar nilai-nilai liberal (seperti di AS), maka hal itu sepenuhnya sejalan dengan modernitas. Namun, jika deprivatisasi agama menggerogoti masyarakat sipil (seperti di Mesir: kelompok fundamentalis Islam mengancam para pemikir Muslim liberal) atau kebebasan individu (seperti di Iran), maka hal itu merupakan pemberontakan terhadap modernitas dan nilai-nilai universal Pencerahan.

Di atas saya tengah mencoba menunjukkan penolakan Casanova terhadap identifikasi menyeluruh privatisasi agama dengan sekularisasi, bahwa deprivatisasi agama tidak sepenuhnya bertentangan dengan sekularisasi. Namun, ia sebenarnya juga sedang bicara mengenai hal lain, yakni bahwa ekspresi publik agama hanya mungkin dilakukan jika agama menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Bagaimana Anda berharap bahwa ekspresi publik agama Anda diperbolehkan jika Anda tak membuka kesempatan bagi hal yang sama oleh agama lain?

Soalnya, prosedur Casanova di atas sebenarnya mensyaratkan penerimaan agama bukan saja atas modernitas, tetapi juga atas asumsi-asumsi wacana liberal tentang kehidupan dan politik. Artinya, agama harus siap masuk ke dalam ruang publik dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka melalui perdebatan yang rasional. Karena argumen publik bersifat trans-subyektif, seperti dikatakan John Rawls, maka apa pun yang berasal dari agama tak boleh diistimewakan hanya karena ia berasal dari wahyu. Ia hanya dapat diterima setelah terbukti dapat dibela oleh penalaran publik. Hukum agama (misalnya: agar ia bisa dibela dan dipraktikkan secara publik) harus terbukti memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut "nalar publik". Kepada musuh-musuh mereka, kalangan agamawan yang hendak mem-"publik"-kan agama mereka harus melakukan persuasi, bukan koersi.

Akhirnya kita harus menyinggung apa yang oleh Alfred Stepan (2001) disebut sebagai menara-kembar toleransi, sebagai pola pokok hubungan agama dan negara. Stepan merumuskannya secara negatif: kelompok-kelompok agama tak boleh melakukan apa pun yang bisa menghambat kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan kebijakan. Demikian juga sebaliknya.

Di mana letak otonomi keduanya?

Untuk negara: lembaga-lembaga agama tak boleh memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka memaksakan mandat tertentu kepada pemerintahan terpilih. Pemerintah harus leluasa menentukan dan menjalankan kebijakan.

Untuk agama: individu dan kelompok agama tak saja diberi kebebasan menjalankan ibadah, melainkan juga mengedepankan nilai-nilai mereka ke hadapan publik, sejauh hal-hal itu tidak mengganggu kebebasan orang atau kelompok lain, atau melanggar prinsip demokrasi dan hukum dengan jalan kekerasan.

Di bawah payung menara-kembar toleransi itu, pola- pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu dan, karena itu, tidak sakral. Dengannya kita bisa melampaui rumusan sederhana mengenai "pemisahan gereja dan negara" yang kadang mengacaukan. Ringkasnya: dimensi publik agama tidak boleh segera dicurigai hanya karena ia datang dari agama, sebagaimana ia tidak boleh segera diistimewakan dengan alasan yang sama.

Direktur Program Yayasan Paramadina, Jakarta
Sumber: Kompas (Kamis, 31 Mei 2007)
Read more!

Keyakinan

Thursday, January 24, 2008

Kepercayaanku Bukan Keyakinanku
Oleh Siti Jenang

Sebelumnya perlu diketahui bahwa saya bukanlah orang yang hidup dengan 100% keyakinan. Tulisan ini bukan pula dikerjakan dengan pemahaman secara keseluruhan. Justru karena sadar bahwa ternyata baru sebagian kecil yang bisa saya anggap masuk definisi keyakinan. Sebuah definisi yang saya buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi. Sisanya adalah kepercayaan-kepercayaan.

