Beradab ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Beradab

Sunday, November 16, 2008

Dialog Membangun Peradaban
Oleh Benny Susetyo Pr

Program Bilateral Interfaith Dialogue dilaksanakan 12-14 Oktober 2008 di Beirut, Lebanon. Temanya, ”Promoting Interfaith Dialogue among Plural Society”. Dialog ini terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Beirut, dan Dar El Fatwa Lebanon di bawah pengawasan Perdana Menteri HE Mr Fuad Siniora.

Pertemuan antartokoh agama ini memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk saling belajar bagaimana memahami berbagai sekte dan aliran keagamaan. Dan yang penting bagaimana perbedaan bisa melahirkan tata hidup yang berdampingan dalam suasana damai dan saling menghormati.

Indonesia dan Lebanon

Dari pengalaman dialog antaragama di Indonesia, bisa dipetik beberapa hal positif. Dalam 10 tahun terakhir, ada perkembangan positif terkait kerukunan umat beragama. Salah satu faktor penting adalah adanya komunikasi lebih intensif antarpemuka agama. Di Indonesia, hal ini didukung identitas nasional, Pancasila, sebagai komponen pemersatu bangsa yang majemuk.

Meningkatnya peran pemuka agama dalam mencegah konflik dapat dilihat melalui berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Forum ini selain membahas tentang agama juga hal-hal aktual terkait kesejahteraan umat beragama.

Belajar dari fenomena agama di Lebanon, bisa dilihat umat beragama yang umumnya menghargai proses dialog dan berkomitmen untuk hidup damai berdampingan. Artinya, meski ada konflik, bukan disebabkan perbedaan agama yang terdiri dari 18 sekte. Konflik terjadi sebagai bagian pertentangan politik.

Semasa perang saudara (1975- 1990), tak ada perusakan rumah ibadah. Sistem pembagian kekuasaan berdasarkan sekte agama diakui merupakan salah satu faktor yang melemahkan persatuan nasional Lebanon. Hal ini diperparah pengaruh konflik regional yang memengaruhi situasi domestik Lebanon.

Ada hal-hal yang menjadi perhatian, antara lain perkawinan lintas agama dan penyebaran agama di Indonesia. Diakui, dua hal itu sering menimbulkan gesekan antarumat beragama. Meski demikian, Pemerintah Indonesia mencoba meminimalkan gesekan itu melalui berbagai peraturan. Sementara dari Lebanon menyampaikan berbagai cara untuk mempererat hubungan antarumat beragama melalui pendidikan dan kegiatan keagamaan, termasuk penetapan hari besar keagamaan yang diperingati bersama Muslim dan Kristen.

Pengalaman Indonesia dan Lebanon dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama ada kesamaan dan perbedaan. Dari sana kedua negara bisa belajar bagaimana membangun komunikasi antartokoh agama dalam menciptakan perdamaian.

Peran tokoh agama penting bagi terciptanya kerukunan di antara pemeluknya. Peran mereka juga urgen dalam menciptakan kesadaran umat beragama mencintai bangsanya.

Peran agama

Peran agama amat penting sebagai penyeimbang dua poros utama, negara dan pasar. Itu dikatakan karena selama ini agama sering terjebak permainan negara dan terjerumus logika pasar kapitalisme yang kerap mencelakakan. Peran agama harus dikembalikan sebagai penyeimbang dua kekuatan itu. Itulah yang dimaksud upaya merenda habitus baru bangsa dan merumuskan kultur bangsa yang beradab.

Orientasi hidup beragama tidak sekadar mencari kerukunan antaragama satu dan lain setelah itu everything is over. Justru setelah kerukunan agama berlanjut, hal itu menjadi modal bangsa untuk membangun dan mencari keseimbangan di antara posisi negara dan pasar, antara perancang kebijakan politik dan pelaku ekonomi. Jadi masalahnya adalah bagaimana kerukunan hidup beragama bisa menjadi modal dasar untuk membangun cara pandang, merasa, dan perilaku sesuai kemanusiaan dan keadilan.

Agama akan menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan akan represi negara maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Agama tidak menjadi orientasi hidup, tetapi untuk menjadikan hidup lebih berorientasi pada kemanusiaan.

Hingga kini, kita menghadapi masalah: agama masih sering dijadikan instrumen kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluknya. Sebab, ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat sempit. Orientasi beragama bukan untuk mengembangkan keadaban publik, tetapi lebih pada bentuk lahiriah saja.

BENNY SUSETYO PR Sektaris Eksekutif Komisi HAK KWI

[Kompas, 14 November 2008]