Maulid ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Maulid

Tuesday, March 25, 2008

Melacak Kelahiran Muhammad: Sebuah Perspektif Sejarah Kritis
Oleh Eko Marhaendy

Pada kesempatan sebelumnya, saya pernah menuliskan sebuah artikel bertajuk Sekedar Refleksi untuk 8 Juni (dipublikasikan secara pribadi), dengan sebuah ide pemikiran bahwa 8 Juni – dalam perspektif penanggalan Masehi – pada prinsipnya merupakan momentum penting bagi umat Islam, namun kerap menganggapnya tidak begitu penting.

Artinya, umat Islam pada umumnya hampir melupakan bahwa tanggal tersebut merupakan tanggal dimana Muhammad SAW wafat. Tanggal ini menjadi tidak begitu penting dikarenakan kebiasaan umat Islam menggunakan sistem penanggalan Hijriyah untuk mencatat pristiwa dan sejarah Islam. Padahal, sistem penanggalan tersebut secara resmi baru dimulai pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, enam tahun setelah wafatnya rasul.

Uniknya, 8 Juni ketika itu (632 Masehi) bertepatan dengan tanggal 12 Rabiwul Awwal tahun ke-10 Hijiriyah, satu tanggal yang telah menjadi budaya dikalangan umat Islam untuk merayakan hari kelahiran Muhammad SAW (maulid nabi). Pertanyaannya adalah: apakah tanggal kelahiran Muhammad yang bertepatan dengan tanggal wafatnya beliau merupakan sebuah kebetulan sejarah?, atau masih terdapat perselisihan serta kontroversi di dalamnya?. Tulisan yang saya beri judul “Melacak Kelahiran Muhammad” ini berupaya untuk menemukan jawabannya.

Kesamaran Sejarah Kelahiran Muhammad
Kalimat “melacak kelahiran Muhammad” mengandung konotasi ketidak jelasan kelahiran beliau. Artinya, jika kalimat ini digunakan sama halnya dengan meragukan tanggal 12 Rabiwul Awwal sebagai peringatan maulid nabi yang telah menjadi tradisi umat Islam dalam rentang sejarah yang panjang. Namun demikian, meletakkan Muhammad sebagai vigur sejarah mestilah menggunakan tinjauan serta analisis yang kritis. Dengan demikian, istilah ragu disini tidak menunjukkan kelemhan iman seseorang terhadap Islam. Hal ini perlu ditegaskan sebelumnya untuk menghindari kontroversi yang kerap kali berakibat buruk bagi orang-orang yang mencoba berfikir kritis terhadap Islam dari segala aspek, sejarah barangkali menjadi salah satu di dalamnya.

Membincang hari kelahiran Muhammad bukanlah hal mudah – semudah mengingat tanggal sejarah. Kita akan dihadapkan dengan dua pilihan yang amat sulit: berbicara jujur namun terkesan merusak sebuah tatanan budaya yang melekat pada umat Islam untuk merayakan 12 Rabiwul Awwal sebagai hari kelahiran Muhammad (maulid nabi); atau sebaliknya, menerima tatanan tersebut begitu saja, namun harus menutupi sebuah kejujuran bahwa penanggalan tersebut masih mengalami kesamaran sejarah.
Kesadaran akan pentingnya mengingat hari kelahiran Muhammad baru muncul pada masa pemerintahanUmar bin Khattab, tepatnya pada tahun 638 Masehi. Ketika itu Umar ingin menjadikan penanggalan Hijriyah sebagai sebagai sistem penanggalan resmi pemerintahan Islam ketika itu. Akan tetapi muncul berbagai benturan untuk menetapkan patokan awal dimulainya. Para sahabat menemukan kesulitan ketika muncul gagasan untuk menjadikan hari kelahiran Muhammad sebagai patokan awal sistem penanggalan Hijriyah. Sebab tidak satupun diantara mereka yang tahu persis kapan Muhammad dilahirkan.