Namun, saya ingin berusaha menyandarkan kepercayaan kepada pihak-pihak yang saya anggap paham kebenaran. Hanya berniat membangun sebuah landasan buat melangkah mencapai tujuan.

Pada suatu ketika saya bertemu dengan seorang saudara. Dari sisi genetika dia adalah sepupu saya. Kami lalu terlibat percakapan seputar pemahaman. Singkat cerita dia berkata, “Kamu tahu apa beda kepercayaan dan keyakinan?” Sebagai anak muda yang sok gaul *halah* waktu itu, saya cuma bisa pasang telinga, manggut-manggut, sambil sesekali menampakkan raut muka serba kusut. Menunggu jawaban yang dia maksud. Berhubung tak ada tanggapan apa-apa dia lalu melanjutkan, “Kalau saya buat kopi lalu saya bilang minuman ini manis. Kamu boleh langsung percaya. Tapi, kalau mau yakin, rasakan sendiri kopinya. Itulah arti keyakinan.”

ButaSeketika itu juga saya merasa paham, padahal tadinya sangat awam. Sambil mengingat-ingat apa saja yang sudah ada di dalam diri ini. Apa saja yang sudah saya pahami. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, nyatanya sepenggal dialog itu tak kunjung berlalu. Soalnya, makin dalam direnungkan, makin jelas bahwa dalam hal keyakinan saya sesungguhnya belum paham.

Namun, saya sudah punya niat. Punya tekad dan didukung hasrat, meski rada-rada nekat. “Tidak masalah,” kata saya dalam hati. Sambil merujuk kepercayaan saya sendiri bahwa Tuhan tidak akan menyesatkan umat yang sedang mencari-Nya. Dia hanya bisa memberi sambutan. Karena itulah saya beranikan diri mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Mencari penyelesaian atas persoalan-persoalan. Sebagian orang mengatakan bahwa saya sesungguhnya sedang berjalan. Menempuh perjalanan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini mencari sebuah jawaban.

Akhirnya, muncul jawaban-jawaban sepanjang perjalanan, meski selalu mengisyaratkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Namun, paling tidak sebuah jawaban sudah bisa saya temukan. Sebentuk pemahaman yang konon ada karena telah dipahamkan. Sebuah defini keyakinan yang mungkin tak jauh berbeda dengan kepercayaan. Jadi, definisi yang saya dapat sebetulnya untuk diri sendiri saja. Dari sudut atau sisi pandang pribadi. Tidak bermaksud menggurui atau menggiring orang lain supaya mengikuti. Perlu Anda ketahui bahwa dalam perjalanan tersebut saya lebih dulu meyakinkan diri bahwa Tuhan itu ada, seperti yang dirujuk berbagai sumber.

Menurut saya keyakinan adalah perwujudan dari sebuah pemahaman. Sebuah keyakinan perlu adanya bukti atau penjelasan-penjelasan. Tujuannya supaya ada kejelasan dan bisa mengurangi atau tidak lagi menimbulkan keraguan. Contohnya, keyakinan bahwa saya adalah seorang lelaki, dilahirkan di Jawa Tengah, dari dua orang tua yang membesarkan, dll. Bila muncul pertanyaan lanjutan, ia adalah perkembangan dari sebuah keyakinan. Merujuk pada pendapat bahwa ada tingkatan-tingkatan (Arab), yaitu ainul yaqiin, ilmul yaqiin, dan haqqul yaqiin.

Hal ini sangat berbeda dengan sebuah kepercayaan. Pada dasarnya *menurut saya nih* kepercayaan adalah sebuah penyerahan pemahaman kepada pihak yang dipercayai. Misalnya, percaya bahwa makanan yang akan dimakan tidak beracun, tahu ada teman yang mencari setelah diberitahu ibu, dll. Akibatnya, tidak selalu konsisten dan bisa berubah-ubah, tergantung dalam hal apa dan kepada siapa kepercayaan itu diserahkan. Bisa juga lihat gambar wanita ini sebagai contoh.

