RSS

Toleransi

Sunday, May 25, 2008

Toleransi sebagai Kuasa Nilai
Zuhairi Misrawi

Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Sebab itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Rainer Forst dalam Toleration and Democracy (2007) menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam hal ini, Forst lebih memilih konsepsi yang kedua, yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.

Memang, sejauh ini toleransi diandaikan oleh banyak pihak sebagai durian yang jatuh dari langit. Kekuasaan politik dianggap sebagai faktor determinan dalam mewujudkan toleransi. Jika negara sudah membuat peraturan yang menegaskan pentingnya toleransi dan kerukunan bagi semua warga negara, semuanya dianggap taken for granted. Negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang bisa menyulap intoleransi menjadi toleransi.

Lain anggapan, lain pula realitasnya. Sebab, belajar dari pengalaman, betapa bagusnya kebijakan publik yang dibuat oleh negara kerap kali sulit diterjemahkan dalam realitas. Ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa toleransi sulit ditransformasikan dalam realitas keragaman yang ada dalam sebuah negara. Di antaranya, negara sendiri terdiri atas pelbagai entitas yang mempunyai mindset kurang lebih cenderung kepada intoleransi daripada toleransi. Apalagi, entitas tersebut hanya memahami demokrasi secara prosedural, yaitu hegemoni mayoritas atas minoritas atau sebaliknya, ketundukan minoritas atas mayoritas.

Sementara itu, negara tidak mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dalam rangka menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Akibatnya, kelompok minoritas senantiasa berada di bawah ancaman kelompok yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas. Lalu, pertanyaannya dari mana kita mesti memulai untuk membangun toleransi?

Dua modal
Richard H Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Menurut Dees, masalah utama toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi pada level ini, menurut Dees, mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Di Perancis, pada abad ke-16, Henri IV mengeluarkan sebuah dekret tentang toleransi, yang di antara butir-butirnya berisi tentang upaya mengakhiri konflik yang berbasis agama, yaitu antara umat Katolik dan Protestan. Dekret tersebut disetujui oleh kedua belah pihak. Kalangan Protestan sebagai kelompok minoritas mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mendapatkan otonomi khusus di daerah bagian selatan dan barat.

Hanya saja, dalam realitasnya, kesepakatan tersebut tidak benar-benar diimplementasikan oleh kedua belah pihak. Huguenot, komunitas Protestan di Perancis, kerap kali dicurigai. Intinya, kedua belah pihak tidak mampu menumbuhkan kepercayaan di antara mereka.

Kedua komunitas tersebut sebenarnya mempunyai cita-cita yang luhur untuk membangun kedamaian, dan rezim Henri IV berada di garda terdepan untuk mewujudkan toleransi menjadi kenyataan. Tiap-tiap kelompok mendapatkan jaminan kebebasan untuk melaksanakan pandangan keagamaan dan keyakinannya. Bahkan, kedua kelompok tersebut bersama-sama menyepakati traktat perdamaian dan toleransi.

Masalahnya muncul ketika Henri IV tewas pada tahun 1610 di tangan penganut fanatik. Kematian Henri menjadi awal dari bencana intoleransi sebab kedua kelompok tersebut kehilangan kepercayaan untuk mengawal kesepakatan toleransi yang telah berlangsung puluhan tahun. Sementara itu, benih-benih intoleransi mulai tumbuh di antara tiap-tiap kelompok dengan mengobarkan api pertikaian bersamaan dengan meninggalnya Henri IV, tokoh yang mengawal toleransi dan perdamaian.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman toleransi dan intoleransi di atas adalah toleransi sebagai modus vivendi sangat ditentukan oleh kekuatan politis. Yang terpenting, tiap-tiap kelompok tidak memahami betul perihal pentingnya toleransi, baik di saat ada persetujuan hitam di atas putih maupun tidak ada.

Di Arab, tepatnya di Madinah, persetujuan serupa pernah dideklarasikan, yang biasa disebut dengan mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun, dalam perjalanan sejarah, persetujuan tersebut mudah dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi di masyarakat plural. Mereka hanya mau bertoleransi di atas kertas, tetapi sulit untuk menerjemahkannya dalam realitas politik yang plural. Lalu, sebenarnya apa masalah utamanya?

