Cerpen ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Cerpen

Wednesday, June 20, 2007

Tuhan Serumah Dengan Anjing Kurap
Cerpen Endang Suhendang

Akhir-akir ini aku semakin geram dengannya. Setiap kali aku melihatnya aku bagaikan berhadapan dengan anjing kurap yang suka menjilat-jilat dan melahap makanan pada kerajang sampang juga kerap menyolong daging dari "dapur" ibuku. Sejak pertama melihatnya aku sudah menemukan gelagat yang tidak biasa dari orang ini, aku bisa menganggap begitu dari caranya berbicara dan juga dari sikapnya. Walaupun ucapan dan sikap belum mencerminkan sifat baik atau buruk secara keseluruhan.

Dia memang bukan seorang mahasiswa sepertiku, jadi bisa dimaklumi kalau kelakuannya sangat liar dan pikirannya sangat polos. Tapi setidaknya kalau dia orang yang tau tidak tau tidak tau dirinya, dia bisa belajar dan mencontoh sikap dari aku. karena aku juga mencontoh orang lain. Karena hidup ini adalah rangkaian contoh-mencontoh dari orang lain.

Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh pada sebuah pabrik kerupuk yang pembuatannya dirumah, Dengan gaji lima puluh ribu seminggu. Uang tersebut tidak dipotong makan dan rokok, karena makan dan rokok dikasih oleh majikannya. Bisa dibayangkan jika uang tersebut pada zaman sekarang pada tahun 2007 yang hidup dikota seperti Banadung ini harus bisa untuk mencukupi berbagai kebutuhan juga beberapa keinginan. seperti makan sehari-hari, sewa kontrakan, jalan-jalan, nonton dan teraktir pacar kalau punya atau setiap malam minggu ke saritem seperti orang pasar juga orang sasar. dan keinginan untuk sedikit diberikan pada emaknya dikampung. Tentunya jika ingat hal ini aku kasihan padanya. Walaupun hidupku tidak jauh berbeda dengannya.

Tentunya pertimbangan tinggal dimesjid lebih dikarenakan karena pertimbangan ekonomi, bukan karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Karena konon mesjid merupakan rumah Tuhan. Aku juga seperti itu. Aku pikir dia tidak sadar, ngorok dimesjid sampai matahari berangkat satu tumabak ke barat tanpa shalat subuh, fasilitas listrik juga air yang jika dia ngontrak kamar bisa dipungut bayaran yang beda dengan sewa kamar. Karena di Bandung ini tidak ada yang geratis kecuali kentut dan aparat yang suka naik angkutan umum. Itu semua tanpa di bayar? Dia tidak sadar dia telah menggunakan uang rakyat- uang umat.

Hari berganti minggu dan sampai sekarang sudah lebih dari lima bulan dia "I'tikaf" di mesjid bersamaku. Sebenarnya aku sedikit bingung menghadapi tingkahnya yang membatu. Berkali-kali kuperingatkan, dia tidak pernah membantah pun tak pernah menurut. Dia orangnya polos, jujur dan sangking jujurnya kadang menjadi dungu dan sifatnya yang paling membuatku ngedumel yaitu sifat "tau" dirinya.

Dengan tanpa beban dan risih sedikitpun tiap hari dia bangun jam tujuh pagi, itupun dengan susah payah dibangunkan teman kerjanya yang tidak tidur dimasjid. Awalnya aku selalu membangunkannya pada saat adzan subuh dikumandangkan, lama kelamaan aku bosan, karena fikirku untuk usia 20 tahun seperti dia tidak wajar untuk shalat saja harus dipaksa-paksa. Tanpa adanya kesadaran. mungkin kalau usianya masih 7 tahun aku masih bisa memakluminya. Sekarang aku tidak pernah membangunkannya lagi. Karenanya dia tidak pernah shalat subuh apalagi berjamaah bersamaku. Dan tanpa merasa ada beban dan malu setidaknya, apalagi berfikir tentang dosa karena itu terlalu jauh. Dia menikmati tidurnya sampai menjelang waktu shalat dhuha.