Jadi, sebetulnya banyak hal yang tidak saya ketahui kebenarannya secara pasti. Pun banyak yang tidak mampu saya buktikan sendiri. Namun, saya berusaha untuk mengarahkan beberapa kepercayaan ke bentuk keyakinan, yang mana tidak mudah goyah atau bahkan tak tergoyahkan. Tentunya dengan harapan bahwa hidup saya menjadi lebih nyaman. Pasalnya, konon bila melakukan hal-hal yang kita yakini kebenarannya dengan nyaman atau ikhlas baru bernilai ibadah. Di sisi lain, melakukan segala sesuatu atas dasar pemaksaan dan minim pengetahuan terasa memberatkan. Dengan kata lain malah mengakibatkan penderitaan.

Kepercayaan-kepercayaan yang belum atau tak bisa saya tingkatkan menjadi keyakinan, tinggal saya serahkan kepada Tuhan. Lagi-lagi menurut keyakinan saya soal ujar-ujar “Bila kita percaya kepada seseorang atau sesuatu, bersiaplah untuk kecewa. Tapi, bila engkau serahkan kepercayaan itu kepada Tuhan, bersiaplah untuk berbahagia”. Mudah-mudahan bila memang dibutuhkan bakal diberi tambahan. Itulah sepenggal kisah penjaga halte perjalanan. Mudah-mudahan berkenan.
Read more!

Uji

Uji Kelayakan Lembaga Fatwa
Mohamad Guntur Romli

Apa kriteria sebuah lembaga fatwa (dârul iftâ’) agar bisa dipercaya? Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa makna. Yang terpenting: fatwa berarti penjelasan atas persoalan yang musykil dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Selanjutnya, ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang saya sarikan dari pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq, bahwa fatwa adalah penjelasan dan pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian–tabyîn al-hukm al-syar’i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang tegas antara fatwa dan hukum syariat.

Yang lebih penting lagi dari penjelasan tentang fatwa tersebut bahwa fatwa dari seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti, tak ada keharusan untuk menjalankan sebuah fatwa. Kesimpulan yang bisa ditarik: sifat fatwa tidak mengikat, karena ia hanyalah penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak mutlak sebagaimana hukum syariat.

Jarak antara syariat dan pendapat ini sangat disadari oleh para imam pendiri empat mazhab yang terkenal dalam fikih: Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Menurut Imam Hanafi, “Tak seorang pun boleh mengambil pendapat kami, tanpa mengetahui asal-usul pendapat kami.” Imam Maliki berujar, “Aku manusia biasa, bisa benar dan salah, maka telaahlah pendapatku.” Imam Syafi’i menegaskan, “Jika Anda menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunah, ikutilah sunah dan tanggalkan pendapatku.” Imam Hanbali menyimpulkan, “Jangan bertaklid padaku atau pada Maliki, Syafi’i, Awza’i, atau Tsauri, ambillah asal-usul pendapat mereka.”

Para “imam-mazhab” itu sangat menyadari keterbatasan ijtihad manusiawi dan adanya batas di antara dua wilayah: syariat dan pendapat, serta iktikad untuk menggerus kerak fanatisme yang acap kali menutupi akal sehat umat.

Fatwa juga tidak bisa menjadi hukum publik. Dikisahkan dalam kitab Siyar A’lâm Nubalâ’(Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi hukum negara, dan menggantungkannya di Ka’bah, dengan tegas Imam Malik menolak.

Pun sebuah fatwa harus dikeluarkan dengan penuh hati-hati. Fatwa tak bisa dilontarkan secara amat mudah (al-tasâhul): tak semua pertanyaan dibutuhkan fatwa, tak harus menjawab seluruh pertanyaan gara-gara menjaga gengsi.

