RSS

Nabi

Tuesday, March 25, 2008

Maulid Nabi dan Kesadaran Berindonesia
Oleh Sukron Abdilah

Kelahiran adalah sebentuk harapan bagi bangsa kita. Bangsa yang harus terus-terusan memincingkan indera untuk mencari obat mujarab bagi segala penyakit sosial yang kronis.

KKN, peperangan antarpemuda, antaretnis, kekerasan atas nama agama, permusuhan terselubung sebagian elit politik dan gejala menetasnya kembali angka kemiskinan di negeri ini. Akankah bumi Nusantara menggeliatkan diri dari ketidaknyamanan tersebut?

Harapan untuk menggeliatkan bangsa dari ketidaknyamanan terletak pada mampunya melahirkan kembali semangat baru. Semangat yang dapat memberdayakan biofilia (daya hidup) penganut agama sehingga tercipta kerukunan hidup di tubuh bangsa untuk selanjutnya bersama-sama membangun negeri home sweet home ini.
....
Dalam konteks berindonesia, maulid Nabi yang diperingati pada bulan Rabiulawal berposisi sebagai alat penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi (dari umat Islam). Tidak arif saya pikir jika masih terjebak pada logika relasi lawan-kawan. Sebab, kekikukkan religiusitas yang ekslusif akan mengakibatkan tali-temali yang mengikat kerukunan bangsa cerai-berai. Celakanya lagi, kekerasan akan menjadi hal yang lumrah, tidak asing dan seakan tidak mengancam keutuhan berbangsa-bernegara.

Rabiulawal adalah bulan di mana kita mesti memelihara diri, orang lain dan alam sekitar.
Sesuai dengan kata Rabb yang berarti memelihara dan kata awwal yang berarti tahapan pertama. Pada bulan ini, semestinya menjadi tahap awal untuk membenahi keberagamaan kita dengan membumikan prinsip hidup pemeliharaan agar kita lebih manusiawi.

Belajar dari kupu-kupu

Manusia sebagai mikrokosmos, bagian dari alam makro yang harus merasakan kerahmatan Islam. Begitu juga ketika berinteraksi dengan alam sekitar, kita (umat Islam) berkewajiban menjaga dan memeliharanya pada bulan Rabiulawal ini. Syukur-syukur pada bulan selanjutnya kita dapat berbuat baik kepada manusia dan alam sekitar.

Kita tahu bahwa sebelum menjadi kupu-kupu cantik yang beterbangan, mesti melewati proses panjang metamorfosa. Dari seekor ulat yang menjijikkan, lalu bertansformasi menjadi kepompong dan akhirnya terciptalah kupu-kupu indah. Petanda ini merupakan satu dari berjuta hikmah yang dilukiskan Tuhan untuk terus digali, dikaji, dihayati, dan diamalkan dalam keseharian.

Tatkala hari, minggu, bulan dan tahun-tahun kebelakang sikap dan aktus kita masih menyimbolkan alam hidup barbarian, menggantinya dengan yang lebih humanis dan toleran adalah keniscayaan. Seperti halnya kupu-kupu. Dari seekor ulat dan kebanyakan menjijikkan, menjadi seekor kupu-kupu yang indah dan kerap mengabarkan bahwa musim telah berganti dengan suasana yang asyik-ma’syuk.

Menghilangkan racun perilaku patologis yang menempeli diri, menggantinya dengan kemanisan akhlaq dan budi pekerti adalah grand tema peringatan maulid nabi. Dalam bahasa lain, keberagamaan kita mesti bermetamorfosa dari ketidakbecusan membumikan ajaran kasih Tuhan menjadi kepiawaian memijakkan ajaran-Nya tersebut di muka bumi.

Bahkan lebih bagus lagi jika setiap hari adalah kelahiran kembali sisi kemanusiaan kita. Pengorbanan untuk terus mengaktualisasikan ajaran rahmatan lil-alamin pada setiap gerak-nafas kehidupan. Dan pembumian ajaran langit, karena agama diturunkan ke bumi, tidak turun di akhirat sana (?).

Melahirkan semangat kerukunan

Secara historik pada 15 abad yang lalu, sosok Muhammad telah memberikan tauladan bagi kita. Ketika setiap hari ia dicaci-maki, bahkan diludahi oleh seorang penentang ajarannya; tidak lantas membuatnya marah. Malahan, menjenguk dan memberikan support kepada orang tersebut ketika si penentang itu terbujur kaku di tempat pembaringan (baca: sakit). Perilaku luhung bukan?

