RSS

Komnas KB

Wednesday, May 30, 2007

Mahasiswa UIN SGD Impikan Komnas Kebebasan Beragama
Oleh Ibn Ghifarie

`Karena kebebasan beragama mengalami gangguan dan keran-keran kebebasan masih tersumbat. Ini yang perlu kita atasi,`demikian ungkap Kautsat Azhari Noer dalam Seminar Sehari `Masa Depan Kebebasan Beragama Di Indonesia’

Pagi hari yang cerah itu, tak seperti hari-hari biasanya Auditorium UIN Sunan Gunung Djati dibanjiri lautan manusia. Tak lain mereka sedang mengikuti acara Seminar Sehari (28/05), yang dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pengkaian Ilmu Keislaman (LPIK) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UIN SGD Bandung bekerja sama dengan Jaringan Islam Kampus (JarIK) Bandung.

Menghadirkan Nara Sumber; Prof Dr Kautsar Azhari Noer (Guru Besar Perbandingan Agama UIN Sarif Hidayatullah Jakarta; Perspektif Lintas Iman), Dr Afif Muhammad (Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Perspektif Akademisi), Iqbal Hasanuddin (Perwakilan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat Jakarta; Perspektif Kebijakan Negara) dengan dipandu oleh Tedi Taufiq Rahman (Koordintor JarIK Bandung).

Membincang kebebasan agama yang kian hari semakin terpuruk. Salah satunya dengan dikeluarkannya 11 fatwa MUI (2005). Bahkan sebagian kelompok dan mahasiswa menuntut supaya diadakanya Komisi Nasional (Komnas) Kebebasan Beragama).

`Justru kebebasan beragama itu disumbat atas nama agama. Yakni islam sendiri. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyyah di parung Bogor atau Komunitas Lia Eden itu sendiri, ungkap Kautsar.

Menurutnya, Saudara jangan salah paham, tapi harus membela kebebasan beragama karena ada dalam al-Quran sambil mengutip ayatnya. Kita hanya diperintakan supaya berdakwah, bukan untuk mengadili kelompok lain. Apalagi saling sesat menyesatkan, sebab yang perlu mengadili keimanan kita hanya Tuhan semata, tegasnya.

Kebebasan beragama tidak bisa lepas dari aspek politik dan dudukung sepenuhnya oleh penguasa madzab resmi negara, katanya.

Terkait dengan syariat kebebasan beragama tidak perlu penegakan, karena Indonesai merupakan negara hukum. Cuman persoalan adakan pemberian kebebasan untuk menganut madzab lain bagi mereka? Jawabnya tidak ada. Misalkan kasus nikah beda agama. Ada yang membolehkan; Adakan ruang bagi mereka.

`Ini yang menjadi masalah. Memfasilitasi nikah beda agama itu merupakan jalan terakhir dan darurat, bukan mempromosikan. Ingat itu,` paparnya.

`Ya daripada berzina sampai tua, mendingan dinikahkan saja. Ini ijtihad saya, tambahnya. Di mata Afif `Kebijakan politik, yang tidak berpihak pada mayoritas akan terus memperburuk kebebasan beragama.` Seperti pada saat kabinet tahun 70-80 perwakilan umat islam tak memadai. Padahal pemilu (Pemilihan Umum-red) yang menentukan kebijakan politik tersebut.

Selain, cara pemahaman dan rujukan terhadap al-Quran yang berbeda-beda dalam menyelesaikan persoalan yang memperburuk kebebasan beragama di Indonesia, ujarnya.

Di tambah lagi dengan adanya pelembagaan agama. Ini yang menjadi biangnya masalah sekaligus adanya penyeragaman pada masyarakat. Satu kelompok tertentu menganggap hanya golonganyalah yang paling benar. Di luar itu tidak ada. Hingga terjadilah bentrokan antara Muhamadiyyah dan NU sebagai contoh, jelasnya.