Menjawab semua pertanyaan adalah kegilaan. Dari hadis riwayat Al-Baihaqi, “Barang siapa yang menjawab seluruh pertanyaan dari manusia, berarti dia majnun. Singkatnya, mudah berfatwa hanya dilakukan oleh orang gila.”

Dengan demikian, para ulama fikih klasik yang memperbincangkan tema ini tidak memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’) memiliki posisi yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.

Namun, risikonya jauh lebih besar. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Darami, misalnya, “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian berarti ia paling berani masuk neraka.” Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang memiliki bekal ilmu pengetahuan yang lebih. Bagi mereka yang berfatwa–dalam beberapa riwayat hadis disebutkan “tanpa ilmu”–diancam hukuman berlapis-lapis: “dilaknat malaikat langit dan bumi”, “didudukkan di atas api neraka”, dan “menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya”.

Namun, yang terjadi saat ini bertolak belakang. Dalam konteks politik, fatwa kekinian yang sering dimunculkan hanyalah doktrin bahwa ulama ahli waris nabi, sedangkan kewajiban dan kriterianya dibenamkan dalam-dalam.

Padahal Nabi Muhammad diakui sebagai nabi karena memiliki kriteria kenabian, yang membedakan dia dengan mereka yang hanya mengaku-ngaku nabi. Secara otomatis, bagi mereka yang ingin dianggap sebagai ahli waris nabi, tentu saja harus memiliki kriteria. Bila tidak, mereka hanya mengaku-ngaku ahli waris nabi.

Percakapan tentang kriteria ulama yang mampu berfatwa inilah yang raib dari percakapan publik. Maka tak mengherankan bila fatwa malah menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi ini, perlu ada pembenahan yang harus dilakukan dimulai dari pemerintah. Dalam sepanjang sejarah, sebuah majelis fatwa tak terpisah dari kekuasaan.

Dalam pengantar kitab Al-Majmû’ karya Imam Al-Nawawi, ditegaskan: pemerintah memiliki kewajiban menyeleksi para mufti, bila layak, ditetapkan, bila tidak, mesti diturunkan. Dalam istilah sekarang, seorang mufti harus melewati uji kelayakan. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Dalam kitab ini juga diceritakan bahwa Imam Malik tidak pernah berani berfatwa kecuali setelah ada 70 orang yang memberi kesaksian bahwa ia layak berfatwa.

Semestinya uji kelayakan ini diterapkan pada sebuah lembaga fatwa di mana pun, termasuk di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia perlu melewati uji kelayakan, karena MUI hasil bentukan pemerintah sebagai alat kepentingan Orde Baru, sehingga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan pemerintah, baik dari sisi sejarah maupun donor dana. Dan uji kelayakan terhadap MUI ini juga bertujuan menjaga martabat dan integritas organisasi itu.

Prediksi ke depan, menurut saya, akan sangat mudah kalau hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa fatwa adalah pendapat tentang hukum syariat, bukan syariat itu sendiri. Sifat fatwa tidak mutlak dan tak mesti dituruti, mengingat masyarakat di negeri kita pun sangat mengenal keragaman fatwa. Karena itu, tak layak apabila fatwa dijadikan penghakiman berlebihan terhadap orang lain atau fatwa dipandang dengan penuh fanatik, apalagi dijadikan dalih sebagai kekerasan terhadap pihak lain.

Para penegak hukum di negeri ini semestinya berpegang teguh pada konstitusi negeri ini, bukan pada fatwa-fatwa keagamaan itu, yang sifatnya sama sekali tidak mengikat. Konstitusi kita menjamin kebebasan dan keragaman beragama di negeri ini. Maka jangan pedulikan, bahkan lemparkan jauh-jauh, fatwa yang menolak keragaman itu.
Namun, langkah yang terberat, dan mungkin sebuah misi yang mustahil, melakukan pembenahan dalam organisasi fatwa, terutama menggelar ujian kelayakan bagi para mufti itu. Sebab, ketika fatwa mereka dikritik dan dipertanyakan kelayakannya karena lebih banyak menimbulkan mafsadah daripada maslahah– dengan munculnya kekacauan di mana-mana–mereka akan balik mendamprat, “Kami ahli waris para nabi.”