Di sini perlu diajukan proposal rekonstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman intoleransi, yaitu meneguhkan toleransi sebagai kebajikan (toleration as a virtue), di samping toleransi sebagai hak setiap individu.

Di sini, kita bisa belajar dari pengalaman Inggris. Toleransi dalam bentuk modus vivendi di Inggris, khususnya setelah munculnya traktat toleransi pada tahun 1689, lebih kukuh dibandingkan dengan di Perancis karena toleransi yang dipraktikkan di Inggris mampu menerjemahkan nilai-nilai yang paling mendasar dalam toleransi. Dengan kata lain, toleransi di Inggris mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Di Inggris, cara terbaik untuk membangun toleransi adalah menumbuhkan semangat kesatuan yang dibangun di atas pilar kebangsaan.

Kegagalan Perancis dan keberhasilan Inggris pada masa lalu menginspirasikan bahwa membangun toleransi tidak hanya kuasa negara, tetapi juga kuasa nilai yang diterapkan secara sungguh-sungguh dalam sebuah negara. Toleransi bukanlah proses yang langsung jadi, melainkan kehadiran nilai yang mengakar kuat di tengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan dan dialog untuk membangun saling percaya.

Zuhairi Misrawi Direktur Moderate Muslim Society (MMS) dan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

Kompas Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:29 WIB
Read more!

Panas

Monday, May 12, 2008

Agama Kian Panas
Oleh Badru Tamam Mifka

Sebuah Introduksi Islam Santai
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.(QS. Yunus: 19)

Jika di dalam rumah Anda ada dua orang bertengkar hebat, bisa saya pastikan Anda akan pusing mendengarnya dan mulai merasa tak betah tinggal di rumah. Anda akan stress. Barangkali Anda akan mencoba melerainya. Tapi jika pertengkaran itu tak bisa dihentikan, dan Anda malah kena damprat, bisa saya pastikan lagi Anda akan memilih keluar rumah dan mencari tempat yang tenang untuk mengurangi stress Anda. Di saat seperti itu, mungkin Anda akan mengeluh: “Rumahku adalah nerakaku…”

Begitu pun dengan “rumah” bernama agama Islam di Indonesia belakangan ini. Layaknya satu kelompok dengan kelompok umat lain tengah tenggelam dalam “lumpur pertengkaran”. Tentu saja, pasalnya adalah permasalahan klasik bernama: perbedaan pendapat. Bukankah sudah lama kita tahu bahwa bangsa ini masih belum sepenuhnya dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan pendapat?

Hari ini, misalnya, ada berita yang lagi hot. Saya menyaksikan sebagian besar umat Islam Indonesia (mayoritas) sedang “bertengkar” dengan jemaah Ahmadiyah (minoritas). Ahmadiyah dituduh sebagai aliran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menelorkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menodai ajaran Islam. Bisa dipastikan—setidaknya—sebuah fatwa ibarat gema takbir yang membakar semangat umat. Maka bergelombanglah ormas-ormas Islam berdemonstrasi mendesak presiden untuk membubarkan Ahmadiyah dari bumi Nusantara ini.

Dari dulu, keberadaan jemaah Ahmadiyah memang tak pernah diberi tempat yang aman di negeri ini. Dari mulai dihujani fatwa sesat, pengusiran dari kampung sendiri hingga kekerasan, bahkan pembakaran rumah.

Gerakan anti-Ahmadiyah memang setahun terakhir ini kian meruncing. Mereka keukeuh menganggap Ahmadiyah adalah ajaran menyimpang karena tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai khataman-nabiyyin. Banyak umat Islam sudah gerah pada keberadaan aliran Ahmadiyah di Indonesia yang juga dituduh mempunyai Nabi dan Kitab Suci sendiri. Mereka giat melakukan demonstrasi dan mendatangi tempat-tempat jemaah Ahmadiyah. Tak heran jika jemaah Ahmadiyah merasa terancam dan tak khusuk dalam menjalankan ibadahnya.

