RSS

Kebebasan

Tuesday, February 19, 2008

Prospek Kebebasan Beragama di Indonesia: Belajar dari Masa Lalu
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta PhD1

Pendahuluan

Tema seminar ini mengikat tiga komponen penting. Pertama, keberadaan kebebasan agama; kedua, proses kebebasan agama dari masa lalu dan ketiga, prospeknya sekarang dan seterusnya.
Saya tidak yakin tema ini dapat dibahas secara mendalam mengikat keterbatasan waktu untuk saya. Kita juga bisa bertanya apakah yang dimaksudkan dengan masa lalu, sejak kapan kategori masa lalu yang dimaksudkan dalam tema ini. Apakah dalam sejarah Indonesia, kebebasan beragama merupakan esensi yang sudah dipraktekan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia?

Baiklah saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas di dalam beberapa tahapan pembahasan tentang:

1. Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Hukum Indonesia
2. Kebebasan Beragama dalam konteks HAM
3. Masyarakat dan Negara Menjaminkan Kebebasan Beragama
4. Kesimpulan

Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Hukum Indonesia
Pada bagian ini saya akan menjawab pertanyaan apakah konsitusi hukum Indonesia mencerminkan realitas politik dari kebebasan agama di Indonesia?

Lima puluh dua bernegara sebagai bangsa Indonesia, manusia Indonesia mewarisi proses pembentukan Indonesia sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang dibangun di atas landasan prinsip negara modern. Posisi negara dipilih sebagai lembaga yang netral untuk menjaminkan proses pencapaian harapan dari semua warganegara secara sejajar dan adil.

Negara tidak memilih dengan sengaja keberpihakannya kepada golongan masyarakat tertentu. Kenyataan paska kolonialisasi berpengaruh terhadap bentukan dan fungsi negara muda yang baru dibentuk sesudah perang dunia kedua. Pemimpin bangsa seperti Soekarno bergumul dengan tarikan antara nilai-nilai modernitas yang menitik beratkan pandangan ideologi sekular dan keagamaan. Tren penyelenggaraan negara pra perang dunia kedua ditunjukkan dengan pelaksanaan politik homogenisasi dan politik agama dalam membentuk identitas negara. Indonesia muda mempunyai pilihan untuk mencerminkan politik Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan masyarakat Indonesia. Cerminan dari nilai-nilai mendasar manusia bisa terlihat langsung pada perumusan Pembukaan UUD 1945.

Deklarasi yang mendudukan negara Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara sekular dan juga bukan negara berdasarkan praktek politik agama tertentu. Deklarasi Pancasila menunjukkan bahwa negara mengakui nilai-nilai keagamaan sebagai prinsip dasar hukum operasional yang pengejawantahannya nampak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pancasila bukan agama, tetapi dalam Pancasila terkandung nilai-nilai keagamaan. Kecuali prinsip nilai pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Mahaesa, nilai kedua sampai kelima dari Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang mencerminkan fenomena humanis non transendental. Penetapan prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai prinsip pertama kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menunjukkan pengakuan negara terhadap bentukan dari perumusan asumsi dan definisi tentang agama.

Perumusan prinsip nilai dari sila pertama bersifat teologis dan historis yang mengakomodasikan pengakuan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui eksistensi Pencipta, Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang turut bekerja dalam perjalanan kehidupan sehari-hari bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Konteks teologis menunjukkan bahwa definisi agama dibangun dari kenyataan agama-agama universal (Islam, Kristen, Hindu, Budha) yang mempunyai ”nabi”, ”kitab suci”, ”bentuk rumah ibadah”, ”ritus”, ”umat”, ”logika” dan ”etikanya”. Sedangkan konteks historis menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama universal di Indonesia telah turut membentuk kemampuan masyarakat Indonesia untuk hidup bersama dalam konteks politik sosial ekonomi yang beragam yang memberikan identitas bagi keberagaman Indonesia sebelum periode negara kesatuan Republik Indonesia.

Memang harus diakui definisi agama yang ditetapkan untuk menghasilan perumusan sila pertama menegasikan kenyataan historis budaya dari kehidupan agama-agama lokal yang berbasis agama suku di Indonesia. Penghilangan kekuatan historis budaya dari keberadaan agama-agama suku menunjukkan penguatan secara politik keagamaan dari identitas agama-agama universal sebagai kenyataan idealis dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Dampak dari pilihan politik ini menunjukkan bahwa pembentukan Indonesia sebagai negara Republik sebenarnya dibangun dari pengakuan historis politik terhadap keberadaan bentuk negara pra republik di Indonesia yang bersifat hegemonik keagamaan. Sementara resistensi agama-agama suku makin berkurang bahkan mengalami konversi dan menyatu dengan agama-agama universal. Realitas politik negara pra republik mencerminkan pola agresifitas dan klaim kebenaran ilahi dalam penampakan operasional negara yang bersifat imperialisme. Artinya negara pada suatu saat menjalankan politik homogenisasi yang mengontrol masyarakatnya melalui penyeragaman identitas agama menurut identitas dari sang penguasa, ”raja”.

Pengambilalihan praktek politik negara pra repubik ke dalam sistem tata pelaksanaan negara republik sangat beresiko karena negara secara hukum ternyata mengontrol identitas agama warga negaranya sebagaimana peraturan pencantuman identitas agama pada KTP.

Kebebasan Beragama dalam konteks HAM
Dalam bagian ini saya akan menjawab pertanyaan tentang sejauhmana transformasi spiritualitas agama memberikan kontribusi terhadap pengakuan hak asazi manusia.

Deklarasi kebebasan beragama adalah salah satu perumusan hak asazi manusia. Dalam konferensi dunia di Vienna pada tahun 1993 diputuskan pengalihan dari perdebatan tentang bentuk-bentuk norma yang melindungi kebijakan dan tindakan kepada pembahasan tentang teori dan kebijakan penerapan hak-hak azasi. Lebih lanjut Pusat Hak Asazi Manusia di Essex Inggeris telah menerbitkan laporang dunia tentang Kebebasan Agama (Freedom of Religion) dan Kepercayaan ( Belief).

Studi ini menawarkan analisis tentang bagaimana standar internasional tentang kebebasan berpikir, kebebasan nurani, kebebasan agama dan kepercayaan dimengerti dan dinampakkan dalam hukum dan praktek dari kurang lebih 50 negara. Saya tidak bermaksud membahas bagaimana Indonesia terlibat dalam proses meratifikasi hukum hak asazi ini karena mungkin bukan maksud kita membahasnya di sini. Saya sebenarnya ingin menganalisa tentang perumusan hukum internasional tentang kebebasan beragama dalam kaitan dengan kebebasan berpikir, nurani, agama dan kepercayaan. Kita mengadopsi istilah kebebasan beragama, tetapi konteks historis dari kebebasan beragama mengikat konsekuensi kepada bentuk-bentuk kebebasan manusia yang sebenarnya tidak didasarkan pada nilai agama. Baiklah kita mengutip artikel 18 dari hukum PBB tentang hak azasi yang dideklarasikan pada tahun 1981.

”Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right
includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in
community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teaching, practice, worship and observance”

Artikel ini berdampak tidak saja terhadap kehidupan kebebasan agama tetapi juga sekaligus menjaminkan perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan, anak dan penganut agama minoritas.

Deklarasi PBB tentang HAM ini merupakan tantangan bagi Indonesia yang menyelenggarakan proses pemerintahan negara dan cara bermasyarakat seperti yang sudah saya jelaskan di bagian konstitusi hukum negara. Argumentasi yang sering dipakai untuk menolak deklarasi HAM ini terkait dengan keyakinan bahwa dasar pemikiran HAM tidak dibangun dari pemahaman agama, tetapi sebenarnya berdasarkan pada pemahaman sekular yang mendasarkan hak azasi manusia dengan penghargaan terhadap eksistensi individu.

Tarikan antara kebebasan individu dengan kebebasan kolektif merupakan bentuk perbedaan yang tidak saja bersifat politis tetapi cenderung berakar pada perbedaan epistemologis. Modernitas yang terjadi di barat mendorong proses sekularisasi yang meminggirkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Jawaban-jawaban terhadap permasalahan dunia tidak lagi harus dijelaskan dari pemahaman agama. Pandangan ekstrim terhadap keberadaan agama ini lebih nampak terlihat dalam konteks historis agama-agama di Eropa. Tetapi fenomena agama di Amerika Serikat menunjukkan bahwa eksistensi agama tetap berperan penting dalam kehidupan bermasyakat. Hanya saja negara tidak berperan untuk memaksakan keyakinan agama tertentu sebagai bagian dari kebijakan publik.

Jadi perumusan HAM berangkat dari konteks yang menggambarkan kombinasi berbagai factor dimana sebenarnya ada peranan agama dalam memberikan penghormatan terhadap agama lain bahkan warga negara yang tidak beragama sebagai bagian dari eksistensi dasar seorang manusia. Ketegangan dalam berbagai ajaran dogma dalam agama tertentu seharusnya tidak mengaburkan prinsip nilai dalam hirarkis nilai yang menjadi sasaran dari pencapaian spiritualitas seorang pemeluk agama. Misalkan, dalam dogma Kristen, ajaran “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” seringkali dipertentangkan dengan ajaran lain bahwa “Yesus adalah jalan dan kebenaran dan kehidupan”. Konflik nilai ini bisa bersifat klaim pada kebenaran yang proses interpretasinya tidak diletakan dalam konteks sejarah yang berproses dan dialogis tetapi cenderung bersifat apologetik, absolut dan diskriminatif.

Perumusan deklarasi HAM juga mendorong proses perlindungan terhadap kebebasan beragama, berpendapat, bernurani, percaya yang bisa diupayakan oleh negara maupun komunitas-komunitas agama yang hidup dalam masyarakat dunia.

Masalahnya adalah bagaimana agama-agama mengalami transformasi spiritualitas untuk mampu meletakkan klaimnya pada kebenaran dalam konteks yang sekaligus membebaskan umat manusia dari berbagai diskriminasi termasuk juga diskriminasi terhadap pemutlakan ajaran agama yang sempit.