[Sumber: Koran Tempo, Jumat 18 Januari 2008]
Read more!

Hindu

Muhammad Adalah Nabinya Umat Hindu
Diposting Oleh Admin

Jangan kaget dengan berita ini. Sebenarnya berita lama yaitu tahun 1998 dalam Buletin Aktualita Dunia Islam No. 58/II Pekan III/Februari 1998. Tapi, entah mengapa kurang hangat dibicarakan. Mungkin karena kurang diketahui umum.

Padahal, ini berita menurut saya LUAR BIASA MENGEJUTKAN, terutama bagi umat Islam. Ternyata, menurut penemuan ilmiah seorang profesor Hindu, Nabi Muhammad adalah nabi yang ditunggu-tunggu umat Hindu, dan ini dibenarkan oleh para pendeta Hindu sendiri. Tidak percaya? Memang mengagetkan. Bacalah berita menarik tentang penemuan sang profesor itu. SELAMAT TERKEJUT (bukan oleh sengatan listrik)!!!

New Delhi, India--Seorang professor bahasa dari ALAHABAD UNIVERSITY INDIA dalam salah satu buku terakhirnya berjudul “KALKY AUTAR” (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.
Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena menurutnya, sebenarnya Muhammad Rasulullah saw adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.

Prof. WAID BARKASH (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah dinyatakan di dalam buku. Semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu (Wedha) tentang ciri-ciri “KALKY AUTAR” sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.

Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri KALKY AUTAR diantaranya, bahwa dia akan dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama SYANUYIHKAT dan ibunya bernama SUMANEB. Dalam bahasa sansekerta kata SYANUYIHKAT adalah paduan dua kata yaitu SYANU artinya ALLAH sedangkan YAHKAT artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa Arab disebut ABDUN.
Dengan demikian kata SYANUYIHKAT artinya “ABDULLAH”. Demikian juga kata SUMANEB yang dalam bahasa sansekerta artinya AMANA atau AMAAN yang terjemahan bahasa Arabnya “AMINAH”. Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saw adalah ABDULLAH dan nama ibunya AMINAH.

Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam sebuah goa untuk mengajarkan KALKY AUTAR (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.
Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung kejadian Isra’ Mi’raj dimana Rasullah mengendarai Buroq.[]

Nah, gimana komentara anda??
Read more!

Pengadilan

Perlunya Pengendalian Sosial Untuk Aliran-aliran Agama di Indonesia
Oleh Yusup Wibisono

Maraknya aliran-aliran agama yang muncul belakangan ini, membuat banyak orang dari mulai tokoh agama, pemerintah, aparat sampai masyarakat awam dibikin sibuk untuk mencari solusinya. Seperti halnya kasus Ahmadiyah, dan yang paling terakhir Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dituduh "sesat" oleh berbagai institusi-institusi Islam (MUI dan Ormas-ormas Islam).

Dan yang paling membuat rasa kemanusian penulis tersentuh, adalah prilaku kekerasan (anarkhis) yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Hal ini dapat juga dijadikan cerminan bahwa pola interaksi sosial bangsa kita yang menganggap terapi konflik adalah bagian dari solusi yang instan untuk diberlakukan.


Hemat penulis, bahwa pola interaksi sosial dari sebuah masyarakat yang moyoritas, merupakan miniatur dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Jadi, tatkala masyarakat kebanyakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan pendekatan konflik, maka bangsa ini mengalami "metamorfosis" ke arah regress (kemunduran). Sebaliknya, kalau bangsa ini dalam setiap penyelesaian masalah melalui pendekatan equallibrium (harmoni), maka capaian ke arah proggress (kemajuan) akan teralaminya. Untuk itu, yang paling bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam mengatur masyarakatnya. Diakui atau tidak, peristiwa yang sejenis hampir sering terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Dan boleh jadi, akan menyusul terus-menerus dengan kasus yang sama. Dengan demikian, perlunya antisipasi dari berbagai elemen bangsa.