Namun di lain pihak, Ahmadiyah melakukan pembelaan diri. Dari beberapa wawancara di televisi, mereka mengaku tak menyimpang dan menodai ajaran Islam. Mereka masih memakai syahadat, sholat, percaya pada kitab Qur’an. Mereka juga mengakui Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat dan Mirza Ghulam Ahmad hanyalah guru, mursyid, dan sebagai pembaharu yang tugasnya adalah menghidupkan kembali syariat. Mereka tak mau dianggap menyimpang. Bahkan mereka meminta Presiden SBY tidak melarang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia karena melanggar UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia.

Tapi keadaan kian memanas. Pro-kontra pendapat di kalangan masyarakat bersilangan seperti siraru. Alih-alih agama yang seharusnya jadi ruang beribadah dengan tenang, malah dijadikan cerobong untuk menyalahkan dan mengutuk kelompok lain yang berlainan pendapat dengannya. Dzikir kita sudah pabaliut dengan caci maki. Ibadah kita sudah terkontaminasi dengan dengki dan jahil pada sesama.

Sebenarnya “cacat” seperti itu seringkali ditemukan dalam tubuh agama Islam. Kita mungkin sudah akrab dengan perselisihan umat mulai dari soal pertikaian dalam hal-hal furu’ atau kalap dalam ikhtilaf dengan umat seagama. Pikiran dan waktu kita dihabiskan di sana. Sampai kini, agama Islam masih merupakan bentuk yang retak di beberapa bagian. Islam—setidaknya di Indonesia—ternyata bukanlah umatan wahidah atau jama’atun wahidah, tetapi—meminjam bahasa Quran: “…mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.”

Islam Yang Santai

Agama gonjang-ganjing Umat sibuk kasak-kusuk
Bagaimana ibadah bisa khusuk?

Menghadapi fenomena “pertengkaran” antara ormas-ormas Islam (plus MUI) dengan jemaah Ahmadiyah, saya jadi teringat ungkapan lama namun tetap indah dari Muhammad Said al-Ashmawy dalam Againts Islamic Extremism: “Keadilan mendahului hukuman, semangat lebih penting ketimbang teks, dan semua umat agama adalah satu komunitas.” Karena satu komunitas, menjaga indahnya persaudaraan dan perdamaian menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Perbedaan adalah rahmat. Menyikapi perbedaan dengan damai dan santai adalah nikmat. Tak perlu ada tradisi saling menyalahkan. Toh, dalam kasus Ahmadiyah, jemaah Ahmadiyah mengaku Islam, nabinya Muhammad, kitabnya al-Qur’an dan Tuhannya sama dengan umat Islam. Jika katanya Ahmadiyah hanya menafsirkan khataman nabbiyyin untuk Nabi Muhammad sebagai orang dengan kedudukan dan martabat yang paling luhur dan afdhal dalam segala hal, why not? Toh ini hanya perbedaan dalam menafsir. Kita tak perlu merasa paling benar. Bukankah kita tak mau menjadi bagian pengikut Rasul yang membuat agama terpecah belah, seperti apa yang digambarkan Allah dalam QS. Al Mu’minuun : 53: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”

Maka sejatinya setiap umat beragama berhak menjalani keyakinan dan ibadahnya dengan tenang. Jika kita menghormati hak asasi itu, saya yakin harmonitas umat seagama (bahkan antar agama) akan terwujud dan perpecahan tidak akan terjadi. Semua akan baik-baik saja, atau istilah kerennya—meminjam istilah Dr. Yudi Latif—I’m Ok, You’re Ok. Selebihnya, tanggung jawab kita adalah beribadah dengan tenang dan santai serta menciptakan kemashlahatan dan menghindari kerusakan (jalb al-mashalih wa daf al-mafasid) di muka bumi ini.

Umat yang berbeda pendapat tak perlu dilukai keyakinannya. Saya pikir jemaah seperti Ahmadiyah tak bermasalah; yang justru bermasalah adalah orang-orang yang merusak dan melakukan kekerasan pada mereka. Itulah yang bermasalah dan merusak citra Islam di mata dunia. Oknum umat setitik, rusak Islam sebelanga. Ahmadiyah bukan teroris yang jelas-jelas merusak nama baik Islam.