Masyarakat dan Negara Menjaminkan Kebebasan Beragama
Bagian ini saya akan gunakan untuk menjawab pertanyaan yang sudah saya ajukan pada akhir dari pembahasan di atas. Bagaimana agama-agama mengalami transformasi spiritualitas untuk mampu meletakkan klaimnya pada kebenaran dalam konteks yang sekaligus membebaskan umat manusia dari berbagai klaim yang dibuatnya?

Saya merasa pada umumnya agama didekati dan mendekati dirinya kepada manusia dengan penekanan pada ”rasa takut”. Rasa ketakutan dalam agama bukan hanya sebagai rasa takut kepada Allah tetapi juga agama mengembangkan dirinya untuk menakuti dan sekaligus memusuhi semua aspek duniawi yang dengan sangat mudah mengambil jiwa manusia. Tata politik dunia dan sistem kapitalisme yang cenderung menguntungkan komunitas tertentu telah menumbuhkan resistensi agama sehingga proses pemerdekaan dari sifat agama menghilang diganti dengan bentuk-bentuk kekerasan dan pemaksaan.

Revolusi teologis dalam kekristenan terjadi setelah Reformasi dimana pemultakan interpretasi agama yang semula disentralisasikan kemudian disebarkan sebagai bagian dari kemampuan mendasar yang diciptakan Allah. Reformasi Protestanisme menumbuhkan bibit-bibit penghargaan pada individu tetapi sekaligus mengoyahkan keutuhan ajaran dan kesatuan komunitas. Selain itu, penghargaan secara hukum terhadap pembebasan individu tidak muncul dengan sendiri tanpa perjuangan yang terus menerus dari kelompok-kelompok minoritas. Fenomena pergerakan pada umumnya mendorong proses pemikiran untuk menghasilkan gagasan-gagasan idealis, tetapi pengisian dan pelaksanaan ajaran-ajaran yang diperjuangkan harus dilakukan terus menerus.

Saya semakin mengerti proses revolusi teologis yang terjadi pada jaman Luther di Jerman, setelah saya sendiri terlibat dalam proses pergerakan advokasi untuk menjaminkan bahwa ada pembebasan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagaimana dirumuskan bersama dalam dokumen-dokumen hukum negara. Masyarakat yang sudah terstruktur dalam sistem nilai tertentu juga berperan untuk menghambat proses penyadaran dan advokasi terhadap eksistensi perempuan. Perbedaan konteks dan sejarah masyarakat juga harus dipertimbangkan sehingga dalam proses kontekstualisasi pergerakan untuk mengimplementasikan suatu kepentingan pembebasan dan pemenuhan HAM dari individu dan masyarakat bisa dilakukan secara berimbang, kritis dan rendah hati. Jadi revolusi teologis sangat penting dimulai dari melakukan apa yang dipercayai sebagai yang tidak mungkin dilakukan dengan menjadikannya sebagai yang bisa dipahami dan dilakukan.

Prospek kebebasan beragama di Indonesia bisa dimulai apabila kita terinspirasikan untuk melakukan seruan internasional tentang pemenuhan hak-hak azasi manusia sebagaimana diprakarsai oleh PBB. Dampak dari penerapan HAM juga akan berpengaruh terhadap perumusan identitas politik yang diberikan oleh Pancasila kepada warganegara Indonesia.

Kesimpulan

1. Kebebasan beragama dalam konstitusi hukum Indonesia cenderung bersifat kebebasan terbatas yang diterima sebagai suatu pengalaman budaya politik hegomonik agama-agama universal.

2. Istilah kebebasan beragama dalam konteks HAM harus diikuti dengan perumusan kebebasan berpendapat, bernurani dan kepercayaan baik secara individu dan berkelompok.

3. Mengfungsikan negara dan masyarakat mencapai pemahaman kebebasan beragama adalah dengan mengizinkan masyarakat melakukan hukum HAM yang sudah ditetapkan secara internasional menurut pertimbangan konteks historis dan budaya setempat.


1 Makalah disampai pada Seminar dengan tema “Prospek Kebebasan Beragama Di Indonesia: Belajar dari Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 12 Februari 2008.

Penulis adalah dosen fakultas Teknik di Universitas Kristen Duta Wacana, mengajar antropologi agama, sosiologi agama, antropologi teknik, konflik dan perdamaian, agama dan masyarakat. Bersama dengan Prof. Akh. Minhaji mengajar S3 di Indonesian Consortium for Religious Studies (area 1: Global Citizenship and Religious Movement in modern history).
Read more!

Agama

Merias Wajah Keberagamaan Kita
Oleh Nasrudin

Yakinkah Anda, bahwa Anda adalah seorang pemeluk agama yang taat? Jika Anda menjawab ya, apakah Anda yakin, agama yang Anda peluk itu adalah satu-satunya yang benar dan bisa mengantarkan Anda kepada kebahagiaan di dunia dan kehidupan mendatang?

Jika ya, bagaimana dengan agama lain? Dapatkah agama lain “melakukan” hal yang sama dengan agama yang Anda peluk? Atau, agama lain itu sesat? Jika ya, barang kali kita perlu menggeser sudut pandang atas fenomena keberagamaan kita.

Dalam The Elementary Form of Religuous Live, Emile Durkheim menuliskan, dalam institusi agama, setidaknya ada tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan: realitas supra, ritus, dan komunitas.

Realitas supra merupakam tema sentral agama. Realitas ini diandaikan melampaui kemampuan kodrati manusia. Sehingga manusia merasa perlu untuk mendapatkan restunya, terhindar dari murkanya, di kehidupan dunia-akherat. Karenanya, manusia melaksanakan serangkaian ritual. (Harun Nasution, 1999:20).

Sementara, komunitas dalam institusi agama punya peran yang amat penting. Relasi yang terbangun antara komunitas pemeluk baik yang sudah terlembagakan dalam ormas keagamaan, atau baru sebatas kumpul dengan istitusi agama adalah simbiosis mutualisma.

Agama butuh komunitas agar punya kekuasaan untuk memaksa publik supaya tetap konsisten menjaga keberlangsungan nilai-nilai agama. Komunitas menjadi lahan persemaian, internalisasi, sosialisasi, serta perkembangan nilai-nilai agama.

Sebaliknya, komunitas butuh agama (tepatnya: ritus dan realitas supra) untuk memperoleh legitimasi. Selanjutnya, legitimasi ini membawa pada sebuah kondisi di mana kesamaan agama menjadi pengikat yang amat kokoh bagi setiap individu dalam komunitas. Inilah yang disebut Durkheim sebagai integrasi.

Komunitas agama memiliki tingkat integrasi yang jauh lebih tinggi ketimbang-komunitas pada umumnya. Ini tak terlepas dari sifat ajaran agama yang cenderung (dipahami secara) dogmatis-doktriner, lebih-lebih ada truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan). Hanya agamanya yang benar dan bisa menjamin keselamatan dunia-akhirat.

Dua klaim inilah yang membawa pengaruh amat kuat, tidak hanya secara psikis bagi para pemeluknya. Pengaruh ini kemudian begitu terasa secara sosiologis, lantaran akumulasi pengaruh psikis dari setiap individu dalam komunitas. Akibatnya, perilaku keberagamaan individu menjelma perilaku keberagamaan komunitas.

Identitas dalam komunitas tersebut kian menggumpal dan mewujud, terutama tatkala berhadapan dengan komunitas lain. Identitas yang mulanya hanya sebatas pembeda antara “kami” dan “kalian” berkembang menjadi antara “benar” dan “salah”. Maka, merebaklah sebutan kafir, murtad, ingkar, tidak beriman, bahkan atheis.

Komunitas lain kemudian diterima eksistensinya tidak secara terbuka, melainkan secara berhadap-hadapan, vis a vis. Ini karena paradigma awal yang terbangun dalam ruang nalar komunitas adalah: komunitasnya paling benar. Kelompok lain itu salah, dan karenanya harus diluruskan.

Problem identitas ini menjadi bom waktu yang amat berbahaya, tatkala sebagian besar agama bervisi misionaris, terutama agama semit. Dan, pemeluk akan mengorbankan apa saja demi agama yang mereka pahami secara “selesai” dan mapan. Jangankan harta-benda, darah dan nyawa sekalipun bakal diserahkan secara ikhlas demi iming-iming syahid dan surga.

Jerat minoritas-mayoritas
Problem komunitas-identitas pemeluk agama ini jelas menampilkan wajah seram agama. Agama yang sejatinya merupakan petunjuk Tuhan untuk bahagia, bisa disulap menjadi mesin pembunuh yang luar biasa ganas, lebih-lebih saat bersinggungan dengan fakta mayoritas-minoritas. Dengan segala aset, mayoritas punya kuasa untuk melakukan kekerasan terhadap minoritas secara psikis, fisik, struktural, bahkan secara kultural.

Setidaknya, kekerasan yang menggejala adalah kekerasan simbolik. Bagi Bourdieu, kekerasan ini adalah sebentuk kekerasan tak nyata, dengan pemberian stigma negatif kepada komunitas lain, lewat media bahasa propaganda, kecaman, klaim, dlsb. Seperti berbagai spanduk yang dipasang Komponen Muslim Kabupaten Kuningan yang berisi kecaman kepada Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan.

Kasus Ahmadiyah Manis Lor merupakan contoh konkret dan aktual, bagaimana komunitas mayoritas melakukan kekerasan, secara fisik dengan menyegel satu masjid dan dua musala; kekerasan psikis dengan mengkampanyekan kesesatan Ahmadiyah; kekerasan struktural dengan terlibatnya pemda, aparat, serta Satpol PP yang seharusnya mengayomi masyarakat; kekerasan kultural, berupa pelarangan kegiatan Ahmadiyah.

Ini adalah contoh real, komunitas mayor melakukan kekerasan kepada komunitas minor dalam satu rumpun agama. Di sini, truth and salvation claim yang ada dalam agama telah direbut oleh komunitas. Kebenaran telah berada di komunitas, bukan agama. Maka tidak heran, antarkomunitas (baca: ormas) seagama sekalipun sering terjadi konflik.