Kesulitan melacak kelahiran Muhammad ini dirasa sangat wajar. Abdullah Al-Zanjani (1984) mengungkapkan: setiap pengkajian sejarah kelahiran nabi SAW akan menghadapi dua kemusykilan; pertama, kebiasaan orang Arab tidak mencatat sejarah mereka dengan tulisan kerena kebiasaan menulis merupakan satu hal yang baru pada zaman itu. Kedua, tidak diketahuinya hisab tahun yang digunakan orang Arab Jahiliyah, apakah yang digunakan Syamsiyah atau Qamariyah – agar benar-benar terbukti bahwa kelahiran Muhammad pada bulan Rabiwul Awwal.

Memang ada sejumlah pristiwa besar yang pernah terjadi pada tahun-tahun kelahiran Muhammad. Pristiwa tersebut misalnya penyerangan Ka’bah oleh Tentara Gajah Raja Abraha – yang kemudian tahun tersebut diabadikan sejarah Islam sebagai Tahun Gajah. Atau konon, dalam keyakinan umat Islam tradisional, pada saat kelahiran Muhammad muncul cahaya yang bersumber dari bayi Muhammad dan mampu menerangi seluruh Kota Makkah, serta api-api kaum Majusi yang telah hidup selama ratusan tahun padam seketika itu.

Terlepas apakah pristiwa luar biasa di atas dapat dibuktikan sejarah atau sebuah mitologi belaka, Fuad Hashem (1989) agaknya ingin menyingkirkan demitologisasi semacam itu dengan menggambarkan keadaan normal pristiwa kelahiran Muhammad pada buku Sirrah Muhammad Rasulullah yang ditulisnya. Fuad menegaskan: jeritan seorang bayi yang lahir merupakan hal lumrah didengar oleh masyarakat Quraisy ketika itu. Sebab setiap detik dan setiap menit bias saja bayi-bayi lain terlahir dengan kondisi dan jerit tangis yang sama. Kegembiraan mungkin muncul dari kalangan keluarga Abu Thalib karena diketahui bayi yang lahir adalah seorang bayi laki-laki, sebuah simbol kebesaran bagi bangsa Arab ketika itu. Namun siapa yang sadar kelak bayi tersebut akan menjadi seorang rasul utusan Tuhan yang tentunya turut mengisi pentas sejarah dunia, sehingga mereka lalai untuk mencatat tanggal lahirnya.

Kesamaran sejarah kelahiran Muhammad ini mengakibatkan perselisihan penanggalan yang cukup kontras dikalangan umat Islam. Kebanyakan ulama Syiah misalnya, berpendapat bahwa Muhammad dilahirkan pada tanggal 17 Rabiwul Awwal Tahun Gajah. Pendapat ini dibantah oleh segelintir ulama Syiah pula, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini Ar-Razi, dengan ucapan: Rasulullah SAW dilahirkan pada 12 Rabiwul Awwal Tahun Gajah”.

Ulama seperti Ibrahim bin Al-Munzeir, Al-Bukhari dan Khalifah bin Al-Khayat menukilkan adanya ijma’ bahwa Rasulullah SAW dilahirkan pada hari senin bulan Rabiwul Awwal, namun mereka tidak seragam dalam menentukan tanggalnya. Ada empat pendapat yang termahsyur, yaitu: pada hari kedua, kedelapan, kesepuluh dan kedua belas (Al-Janjani:1984). Mahmud Pasha, seorang ahli Ilmu Falak Mesir, mengambil jalan yang menurutnya dapat dipercaya dengan melakukan berbagai penghitungan, selanjutnya menyimpulkan bahwa Muhammad dilahirkan pada tanggal 12 Rabiwul Awwal, bertepatan dengan 20 April Tahun 571 Masehi, ditinjau dari sudut pandang sistem penanggalan Hijriyah, maka tanggal lahir Muhammad jatuh pada tanggal yang sama dengan tanggal wafatnya beliau, 12 Rabiwul Awwal tahun ke-10 Hijriyah, bertepatan dengan 8 Juni 632 Masehi.