Tentunya dipertajam dengan adanya partai politik. Dalam hal Idul Fitri dan Adha saja selalu terjadi keributan. Akhirnya Sholat hanya menunjukan seberapa kuat dan besarnya kelompok tersebut. Bukan mencari keridhoan Allah SWT. Sungguh mengerikan, tandasnya.

Padahal kelembagaan agama itu hak Allah. Yang membedakan diantara kita itu hanya Fiqh saja, katanya.

Berbeda dengan Afif dan Kautsar. Iqbal menilai mandegnya kebebasan beragama ini dilatar belakangi oleh `Nalar Islam yang terlalu mengedepankan teks, bukan akal. Aruju ilal Quran dan Sunnah dipahami secara teks saja, `paparnya.

Tidak adanya penegakan hukum secara tegas dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyyah atau Eden. Padahal Kebebasan Beragama merupakan hak asasi manusia dan negara tak boleh ikut mengerangkengnya. Jika negara ikut mempersoalkan aliran-aliran ganjil itu, maka telah terjadi tindak kriminailitas, tambahnya.

Menyoal solusi kebebasan beragama, Kautsar mengutarakan. Tak ada cara lain selain menggelar dialog. Meski politik pun menjadi faktor utama dalam menentukan kebijakan. Pendidikan pula harus menjadi modal dasar dalam menunjang keberlangsungan kebebasan beragama ini.

`Pokoknya kebebasan beragama harus kita perjuangkan, bukan ditinggalkan, saat menutup pembicaraanya.

Senada dengan Kautsar, Afif menambahkan `Kita suka mencari perbedaan-perbedaan, bukan kesamaan. Tanpa dialog itu tak ada kemajuan. Inilah peran perguruan tinggi dalam menyongsong kebebasan beragama,’

Kendati, suasana politik yang memperburuk keadaan itu. Namun, teruslah berdialog supaya terjadi kesetaraan dan mempererat tali ukhuwah diantara kita, tegasnya.

Kelahiran sekularisme, liberalisme dan pluralisme di harapkan menjadi sosuli alternatif yang masuk akal dan tanpa itu semua tak akan menyelesaiakn persoalan bangsa, kata Iqbal.

Kebebasan beragama tak akan terwujud bila tak mengikuti prinsip-prinsip diantarnya; adanya UUD Kebebesan beragama; jaminan tak beragama; pernikahan lintas Iman; terbentuknya Komnas (Komisi Nasional) Kebebasan Beragama, tambahnya.

Menyinggung Komnas Kebebasan Beragama. Salah satu mahasiswa yang tak mau disebutkan namanya berpendapat. `Itu harus ada. Masa hanya Komnas Perlindungan Anak atau Perempaun yang ada.

`Mau beragama atau tidak itu sudah merupakan hak asasi manusia. Makanya negara harus menjamin kebebasan beragama masyarakat Indonesia. Bukan sebaliknya,`saat ditemui PusInfoKomp.

Lepas dari adanya usulan pembentukan Komnas Kebebasan Beragama, Faisal Amir, Ketua Umum LPIK menjelaskan `diadakanya acara ini merupakan respon terhadap berbagai macam aliran keagamaan, yang sering dianggap kafir dan dapat meresahkan masyarakat. Terutaman yang berkaitan dengan kebebasan beragama yang kian semakin terpuruk.`

`Sekaligus Milangkala LPIK ke XI. Semoga bermanfaat,` tegasnya.

`Adanya krisis kebebasan dan landasan kebebasan telah digerogoti oleh pemahaman agama yang kaku,`kegiatan ini diadakan ungkap Tedi, Koordinator JarIK Bandung.

`Munculnya komunitas Eden, Yusman Roy sebagai biang kerok persoalan keterpurukan bangsa. Seolah-olah komunitas minor telah dipaksakan untuk mengikuti gologan mayoritas,`katanya.

`Mudah-mudahan dengan diadakan seminar ini mendapatkan pemahaman baru dalam menyikapi pelbagai persoalan keagaman,` [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Samping Auditorium UIN, 28/05;13.42 wib
Read more!