Kasus yang lebih parah dijumpai dalam persinggungan antarkomunitas berbeda agama. Faktanya, selama 1955-1997, diperkirakan terjadi pengrusakan gereja sebanyak 374 buah (Najib Ghani, 2007). Tak terhitung lagi kerugian yang timbul, materi dan nonmateri.

Tali persaudaraan
Pemahaman secara keliru mengenai identitas masih menjadi problem serius. Dalam melihat komunitas lain, yang diungkap adalah sisi keberbedaannya, bukan kesamaannya. Dalam Islam misalnya, yang diungkap adalah salat subuh pakai qunut atau tidak? Membaca al-Fatihah dengan basmalah atau tidak? dst. Kita jarang menjumpai kondisi di mana yang disampaikan adalah sisi kesamaan dan kesatuan: tuhan, nabi, dan kitab sucinya satu.

Selayaknya, identitas dipahami sebagai fitrah dan rahmat kehidupan. Emha Ainun Najib menggoreskan, orang lain itu berbeda bukan karena “ingin” berbeda. Ia berbeda karena memang Tuhan menggariskannya demikian. Kerbau tidak akan bisa mengambingkan dirinya, atau mengerbaukan kambing. Sama halnya, kambing tidak bisa mengerbaukan dirinya atau memaksa kerbau menjadi kambing.

Agama bagaikan istri. Istri saya barang kali tidak secantik istri tetangga. Istri tetangga boleh jadi tidak seseksi istri kita. Kita tidak perlu sibuk bertanya, mengapa istri tetangga lebih cantik. Sama halnya, tetangga tidak perlu mempermasalahkan, mengapa istrinya tidak seseksi istri kita. Biarlah tetangga sibuk dengan istrinya, agamanya. Dan, biarlah saya sibuk dengan istri saya, agama saya. Demikian tulis Cak Nun.

Semua itu, dilakukan dengan dasar persaudaraan, bahwa kita satu bangsa. Kita punya tujuan bersama yang tidak boleh ditaruh di bawah kepentingan kelompok. Masih banyak problem yang harus kita selesaikan, dan semua itu tidak bakal selesai, tanpa persatuan.

Kalau memang tujuan kita beragama adalah kebahagiaan dunia-akhirat, mengapa kita justru melakukan kekerasan kepada komunitas lain? Justru menciptakan ketidakbahagiaan di dunia ini. Allahu a’lam. hf

M Nasrudin
Mahasiswa FS IAIN Walisongo, Pemimpin Umum LPM Justisia
Read more!

Bola

Kalah dan Menang
Oleh Akhmad Kusairi

Apakah kekalahan harus ditangisi? Para jago bola yang harga transferannya miliaran, sering nampak menangis di layar kaca, kalau kesebelasannya kalah.

Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.

Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?

Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.

Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.

Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.

Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.

Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.

Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.

Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.

Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.

Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.

Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?

Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.

Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.

Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.

"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."



SEBAGAI ORANG PALEMBANG DAN INDONESIA, SELAMAT UNTUK SRIWIJAYA FC YANG TELAH MEMENANGI KOMPETISI LIGA INDONESIA TAHUN 2007
Read more!

Malam

Sajak Tedi Taufiqrahman
Ini Malam Punya Siapa

ini malam punya siapa
asmara merindu pada satu ketika
malam dingin menyuguhkan angin

beserta raksukan sepi dan nyeri
asmara merindu saat bilamana
tubuh gontai lunglai tak bertepi

….

putus.

110606
Read more!

Kiai

Thursday, February 14, 2008

Kiai Organik vs Kiai Karbitan
Oleh KH. DR. Abd A‘la

Fenomena sosial keulamaan di Indonesia memperlihatkan adanya – minimal dua kategori ulama Indonesia – kiai organik dan kiai karbitan. Munculnya kategori ini sampai derajat tertentu tidak bisa dilepaskan dari seluk-beluk kehidupan sosial politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.

Kiai adalah ulama khas Indonesia yang merujuk pada para tokoh yang alim di bidang keagamaan Islam dan sekaligus memiliki akar kuat dalam tradisi dan budaya lokal Nusantara.

Selain berwawasan luas mengenai ilmu-ilmu “agama” dan memiliki aura ilahiyah, mereka juga memiliki kearifan yang tecermin dalam pandangan dan sikapnya yang menyejukkan dalam merespons suatu atau beragam persoalan. Kiai memiliki kemampuan untuk mendialogkan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan realitas temporal dan lokal.

Dalam menyelesaikan atau memberikan pertimbangan mengenai suatu masalah, kiai sering memberikan solusi alternatif dan sejauh mungkin menghindari pemberian keputusan hitam-putih.

Sebelum itu, kiai pada umumnya lebih banyak mendengarkan dibanding mendominasi pembicaraan. Kiai semacam itu adalah kiai organik, yang dibentuk, dibesarkan, serta bersikap dan bertindak atas nilai-nilai keulamaan dan keindonesiaan.

Karakteristik kiai organik ini menjadikan hubungan kiai dengan masyarakat begitu dekat, tapi sekaligus tidak lebur. Pada satu sisi, kiai dengan berpegang teguh pada prinsip ajaran, selalu menyambut dengan terbuka kehadiran masyarakat dengan keragaman budaya dan tradisi yang dibawa mereka, dan pada sisi yang lain, masyarakat –karena keramah-tamahan dan aura moralitas kiai – selalu merindukan untuk “dekat” dengan kiai.

Karena itu, kiai organik selalu mengedepankan langkah-langkah yang penuh kearifan. Tindakan KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dalam pendirian Pesantren Tebuireng Jombang bisa diambil sebagai contoh menarik.

Pada saat itu, Tebuireng dikenal sebagai daerah yang penuh kriminalitas dan jauh dari nilai-nilai moral agama. Penduduknya banyak yang tidak agamis, perampok, pejudi, pemabuk, dan sejenisnya. Untuk “mengislamkan” mereka, Hasyim tidak melakukan tindak kekerasan melawan mereka, tapi justru melalui pendirian pesantren. Melalui pesantren itu, Hasyim mengenalkan nilai-nilai moral Islam secara bijak sebagaimana telah dilakukan Wali Songo dalam melakukan dakwah kepada masyarakat Jawa pada masa sebelumnya.

Kearifan kiai itu terus berlanjut hingga Indonesia berada dalam alam kemerdekaan. Misalnya, dalam perspektif para kiai, yang awalnya dimotori antara lain oleh KH. Ahmad Siddiq, Pancasila telah diterima sebagai dasar yang absah bagi negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.

Kiai Karbitan

Namun, akhir-akhir ini beberapa orang yang bergelar kiai tidak menampakkan jati diri mereka yang organik dan genuine. Pada sebagian mereka, nilai-nilai luhur yang dulunya nyaris menjadi bagian intrinsik kepribadian kiai, sekarang mulai memudar.

Itu tampak jelas pada munculnya sikap, pernyataan, atau tindakan segelintir kiai yang membuat gerah bukan hanya kalangan nonmuslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Dalam mengeluarkan pernyataan atau tindakan, mereka sering kehilangan kearifan yang dapat mencerminkan keluasan wawasan pandangan dan kesabaran mereka. Alih-alih, mereka terjebak pada pengedepanan sikap apriori dan gampang membuat pernyataan yang beroposisi biner, dikotomis hitam-putih. Mereka mulai senang membuat kriteria sendiri mengenai fenomena yang berkembang, dan pada gilirannya gampang menuduh negatif orang atau kelompok lain secara simplistis.

Keterjebakan mereka ke dalam sikap yang sarat dengan nuansa reaktif itu berpulang kepada berbagai kemungkinan. Salah satunya adalah kekurangluasan wawasan mereka mengenai tradisi dan budaya Indonesia atau seluk-beluk kehidupan sosial-budaya global. Mereka jadi kurang mampu memilah antara aspek sosial dan aspek teologis, atau antara nilai-nilai universal agama dan nilai agama yang bersifat partikular. Di antara mereka – tidak diragukan lagi – banyak yang hafal Alquran dan hafal beribu-ribu Hadits, tapi pemahaman mereka parsial dan kurang memiliki kemampuan untuk melakukan kontekstualisasi.

Kemungkinan yang lain, mereka selain lemah dalam bidang pemahaman keagamaan yang holistic – serta lemah dalam pemahaman tradisi dan budaya lokal – mereka juga memiliki pandangan pragmatis dan jiwa avonturisme. Dunia politik yang menjanjikan dan masih kuatnya politisasi agama – di mana kiai memiliki peran besar dalam dunia keagamaan, terutama pada masyarakat pedesaan – mengantarkan orang-orang tertentu menjadikan simbol kiai sebagai alat mengeruk keuntungan.

Mereka itu juga tidak memiliki konsistensi pandangan sebagaimana dulu dianut para kiai. Ke mana angin bertiup, ke sana langkah diayuhkan. Ironisnya lagi, kiai model ini mulai memisahkan diri dari masyarakat kecuali jika punya kepentingan tertentu yang lebih banyak bersifat subjektif.

Tokoh semacam itu merupakan kiai karbitan karena tidak memahami seutuhnya budaya dan tradisi Indonesia, sebagaimana pula kurang menguasai seluk-beluk persoalan global. Di atas semua itu, integritas moralnya sangat diragukan. Mereka tampak seperti kiai, bahkan matang di permukaan, padahal moralitas di dalamnya bukan hanya tidak manis, tapi bahkan mengarah kepada pembusukan. [Jawa Pos, Rabu, 13 Februari 2008]

* Salah satu pengasuh PP al-Nuqoyyah Guluk-guluk Madura Jatim
Read more!

Surat

Surat untuk KH. Ma’ruf Amin
dari Uli Abshar Abdalla*

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa NU harus dibersihkan dari pemikiran Islam liberal.

Memang, arus "puritanisasi" dalam NU sekarang ini sedang berkembang, seturut dengan perkembangan serupa yang juga berlangsung di luar. Gejala puritanisasi NU hanyalah gema dari gejala lebih luas yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia saat ini.