Sesuai dengan akar kata maulid, yakni hari dilahirkan ke dunia. Maka, kelahiran merupakan angka nol yang menentukan angka-angka selanjutnya. Dari ketiadaan hidup menjadi eksisnya kehidupan. Atau dari kegelapan pribadi menuju terang benderangnya budi pekerti. Maulid Nabi semestinya diposisikan sebagai prosesi sakral dan profan untuk melahirkan kembali semangat kanjeng Nabi Muhammad. Semangat menghargai perbedaan, memahami keyakinan orang lain, dan mencintai tetangganya meskipun berlainan agama.

Ketika kita telah sedemikian asyik melumuri diri dengan arogansi, ekslusivitas, dan intoleransi hingga berujung pada mengatmosfernya ketakharmonisan di negeri ini. Maka, kelapangan hati semestinya tidak dipreteli dari jiwa kita, tidak direpresi ke dasar alam bawah sadar, dan tidak dikhianati hingga kosong melompong dari aktivitas keseharian.
Apabila hal ini kita abaikan, dapat dipastikan bahwa menyeruaknya arogansi keberagamaan akan meramaikan jagad keindonesiaan.

Momentum maulid Nabi kali ini tidak seharusnya dijadikan ajang penonjolan arogansi keberagamaan. Namun, perantara untuk mengepakkan sayap (umat Islam) agar menebarkan sikap damai, toleran, dan humanis. Ketika kerukunan di negeri ini kita hancurkan, maka posisinya bagaikan seorang manusia yang sedang merusak sesuatu yang telah diciptakannya sendiri.

Hasrat nekrofilia (meminjam istilah Erich Fromm) yang sedemikian parah dalam keberagamaan kita tentunya akan menebarkan penyakit jiwa (psikotis), seperti mengerdilkan keyakinan orang lain, menjustifikasi bahwa selain golongannya adalah sesat, dan segala upaya pendiskriminasian kaum minoritas.

Oleh sebab itu, setiap upaya peringatan hari kelahiran kanjeng Nabi Muhammad, entah itu berupa menghidupkan kembali tradisi masyarakat lokal ataukah sekedar tabligh akbar, merupakan penghantar untuk menciptakan semangat membangun kerukunan. Maka, kebersamaan di tengah keberbagaian bangsa Indonesia dapat menggiring kita pada bermetamorfosanya kesadaran berindonesia. Wallahualam
Read more!

Maulid

Melacak Kelahiran Muhammad: Sebuah Perspektif Sejarah Kritis
Oleh Eko Marhaendy

Pada kesempatan sebelumnya, saya pernah menuliskan sebuah artikel bertajuk Sekedar Refleksi untuk 8 Juni (dipublikasikan secara pribadi), dengan sebuah ide pemikiran bahwa 8 Juni – dalam perspektif penanggalan Masehi – pada prinsipnya merupakan momentum penting bagi umat Islam, namun kerap menganggapnya tidak begitu penting.

Artinya, umat Islam pada umumnya hampir melupakan bahwa tanggal tersebut merupakan tanggal dimana Muhammad SAW wafat. Tanggal ini menjadi tidak begitu penting dikarenakan kebiasaan umat Islam menggunakan sistem penanggalan Hijriyah untuk mencatat pristiwa dan sejarah Islam. Padahal, sistem penanggalan tersebut secara resmi baru dimulai pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, enam tahun setelah wafatnya rasul.

Uniknya, 8 Juni ketika itu (632 Masehi) bertepatan dengan tanggal 12 Rabiwul Awwal tahun ke-10 Hijiriyah, satu tanggal yang telah menjadi budaya dikalangan umat Islam untuk merayakan hari kelahiran Muhammad SAW (maulid nabi). Pertanyaannya adalah: apakah tanggal kelahiran Muhammad yang bertepatan dengan tanggal wafatnya beliau merupakan sebuah kebetulan sejarah?, atau masih terdapat perselisihan serta kontroversi di dalamnya?. Tulisan yang saya beri judul “Melacak Kelahiran Muhammad” ini berupaya untuk menemukan jawabannya.

Kesamaran Sejarah Kelahiran Muhammad
Kalimat “melacak kelahiran Muhammad” mengandung konotasi ketidak jelasan kelahiran beliau. Artinya, jika kalimat ini digunakan sama halnya dengan meragukan tanggal 12 Rabiwul Awwal sebagai peringatan maulid nabi yang telah menjadi tradisi umat Islam dalam rentang sejarah yang panjang. Namun demikian, meletakkan Muhammad sebagai vigur sejarah mestilah menggunakan tinjauan serta analisis yang kritis. Dengan demikian, istilah ragu disini tidak menunjukkan kelemhan iman seseorang terhadap Islam. Hal ini perlu ditegaskan sebelumnya untuk menghindari kontroversi yang kerap kali berakibat buruk bagi orang-orang yang mencoba berfikir kritis terhadap Islam dari segala aspek, sejarah barangkali menjadi salah satu di dalamnya.