Bagi "aktor intelektual" dari aliran-aliran agama yang dianggap kontroversi, semestinya dalam mengemban "misi" yang akan digelindingkan ke masyarakat, memantau terlebih dahulu, apakah misinya populer atau justru akan membuat keresahan di masyarakat secara sporadis. Pada akhirnya bukan persoalan memperjuangkan "kebenaran" yang mungkin "truth claim" (klaim kebenaran) -- nilai kebenarannya juga masih relatif -- tetapi yang harus mendapat porsi lebih untuk diperhatikan adalah persoalan social order (ketertiban sosial) yang terancam. Apalagi kalau dilihat dari berbagai aspek, bahwa bangsa ini masih banyak "agenda" permasalahan yang harus secepatnya diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan dan pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas. Menurut analisis penulis, prilaku para "aktor intelektual" aliran-aliran agama kontroversi dapat juga dikatagorikan sebagai "anarkhisme sosiologis".

Istilah anarkhisme sosiologis dapat juga diartikan, sebuah proses pemaksaan ide, pikiran, atau gagasan yang tidak sesuai dengan mainstreem masyarakat pada umumnya. Pada tataran filosofis atau bahkan positivistis boleh jadi beranggapan bahwa, pikiran, gagasan atau ide apapun tidak ada satu pun yang dapat membendung , kecuali pikiran itu sendiri. Tetapi dalam konteks sosial, perihal toleransi, apresiasi, dan egaliterian adalah bagian yang tak dapat diabaikan begitu saja. Biasanya dalam hukum sosial, yang berlaku adalah gagasan, ide atau pikiran yang sudah dianggap mainstreem (arus utama), meskipun kadangkala tidak mempersoalkan benar dan salah dalam konteks apapun, mungkin termasuk juga teologi. Tetapi yang berlaku biasanya adalah, layak dan tidak layaknya sebuah gagasan itu eksis -- berdasarkan kesepakatan sosial.

Oleh karenanya, persoalan pencarian solusi yang dapat menjadi win-win solution bagi semua pihak, adalah para pemegang kebijakan (pemerintah) perlu membuat mekanisme atau aturan main yang dihasilkan dari berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya yang pro dan yang kontra. Kenapa demikian? karena mereka semua adalah anak-anak bangsa yang mempunyai hak hidup yang sama, sekaligus menghendaki ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan mereka untuk bermasyarakat dan berbangsa. Sehingga untuk mewujudkan sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tidak akan mengalami kesulitan, apabila semangat dialogis di antara anak-anak bangsa seringkali dilakukan. Apapun masalah akan selesai, kalau manusia berikhtiar mencari problem solving-nya, sebab Tuhan pun menciptakan masalah-masalah makhlukNya sepaket dengan solusinya. Itupun kalau kita berkemauan keras mencari alternetif pemecahannya. Wallahu'alam
Read more!

Fatwa

Fatwa: Haram Hukumna Pikeun Lalaki Kawin Jeung Awewe Sakantor
Diposting Oleh Admin

Haram hukumna pikeun lalaki kawin jeung awewe sakantor"

Masyarakat nganiley MUI geus gagabah ngaluarkeun fatwa samodel kitu.Pikeun informasi anu jelas, wartawan nepungan Dr. Dhien Samsyuddin. Kieu eusi wawancarana:

" Wartawan: Ustadz, kumaha pang na tiasa ngaluarkeun fatwa eta?

Prof. Dhien Syamsudin: Kalintang haramna, nikah ka saurang oge tos beurat... komo deui ka sakantor, kan seueur jumlahna...
Read more!