Basic I

Friday, May 18, 2007

JarIK (Jaringan Islam Kampus) Bandung dan LSAF (Lembaga Stusi Agama dan Filsafat) Manggelar Pelatihan Basic Training dan Seminar Sehari.

Basic Training akan dilaksanakan pada :

Hari : Jum'at-Minggu, 25-27 Mei 2007
Tempat : Gedung LEC Cicalengka, Jl. Cicalengka Bandung

Pembicara :
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Guru Besar Perbandingan Agama UIN Jakarta)
2. Prof. Dr. Dawam Raharjo (Cendekiawan Muslim)
3. Dr. Budi Munawar Rahman (Dosen Universitas Paramadian Mulya)
4. Dr. Asep Saepul Muhtadi, M.A (Dosen UIN SGD Bandung)

Seminar Sehari dengan tema `Demi Toleransi, Demi Agama Kemanusiaan` bekerjasama dengan LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung. Insya Allah akan dilaksanakan pada:

Hari : Senin, 28 Mei 2007
Tempat : Auditorium Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, Jl. A.H Nasution No 105 Bandung

Pembicara :
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Dosen Fakultas Filsafat dan Teologi UIN Jakarta)
2. Prof. Dr. Dawam Rahardjo (Mantan Rektor Unisma Bekasi)
3. Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat* (Cendekiawan Muslim)
4. Dr. Afif Muhammad, M.A (Direktur Pasca Sarjana UIN SGD Bandung)

Informasi lebih lanjut hubungi cp 0852224224062 (Opal), 08562062465 (Tedi) atau datang ke Sekre JarIK Bandung, Jl Desa Cipadung No 35 Bandung 40416.

*Masih dalam konfirmasi.
Read more!

Bersatulah Kaum Buruh Se-Dunia

Tuesday, May 1, 2007

May Day; Moment Evaluasi Bersama
Oleh Ibn Ghifarie

Memasuki tanggal 1 Mei di setiap tahun apa yang anda lakukan? Demokah, ikut turun kejalan sambil meneriakan yel-yel atau diam seribu bahasa.

Bila di setiap perhimpunan buruh atau serikat pekerja nasional dimana pun berada selalu melakukan `Pesta Rakyat`, mulai dari aksi damai, unjuk rasa dengan pelbagai tuntutan dan rekomendasi terhadap pemerintah dalam mengambil kebijakan, sampai menggelar perlombaan rakyat guna memperingati hari bersejarah bagi kaum lemah.

Namun, jika pertanyaan serupa di alamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita soal keluh kesah kaum buruh. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum mustad’afien. Mereka berusah ingin hidup lebih baik dalam bingkai keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita luhur itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi memerlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Kilas Balik May Day
Tengok saja, perjuangan kaum buruh di penghujung abad XVIII industri berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Namun kondisi buruh sangat buruk dengan jam kerja sangat panjang (12-18 jam sehari) disertai upah rendah. Salah satu upaya peningkatan kesejahteran yang dilakukan mereka adalah dengan diadakan pemogokan umum untuk menuntut delapan jam kerja.

Dalam ensiklopedi, May Day lebih dikenal sebagai Hari Buruh, yang memperingati Tragedi Haymarket pada tahun 1886 di Chicago, Illinois, dan perayaan atas kemenangan gerakan buruh internasional yang menuntut delapan jam kerja sehari.

Pemogokan-pemogokan kaum buruh mulai banyak terjadi menuntut delapan jam kerja sehari. Yang terpenting, pada tahun 1884, The Federation of Organized Trades and Labor Unions (FOTLU) mulai mengorganisasi pemogokan internasional 1 Mei 1886. Hingga 1 Mei merupakan perayaan kemenangan gerakan buruh atas tuntutan 8 jam kerja.