Membincang hari kelahiran Muhammad bukanlah hal mudah – semudah mengingat tanggal sejarah. Kita akan dihadapkan dengan dua pilihan yang amat sulit: berbicara jujur namun terkesan merusak sebuah tatanan budaya yang melekat pada umat Islam untuk merayakan 12 Rabiwul Awwal sebagai hari kelahiran Muhammad (maulid nabi); atau sebaliknya, menerima tatanan tersebut begitu saja, namun harus menutupi sebuah kejujuran bahwa penanggalan tersebut masih mengalami kesamaran sejarah.
Kesadaran akan pentingnya mengingat hari kelahiran Muhammad baru muncul pada masa pemerintahanUmar bin Khattab, tepatnya pada tahun 638 Masehi. Ketika itu Umar ingin menjadikan penanggalan Hijriyah sebagai sebagai sistem penanggalan resmi pemerintahan Islam ketika itu. Akan tetapi muncul berbagai benturan untuk menetapkan patokan awal dimulainya. Para sahabat menemukan kesulitan ketika muncul gagasan untuk menjadikan hari kelahiran Muhammad sebagai patokan awal sistem penanggalan Hijriyah. Sebab tidak satupun diantara mereka yang tahu persis kapan Muhammad dilahirkan.

Kesulitan melacak kelahiran Muhammad ini dirasa sangat wajar. Abdullah Al-Zanjani (1984) mengungkapkan: setiap pengkajian sejarah kelahiran nabi SAW akan menghadapi dua kemusykilan; pertama, kebiasaan orang Arab tidak mencatat sejarah mereka dengan tulisan kerena kebiasaan menulis merupakan satu hal yang baru pada zaman itu. Kedua, tidak diketahuinya hisab tahun yang digunakan orang Arab Jahiliyah, apakah yang digunakan Syamsiyah atau Qamariyah – agar benar-benar terbukti bahwa kelahiran Muhammad pada bulan Rabiwul Awwal.

Memang ada sejumlah pristiwa besar yang pernah terjadi pada tahun-tahun kelahiran Muhammad. Pristiwa tersebut misalnya penyerangan Ka’bah oleh Tentara Gajah Raja Abraha – yang kemudian tahun tersebut diabadikan sejarah Islam sebagai Tahun Gajah. Atau konon, dalam keyakinan umat Islam tradisional, pada saat kelahiran Muhammad muncul cahaya yang bersumber dari bayi Muhammad dan mampu menerangi seluruh Kota Makkah, serta api-api kaum Majusi yang telah hidup selama ratusan tahun padam seketika itu.

Terlepas apakah pristiwa luar biasa di atas dapat dibuktikan sejarah atau sebuah mitologi belaka, Fuad Hashem (1989) agaknya ingin menyingkirkan demitologisasi semacam itu dengan menggambarkan keadaan normal pristiwa kelahiran Muhammad pada buku Sirrah Muhammad Rasulullah yang ditulisnya. Fuad menegaskan: jeritan seorang bayi yang lahir merupakan hal lumrah didengar oleh masyarakat Quraisy ketika itu. Sebab setiap detik dan setiap menit bias saja bayi-bayi lain terlahir dengan kondisi dan jerit tangis yang sama. Kegembiraan mungkin muncul dari kalangan keluarga Abu Thalib karena diketahui bayi yang lahir adalah seorang bayi laki-laki, sebuah simbol kebesaran bagi bangsa Arab ketika itu. Namun siapa yang sadar kelak bayi tersebut akan menjadi seorang rasul utusan Tuhan yang tentunya turut mengisi pentas sejarah dunia, sehingga mereka lalai untuk mencatat tanggal lahirnya.

Kesamaran sejarah kelahiran Muhammad ini mengakibatkan perselisihan penanggalan yang cukup kontras dikalangan umat Islam. Kebanyakan ulama Syiah misalnya, berpendapat bahwa Muhammad dilahirkan pada tanggal 17 Rabiwul Awwal Tahun Gajah. Pendapat ini dibantah oleh segelintir ulama Syiah pula, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini Ar-Razi, dengan ucapan: Rasulullah SAW dilahirkan pada 12 Rabiwul Awwal Tahun Gajah”.