Beragama

Kebebasan Beragama dalam Konteks Indonesia
(Peningkatan Kesadaran Islam Pribumi)1
Oleh Hilyatul Auliya

Budaya sebagaimana yang kita ketahui memiliki peran signifikan dalam proses penyebaran suatu agama. Agama akan lebih akseptabel di kalangan masyarakat luas bila ia mampu memahami tradisi yang dianutnya. Budaya juga, sering dianggap sebagai sesuatu yang given, terjadi secara alami dan apa adanya.

Padahal, budaya adalah ciptaan manusia secara kolektif yang punya tujuan tertentu, dan ia menjadi identitas pembeda yang cukup fundamental antara yang satu dengan yang lain.

Sebenarnya, budaya tidak hanya digunakan sebagai sarana pursuit of total perfection, penyempurnaan kehidupan manusia, tetapi sekaligus digunakan sebagai sarana menciptakan glory (kemegahan). Dus, hegemoni, dan imperialisme kebudayaan sangat tidak bisa dielakkan. Budaya pada akhirnya juga dijadikan sebagai sarana penaklukan dan penguasaan atas budaya lain dengan alasan apapun. Dan semuanya cenderung pada penguasaan yang bersikap hegemonik maupun represif. Maka, tidak mengherankan apabila kemudian imperialisme kebudayaan juga akan bertransformasi menjadi kolonialisme politik.

Agama dan politik, sejak lama telah disebut-sebut merupakan dua aspek elementer dalam peradaban manusia, yang memiliki urgensitas pengaruh dan peran. Karenanya, persoalan hubungan antar keduanya pun juga telah menjadi bahan kajian dan pemikiran para ilmuwan, filosof maupun para teolog dalam sepanjang sejarah. Sebab politik selalu mempengaruhi agama, sekurang maupun sebanyak agama mempengaruhi politik, sementara upaya untuk memahami keduanya secara terpisah, cenderung malah mengaburkan persoalan dan bukan semakin memperjelasnya.

Relasi agama dan politik ini kemudian diperkeruh oleh identitas-identitas kebudayaan yang konon lebih bersifat lokal-temporal tinimbang agama itu sendiri yang universal. Carut marut antara wilayah agama dan budaya tidak kurang rumitnya daripada agama dan politik. Bahkan dalam konteks kebudayaan jauh lebih pelik karena ia tidak hanya bergerak dalam level tindakan tetapi juga adat (kebiasaan) yang menyejarah dan menjadi identitas sebuah Bangsa.

Proses kedatangan Islam ke Indonesia, yang relatif damai dan adem-ayem menemukan momentumnya untuk dibuktikan. “Serbuan” yang keduakalinya para penyebar belakangan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Disatu sisi, fenomena tersebut bisa dimaknai sebagai kebangkitan Islam, namun disisi lain, tampilan wajahnya yang tidak bersahabat dengan “warna” lain, sekaligus menjerumuskan citra Islam itu sendiri.

Islam tentu saja agama bagi semua manusia, dimanapun ia berada. Keanekaragaman budaya dan adat istiadat manusia di muka Bumi ini, bukankah salah satu tanda kebesaran Tuhan itu sendiri, sama halnya dengan diturunkannya al-Qur’an. Bukankah keduanya adalah “ayat-ayat’-Nya. Lalu, haruskah semuanya menjadi seragam dalam satu budaya yang satu (Arab). Bila kita menolak dijajah Barat secara politik-ekonomi-budaya, kenapa kita harus tunduk dijajah Arab secara Agama?

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dalam mengadaptasi kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau keislaman seseorang. Tetapi ketika Arabisasi atau proses pengidentifikasian diri dengan budaya Timur Tengah dianggap sebagai ekspresi tunggal dan diyakini paling absah dalam beragama dan berkebudayaan, sehingga ekspresi kearaban menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi lain sehungga menyebabkan tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih parah lagi tradisi Indonesia kemudian dianggap sesat, musyrik atau bid’ah. Selain itu, Arabisasi belum tentu cocok sesuai dengan kebutuhan. Maka, pribumisasi bukan hanya upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru ia berperan sebagai “cagar budaya” Indonesia.