Secara pribadi itu urusan dia, dan aku tidak berhak ikut campur. Karena itu masalah dia dengan Tuhannya. Yang lebih membuat otakku sediki stress yaitu sikap acuhnya dengan "hotel" gratisnya ini. tempatnya menginap. Dia tak pernah peduli dengan sampah yang menghiasi halaman mesjid dan debu yang membuat mesjid seperti museum benda-benda purbakala. Dia tak pernah peduli selepas magrib aku kerepotan menghadapi anak-anak yang sepereti bebek-bebek. Aku sebenarnya tidak menjadi beban jika harus memberesihkannya sendiri. Seperti sekarang ini. hanya jika memang dia capek karena bekerja dan tidak sempet membantuku beres-beres. kenapa dia tidak sasadu kepadaku dan ngomong terus terang. Mungkin aku tidak akan menganggap dia orang yang "tau" diri. Tidak seperti sekarang aku menganggap dia seperti anjing kurap, yang serumah dengan Tuhan. Yang "tau" diriannya. Karena kalau aku juga menuruti kecapekan, aku juga sama sehari-hari kuliah sampe sore ditambah tugas dari makhluk yang baru masuk sudah sibuk dengan memberikan tugas. Tapi aku tidak bisa begitu saja itu dijadikan alasan untuk bersikap bak pahlawan yang sudah berjuang di Aceh menumpas Gam. Karena aku tau aku harus tidak "tau" diri.

Memang, masyarakat sepertinya tidak mau tau dan peduli dengan kodisi mesjid karena memang mereka tidak pernah kemesjid kecuali kadang-kadang pada hari jum'at dan hari I'dul fitri juga I'dul Adha. Tapi aku meresa dibalik ketidakmau tauan masyarakat tersimpan beban moral yang begitu berat untuk dipikul. Ada amanat yang secara tidak langsung dibebankan pada diri penghuni "asrama" ini. Yaitu kepercayaan untuk menjaga kebersihan juga sekedar mengajar iqra anak-anak mereka. Kedua-duanya alhamdulillah temanku ini belum pernah memikirkannya apalagi mengerjakannya.

***
Untuk mengobati kekesalan hati yang susah digambarkan lagi, aku suka mengobti diri dengan menganggap bahwa mungkin semua orang didunia ini lebih banyak yang "tau" dirinya dari pada orang yang tau tidak tau diri. Aku melihat pada diri teman baruku ini sama seperti melihat para anggota dewan dan para pejabat yang lebih banyak "tau" dirinya dapi pada tau tidak tau dirinya. Anggota dewan dan pejabat sekarang juga mungkin tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tidak sadar dan tau bahwa ia dihidupi oleh rakyat, bukan oleh SBY juga bukan oleh Tuhan. Tapi oleh rakyat dan rakyat. Walaupun rakyat tidak sadar bahwa mereka telah memberi makan belatung-belatung busuk yang biasa mengerumuni anjing kurap yang telah mati membusuk karena kekenyangan melahap tulang dan menyolong daging dari "dapur" ibuku. Kalau mereka tau mereka telah menggaji anjing kurap, mereka tentu lebih suka uangnya diberikan pada gembel yang diseret dan dingkut Satpol PP. dari pada diberikan pada anjing kurap yang menjijikan. Dan Aku mengetahuinya. Karena aku tau dari kelakuan temanku yang sama dengan kelakuan bajingan-bajingan itu, yang berbaju besi dan berkepala batu juga berhati iblis. Itulah kelakuan kau dan dia juga mereka.

Berkali kali aku katakana pada temanku, bahwa aku bukan orang yang baik dalam kesendirianku. Tapi aku berusaha menyembunyikan sifat busukku didepan manusia, didepan orang-orang. Juga didepan kau. Aku bukan munafik, tapi bukankah hati itu urusannya dengan Tuhan bukan urusan manusia, bukan urusan orang-orang. Juga bukan urusan kau?. Aku lebih suka sikap-sikap bukan sifat-sifat dari seorang munafik. Dari pada tidak munafik sama sekali. paling tidak dia menghargai dan memberikan contoh yang baik walaupun ucapannya tidak sesuai oleh hatinya. Itu tak apa karena hati bukan urusan kita bukan urusan manusia. Dari pada sudah mempunyai sikap dan sifat yang tidak baik lantas memperlihatkan dan menganggapnya bagai sebagai sikap dan sifat yang wajar. Dan yang paling mengkhawatirkan kau tidak sadar bahwa sikap dan sifat kau selama ini kau anggap benar.

