Harus Di Baca ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Harus Di Baca

Friday, June 15, 2007

Manisfesto JarIK
Oleh Iqbal Hasanudin

Demokrasi tanpa kebebasan sipil. Demikian, kira-kira, istilah yang tepat untuk menggambarkan kehidupan sosial politik Indonesia pasca-reformasi. Memang, terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) pada 1999 dan 2004 yang realtif bersih dan jujur telah memberikan sedikit harapan bagi masa depan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun demikian, keberadaan Pemilu yang bersih dan jujur—sebagai implementasi dari prosedur-prosedur demokrasi—tersebut tidak lantas dengan sendirinya mampu menutupi masalah kemanusiaan fundamental lainnya yang lebih bersifat substansial: krisis kebebasan.

Sebagaimana lazim terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan tampaknya masih menjadi barang langka di Indonesia. Karena menjalankan ibadah salat dengan menggunakan dua bahasa (Arab dan Indonesia), ustadz Usman Roy ditangkap oleh aparat keamanan untuk kemudian dipenjarakan, sementara peseantren dan para pengkutnya dibubarkan secara paksa. Hal senada juga dialami oleh komunitas “Eden” di Jakarta. Bahkan, sebagai pemimpin dari komunitas ini, Lia “Eden” ditangkap dan terancam mendapat hukuman berat karena dianggap sebagai nabi palsu yang telah melakukan penodaan terhadap ajaran agama Islam. Bahkan, tidak saja dianggap sebagai kelompok sesat dan menyesatkan, jemaah Ahmadiyyah mengalami penganiyaan yang tidak manusiawi berupa penyerangan fisik, teror mental, dan pengusiran dari rumah mereka sendiri. Penganiyayaan ini dialami oleh segenap jemaah Ahmadiyyah di seluruh pelosok Indonesia lantaran mereka diangap tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir umat Islam.

Tidak hanya itu. Absennya kebebasan di Indonesia pasca-Reformasi juga ditandai oleh aksi-aksi jalanan kelompok-kelompok berjenggot dan berjubah putih. Dengan retorika-retorika agama dan teriakan ‘Allahu Akbar”, mereka turun ke jalan untuk melakukan swepping terhadap tempat-tempat hiburan yang dianggap sebagai ladang kemaksiatan. Bahkan, karena tidak puas dengan aksi jalanan, kelompok radikal ini menggalang kerja sama dengan kelompok-kelompok Islam konservatif untuk memperjuangkan legislasi Rancangan Undang-undang Anti-Pornoaksi dan Pornografi (RUU APP) di parlemen (DPR RI) yang oleh banyak pihak disinyalir sebagai rancangan undang-undang yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties) serta merusak nilai “Bhineka Tunggal Ika” yang sedari awal sudah menjadi karakter bangsa Indonesia.

Bersamaan dengan penangkapan dan penganiyayaan yang dialami oleh ustad Usman Roy di Malang, komunitas “Eden” di Jakarta dan jemaah Ahmadiyyah di seluruh Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi keislaman di Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyyah, mengeluarkan beberapa fatwa yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok seperti Ahmadiyyah, komunitas “salat dua bahasa” dan komunitas “Eden” adalah kelompok yang “sesat dan menyesatkan,” serta bertentangan dengan Islam. Selain itu, MUI juga berusaha memberikan pelabelan “sesat dan menyesatkan” kepada kelompok-kelompok Islam yang berhaluan liberal dan pluralis dengan memunculkan fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah paham-paham yang “sesat dan menyesatkan” serta haram hukumnya bagi umat Islam untuk menganut paham-paham tersebut.

Dengan demikian, bisa dikatakan hubungan sebab-akibat antara persepsi keislaman yang ekslusif dan tertutup pada satu sisi, dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan umat Islam yang cenderung tidak toleran terhadap penafsiran, keyakinan dan praktik keagamaan lain yang berbeda. Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa krisis pemikiran keislaman telah menyebabkan munculnya krisis kebebasan yang sangat akut.

Oleh karena itu, terasa sangat diperlukan perlu untuk membuat sebuah jaringan generasi muda muslim yang mampu berpikir kritis terhadap wacana dan paradigma keislaman tradisional yang ekslusif pada satu sisi, dan mampu menjawab persoalan-persoalan keislaman dalam konteks keindonesiaan dan kemoderenan di lain sisi. Atas dasar pertimbangan itulah, Jaringan Islam Kampus (Jarik) lahir. Jaringan ini diharapkan mampu malakuakn transformasi civil society sehingga dapat memunculkan sebuah atmosfir yang kondusif bagi terciptanya—bukan sekedar illiberal democracy seperti yang ada selama ini, tapi—demokrasi liberal, yakni sistem politik demokrasi yang didasarkan atas penghargaan terhadap prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties).