Apakah pemikiran Islam liberal bisa "diberangus", entah dari dalam NU sendiri, atau dari "Islam Indonesia" secara keseluruhan?

Bagi KH. Ma'ruf Amin mungkin pertanyaan ini tak terlalu penting. Buat dia, yang penting adalah usaha memberangus dan membersihkan NU dari liberalisme pemikiran. Adapun berhasil atau tidak, itu tergantung kepada yang di "Atas".

Tetapi, sebagai bahan diskusi, saya sengaja melontarkan pertanyaan ini.

Tidak seperti disangka banyak orang, pemikiran Islam liberal sama sekali tak bisa disamakan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun lembaga terakhir ini membawa gagasan-gagasan Islam liberal.

Islam liberal lebih baik dedefinisikan sebagai "mazhab pemikiran", atau "manhaj al-fikr". Tetapi, kata "mazhab" pun sebetulnya kurang tepat, sebab istilah itu mengandaikan adanya suatu keseragaman serta metodologi yang jelas. Dalam pemikiran Islam liberal, terdapat perbedaan pandangan yang sangat signifikan mengenai beberapa isu. Meskipun demikian, ada sejumlah titik temu dalam beberapa hal.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak secara langsung kontradiktoris dengan arus-arus pemikiran yang lain. Seseorang bisa menganut mazhab pemikiran ini, seraya tetap menjadi seorang Syafii atau Asya'riyah, atau tetap berada dalam tradisi NU atau Muhammadiyah. Seseorang juga bisa berhaluan Islam liberal, seraya tetap menjadi seorang Shi'ah yang taat (contoh yang paling baik adalah Dr. Abdulkarim Soroush).

Sudah tentu, menggabungkan antara wawasan Islam liberal dengan ke-sunni-an atau ke-syi'ah-an, bisa menimbulkan penentangan dari dalam tradisi itu sendiri. Ini terjadi baik di kalangan Sunni atau Syi'ah sendiri.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak "mengendap" dalam satu organisasi, tetapi bisa masuk ke mana saja. Sebuah gagasan atau seperti udara: ia bisa masuk ke ruang manapun, dan bebas dihirup oleh siapapun yang hendak menghirupnya.

Oleh karena itu, mazhab atau, kalau istilah ini terlalu "tertutup", wawasan Islam liberal masuk ke ormas Islam manapun: NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan bahkan MUI sendiri. Lebih ekstrim lagi, wawasan ini bahkan, diam-diam, tanpa disadari bisa juga masuk ke dalam "diri" KH. Ma'ruf Amin sendiri.

Mendefinisikan Islam liberal sangat tidak mudah. Saya sendiri, sebagai "pelaku" dari gagasan ini, juga sulit mendefinisikannya. Sebetulnya, ini lumrah saja. Gagasan adalah sesuatu yang sifatnya "fluid", cair.

Apa yang disebut sebagai "Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah" (Aswaja) sebetulnya tidak sedefintif seperti yang disangka banyak orang. Apakah ciri-ciri ""Aswaja", bisa diperdebatkan panjang lebar, dan masing-masing orang bisa membawa wawasan yang berbeda-beda. Aswaja versi NU tentu beda dengan versi Lasykar Jihad atau kaum salafi. Begitu juga Aswaja versi KH. Ma'ruf Amin juga beda dengan KA. Said Aqil Siradj, dan seterusnya.

M'aruf Amin dan MUI, kalau tak salah, mencoba mendefinisikan Islam liberal secara longgar sebagai cara berpikir yang mendahulukan akal ketimbang teks. Definisi sangat longgar dan masih bisa diperdebatkan. Oleh segolongan Islam tertentu, NU bisa dikategorikan mendahulukan akal atau tradisi (lokal) ketimbang teks agama. Dalam debat soal asas tunggal dulu, sikap KH. Ahmad Shiddiq dan Gus Dur yang mau menerima asas tunggal dianggap sebagai kafir, karena melawan teks ajaran agama. Di mata Hizbut Tahrir pun, sikap NU yang menolak negara khilafah juga bisa dianggap mendahulukan akal dan tradisi ketimbang teks agama.

Tambahan pula, apakah benar bahwa pemikir Islam liberal mendahulukan akal ketimbang teks? Saya sendiri tak mempercayai kleim seperti ini. Tidak mungkin seorang Muslim, atau tepatnya semua pemeluk agama, meninggalkan teks Kitab Suci. Nasr Hamid Abu Zaid dikenal dengan pernyataannya bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat al-nass). Pernyataan Abu Zaid ini bukan semacam kritik, tetapi deskripsi. Dengan kata lain, secara empiris, memang tidak mungkin seorang Muslim atau pemeluk agama manapun meninggalkan teks fondasional (al-nass al-mu'assis) yang menjadi dasar dari tradisi agama.

Jika seseorang mengatakan bahwa poligami adalah haram, apakah orang itu bisa disebut meninggalkan teks? Menurut saya, sama sekali tidak. Yang tepat adalah bahwa orang itu meninggalkan satu teks, seraya berpegangan pada teks lain. Ketika sekte Asy'ariyah yang diikuti oleh NU mengatakan bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata fisik manusia, maka ini pun bisa disebut sebagai "meninggalkan" teks (la tudrikuhu al-abshar wa huwa yudriku al-abshar"; teks Mu'tazilah), tetapi sekaligus berpegangan pada teks lain (wujuhun yauma'izin nadhirah, ila rabbiha nadzirah).

Jadi, definisi MUI mengenai Islam liberal itu sama sekali tak bisa dipegang, dan bisa dipakai untuk balik menyerang MUI atau NU sendiri. Definisi ini juga hanya menimbulkan kebingungan saja.

Memang harus diakui bahwa munculnya gagasan Islam liberal menimbulkan "iritasi" dan gangguan pada doktrin yang telah mapan. Kalangan tua sudah pasti tak menyukai gagasan ini. Tetapi, gagasan ini sulit dihindari, karena dinamika internal yang berlangsung dalam tubuh umat Islam sendiri, terutama dalam tubuh NU.

Anak-anak NU yang jumlahnya jutaan saat ini berbondong-bondong melanjutkan studi di IAIN dan perguruan tinggi umum. Sudah tentu, di sana mereka akan mempelajari filsafat, ilmu dan gagasan-gagasan baru. Karakter perguruan tinggi sangat beda dengan pesantren di mana otoritas kiai memegang peran penuh sehingga bisa mengontrol pemikiran murid. Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa mendapatkan kesempatan yang luas untuk menjelajah ide yang bermacam-macam. Konsekwensinya, anak-anak muda Islam ini, termasuk anak-anak NU, akan membangun suatu pemahaman keislaman dan kesunnian yang berbeda dengan generasi tua.
Anak-anak NU yang belajar di Timur Tengah (Timteng) pun akan mengalami hal yang sama.

Setelah berada di Timteng, mereka akan mendapatkan bahan bacaan yang beragama. Belum tentu pemahaman kesunnian yang mereka dapat di pesantren atau NU dulu akan sama dengan bacaan-bacaan baru yang mereka peroleh. Setelah mereka pulang, mereka tentu akan mengemukakan pemahaman yang berbeda dengan tradisi yang sudah ada.

Belum lagi jika diperhitungkan anak-anak muda NU yang belajar di perguruan tinggi umum atau di Barat. Mereka akan bersinggungan dengan literatur yang sama sekali berbeda.

Kenyataan-kenyataan ini akan dengan sendirinya membawa perubahan-perubahan yang tak terhindarkan (al-taghayyur al-muhattam) dalam tradisi keislaman, kesunnian dan ke-NU-an itu sendiri. Jika perubahan-perubahan ini hindak dihindarkan sama sekali, maka cara terbaik adalah menghentikan secara total anak-anak NU yang ingin belajar di perguruan tinggi, dan mengurung mereka di pesantren. Tentu opsi ini adalah opsi totaliter yang mustahil ditempuh. Tak mungkin kita mencegah keragaman bidang-bidang studi yang dimasuki oleh anak-anak NU; keragaman yang akhirnya juga menimbulkan keragaman cara pandang dan penafsiran.

Oleh karena itu, pernyataan KH. Ma'ruf Amin yang hendak "membersihkan" NU dari unsur-unsur liberal saya pandang sebagai pernyataan yang tak layak dikemukakan oleh petinggi NU. Pernyataan ini hanya layak dikatakan oleh orang-orang Islam radikal seperti Abu Bakar Ba'asyir. Saya yakin "mutu keilmuan" KH. Ma'ruf Amin jauh lebih baik ketimbang Ba'asyir.

Saya menghendaki bahwa NU saat ini bisa menjadi "kaldron" yang dapat menampung segala bentuk keragaman pendapat dan penafsiran Islam. Peta sosiologis anak-anak muda NU saat ini memeperlihatkan bahwa mereka menempuh pendidikan yang sangat beragam yang dengan sendirinya akan membawa perubahan-perubahan dalam cara anak-anak muda NU melihat tradisi kesunnian dan ke-NU-an. Ini adalah gerak alam yang tak mungkin dicegah.

Jika "logika" yang dipakai oleh NU adalah "membersihkan", bukan membuka dialog, maka NU akan kehilangan kesempatan besar untuk menjadi wadah pengolahan ide-ide Islam yang kreatif.
Akhir-akhir ini, saya mendengar sejumlah kiai yang resah karena pemikiran anak-anak muda NU yang dianggap "liar" dan keluar dari tradisi Aswaja. Tetapi, yang mengherankan saya adalah bahwa dari pihak NU sendiri jarang ada usaha untuk memfasilitasi keragaman pendapat ini. Yang muncul malah wacana "pembersihan". Wacana ini hanya akan membuat NU teralienasi dari basis sosialnya di kalangan anak-anak muda yang mulai bergairah untuk bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru.

Saya masih bangga menjadi orang NU karena inilah organisasi yang melahirkan orang-orang seperti Gus Dur yang membawa angin segar dalam pemikiran keislaman. Jika warisan Gus Dur pudar sama sekali, dan kemudian yang tersisa adalah wacana "pembersihan" seperti yang diutarakan oleh KH. Ma'ruf Amin ini, maka saya khawatir pelan-pelan NU akan meniru gaya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) atau ormas-ormas "radikal" lain.
Saya khawatir...
Wassalam, [Wahid Institute]

Ulil A. Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University.
Read more!