Ulama seperti Ibrahim bin Al-Munzeir, Al-Bukhari dan Khalifah bin Al-Khayat menukilkan adanya ijma’ bahwa Rasulullah SAW dilahirkan pada hari senin bulan Rabiwul Awwal, namun mereka tidak seragam dalam menentukan tanggalnya. Ada empat pendapat yang termahsyur, yaitu: pada hari kedua, kedelapan, kesepuluh dan kedua belas (Al-Janjani:1984). Mahmud Pasha, seorang ahli Ilmu Falak Mesir, mengambil jalan yang menurutnya dapat dipercaya dengan melakukan berbagai penghitungan, selanjutnya menyimpulkan bahwa Muhammad dilahirkan pada tanggal 12 Rabiwul Awwal, bertepatan dengan 20 April Tahun 571 Masehi, ditinjau dari sudut pandang sistem penanggalan Hijriyah, maka tanggal lahir Muhammad jatuh pada tanggal yang sama dengan tanggal wafatnya beliau, 12 Rabiwul Awwal tahun ke-10 Hijriyah, bertepatan dengan 8 Juni 632 Masehi.

Tradisi Peringatan Maulid Nabi
Berdasarkan uraian sebelumnya, kita tentu dapat memaklumi mengapa 12 Rabiwul Awwal dijadikan sebagai tradisi untuk mempringati maulid nabi. Hal ini disandarkan pada kesimpulan Mahmud Pasha yang meyakini tanggal kelahiran Muhammad sama persis dengan tanggal wafatnya beliau. Akan tetapi, yang sedikit aneh adalah kebiasaan umat Islam pada umumnya yang hampir melupakan bahwa tanggal 12 Rabiwul Awwal yang diperingati sebagai hari kelahiran nabi mengisyaratkan sejarah lain yang lebih otentik, yakni tanggal wafatnya nabi. Para mubaligh pada umumnya, jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah menyinggung otentisitas sejarah ini dalam setiap ceramah maulid yang dilakukannya.

Padahal, tradisi maulid sendiri masih menjadi perdebatan panjang dikalangan ulama Islam. Sebagian besar ualama Islam membolehkan perayaan tersebut, namun sebagian kecil masih menentangnya karena alasan tidak memiliki hujjah yang jelas: apakah 12 Rabiwul Awwal memiliki nilai khusus bagi umat Islam untuk merayakan hari kelahiran Muhammad?

Dalam literatur sejarah Islam, sebagaimana yang dapat ditemukan dalam buku yang ditulis Fuad Hashem (1989), dijelaskan bahwa rumah kelahiran Muhammad yang cukup sederhana dipugar oleh Khalifah Harun Al-Rasyid atas permintaan ibunya, Khaizuran. Rumah tersebut kemudian dijadikan sebagai tempat ibadah Sholat, dan sejak saat itu, rumah kelahiran Muhammad selalu ramai dikunjungi jamaah pada tanggal 12 Rabiwul Awwal. Terlepas dari tujuan – apakah ingin merayakan hari kelahiran Muhammad atau justru mengenang wafatnya beliau, sejarah ini menunjukkan bahwa 12 Rabiwul Awwal telah menjadi perhatian khusus umat Islam sejak Abad ke-8 Masehi.

Sementara itu, tradisi perayaan maulid sendiri – dicatat oleh sejarah – dimulai pada masa Sholahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima perang Islam yang berperan pada pristiwa Perang Salib. Untuk merangsang semangat juang tentaranya, Sholahuddin berkeinginan membangkitkan semangat mereka dengan kegiatan yang dapat mengingatkan pada perjuangan dakwah Muhammad. Atas dasar keinginan tersebut, selanjutnya Muzhofaruddin Kokbury (sepupu Sholahuddin) merayakan peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya pada tahun 1207 Masehi.

Penutup
Membaca kembali berbagai perspektif sejarah Muhammad tentunya akan mengurai perdebatan panjang. Sebab sejarah tersebut tidak lebih dari sebuah periwayatan-periwayatan yang diperoleh dari orang-orang yang – menurut keyakinan kita – dapat dipercaya. Boleh jadi masih terdapat kekurangan serta kelemahan-kelemahan dalam isi periwayatan tersebut, sehingga menjadikan sejarah Muhammad – dalam beberapa aspek – berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Karenanya, melakukan analisis kritis terhadap sejarah (Muhammad) tidak saja dimungkinkan, malah menjadi sebuah keharusan agar umat Islam dapat lebih arif dalam beragama.