Janganlah terlalu tegang dalam menjalankan agama, santai sajalah. Ahmadiyah juga adalah bagian dari masyarakat Islam. Karena bagian dari masyarakat Islam, maka hormatilah keberadaan mereka. Jika tidak, saya khawatir kita termasuk umat yang dzalim dan berdosa. Ada ungkapan indah yang patut kita renungkan, bahwa “Tangan (kekuatan) Tuhan beserta jamaah (masyarakat). Barangsiapa memecah jamaah, memecah pula Tuhan…” Saya tak segan mengatakan, “mengganggu” dan menyakiti umat lain adalah dosa. Bukankah dosa itu tersembunyi, bahkan dalam jubah yang dianggap suci sekalipun?

Walhasil, sikap kita dalam beragama harus segera diperbaiki; harus segera didewasakan. Ketegangan dan kekerasan bukan cara yang arif. Bukan Islam stress yang kita harapkan, tapi Islam santai. Islam yang genah, merenah, tumaninah, gemah ripah-repeh-rapih loh jinawi. Jangan banyak bertengkar, agar umat betah dan khusuk beribadah. Mulailah berbuat baik pada sesama dalam beragama, bukan malah merugikan. Karena, yang paling baik di antara kamu ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, demikian Rasulullah bersabda. Dan Allah juga berpesan dalam Qur’an, “Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…” So, apakah mulai hari ini kita mau menegakkan agama atau malah memecah-belahnya? Saya berdoa kelak Islam tidak termasuk “barang pecah belah”. Semoga. Wallahu ‘alam. []

* Mahasiswa UIN Bandung
Read more!

Iman

Iman Minoritas Tercabik-Cabik
Oleh Wanddi Irfandi

Tanggal 21 April kaum perempuan akan merayakan hari kebangkitan mereka. Ya hari kartini, sebuah hari yang diyakini oleh kaum perempuan sebagai hari bangkitnya perempuan dari keterpurukan dan penindasan kaum lelaki atau sistem yang dibuat oleh kaum adam. Kartini dipercaya mampu mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang dulu tertindas, terhegemoni oleh lelaki.

Perjuangan Kartini sebagai kaum minoritas pada waktu itu memang mampu mendobrak sistem patriarki atau lebih tepatnya sistem yang dibuat memenjarakan kaum hawa. Selain itu Kartini mampu membuka mata lelaku untuk mensejajarkan derajat, hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan.

Perjuangan yang tak kenal lelah inilah, walau beberapa pihak menolak Kartini merupakan pejuang pertama perempuan, pada akhirnya dikenang bahkan dirayakan oleh segenap bangsa Indonesia. Hasil jerih payahnya pulalah kini muncul pejuang-pejuang perempuan, pejuang-pejuang gender di Indonesia. Dapat kita bayangkan jika pada saat itu kartini merasa putus asa dan tidak meneruskan perjuangannya, kita tidak mungkin melihat Megawati menjadi Presiden RI, tidak mungkin melihat Nurul Arifin menjadi aktris dan bahkan sekarang menjadi anggota dewan pusat dan tak mungkin pula kita mengenal Rieke “oneng” Dyah Pitaloka sebagai aktris dan pejuang gender dan perempuan. Barangkali fakta-fakta tersebut cukup bagi kita untuk membuktikan keberhasilan perjuangan Kartini.

Hasil yang dicapai perempuan saat ini tentu bukanlah pejuangan yang amat gempang dan sebentar. Saat ini Kartini memang telah tiada dan kaum perempan tinggal menikmati hasilnya saja. Namun yang patut menjadi pertanyaan adalah mestikah kaum minoritas selalu tertindas oleh mayoritas baik secara fisik maupun non fisik? Kita tahu Kartini pada waktu itu, minimal secara sistem. adalah kaum minoritas dan pada waktu itu pula Kartini tertindas dan terbelenggu oleh kaum mayoritas.