Sebelum pemogokan berlangsung, beberapa pengusaha telah lebih dahulu menerapkan aturan delapan jam kerja. Sementara itu, berbagai upaya menggagalkan aksi ini dilakukan oleh para pengusaha dan aparat kepolisian.

Di Milwauke, polisi menembaki massa buruh yang sedang berdemonstrasi hingga menewaskan sembilan orang. Aksi terbesar terjadi di Lapangan Haymarket, Chicago. Karena aksi itu, enam orang pemimpinnya dihukum mati dengan tuduhan melakukan peledakan di antara barisan polisi. (Pikiran Rakyat, 01/05/06)

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Tak hanya berhenti disana, pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati. Mereka yang gugur dimedan juang dikenal dengan sebutan martir.

Walau, sebelum peristiwa 1 Mei itu, di pelbagai belahan negara manapun, juga terjadi pemogokan buruh secara besar-besaran guna menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.

Lagi, pada Bulan Juli 1889, lebih dari 400 delegasi buruh dari berbagai negara bertemu di Paris dalam rangka memperingati seratus tahun Revolusi Perancis. Pertemuan itu menghasilkan resolusi untuk melakukan demonstrasi internasional pada 1 Mei.

Resolusi tersebut berbunyi, Sebuah aksi internasional besar harus diorganisasi pada satu hari tertentu di mana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis. (Rubrik Kronik, Pembebasan Edisi XIX/Thn V/2006)

May Day di Pelbagai Negara
Nyatanya, resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.

Kendati demikian, di Amerika Serikat sendiri, 1 Mei tidak lagi diperingati sebagai Hari Buruh karena setelah itu perjuangan buruh selalu diidentikkan dengan ide-ide sosialis dan komunisme, yang merupakan musuh utamanya pada era perang dingin.

Editor Jurnal "Pekerja Maritim" dari Maritime Union of Australia, Sam Wainwright mengatakan, di Australia, 1 Mei diperingati setiap tahun. Arti May Day kali ini bagi dia adalah bagian dari kampanye menghentikan UU antiburuh dan UU antiserikat buruh.

"In some of the other industrialised (such as USA, UK and New Zealand) countries labour unions were severely weakened in the 1980s and 1990. The same thing will happen in Australia if we do not defeat the government's plan. We are calling on all workers to fight for their rights (Di negara-negara maju (seperti USA, Inggris, dan New Zealand) serikat pekerja telah diperlemah pada 1980-an dan 1990-an. Hal yang sama akan terjadi di Australia jika kita tidak melawan rencana pemerintah. Kami menyerukan kepada semua pekerja untuk memperjuangkan hak mereka)," ujarnya.

Di Jerman, Deputy Head Left Party PDS (Partei des Demokratischen Sozialismus) International Department, Dr. Helmut Ettinger mengatakan, peringatan 1 Mei tetap dipertahankan sebagai tradisi. Dirinya sebagai perwakilan partai politik tidak ikut mengorganisasi kegiatan ini, tapi mendukung organisasi buruh dengan menggerakkan anggota dan simpatisannya.

Sedangkan di Thailand, Profesor Giles Ji Ungpakorn dari Universitas Chulalongkorn, mengatakan bahwa pro-kontra peringatan May Day masih ada, terutama antara serikat buruh pro pemerintah yang mengatasnamakan kesetiaan pada raja dengan serikat buruh progresif yang menginginkan peringatan Hari Buruh Internasional berdasarkan kesadaran kelas.

Di Perancis, peringatan May Day tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. "Demonstrations all over France. Some years, Mayday demonstrations are routinous, but some years, they have a special meaning. It should be the case this time, after the victory on Contrat Premihre Embaucheissue (CPE) or the First Job Contract, (Demonstrasi terjadi di seluruh Perancis. Beberapa tahun lalu, demonstrasi May Day rutin dilakukan, tapi belakangan, peringatan ini mempunyai makna khusus, apalagi setelah kemenangan kami atas isu Kontrak Kerja Pertama)," ujar anggota Europe Solidaire Sans Frontihres (ESSF), Pierre Rouset ketika dihubungi melalui e-mail.