Kebebasan

Mencegat Kebebasan, Memaksakan Keyakinan
Oleh Achmad Munjid*

Nestapa yang harus kembali ditanggung kelompok Ahmadiyah di Indonesia adalah sinyal kritis betapa ruang kebebasan beragama di Tanah Air yang belakangan menyempit kini telah menjepit eksistensi kaum minoritas.

Peristiwa kekerasan Manislor menggambarkan secara vulgar betapa ambigunya "aturan main" kita dalam soal kebebasan beragama, betapa lemahnya sistem penegakan hukum kita. Sekaligus betapa tak berdayanya posisi kelompok minoritas begitu konflik pecah.

Meski dengan gagah konstitusi kita menjamin kebebasan individu untuk memeluk dan mempraktekkan keyakinan masing-masing, dalam kenyataan, kelompok-kelompok tertentu justru bebas memaksakan keyakinan diri mereka atas orang lain. Karena itu, penanganan kasus Ahmadiyah ini akan menjadi indikator penting bagi prospek pengaturan relasi antarkelompok agama dalam kehidupan berbangsa. Ia perlu kita kawal bersama, karena di sini hakikat demokrasi sedang dipertaruhkan.

Memaksakan Keyakinan
Untuk mengatasi kemelut Ahmadiyah yang tampak kian pelik, sejumlah tokoh muslim, termasuk Menteri Agama Maftuh Basyuni sejak 2006, mengusulkan agar kaum Ahmadi keluar saja dari Islam dan membentuk agama baru. Sebab, Ahmadiyah dianggap telah menyimpang terlalu jauh dari prinsip-prinsip Islam. Dalam kalimat yang lebih terus terang, kalau masih mau mengaku Islam, segeralah bertobat. Tinggalkan doktrin Ahmadiyah yang "sesat" dan ikuti ajaran Islam (arus utama) yang "benar". Kalau tidak, jangan lagi mengaku-ngaku Islam.

Argumen semacam itu mengandung sejumlah cacat mendasar. Pertama, atas dasar apa kita secara sepihak bisa mengklaim berhak memaksakan identitas suatu kelompok yang mereka sendiri tidak mau terima? Terlebih lagi, ini adalah identitas agama yang bersifat sangat pribadi dan fundamental. Memeluk, mendefinisikan, mempraktekkan, termasuk menyebarkan keyakinan adalah hak asasi setiap orang yang tak bisa dihalang-halangi ataupun dipaksa-paksa. Jika dipraktekkan, justru penonislaman Ahmadiyah inilah contoh pelanggaran kebebasan beragama yang sesungguhnya.

Kedua, jika dicermati, usul membuat agama baru tersebut sebetulnya lebih merupakan siasat politik "mengeluarkan duri dalam daging", untuk melucuti kekuatan posisi tawar pihak yang dilemahkan. Bukankah memaksa secara sepihak agar kaum Ahmadi menyandang identitas non-Islam sebetulnya adalah upaya penyingkiran agar "mereka" secara tegas bukan lagi bagian dari "kita"? Dengan demikian, begitu timbul perkara, kedua belah pihak akan berhadapan sebagai "orang lain", dengan si mayoritas berdiri gagah perkasa, sedangkan si minoritas nglimpruk tanpa daya.

Kita mafhum, itulah yang terjadi di Pakistan, terutama sejak 1974. Dengan menyandang predikat non-Islam, dalam cukup banyak kasus, kaum Ahmadi bahkan diseret ke pengadilan "hanya" karena membaca syahadat, bismillah, atau sekadar mengucap "assalamualaikum" (Antonio Gualtieri, 2004: 140). Karena klaim serupa, di Afrika Selatan jenazah penganut Ahmadiyah dilarang dikubur dalam kompleks pemakaman muslim. Jika penonislaman itu mau kita adopsi, situasi lebih buruk sangat mungkin bisa terjadi di Indonesia.

Ketiga, kecuali klaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) adalah Imam Mahdi (Messiah) dan nabi "tanpa syariah"--klaim kenabian ini bahkan ditolak oleh Ahmadiyah Lahore--aspek fundamental doktrin Ahmadiyah sebetulnya bisa dikatakan relatif serupa dengan mayoritas Islam Sunni. Rukun Islam dan rukun iman mereka sama, dengan kecenderungan fikih pada mazhab Hanafi. Mereka berpedoman kepada kitab suci Al-Quran dan menjadikan Muhammad SAW sebagai teladan utama. Tidak benar mereka menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci. Meski isinya mereka yakini diturunkan Allah kepada MGA, Tadzkirah tidaklah berposisi memodifikasi, apalagi menggantikan Al-Quran (Yohanan Friedmann, 2003: 137-40). Betapapun, bagi saya, ketaksediaan mereka bermakmum salat kepada seorang imam non-Ahmadi adalah bentuk keangkuhan teologis yang berimplikasi serius dalam relasi sosiologis dengan umat Islam lain. Tapi menonislamkan kaum Ahmadi secara sepihak adalah tindakan semena-mena yang secara doktriner tak cukup berdasar.

Karena itu, saya sepakat dengan argumen Buya Hamka dalam Peladjaran Agama Islam (1956: 196-8) bahwa aktifnya kelompok seperti Ahmadiyah di Tanah Air hendaknya lebih menjadi "cemeti" buat para ulama dan dai dalam meningkatkan kualitas ilmu, kepemimpinan, dan komunikasi mereka dengan umat, untuk berlomba menunaikan kebajikan.

Posisi Negara
Jika dilihat secara terisolasi, boleh jadi fatwa "sesat" Majelis Ulama Indonesia adalah perkara biasa-biasa saja. Di berbagai belahan dunia muslim, otoritas lain, baik individu maupun lembaga, telah lama dan berulang melakukan hal yang sama dalam menanggapi kasus Ahmadiyah. Tapi, dalam konteks kehidupan bangsa kita sekarang, fatwa "sesat" MUI itu menjadi problem mendasar yang tak bisa dibiarkan.

Semua orang paham bahwa meskipun MUI dibentuk oleh pemerintah Soeharto, ia adalah organisasi (sebetulnya bukan, karena tidak punya) massa yang berada di luar struktur hukum dan produknya sama sekali tidak punya otoritas hukum. Tapi, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam Rapat Kerja Nasional MUI November 2007 terang-terangan menyatakan bahwa dalam menangani isu aliran sesat, pemerintah akan memohon fatwa MUI sebagai landasan bagi aparat negara untuk bertindak.

Pada kenyataannya, menurut laporan SETARA Institute mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2007, itulah yang terjadi. Fatwa MUI adalah rujukan yang paling sering dipakai kepolisian untuk menangkapi, menahan, dan membiarkan tindakan kekerasan atas pihak yang dicap sesat. Tak mengherankan jika kelompok-kelompok tertentu pun kemudian merasa mendapat pembenaran untuk melakukan kekerasan.

Jika ketakjelasan prosedur hukum ini tidak segera dibenahi, pembubaran MUI seperti diusulkan Gus Dur dan sejumlah ormas lain memang beralasan. Tapi, jika penyelesaian kasus Ahmadiyah ini hendak didudukkan dalam bingkai kehidupan beragama yang sehat secara menyeluruh, menurut saya, institusi antidemokratis yang lebih mendesak untuk digugat adalah Badan Koordinasi Pengawas Agama dan Kepercayaan (Bakor Pakem).

Lembaga "militeristik" yang dibentuk pada 1984 dan terdiri atas anasir kejaksaan, kepolisian, Departemen Agama, dan tentara menurut berbagai tingkat pemerintahan ini memang dirancang oleh rezim Orde Baru sebagai satuan pengintai keyakinan. Di mata rezim otoriter, setiap warga memang dianggap selalu berpotensi menjadi ancaman negara. Jelas, lembaga ini bertentangan, terutama dengan Pasal 28-E dan 29 (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Kebebasan Beragama. Selama masih ada Bakor Pakem, kelompok minoritas apa saja akan rentan terhadap represi, baik dari pihak negara maupun kelompok mayoritas.

Dalam negara demokrasi, setiap orang paham bahwa keyakinan adalah urusan amat pribadi yang bukan hanya tidak boleh dicampuri, tapi juga harus dijamin pelaksanaannya oleh negara. Tapi bagaimana mungkin warga memiliki jaminan kebebasan beragama jika ternyata negara berhak menentukan keyakinan mana yang benar dan mana yang sesat untuk dihukum? Bahkan pada Abad Pertengahan, lembaga Inkuisisi Gereja Katolik pada akhirnya gagal menertibkan aliran-aliran yang dianggap sesat meski telah menghabisi jutaan nyawa. Lagi pula, jika dalam hal keyakinan yang sangat bersifat pribadi ternyata warga negara bisa dipaksa, bagaimana sektor kehidupan sosial yang lain hendak dikelola?

Di tengah arus lalu lintas kehidupan sosial yang kian mengalir deras, intens, beragam, dan kompleks, yang kita perlukan adalah kesiapan hidup bersama "siapa saja" secara adil, sederajat, dan bermartabat. Karena itu, kita membutuhkan tatanan sosial yang terbuka dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Hanya dengan demikian potensi masing-masing pribadi bisa teraktualisasi dan persoalan bersama bisa diatasi secara optimal. Negara tidak perlu terlalu repot merecoki wilayah keyakinan yang sesungguhnya bukan menjadi urusannya, sedangkan kewenangan utamanya sendiri malah terbengkalai.[Koran Tempo, Kamis, 17 Januari 2008]

Penulis adalah Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat
Read more!

Hyper

Wednesday, February 13, 2008

Mentalitas [Hyper Kronis]
Oleh Apuy

BUKU apa yang kalian kunyah hari ini? Atau tulisan siapa yang hendak dicumbu detik ini; atau teory apa yang merangsak masuk otak kalian saat ini?