Pun begitu dengan yang terjadi saat ini di negara kita. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yang katanga agama keselamatan, senantiasa, baik disadari atau tidak, menindas kaum minoritas yang lain agama. Conoth yang paling konkrit adalah terkuasainya Departemen Agama oleh kaum yang memeluk ajaran Nabi Muhammad. Padahal semestinya Departemen Agama, atau yang lebih dikenal dengan Depag, diisi oleh kaum yang terdiri dari berbagai golongan agama tanpa memandang mayoritas dan minoritas.

Di sisi lain, Islam di Indonesia dengan kemayoritasannya dan mempunyai beragam aliran kembali harus menindas kaum yang lemah. Karena berbeda pakem dengan aliran Islam yang biasanya aliran tersebut harus dibubarkan dan dianggap sesat.

Ahmadiyah sebagai contoh. Organisasi Islam yang satu ini dianggap sesat oleh beberapa kalangan Islam bahkan oleh Dewan Parlemen Tertinggi (MUI) harus dibubarkan karena telah menyimpang dari ajaran Islam yang “sebenarnya2”.desakan pembubaran ahmadiyah terus dilakukan bahkan tak hanya desakan, demi bubarnya Ahmadiyah di Indonesia, teror pun dilakukan oleh pengikut agama yang menyebut ajaran keselamatan ini. Dimulai dari pengrusakan bangunan sampai dengan pengusiran pemeluknya dan yang paling mengerikan dari keberanian, kalau tidak boleh menyebut tolol, kaum yang memeluk ajaran Islam ini adalah pembakaran mesjid yang dibangun oleh Ahmadiyah. padahal kita semua mengetahui mesjid adalah rumah tuhan siapapun, golongan apapun bahkan keturunan apapun boleh memasuki mesjid. Sungguh agama telah dijadikan alat untuk melegalkan peperangan dan kerusakan di muka bumi.

Ahmadiyah sebagai kaum yang tertindas beberapa kali melakukan pembelaan dengan mengklarifikasi akar permasalahannya. Mereka mencoba mengklarifikasi bahwa Mirsa Gulam Ahmad, yang dulu dihujat karena disebut nabinya kaum Ahmadiyah, bukanlah nabi melainkan Imam (pemimpin) mereka, dan kitab Tadzkirah, yang dulu dihukat karena disebut al-Qur'annya Ahmadiyah, adalah kitab biasa saja. Selain itu Ahmadiyah pun senantiasa mencoba mencari perlindungan pada pemerintah dengan asumsi bahwa negara Indonesia menjamin kebebasan beragama, menjamin kebebasan berserikat dan berkelompok3.

Namun apa lacur, pemerintah yang sedianya melindungi rakyatnya atau setidaknya mau mengamalkan UUD 45 malah ikut memperkeruh suasana dengan munculnya surat keputusan dari kejaksaan agung yang menilai bahwa Ahmadiyah itu sesat. Imbas dari hal tersebut adalah tidak bersedianya polisi memberikan keamanan dan izin kepada golongan Ahmadiyah untuk melakukan Musyawarah Nasional di Bali.

Minoritas …oh minoritas kau memang senantiasa tersiksa dan terlindas. Mudah-mudahan perjuangan kaum-kaum minoritas, untuk saat ini golongan Ahmadiyah, tidak akan pernah mengenal putus asa sebagaimana Kartini berjuang melawan tirani lelaki sebagai kaum mayoritas pada waktu itu. Amin.
Read more!

Agama

Agama [ku] bukan Momok
Oleh Tedi Taufiqrahman

Momok adalah kata yang menjijikan untuk diucapkan bagi sebagian orang, atau mungkin lebih tepatnya lagi, bagi seluruh kalangan masyarakat. Khususnya masyarakat Sunda, ketika disodorkan atau diperdengarkan kata momok kepada mereka maka serta merta kita akan dikutuk oleh orang sebagai orang yang tidak mempunyai kesopanan, tidak mempunyai etika, tatak rama, wong edan pendeknya akan mendapatkan sikap sangat tidak wajar.