Momentum 12 Rabiwul Awwal sebagai peringatan maulid nabi misalnya, telah tersusun demikian rapih menjadi sebuah tatanan budaya yang menghiasi sejarah kehidupan umat Islam dalam rentang waktu yang panjang. Umat Islam pada umumnya hampir “dibutakan” oleh tradisi tersebut sehingga menganggapnya sebagai kesimpulan mutlak. Silahkan saja 12 Rabiwul Awwal menjadi tradisi untuk merayakan peringatan maulid nabi, namun setidaknya umat Islam harus mengerti alasan mengapa jatuh pada tanggal tersebut, tentunya dengan membaca kembali berbagai perspektif Sejarah Islam (Muhammad), dan peranan para “mubaligh maulid” tentu sangat diharapkan untuk memberikan pencerahan ini. Wallahu a’lam….☺
Read more!

Sekuler

Thursday, March 6, 2008

Islam Itu Sekuler!!

Perdebatan hubungan agama dan negara nyaris tak ada habis. Kelompok yang pro pusi atas keduanya menginginkan agama dan negara satu kesatuan seperti dua sisi dalam sekeping mata uang.

Tapi yang kontra menolak, agama dan negara seperti minyak dan air yang selamanya takkan bisa berjalan seiring sejalan. Bagaimana pandangan pemikir lokal NTB tentang agama negara. Kita simak wawancara Achmad Jumaely dengan dosen IAIN Mataram Drs. M. Asyiq Amrullah, M.Ag. beberapa waktu lalu kantornya.

Sekarang ini, terdapat sekelompok ummat Islam yang tiba-tiba berupaya untuk melakukan formalisasi syari’at Islam, bagaimana bapak mencermati hal ini?

Ini memang fenomena baru yang disusung oleh beberapa Parpol dan ormas islam, tapi ini suara minoritas. Dalam konteks indonesia yang majemuk, hal ini tidak mungkin kita lakukan. Itu sebabnya para pendiri bangsa menyepakati pancasila sebagai asas negara.

Tapi, alasan mereka demi menegakkan syari’at Islam?

Iya, semua ummat Islam tentu saja punya keinginan yang sama, menerapkan syari’at islam. Tapi bukan dengan formalisasi syari’at. Formalisasi syari’at islam kan artinya menggunakan syari’at islam dalam undang-undang negara. Dan ini tidak mungkin, karena negara kita tidak hanya dihuni oleh ummat Islam saja tapi juga ada ummat agama lain.

Lalu bagaimana dengan kewajiban menerapkan syari’at oleh ummat islam sendiri?

Penegakan syari’at itu kan kewajiban setiap individu muslim bukan harus diurus oleh negara. Negara ya negara, islam ya islam.

Akibatnya jika agama (islam) dipaksakan masuk dalam struktur negara?

Ya, seperti negara Turki Ustmani itu. Kacau-balau, disana-sini terjadi pemberontakan dan pembunuhan. Raja Turki Usmani bermadzhab Hanafi dan karenanya semua rakyat dipaksakan bermadzhab Hanafi, akhirnya rakyat atau ulama yang bermadzhab lain jelas tidak setuju. Dan menolak hal itu. Daam konteks indonesia jelas lebih kompeks dan lebih rumit, karena disini tidak hanya ummat islam tapi juga ummat agama lain. Tidak mungkin kita menerapkan syari’at islam kepada mereka yang tidak beragama islam.

Jika demikian sepertinya islam lebih sepakat pada sekualarisasi?

Memang begitu, sekularisasi itu terjadi di eropa disebabkan agama (gereja) terlalu banyak mencampuri urusan negara dan sebaliknya. Para ilmuan seperti Galelio Galilei sampai dihukum mati karena dianggap menentang gereja. Ilmu pengetahuan yang mereka temukan justru dianggap mencederai eksistensi gereja. Maka saat itu disepakati gereja harus dipisahkan dengan negara. Dalam konteks indonesia juga demikian.

Tantangan penerapan syari’at Islam yang lain?

Banyak, salah satunya adalah persoalan madzhab tadi itu. Kita mau merapkan syari’at islam versi (madhab) apa? Sementara di negara ini hampir semua madhab hidup dan sama-sama mempunyai banyak ummat. Bahkan, saya kira akan lebih sulit lagi jika kita menyadari bahwa kita hidup dalam beragam agama, etnis, suku dan bangsa. Saya kira penerapan syari’at islam kita serahkan pada individu ummat Islam masing-masing. Nanti di akhirat kita akan tahu siapa yang terbaik diantara kita, yang penting hidup ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya, berlomba-lomba dalam kebaikan. []
Read more!