Ah...tentunya kalian sibuk bergelut dengan rentetan pertanyaaan. tsirt merek apa yang akan kaupakai; lipstik warna apa yang hendak membius para lelaki; atau siapa lagi yang jadi korban libido esok lusa. Carpe Diem sebatas nyanyian transendental, murka sapere aude Kant sebatas gantungan kunci.

“Barang siapa yang tidak bisa geometri dilarang masuk” tertera di balik gerbang masuk Akademia Plato. Pukul 09:00 gembok yang merantai perpustakaan mulai dilepas, perpus konon lumbung khazanah intelektual; seperti di Alexandria; persimpangan embrio filsuf agung abad pertengahan; , city of God-nya Thomas Aquinas, Romeo and Juliet-nya Shakespeare, Hikmah al-Isyraq-nya Suhrawardi, atau Tawasin-nya Al-hallaj, disambung dengan Discourse and Method-nya Rene Descartes, Thus Spoke Zarathustra-nya Nietzsche, hingga Sein Und Zeit-nya Heidegger. Saking berjubelnya warisan itu hingga tak ada satu pun terpampang pada deretan rak buku, begitu sesaknya oleh tumpukan fragmen dakwah kapitalisme rongsokan, komunikasi emansipatoris kerdil, theologi insklusive penjila[tain].

Sedang apa Mahasiswa? apakah kalian merasa resah dan muak menatap kuantitas dan kualitas diperpustakaan kita? Pastinya kalian bisu atau tuli, karena perpus hanya sekedar media penyaluran birahi; sebatas tumbal tugas dosen; bahkan mencari korban libido selanjutnya; atau untuk cari tongkrongan baru. Pernahkah kalian mendengar Alegori Gua Socrates, Logica Aristoteles, Metafisika Sir.M.Iqbal, teori dekontruksi Derrida, atau Tuhan telah Mati Nietzsche. Pasti kalian tak mengenalinya! telinga kalian tersumbat kitab suci MP4, hobi mentransportasikan birahi dalam madat al-wujud, dan menstimulus otak dengan nyanyian oral. Kalian lebih suka berdialektika dengan sinetron, men[sintesis]kan pertandingan Arsenal versus Persib, berkelana menggagas epistemologi kadut.

Apa yang didapat selama berwisata di ruang perpus? sekedar mencatat romantisme holocoust; hanya sekedar asketis bacot, menghapal teori relativisme absurd, atau memahami ontologi simbol sexualitas, terlebih hanyut dalam tragedi ekshibisionis bercampur seonggok tinja di otak kalian. “Pantes loba mahasiswa nuso pinter” padahal isi nya hanya tabula rasa. Retorika kalian memban[tai] sejarah yang dibanggakan, galilah liang lahat sebelum Zarathustra bangkit dari kubur dan memenggal kepala kalian masing-masing. Bersiaplah!? Atau kalian lebih asik masuk neraka penindasan birokrat tak berprikemanu[sia]an, atau kalian sendiri yang enggan mengaku sebagai manusia? ah..begitu pendiam kalian. Sampai-sampai kalianpun ogah merubah rutinitas jadi pengemis nilai. Mau jadi apa ketika waktu dihabiskan hanya ngabudah dihadapan jelangkung; otak koclak “sing era kanu jadi kolot, lain kuliahteh dibiayaan kukolot?” lain kitu!

Deretan buku nampak berjajar, dari yang berjudul Filsafat, Ekonomi, Syariah, Ilmu Hadits, Fiqh, Dan teory dialektika huntu, teory komunikasi plus-plus, hingga cara cepat menjadi PNS, jalan pintas menjadi Dosen, konsep korupsi secara syariah, dan kiat-kiat melanggengkan tahta kerajaan meski tanpa kualifikasi dan otak kosong “pantas banyak dosen/asdos yang kualitasnya dibawah standar” kamaqolaa Darwinisne “barang siapa yang kantongnya tebal atau punya akses politik Ia bisa naik takhta sekalipun otaknya koclak. Dan barang siapa yang tidak punya duit dan tidak ada akses politik, meskipun otak kaya Einstain jangan mimpi”. Bayangkan, miniatur Universitas yang tenggelam dalam manipulasi haus kekuasaan, apa yang akan terjadi?

Mahasiswa dijadikan kerdil, selalu membanggakan ketololannya. Ulah siapa? A[pakah adannya konspirasi para suhu pemegang saham, mereka ingin membumihanguskan setiap militansi. Dan apakah karena mahasiswanya enggan keluar dari lingkaran setan, terlalu nyaman dengan sihir para petinggi, atau mahasiswa terbius oleh romantisme nihilistik gaya Faraoh, atau nyambat Dyonisius dibalik tragedinya, bisa jadi terlena oleh kisah skenario telenovela jurig.

Tak lupa, pagi buat kasir penjaga museum. Apakah bapak-ibu miris melihat manuskrip banyak yang raib; jadi menu utama tikus; lapuk dimakan zaman alias bulukan; jauh dari kata layak, layaknya manuskrip-mu berasal dari abad pra-barang bekas. Apakah sudah tidak ada lagi common sense yang punya mata untuk melihat, dan intuitif dalam meratapi pemandangan yang mengerikan ini? Lantas apa yang jadi kesibukan bapak-ibu? Pastinya para bapak-ibu hanyut dalam rutinitas ngerumpi; asik ber-ekstase ritual asketis main game; berdzikir a-la info[tai]ment gosipisme. Yang pasti “makan ga makan asal ngumpul”.

Kiamat sudah hampir dekat neng, akang, father dan mother!? Konon tanda-tandanya sudah nampak; lenyapnya kitab suci pegangan para pupuhu adat dan Filsuf; pemimpin yang nyeleweng; mahasiswa sudah muak menyentuh buku; ketika atas nama kebenaran kau agungkan ke-egoan komunalisme dan menganggap sesat pada jenis-mu. Apologi huntu selalu berdendang pada sebaris kausa peng-ti[ada] Creati[ive] ex Nihillo.

Nyantai aja lagi!?. Tak ada yang mengusik! Biarkanlah kami yang membangunkan dari ketidaksadaran akan realitas yang hyper kronis stadium [no limits], kalian terlalu asik beronani gaya rektorat. Sekedar gumam yang kami baca dikumpulan ensiklopedi apatis museum kalian. Terima kasih atas manuskripnya yang langka tidak kami dapatkan di perpustakaan manapun, apakah kalian masih saja tertidur atas kebobrokan institusi yang kalian kultuskan.

Buat para mahasiswa yang masih duduk santai dipembaringan, atau sedang ciuman dengan selingkuhannya, bahkan sedang masturbasi dengan play station, atau yang hobi wiridan SMS. “Requeim Aeternam Deo” melesap dalam banalitas hidup. Pantha Rei hujat Heraclitos.


Ruang senyap.
Desember, 18th’2007[adzan Subuh
Read more!

Dilema

Sunday, February 10, 2008

Dilema Keragaman Islam
Oleh Ahmad Sahidin

Konon, ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuhnya. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya. Dan jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan.

Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan : membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain/pola yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang,terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Dan kita sebagai sesama muslim dianjurkan berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) dengan caa yang bijaksana pula. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu al-quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman teerhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.

Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Yang saat diturunkannya dari “langit” tidak serta merta semuanya tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis dan jiwa zaman masyarakat di waktu itu. Yang bermakna sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan memperindah bentuk tubuh; atau--dalam bahasa agama--untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dsb.

Tentang hal ini, ada catatan sejarah Arab abad enam masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Tuhan melalui utusan/pilihan-Nya yang menceritakan bahayanya “khamr” dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan. Yang sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Secara konteks sosial, turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi bahwa, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang--mungkin yang sedang ngetrendnya begitu--hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi hasratnya. Masih menurut mufasir tersebut, bahwa model pakaian seperti ini dipakai Hindun Bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud, mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil meniadakan pembawa berita Tuhan, yaitu Nabi Muhammad Bin Abdullah yang dianggap telah merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan surat an-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busana tertentu (lihat Qs. al-ahzab : 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.

Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Hal ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.

Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia. Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, ...tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);...sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);...maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki....(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya. Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, ...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);...Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);...katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).

Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil. Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.

Atau sekarang muncul dua model Islam. Pertama, model Islam fundamental-radikal yang bercorak tekstual dalam memahami wahyu dan ingin menghadirkan “Islam-ideal” masa Rasulullah Saw. Kedua, model Islam liberal-plural yang bercorak kontekstual dalam memahami wahyu dan berorientasi ke depan.

Mana yang benar dari mereka dalam memegang dan menjalankan agama? Wallohu a`lam bi showab adalah jawabannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Kelompok Khawarij membunuh Imam Ali Bin Abi Thalib; Mu`tazilah membantai dengan cara mihnah pada kelompok yang tidak sepakat dengannya; Murabithun menghancurkan kelompok Muwahidun; Wahabiyah mengkafir-bid`ah-musyrikkan golongan lain.

Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.

Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di Ummat Islam (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya. Sehingga tidak dapat diingkari ketika merujuk pada kalamullah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah di atas). Jelas, yang paling bertanggung-jawab atas berbagai realitas yang tragis dan memilukan serta memalukan sejarah adalah sang kodifikator, Utsman Bin Affan. Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya, maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis maupun terus berkelanjutan sampai kini.

Tetapi persoalannya tidak selesai begitu saja. Sebab yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan, maka cerita-cerita penindasan TKW / TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam. Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, akhlakul karimah dan bukan yang sebaliknya.

Artinya, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu, atau oleh yang berhak menentukan otoritas tafsir tersebut. Bagi umat Islam-Syi`ah yang ada di Iran tentu tidak ada masalah karena yang menentukan semua persoalan agama dan keislaman adalah Imam min ahlulbait; yang secara teologis merupakan pelanjut kepemimpinan Islam setelah Rasulullah. Namun bagi kita, yang lazim disebut Islam-Sunni tidak punya konsep wilayatul faqih, karena yang kita akui adalah konsep syuro.