Akan ada claim bahwa yang mengucapkan momok adalah orang yang tidak mengenal etiket, sopan santun, singkat kata orang itu tidak berpendidikan. Kenapa? Karena momok dalam perbendaharaan kosa kata bahasa Sunda senada dengan vagina, alat kelamin wanita. Jorok. Jijik. Geuleuh. Dan tidak pantas untuk diucapkan diruang publik, dihadapan orang ramai, di forum.
Lain bahasa Sunda, lain pula bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang sangat menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sesuatu yang sangat tragis. Sebuah istilah atau ungkapan yang sering kita dengar di berbagai media massa. Misalnya saja, narrator Planet Football Helena V Saragih menggunakan kata ini dalam ungkapan. ‘Alessandro del Piero menjadi momok bagi tim lawan’, Momok disini diartikan dengan ketakutan atau sesuatu hal yang mesti diawasi.

Lalu mengapa pula momok disandingkan dengan agama? Apa maksudnya? Momok yang akan kita bicarakan, momok yang dipakai dalam kosakata bahasa Indonesia. Kenapa agama disebut momok? Atau kenapa agama berubah menjadi momok? Kenapa bisa terjadi hal ini?
Ditengah hiruk pikuk dunia yang serba amburadul. Kadangkala agama bisa berubah menjadi momok (Indonesia) atau malah agama, digadaikan, kalah oleh momok (sunda). Ketika moral sudah tiada lagi maka tindakan cabul berubah menjadi ritual musiman. Kakek memperkosa cucunya. Dimana posisi agama ketika manusia sudah bisa menjual harga dirinya hanya untuk sebuah pelampiasan hawa nafsu. Konon katanya adzab Tuhan itu terhalang karena masih banyak orang yang berbuat kebaikan sekarang orang yang berbuat baik saja bingung untuk melestarikan perilakunya.

Belum lagi gempuran tayangan televisi kian hari makin menjadi jadi. Agama berubah menjadi mantra ampuh mengusir setan. Ayat suci Tuhan berubah menjadi mantra politik, asmara yang super ampuh. Ayat-ayat suci dijadikan legitimasi sebagai pembunuhan, pemboman. Agama (khususnya Islam) yang di claim sebagai agama rahmatan lil alamiin, penyebar kesejahteraan, siarnya damai. Sekarang cintarnya berubah menjadi teroris yang dengan ringan membunuh dan membom sekian banyak orang yang tidak berdosa. Apakah agama yang salah? Ataukah kita sudah tidak butuh agama? Tragis!

Apakah kita masih butuh agama untuk menyelesaikan segala persoalan di dunia? Ataukah cukup dengan perkembangan tekonologi yang mulai merambah dan kepengen menjawab tentang keberadaan surga dan neraka. Manusia sudah tidak dinilai lagi dari integritas dan cerdibilitas seseorang. Melainkan pakaiankulah yang berbicara. Ya…aku berbicara dengan pakaianku ungkap Idi Subandy. Artinya apa, permainan image, pencitraan. Siapa yang bisa menguasai kuasa bahasa maka dialah jadi pemenang kata Gramsci. Kuasa bahasa bisa diartikan dengan ruang publik, jelasnya lagi adalah media elektronik. Siapa yang bisa menguasai televisi, maka dialah yang akan mengatur pencitraan dalam segala hal. Bahkan pemahaman keagamaan pun bisa di pesan.

Yasraf mengatakan bahwa kondisi sekarang ini sedang mengalami despritualisasi, kehampaan dalam beragama, tiadanya nila transcendental. Ritual sholat hanya ceremonial belaka tiada imbasnya bagi perilaku social kita. Tiap tahun orang naikm haji kian bertambah tetapi anak jalanan belum berkurang. Apakaha ini adalah pelarangan naik haji? Bukan. Sama sekali bukan tetapi jangan menyangka bahwa Tuhan. Hanya ada di makkah maka di cibeureum tidak ada. Ini adalah salah satu imbas paradigma modern yang membuat fragmentasi antara agama dan dunia. Sehingga kita merasakan kehadiran Tuhan di mesjid tetapi tidak kalau di diskotik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Sehingga tidak salah kalau Marx mengutuk agama sebagai candu masyarakat yang mesti dilarang peredaranya karena hanya akan membuai masyarakat akan nikmat surgawi yang semu. Semoga momok itu juga tidak berubah menjadi ‘momok’. Wallahu ‘alam bish showab To be continued…
Read more!