Pilar-Pilar Pemikiran

1. Pencerahan, Kritik dan Rasionalitas
Jaringan Islam Kampus adalah komunitas generasi muda Muslim yang berusaha mencurahkan segenap kemampuan intelektual guna melakukan berbagai upaya ijtihad kontemporer atau pembaharuan pemikiran Islam. Tujuan utamanya adalah merintis sebuah proyek Pencerahan di Indonesia yang berbasis keumatan dan kebangsaan. Dalam hal ini, Jaringan Islam Kampus memahami konsep Pencerahan dimaksud adalah seperti yang dirumuskan Immanuel Kant: “pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri.

Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri berarti bahwa ketidakmatangan ini tidak disebabkan oleh kekurangan dalam akal budi, melainkan dalam kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan dari orang lain. Sapere aude! Beranilah memakai akal budimu sendiri.”

Mengapa Pencerahan? Jaringan Islam Kampus sangat menyadari bahwa umat Islam Indonesia saat ini tengah mengalami krisis rasionalitas, yakni krisis nalar atau krisis epistemologi keagamaan. Umat Islam di Indonesia tidak bisa memilah secara kritis antara teks-teks keagamaan dan maksud-maksud pewahyuan yang menjadi elan vital dari kemunculan Islam pada satu sisi, dengan realitas historis yang senantiasa berkembang di lain sisi. Akibatnya, umat Islam tidak mampu lagi memberikan respon aktual yang tepat dan proporsional terhadap problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer dalam konteks keindonesiaan dan kemodernan.

Dalam pemikiran Islam, krisis rasionalitas ini terjadi karena rasio begitu saja disubordinasikan di bawah teks-teks keagamaan. Hal ini merupakan warisan dari paradigma pemikiran Islam skolastik, yang anti-rasionalitas, bernuansa teosentris serta disemangati oleh pendekatan harfiyah dan fiqhiyah dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah, dalam melihat dan menyikapi setiap masalah yang muncul. Paradigma seperti ini akan senantiasa membutakan mata umat Islam terhadap gerak realitas yang terus berubah dari masa ke masa. Akibatnya, dalam menghadapi setiap masalah yang ada, umat Islam akan selalu berpaling kepada teks-teks kitab suci untuk mencari jawabannya. Padahal, al-Qur’an dan al-sunnah adalah diskursus keagamaan yang dimunculkan untuk merespon masalah-masalah masyarakat Arab pada abad ke-7 M.

Pada titik ini, Jaringan Islam Kampus adalah komunitas epistem madani yang berusaha mengumandangkan kembali seruan Immanuel Kant untuk berani memakai akal budi, menggunakan rasionalitas: Sapere Aude! Dalam konteks dunia Islam, proyek kritik pemikiran atau kritik nalar ini ditujukan kepada upaya-upaya pembebasan diri dari otoritarianisme agama berbentuk ortodoksi pemikiran Islam di bidang fiqih, kalam, filsafat dan tasawuf yang menghegemoni dan mendominasi pemikiran keagamaan umat Islam. Kritik pemikiran ini mutlak sangat dibutuhkan karena hingga saat ini terdapat anggapan yang diyakini secara umum di kalangan umat Islam bahwa wacana hegemonik itu seolah-olah telah mencapai kebenaran akhir dan karena itu merupakan—meminjam istilah Francis Fukuyama—the end of history, yaitu puncak dan akhir dari evolusi pemikiran keagamaan dalam Islam. Persepsi mengenai hal ini juga tercermin dalam pandangan “pintu ijtihad telah tertutup” yang kemudian melahirkan sikap taqlid.

Dengan demikian, tujuan akhir dari seluruh proyek kritik pemikiran Islam ini adalah tegaknya otonomi rasio yang akan dijadikan pijakan dalam berijtihad guna menyikapi problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer, seperti masalah demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar-agama. Di sini, rasio menjadi otonom karena ia tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak pula terkerangkeng di dalam teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah itu. Bagi Jaringan Islam Kampus, penggunaan rasio secara otonom sama sekali tidak bertentangan dengan spirit agama, karena akal budi merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bahkan, Tuhan dan Rasul-Nya justru memberikan perintah kepada umat Islam guna menggunakan akal pikiran sepenuh-penunya. Atau, merujuk kepada Milan Kundera, tatkala manusia berpikir, maka Tuhan pun tertawa.