Dulu memang ada ulama-ulama yang kredibelitasnya tidak diragukan, tetapi sekarang di Indonesia, yang ada hanya “ulama-ulama istana” yang nilai keulamaannya jauh dari ajaran-ajaran Rasulullah. Inilah masalah lainnya yang perlu disikapi dan cermati jika benar-benar ingin membuktikan bahwa al-islamu ya`lu wala yu`la alaih.
Read more!

Cheng Ho

Cheng Ho, Pejuang Risalah Islam Yang Terkubur
Oleh Ibn Ghifarie

Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Chin [Cina]. (peribahasa)

RASANYA tak berlebihan bila petuah di atas mengingatkan kita untuk tetap berusaha mencari ilmu pengetahuan, sekalipun jauhnya ke negara Cina. Menuntut ilmu merupakan satu kewajiban bagi umat Islam (hadis).

Kehadiran Hari Raya Imlek layak pula kita jadikan momentum evaluasi secara bersama, mulai dari nilai dinamika keberagamaan (antar, intra) kita, sampai sistem pemerintah. Membicarakan perayaan masyarakat Tionghoa, khususnya di Indonesia, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari sosok pejuang-gigih risalah Tuhan—yang mulai kita lupakan.

Adalah Laksamana Cheng Ho atau lebih dikenal dengan sederetan nama Cheng Ho, Hanyu Pinyin, Zhèng Hé (Wade-Giles), atau Haji Mahmud Sam Po Kong (1371 - 1435). Cheng Ho merupakan seorang kasim Muslim, pelaut sekaligus penjelajah Cina terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara 1405-1433, saat kaisar Tiongkok Yongle (berkuasa tahun 1403-1424) sebagai kaisar ketiga dari Dinasti Ming.

Ia berasal dari Provinsi Yunnan, bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, tapi beragama Islam. Kala pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan dijadikan orang kasim. Kali pertama Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikah dengan Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).

Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande pada 1426-1435) ke beberapa daerah dan negara di Asia dan Afrika, di antaranya Vietnam, Taiwan, Malaka/bagian dari Malaysia, Sumatra/bagian dari Indonesia, Jawa/bagian dari Indonesia, Sri Lanka, India bagian Selatan, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah, ke utara hingga Mesir, Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik (www.wirahma.com).

Dalam khazanah keislaman, kehadiran Cheng Ho di Indonesia telah memunculkan wacana baru studi keislaman Indonesia. Cheng Ho berperan besar dalam pergolakan politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Setidaknya, Cheng Ho berperan dalam membangun kerajaan Islam Demak pada tahun 1475, serta memiliki andil besar dalam keruntuhan Majapahit.

Selama ini yang kita kenal kehadiran Islam di Indonesia biasanya dikaitkan dengan dua teori besar yakni teori Arab dan India. Literatur "padang sahara" mengatakan Islam masuk Indonesia langsung dari tanah Arab, tepatnya Hadramaut. Kali pertama teori ini dipopulerkan oleh Crawford--diikuti oleh sejarawan Indonesia seperti Mukti Ali dan Buya Hamka. Sementara teori India (Gujarat) dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje (atau Abdul Ghofur).

Prof. Dr. Abdul Jamil, Rektor IAIN Walisongo Semarang dalam Perayaan Festival Cheng Ho (2005) menuturkan, Cheng Ho berperan dalam proses panjang islamisasi di Nusantara, sekaligus persahabatan antarbangsa dan kerukunan masyarakat. Menariknya lagi, misi misi utama pelayaran Cheng Ho adalah menjalin persahabatan. Jika ada aspek dakwah, hal itu harus dilihat dalam perspektif makro, tidak seperti model dakwahnya para Wali Songo yang menghasilkan banyak konversi agama. Oleh karena itu, jika ada nuansa Islam dalam melaksanakan misi kenegaraan itu, pada hakikatnya merupakan hasil samping karena tanggung jawab seorang Muslim untuk berdakwah meski hanya satu ayat.

Pendeknya, kalau memakai istilah sekarang, dakwah yang dijalankan oleh Cheng Ho adalah model dakwah bil hal, dakwah dengan contoh perilaku, karena yang dikembangkan merupakan inti untuk memperkuat kerukunan seperti juga yang menjadiinti ajaran agama Islam. (Republika, 5/8/2005)

Laksamana Cheng Ho meninggal pada 1435 dalam perjalanan pulang dari Afrika Timur ke Cina. Ia dimakamkan di Niushou, Nanking (Nanjing). Ia kemudian menjadi peletak dasar orang-orang Cina ikut "bermain" dalam pemerintahan di kerajaan-kerajaan Jawa. Cheng Ho dipercaya mengunjungi Majapahit pada 1406, setahun setelah pelayarannya dari Cina.

Di tengah keterpurukan bangsa dan maraknya konflik antarumat beragama, sebuah keharusan membumikan pesan-pesan luhur Sam Po Kong, saat tiba Hari Raya Imlek Cia Gwee Che It 1 Imlek 2259. Gong Xi Fa Cai ....!! (Ibn Ghifarie, mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan pegiat Khazanah Tionghoa)***
Penulis:[PR Kampus, 31/01/08]

Read more!

Toleran

Tuesday, February 5, 2008

Pendidikan Toleransi, di Mulai Dari Kitab Suci?
Oleh Alinur

Ketika dunia semakin mengglobal dengan ciri pluralismenya dalam berbagai bentuk, kemungkinan benturan antar etnik, budaya dan agama semakin terbuka lebar. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh komponen masyarakat untuk berusaha tetap menjaga keserasian dan perdamaian universal.

Salah satu kelompok yang diharapkan mampu berperan menjaga stabilitas itu adalah para pemuka agama.Darimana semestinya para agamawan memulai membangun paradigma perdamaian universal pada masyarakat global? Mungkinkah toleransi pada masyarakat dunia sekarang ini dimulai dari kitab suci masing-masing?

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Kitab Suci adalah sumber utama kebenaran tiap-tiap agama. Sebagai standar kebenaran masing-masing agama, kitab suci sangat berperan penting dalam menentukan stabilitas dan identitas pemeluk agama. Sebagai starting point pendidikan agama, di satu sisi kitab suci mengajarkan identitas dan dasar-dasar etik bagi pemeluknya. Tapi disisi lain terkadang kitab suci juga mempromosikan sikap ekslusivisme dan perbedaan. Karena sempitnya cara berpikir dan sempitnya interpretasi terhadap kitab suci, terkadang masing-masing agama, secara tidak langsung, mengajarkan klaim kebenaran absolut atas kitab sucinya masing-masing. Selama klaim kebenaran masing-masing agama itu terus kental dita-ngan pemeluknya, jangan diharap bahwa pluralisme dan kedamaian abadi bisa tercipta di dunia global sekarang.

Ketika salah satu fungsi setiap kitab suci adalah menekankan pentingnya pendidikan moral dan etik, adalah penting untuk dicatat bahwa bagi pendidikan agama-agama di jaman modern nampaknya perlu mempertimbangkan dimasukkannya paradigma berpikir bahwa masing-masing agama di dunia ini juga mengajarkan kebenaran dengan jalan masing-masing yang mempunyai legitimasi kebenaran sendiri-sendiri.

Perbandingan Isi

Para tokoh agama, baik itu ulama, pendeta, biksu dan apapun sebutannya perlu terus berusaha mengembangkan pendidikan doktrin agama yang lebih terbuka dan tidak narrow-minded. Dalam memberikan pengajaran kitab suci, para tokoh agama dituntut untuk tidak alergi memberikan penjelasan bahwa selain kebenaran yang ada pada kitab suci yang diyakininya, ada juga kitab suci agama lain yang tentunya mengajarkan kebenaran dengan perspektif kitab suci masing-masing. Para agamawan harus berani memberikan stimulus bagi anak didiknya untuk jangan segan-segan membaca dan mempelajari kitab suci agama lain sebagai upaya studi banding.

Para agamawan bisa belajar dari metode pendidikan sekuler di negara-negara Barat ketika mereka mengajarkan paham nasionalisme. Mereka menekankan pentingnya pengajaran budaya negara lain dengan tujuan menghilangkan rasa saling curiga yang bisa menimbulkan paham nasionalisme sempit, dengan cara memberikan pengajaran sejarah peradaban dunia global, selain sejarah dan budaya lokal. Adalah menarik seandainya para agamawan mampu memasukkan pelajaran multiagama dan perbandingan isi kitab suci pada pendidikan agama masing-masing, karena di dunia modern-global, agama-agama tak kalah pentingnya seperti institusi-institusi sekuler, yaitu mempunyai tugas untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan pentingnya saling memahami dan menghormati orang lain yang berbeda komunitas dengan kepercayaan agama yang berbeda pula.

Ketika teks suci agama berfungsi sebagai teks utama dalam pendidikan agama, maka pendekatan penulisan buku-buku agama yang menekankan perbandingan kitab suci agama-agama perlu dibudayakan. Penting juga diusahakan bahwa dalam mempelajari kitab suci, masing-masing tokoh agama diharapkan mampu memberikan arahan perbandingan bahwa dalam kitab suci orang lain pun doktrin semacam itu ada, hanya saja dengan bahasa yang berbeda.

Ada yang Sama

Pemerintah pun bisa turut andil dengan cara menyediakan teks-teks kitab suci yang disusun dengan cara perbandingan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyusun kitab suci dengan pendekatan tematis dan disusun dengan cara membandingkan dalam satu tema. Diharapkan anak didik secara tidak langsung belajar mengenal doktrin agamanya sendiri serta bisa memahami bahwa dalam agama orang lain pun ada doktrin yang sama. Permasalahannya adalah apakah setiap agama mempunyai tema yang sama, bagaimana cara membandingkannya, dan apakah hal itu tidak terlalu sensitif?

Meskipun kelihatannya sulit untuk dilakukan, paling tidak sosialisasi wacana perlunya perbandingan antar kitab suci bisa dijadikan rujukan bagi para tokoh agama di negeri ini, terutama mereka yang terlibat langsung dengan pendidikan agama. Agamawan bisa memulai dengan menginventarisasi tema sentral kitab suci agama-agama yang menekankan pentingnya perdamaian universal di dunia yang semakin mengglobal ini.