Pekerja di Swedia pun merayakan May Day. Anggota European Parliament (Parlemen Eropa) Jonas Sjostedt mengungkapkan, pada hari itu, pihaknya akan mengorganisasi aksi di seluruh Swedia.

"The importance is to clarify that the struggle for good working conditions and faire wages are international, and that the labour movements need to cooperate, and not to compete with each other, in order to be successful (Hal terpenting adalah untuk menjelaskan bahwa perjuangan menciptakan kondisi kerja yang lebih baik dan upah yang adil adalah perjuangan internasional, dan bahwa gerakan buruh harus bekerja sama, dan bukan untuk bersaing satu sama lain, agar sukses)," tuturnya (Pikiran Rakyat, 01/05/06)

May Day di Indonesia

Tak pelak lagi, ketika sebagian besar negara mulai memperingati kembali 1 Mei, pro-kontra muncul ke permukaan di bumi Nusantara. Khususnya pada saat pemerintahan Orde Baru. Alih-alih berbau sosialis sekaligus komunis laten perayaan Hari Buruh Internasional dilarang diperingati di bumi pertiwi ini.

Padahal, sejak tahun 1920-an dan dilegalkan oleh UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan, "Pada hari 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja".

Lagi, kebebasan hajatan rakyat itu pun dilarang pada pemerintahan Soeharto. Pasalnya, peringatan hari May Day dianggap sebagai kepanjangan dari tradisi komunis. Tentunya, keputusan ini tak bisa diganggu gugat dan merugikan wong cilik.

Di tengah-tengah pelarangan hari buruh, 1 Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi merayakan `May Day` di Semarang. Aksi yang melibatkan 500-an lebih buruh dan mahasiswa ini dibubarkan secara paksa termasuk dengan menabrakkan motor trail ke kerumunan massa.

Namun, berkat perjuangan mahasiswa dan buruh dalam melengserkan Soeharto ke prabon. Angin segar peringatan May Day mulai dirasakan rakyat dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi massa dengan mengusung isu kesejahteraan dan politik.

Di lain sisi peringatan Hari Buruh internasional masih menyisakan luka mendalam bagi kalangan tertentu. Di sadari atau tidak ketimpangan masih terjadi dalam pembagian gaji buruh.

Masih ingat dalam benak kita, bagaimana sosok Marsinah seorang buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.

Adalah seorang buruh perempuan yang aktif mengorganisir perjuangan menuntut hak–hak normatif buruh di pabriknya. Ia memimpin pemogokan tanggal 4 Mei 1993. Tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah buruh masuk kerja. Bahkan Ia sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.

Walhasil, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Pada 8 Mei 1993, dan mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. . (www.prd-online.or.id)

Benarkah kuatnya gelombang arus May Day dari pelbagai negara dapat memperbaiki kinerja sekaligus kesejahtraan buruh di negara Indonesia. Jawabannya pasti tidak.

Tengok saja, bagaimana nasib Serikat Pekerja Dirgantara Indonesia, yang masih terkatung-katung. Hingga hari ini belum ada kejelasan dari pemerintah.

Atau nasib masyarakat perumnas Tanggul Angin Sejahtera dan sekitarnya akibat semburan lumpur Lapindo beberapa bulan yang lalu. Lagi, sampai sekarang nasib mereka masih tak mendapatkan kejelasan dan harus menuntut ganti rugi kepada siapa.

May Day; Moment Evaluasi Bersama

Maka wajar bila kehadiran May Day bukan semata peringatan Hari Buruh Internasional, tapi harus juga di jadikan sebagai moment bersama dalam menuntut hak dan kewajiban karyawan. Terlebih lagi saat RUU No 13 Tahun 2003 keluar. Sungguh memberatkan masyarakat pinggiran.