Relasi antara budaya (adat) dan agama (fiqh), memang berkaitan erat dengan tema pribumisasi Islam. Ushul fiqh misalnya mengadopsi kaidah al-’adat muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Namun, harus digarisbawahi bahwa adat tidak bisa mengubah nash. Adat hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja.

Pribumisasi Islam dengan demikian, merupakan jawaban dari “Islam otentik” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia sehingga Islam hanya dipandang sebagai tunggal bukan majemuk. Pribumisasi Islam mengasumsikan bahwa Islam yang di Timur Tengah bukan Islam murni yang paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

Pribumisasi Islam, memang bukan hanya sebatas wacana mengenai kebudayaan dan dominasi, namun juga bisa menjadi sarana tentang diferensiasi dan resistensi. Wacana tentang kekuasaan (agama) bukan hanya mengenai dominasi dan hegemoni, melainkan juga tentang hubungan antara pusat (Arab) dan periferi (’ajam) yang sifatnya mendua, penuh ambivalensi. Ada kecenderungan dari pusat untuk melakukan homogenisasi, penyeragaman, namun melahirkan salinan yang kabur (burred copy) dipinggiran.

Sehingga, wilayah periferi tidak pernah memproduksi secara tepat kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan institusi-institusi yang mereka peroleh dari pusat. Mimikri selalu menghasilkan salinan yang kabur dari apa yang ditiru. Dengan kata lain, hubungan antara pusat dan periferi adalah hubungan yang ambivalen. Di satu sisi ada peniruan, namun juga ada sisi-sisi pengejekan dan bahkan resistensi.

Hal ini mirip dengan apa yang disebut fenomena globalisasi dan logika modernitas. Ada kecenderungan untuk menyeragamkan, seperti tampak dalam arus yang dikenal dengan “McDonaldisasi” atau “Amerikanisasiâ€. Tapi, dibalik semuanya ada juga lokalisasi yang berupa dialog, negosiasi atau bahkan resistensi dengan menolak atribut-atribut globalisasi. Dan hubungan tersebut sangatlah kompleks, tumpang tindih dan tidak sesederhana membentangkan busur panah dan mengarahkannya secara lurus ke sasaran.

Hal ini menunjukkkan Islam Indonesia (Islam pribumi) yang notabene Islam yang sama dengan Islam Arab, Islam China atau Islam manapun di dunia secara ajaran. Ia bisa jadi berbeda, namun hanya pada tataran atribut yang kamuflatif, bukan pada esensi Islam itu sendiri. Islam Indonesia menawarkan Islam yang tetap shaleh secara teologis sekaligus secara kultural.

Penghakiman terhadap kontradiksi dalam pengekspresian keislaman adalah kecenderungan untuk mengunakan bahasa prosais dengan makna denotasinya, tapi jika kita menghormati kontradiksinya maka kita akan melihat makna yang beraneka, sebuah peningkatan kesadaran Islam pribumi yang menjelma menjadi puisi.





1 Tulisan ini dibuat oleh Hilyatul Auliya sebagai syarat pendaftaran peserta Pelatihan Jaringan Islam Kampus II yang diadakan oleh JarIK Jogja dan LSAF.



CURICULUM VITAE

Nama : Hilyatul Auliya, S.Th.I

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 01 Juni 1981

Alamat Kos : Jl. Timoho 124 Yogyakarta 55281

Alamat Rumah : Gintung Tengah 19 A Ciwaringin Cirebon

No. Hp : 081392069663

Pendidikan

1. Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000-2005

2 Konsentrasi studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam, Jurusan Hukum Islam, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006-Sekarang

Pengalaman Organisasi

1. BEM Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

4. Suluh Perdamaian Yogyakarta

5.IKMP (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Read more!