Dalam membandingkan tema-tema perdamaian dalam kitab suci, tentu saja penjelasan yang komprehensif diperlukan, sehingga anak didik tidak salah pengertian, dan murid bisa bersikap bijak dalam memahami kitab suci, sehingga klaim kitab sucinya saja yang paling benar bisa dihilangkan.Juga sikap atau pandangan bahwa isi kitab suci orang lain bersikap bias dan sudah terdistorsi bisa dihindarkan. Dengan demikian, kitab suci dicoba untuk didesain dalam setiap pengajaran agama sebagai jalan untuk mempromosikan kedamain dunia yang universal.[SH, 05/08/05]
Read more!

Roem

Mohammad Roem; Seorang Diplomat Pejuang
Oleh Tedi Taufiqrahman

Mungkin benar, meminjam istilah Goenawan Muhammad, dalam setiap praktek demokrasi mesti ada yang menjadi “tumbal” untuk keberlangsungan dan pencapaian keberhasilannya. Pada tahun 1968 beberapa minggu sebelum Muktamar pertama Partai Muslimin Indonesia (PMI) dilaksanakan di malang beredar kabar bahwa tokoh-tokoh tua Masyumi ikut memperkuat partai baru tersebut. Salah satunya adalah Muhammad Roem.


Mengapa Roem dan beberapa kawannya—M Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Burhanuddin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara—ikut serta? Karena pada saat itu PMI yang dipimpin oleh golongan muda kurang mendapat massa dan belum dikenal begitu luas.

Ayah Roem, Dulkarnaen Djojosasmito, bukanlah seorang yang ahli agama bahkan pembauran nilai-nilai Jawa dengan Islam mempersulit untuk menggolongkannya ke dalam kelompok santri. Hanya, Dulkarnaen adalah seorang pribadi yang memiliki kesadaran historis. Hal ini ditunjukannya dengan memberi nama anak-anaknya dengan symbol-simbol keagamaan. Keempat anaknya diberi nama para Khalifah Ar-Rasyidin. Anak tertua diberi nama Abu Bakar, kedua Umar, ketiga Usman dan keempat Ali.

Sementara nama Mohammad Roem merupakan percikan refleksi dari kesadaran historis sang ayah terhadap kitab suci Al Qur’an, Surat Ar Rum yang bercerita tentang nasib Imperium Romawi. Muhammad Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908, putera keenam dari Dulkarnaen Djojosasmito seorang lurah Klewongan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.

Sejatinya Roem termasuk anak-anak jawa yang beruntung. Sebab pada tahun-tahun itu merupakan masa dilaksanakannya kebijaksanaan baru penjajah yang lebih memperhatikan bumiputera. Pada Januari 1901, Ratu Wilhemina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang yakni untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Pendidikan pertamanya ditempuh di Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian dilanjutkan ke School Tot Opleding Voor Indische Art (STOVIA), sebuah sekolah pendidikan dokter pribumi di Jakarta yang untuk tingkat persiapannya ia selesaikan pada tahun 1927. Setelah menyelesaikan STOVIA ia justru melanjutkan ke Algemene Midelbare School (AMS) dan luluh pada tahun 1930. Namun ketika ia mendaftar ke Geneeskundige Hoge School (GHS) Sekolah Tinggi Kedokteran, dua kali ia mengikuti ujian masuk dan dua kali pula ia gagal.

Meski dididik dengan pendidikan barat Roem tidak muncul sebagai tokoh nasionalis “secular”, walau secara umum baik dengan Hatta, Sukarno, Ali Sastroamidjojo maupun Sjahrir memiliki persepsi yang sama tentang masa depan bangsanya.

Pada tahun 1925 Roem berkenalan dengan Agus Salim lewat aktivitasnya di Jong Islamieten Bond (JIB) sekaligus mengagumi tokoh islam tersebut. Bersama dengan Kasman Singodimedjo, Suparno dan lainnya roem sering berkunjung ke rumah tokoh PSII ini. Dan kelak pengaruh dari Agus Salim-lah yang menentukan arah dan langkah-langkah politik Roem.

Pada tanggal 28 Oktober 1928 ketika mendekralasikan Sumpah Pemuda, Roem juga hadir tetapi, dalam pandangan Dawam Rahardjo, masih terlalu muda untuk menjadi tokoh pemuda sekalipun umurnya sudah 20 tahun pada saat itu.

Pasca kemerdekaan sosok M Roem tetap teguh menjadi intelektual bebas, berani dan berkepribadian teguh seperti halnya Hatta dan Sjahrir sebab pada saat itu kondisi seseorang mudah beralih peranan dari intelektual bebas menjadi penguasa.

Kepribadian bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi ini menjadi corak perjuangan Roem yang kemudian menentukan putusan-putusan politik pribadinya. Tidak mengherankan jika Roem, walau menjadi anggota masyumi, memutuskan untuk duduk dalam suatu kabinet yang tidak mendukung Masyumi.

Kepribadian bebas ini pula yang menentukan arah perjuangan Roem sebagai seorang diplomat atau perunding bukan semata-mata bakat atau warisan keterampilan yang diperoleh dari Agus Salim. Namun kendati demikian memang pengaruh Agus Salim terhadap diri Roem tak bisa dibantah, salah satunya adalah pandangan Roem mengenai penekanan untuk mencapai kemerdekaan yang harus diubah yaitu dengan perundingan bukan secara radikal.

Salah satu kiprah diplomasi Roem yang paling terkenal adalah Roem-Royen Statement pada tanggal 14 April 1949, Roem mengecam serangan-serangan Belanda. Dalam pidatonya roem menyatakan, agresi belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai.

Sesungguhnya, perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes di jalan Molenvliet, merupakan suatu perundingan yang sangat menentukan bagi masa depan bangsa Indonesia yang berdaulat. Dalam hal ini salah satu bunyi Royen Statement menyatakan pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang sepatutnya dalam suatu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
Roem hampir sepenuhnya dalam dunia diplomasi, suatu dunia nonpersenjataan dan ikut memberikan andil bagi kemerdekaan bangsa Indonesia justru pada saat-saat senapan tidak memberikan harapan.
Lantas apa yang telah kita lakukan?
Read more!

Luka

Warga-Aliran Jubir Saling Serang, Belasan Luka
Oleh Admin

MEDAN- Baru saja tuntas masalah aliran Al Qiyadah Al Islamiyah, kini di Sumatera Utara (Sumut) tepatnya di Belawan muncul aliran baru. Aliran itu membuat berang karena pemimpin aliran itu, Jubir, diduga mengubah kalimat syahadat dan memasukkan namanya menggantikan Nabi Muhammad SAW.

Informasi yang dihimpun koran ini, diduga lafadz syahadat diubah pada kalimat kedua setelah Asyhaduallaa ilaha ilallah, yaitu Ashaduannamuhammadarrosulullah diganti menjadi Ashaduannajubirrasulullah.

Menurut informasi, jumlah pengikut tersebut berjumlah 40 orang. Aliran itu sudah berlangsung sekitar dua tahun dan berpusat di Kelurahan Bagan Deli. Tepatnya di pinggir jalan menuju UPT (Unit Pelayanan Terminal) Peti Kemas Pelabuhan Belawan.

Markas kelompok itu terbuat dari triplek dan berwarna hijau. Saat ini, pondok itu diberi police line.

Dari data yang didapat, puluhan orang luka-luka akibat bentrokan di Desa Bagan Deli (Gabion) Belawan, Deli Serdang, Senin (21/1) sekitar pukul 22.00 WIB.

Saat ini, dua korban luka dirawat di RS Pirngadi Medan.

Menurut keterangan korban yang dirawat tersebut, jumlah korban berjumlah 16. Korban lainnya di RS Pelabuhan Belawan.

Informasi sementara, korban dari pengikut aliran Jubir sebanyak dua orang.

Hendra, salah satu warga Desa Bagan Deli yang terlibat dalam bentrokan tersebut mengatakan bentrokan terjadi antara masyarakat setempat dengan pengikut aliran Jubir. Warga berusaha membubarkan aliran tersebut karena merasa resah dan khawatir fahamnya akan menyebar ke masyarakat lain.

”Sejak sore, aliran ini mengumpulkan massa pengikutnya dari luar Belawan. Maka kami para warga langsung berembuk dengan warga lain. Kemudian pada malam hari, sekitar pukul sepuluh, kami mendatangi rumah, tempat berkumpulnya para pengikut aliran Jubir tersebut, dengan tujuan untuk mengusir mereka,” bebernya.

Saat pengusiran tersebut, warga yang datang dengan tangan kosong, rupanya, diserang balik. ”Kami pun kaget, karena tak menyangka, ternyata mereka menyerang kami menggunakan senjata tajam. Kami berhamburan,” ungkap Hendra. Beberapa warga pun mengalami luka-luka dan segera dilarikan ke Puskesmas terdekat. Namun, karena tak sanggup untuk menangani, korban dibawa ke Rumah Sakit Pelabuhan Belawan.

Sedangkan dua warga Desa Bagan Deli yang mengalami luka serius segera dilarikan ke Rumah Sakit Pirngadi Medan menggunakan ambulance milik TNI AL. Kedua warga tersebut diketahui bernama Wajiri , 31, warga Lorong Dua Desa Bagan Deli dan Barjo, 35, warga Lorong Satu Desan Bagan Deli. Ketika dibesuk di RSPM pukul 24.00 WIB, Wajiri terlihat mengalami luka di bagian tangan dan punggung belakang. Sedangkan Barjo luka di bagian wajah, paha kiri, tangan kiri dan punggung belakang.

Kapolsek Belawan AKP S.S. Napitu mengungkapkan bahwa satu pleton aparat kepolisian dari Poltabes Medan sedang berjaga-jaga di lokasi kejadian yang dibantu sebagian warga setempat. ”Jumlah korban saat ini masih didata dan diperkirakan aparat kepolisian akan berjaga sampai pagi,” jelas Napitu kepada wartawan koran ini. (ril/del/jos/mag-4/mag-11)
Read more!