Terhadap pendapat dan kritikanku ini, sepertinya dia kurang mengerti. karena memang dia tidak sekolah sampai tingkat lanjutan apalagi sampai perguruan tinggi. Jadi tidak mengerti analogi dan dan sindiran. Sama juga seperti mereka, para anggota dewan para wakil aku. Si anjing kurap. walaupun aku tak pernah memilih mereka. Mereka tidak sekolah, walaupun punya ijazah sampai perguruan tinggi, itu hasil membeli dengan uang hasil malingnya itu. Jadi mana mungkin dia mengerti akan sifat tau tidak tau dirinya. Mereka terpilih bukan berarti manusia pilihan. Karena mereka bukan manusia tapi anjing kurap. Kalau manusia tentunya mereka tau akan tidak tau dirinya. Kalau ada yang ngasih tau dianggap interpensi dan dianggap hal sia-sia jika ditanggapi. Mereka bisa duduk di Wastukencana dan menginap di Hotel Indonesia karena mereka pandai membohong anak-anak dan ibu-ibu dengan rayuan busuknya. Mungkin untuk hal ini lagi–lagi aku harus memaklumi anggota dewan seperti ini. Dan sedikit terobati karena ada bebrapa dari mereka para anjing kurap yang manusia dan seperti manusia Seperti bagaimana aku harus memaklumi temanku itu. Karena kepala batunya.
Dalam hati kadang aku berfikir, kenapa aku harus repot memikirkan dan memusingkan kelakuan temanku yang makin ngaco. Entoh masyarakat disekitar masjidku saja tidak pusing dan tidak mau tau. Kalaupun mereka tau tidak sampai memusingkan kepala mereka, tidak seperti aku kadang-kadang masalah ini sampai membuat aku susah tidur dan tidak enak makan. Kalau yang terakhir mungkin karena tidak ada yang bisa dimakan.

Tapi keinginan acuh tak acuh itu hilang kembali, ketika aku ingat pasilitas yang digunakan dan makanan yang dimakan temanku itu juga anggota dewan itu adalah pasilitas dan makanan dari "dapur" ibuku yang dipersiapkan untuk aku, untuk anak-anaku dan untuk cucu-cucuku dikemudian hari. Jika anjing kurap ini tetap dibiarkan aku khawatir keturunanku yang makan didapur ibuku mereka akan mengemis dan jadi gelandangan di"dapur" yang konon banyak makanannya. Karena makanan telah habis dicolong anjing kurap itu yang tidak kenal puas dan kenyang. Karena itu, dia lupa kapan waktu bangun untuk shalat dan kapan waktu sidang. Karena setelah perut kenyang anjing kurap itu bermesraan dengan model dongdot yang siap melayani siapa saja baik manusia ataupun binatang. Seperti anjing kurap itu, yang penting satu hal, dia harus berperut buncit yang kelak setelah puas "dikencingi" anjing kurap itu. Perutnya akan dibedel dan keluarlah lembaran merah dan butiran intan permata hasil jarahan dari "dapur" ibuku.

Aku kasih tau sekarang, jika kau melihat temanku juga dewan itu dimana saja dia berada kejar dan seretlah dia. Karena temanku telah ku lempar dia kepadang ilalang yang jauh dan bisu kelu. Yang mungkin suatu saat datang kembali kesekitar rumah anda. Pecahkanlah perutnya dan Keluarkanlah lembaran merah dan butiran permata yang ada didalamnya. Dan pecahkanlah kepalanya dengan ketapel ataupun dinamit yang biasa digunakan untuk memecahkan batu, karena sama kepalanya juga batu. dan lemparkanlah mayatnya kelaut, agar bangkainya dimakan paus dan tidak dikerumuni oleh belatung-belatung tengik yang doyan mengerumini setiap bangkai. Entah bangkai apapun yang penting dia bisa menghabiskan sisa daging dan daleman untuk disisakan tulangnya saja untuk disemayamkan dimakam pahlawan yang kelak akan diabadikan sebagai pahlawan anjing kurap yang berjuang untuk belatung-belatung tengik.

Bandung, 12 februari 2007