2. Otonomi dan Kebebasan
Bagi Jaringan Islam Kampus, kepercayaan sepenuhnya pada kemampuan dan penggunaan rasionalitas sangat terkait erat dengan konsep otonomi dan kebebasan manusia. Adalah Immanuel Kant, dalam Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, mengatakan bahwa “semua bakat alamiah dari setiap mahluk ditakdirkan untuk berkembang sepenuh-penuhnya menuju tujuan kodratnya.” Kemudian, “Pada manusia (sebagai satu-satunya makhluk berakal budi di atas bumi) bakat-bakat alamiah tersebut, yang diarahkan kepada penggunaan akal-budi, akan berkembang sepenuh-penuhnya dalam jenis, dan bukannya dalam setiap diri seorang individu.” Berdasarkan cita-cita humanisme Kantian dan humanisme Renaissance: humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri), Jaringan Islam Kampus sangat percaya bahwa setiap manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan-tujuan lain, tetapi harus dijadikan tujuan pada dirinya dirinya sendiri.

Berpijak pada humanisme Renaissance dan humanisme Kantian yang kemudian mengkristal dalam bentuk prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) yang sudah diakui keberadaannya melalui sebuah deklarasi internasional, konsep otonomi dan kebebasan manusia tersebut sebenarnya secara gamblang telah termaktub di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Artinya, konsep otonomi dan kebebasan manusia juga telah menjadi bagian integral dari hak-hak sipil (civil rights) warga negara di Indonesia, yang di antaranya, ialah: hak-hak politik untuk memilih dan dipilih; hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan sesuai dengan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya, yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want; hak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear), kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of spech and expresion).

Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia, Jaringan Islam Kampus memperjuangkan tegaknya prinsip-prinsip sekularisme, liberalisme dan pluralisme di Indonesia. Sebab, konsep otonomi manusia, khususnya dalam bidang kehidupan beragama, pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan, karena keduanya merupakan bagian dari masalah individual. Penempatan iman dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme. Hal ini berbeda, misalnya, dengan masalah negara dan masyarakat yang termasuk ke dalam wilayah publik, yang karenanya harus dibahas secara rasional dan demokratis.

Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls dalam Political Liberalism, Jaringan Islam Kampus berkeyakinan bahwa konsep otonomi iman dan akidah bagi setiap individu yang kemudian melahirkan konsep kebebasan beragama berimplikasi pada munculnya pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Tentu saja, istilah pluralisme di sini tidak boleh disamakan secara serampangan dengan indiferentisme, yakni paham yang menganggap bahwa semua agama itu sama saja. Sebaliknya, prinsip pluralisme justru berasumsi bahwa setiap agama, bahkan semua penghayatan individual terhadap agama, memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang harus dihargai. Karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang pluralis.

Namun demikian, prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama ini juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya, prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan serta menjamin otonomi dan kebebasan manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara. Pemisahan ini mutlak harus dilakukan agar tidak terjadi pemanfaatan agama oleh negara dan juga sebaliknya, dominasi dan hegemoni agama tertentu terhadap negara. Dalam hal ini, sekularisme tidak boleh diartikan sebagai paham anti-agama yang mengarah kepada bentuk ateisme, tapi sekularisme dimaksud sepadan dengan perspektif teori sosial tentang konsep sekularisasi dan diferensiasi peran agama dalam kehidupan sosial.

Pilar-Pilar Perjuangan
Bagi Jaringan Islam Kampus, Pilar-pilar Pemikiran di atas—meminjam istilah Kontowijoyo—adalah sebuah interpretasi untuk aksi. Karenanya, diperlukan pula –rancangan-rancangan strategis guna dijadikan pijakan dalam melakukan transformasi sosial. Maka, Jaringan Islam Kampus juga telah membuat rumusan Pilar-pilar Perjuangan sebagai berikut.
1. Pembentukan dan Penguatan Nalar Publik Agama-agama
2. Penegakan Prinsip Kebebasan Beragama
3. Penegakan Hak-hak Sipil Keagamaan
4. Penguatan Prinsip Toleransi dan Pluralisme dalam Kehidupan Beragama

sumber www.lsaf.org