Tradisi Peringatan Maulid Nabi
Berdasarkan uraian sebelumnya, kita tentu dapat memaklumi mengapa 12 Rabiwul Awwal dijadikan sebagai tradisi untuk mempringati maulid nabi. Hal ini disandarkan pada kesimpulan Mahmud Pasha yang meyakini tanggal kelahiran Muhammad sama persis dengan tanggal wafatnya beliau. Akan tetapi, yang sedikit aneh adalah kebiasaan umat Islam pada umumnya yang hampir melupakan bahwa tanggal 12 Rabiwul Awwal yang diperingati sebagai hari kelahiran nabi mengisyaratkan sejarah lain yang lebih otentik, yakni tanggal wafatnya nabi. Para mubaligh pada umumnya, jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah menyinggung otentisitas sejarah ini dalam setiap ceramah maulid yang dilakukannya.

Padahal, tradisi maulid sendiri masih menjadi perdebatan panjang dikalangan ulama Islam. Sebagian besar ualama Islam membolehkan perayaan tersebut, namun sebagian kecil masih menentangnya karena alasan tidak memiliki hujjah yang jelas: apakah 12 Rabiwul Awwal memiliki nilai khusus bagi umat Islam untuk merayakan hari kelahiran Muhammad?

Dalam literatur sejarah Islam, sebagaimana yang dapat ditemukan dalam buku yang ditulis Fuad Hashem (1989), dijelaskan bahwa rumah kelahiran Muhammad yang cukup sederhana dipugar oleh Khalifah Harun Al-Rasyid atas permintaan ibunya, Khaizuran. Rumah tersebut kemudian dijadikan sebagai tempat ibadah Sholat, dan sejak saat itu, rumah kelahiran Muhammad selalu ramai dikunjungi jamaah pada tanggal 12 Rabiwul Awwal. Terlepas dari tujuan – apakah ingin merayakan hari kelahiran Muhammad atau justru mengenang wafatnya beliau, sejarah ini menunjukkan bahwa 12 Rabiwul Awwal telah menjadi perhatian khusus umat Islam sejak Abad ke-8 Masehi.

Sementara itu, tradisi perayaan maulid sendiri – dicatat oleh sejarah – dimulai pada masa Sholahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima perang Islam yang berperan pada pristiwa Perang Salib. Untuk merangsang semangat juang tentaranya, Sholahuddin berkeinginan membangkitkan semangat mereka dengan kegiatan yang dapat mengingatkan pada perjuangan dakwah Muhammad. Atas dasar keinginan tersebut, selanjutnya Muzhofaruddin Kokbury (sepupu Sholahuddin) merayakan peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya pada tahun 1207 Masehi.

Penutup
Membaca kembali berbagai perspektif sejarah Muhammad tentunya akan mengurai perdebatan panjang. Sebab sejarah tersebut tidak lebih dari sebuah periwayatan-periwayatan yang diperoleh dari orang-orang yang – menurut keyakinan kita – dapat dipercaya. Boleh jadi masih terdapat kekurangan serta kelemahan-kelemahan dalam isi periwayatan tersebut, sehingga menjadikan sejarah Muhammad – dalam beberapa aspek – berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Karenanya, melakukan analisis kritis terhadap sejarah (Muhammad) tidak saja dimungkinkan, malah menjadi sebuah keharusan agar umat Islam dapat lebih arif dalam beragama.

Momentum 12 Rabiwul Awwal sebagai peringatan maulid nabi misalnya, telah tersusun demikian rapih menjadi sebuah tatanan budaya yang menghiasi sejarah kehidupan umat Islam dalam rentang waktu yang panjang. Umat Islam pada umumnya hampir “dibutakan” oleh tradisi tersebut sehingga menganggapnya sebagai kesimpulan mutlak. Silahkan saja 12 Rabiwul Awwal menjadi tradisi untuk merayakan peringatan maulid nabi, namun setidaknya umat Islam harus mengerti alasan mengapa jatuh pada tanggal tersebut, tentunya dengan membaca kembali berbagai perspektif Sejarah Islam (Muhammad), dan peranan para “mubaligh maulid” tentu sangat diharapkan untuk memberikan pencerahan ini. Wallahu a’lam….☺