Meski, pelbagai serikat pekerja menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) tersebut. Salah satunya, Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang tergabung dalam Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi dengan konsentrasi massa di Jakarta. Ketua Umum SPN, Bambang Wirahyoso berkata, seperti yang dilansir Pikiran Rakyat, (01/05) khusus di Pulau Jawa aksi terpusat di Jakarta. Aksi di luar Jawa berlangsung di daerahnya masing-masing. ‘Kami mengakui adanya May Day, dan kami memperingatinya,` ujarnya.

Menurutnya, peringatan ini juga mengingatkan kepada para pemilik modal (kapitalis) yang hampir selama 20 tahun terakhir telah menjadikan pekerja sebagai sebuah komoditas dan menghancurkan standar-standar ketenagakerjaan dengan menggunakan konsep fleksibilitasnya.

Konsep fleksibilitas ini merupakan alat yang dipakai neoliberal untuk menggiring standar ketenagakerjaan ke kekuatan pasar. Konsep tersebut tidak hanya di gunakan di Indonesia saja, akan tetapi juga di hampir seluruh negara di Asia, Eropa, dan Australia.

Konsep ini jelas sangat bertentangan dengan falsafah Pancasila dan dasar negara UUD 1945. `Pekerja/buruh harus bisa dipekerjakan sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki rasa, hati, nurani, akal, pikiran, serta kebutuhan lahir dan batin lainnya,`tuturnya.

Baginya, pekerja tidak bisa dijadikan komoditas yang harus bergantung pada kekuatan supply and demand di pasar. Apalagi, di Indonesia, jumlah pengangguran sangat banyak sehingga posisi bargaining-nya pun sangatlah sulit. Ditambah dengan tingkat pendidikan yang dipegang sebagian besar penganggur di Indonesia menambah hilangnya posisi bargaining power pekerja di pasar tenaga kerja.

Ia berpendapat, seharusnya, sesuai dengan falsafah bangsa tentang kesejahteraan dan keadilan diperkuat dengan pasal 27 UUD 1945, negara wajib menciptakan lingkungan agar setiap warga negaranya memiliki penghidupan dan pekerjaan yang layak. Bukan malah menciptakan lapangan kerja semu, yaitu terbuka lapangan kerja bagi angkatan kerja yang baru lulus, padahal pekerja lama dikeluarkan.

`Pengangguran berkurang untuk angkatan kerja muda, akan tetapi angkatan kerja yang mungkin usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk masuk sebagai pegawai baru malah justru bertambah,` jelasnya.

Bambang menolak revisi UUK yang digunakan sebagai dalih perluasan lapangan kerja adalah lapangan kerja semu yang ditujukan hanya untuk pegawai baru dengan menghilangkan pegawai lama.

Senada dengan Bambang. Husein Alwi, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat, menyoal UU Ketatanegaraan itu berpendapat `Yang pasti pedoman untuk ketenagakerjaan harus merujuk pada UUK Nomor 13 Tahun 2003, dengan tetap menjadikan kesejahteraan pekerja sebagai hal yang utama,` paparnya.

Nah, jika kehadiran May Day dengan sederetan tuntutan dan Pesta Rakyatnya tak bisa berdampak pada perbaikan kesejahteraan bangsa Indonesia. Bukan malah melanggengkan kekuasaan bagi kelompok tertentu. Kalau begitu apa makna dari peringatan tersebut?

Tentunya, keberpihakan pemerintah beserta pengusaha tak lagi melekat dalam sanu bari rakyat jelata. Malahan memperkaya dan memberikan peluang KKN yang seluas-luasnya bagi para pejabat lalim.

Thus, keseharian rakayat kecil, malah kian akrab dengan tumpukan uang recehan yang hitam pekat laksamana nasibnya dan corong mega pound yang kian pudar warnanya. Inilah Hari Buruh Internasional. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 30/04;12.35 wib

*Penulis Mahasiswa Studi Agama-Agama Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung dan aktivis LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu keIslaman) Bandung.
Read more!