Cak Nur ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Cak Nur

Tuesday, April 1, 2008

Cak Nur Bukan Jaringan Islam Liberal
Oleh M Deden Ridwan*

Sabtu 15 Maret 2008, Paramadina memperingati “1000 hari wafatnya
Nurcholish Madjid”. Meski sudah wafat, sosok Cak Nur masih tetap
kontroversial.

Sejumlah buletin yang beredar tiap pekan di masjid-
masjid dan materi khotbah Jumat seperti tak habis-habisnya mengkritik
Cak Nur. Salah satu sorotan paling mutakhir adalah anggapan bahwa
pikiran Cak Nur terwariskan ke Jaringan Islam Liberal (JIL).

Cak Nur dan JIL sering dianggap identik. Asumsi ini cukup beralasan,
karena Cak Nur pada 1970-an pernah mengusung gagasan sekularisasi dan
liberalisasi. Antara Cak Nur dan JIL seolah terjadi titik temu
intelektual. Apalagi, JIL mengakui bahwa gagasannya terinspirasi oleh
Cak Nur. Maka, pencitraan Cak Nur sebagai JIL pun tak terhindarkan.
Padahal, liberalisasi Cak Nur lebih bersifat sosiologis. Ia berusaha
membebaskan umat dari belenggu kultural dan tradisi yang pada waktu
itu bisa dianggap menghambat berpikir rasional. Bukan liberalisasi
dalam pengertian teologis, seperti mempertanyakan keotentikan Al-
Quran, sebagaimana dikampanyekan JIL.

Gagasan Cak Nur dan JIL berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan
pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis.
Buku Islam, Doktrin dan Peradaban, menjadi bukti. Secara
paradigmatik, gagasan Cak Nur lebih sistematis. Dibandingkan dengan
JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas. Yaitu, “memelihara
yang lama yang baik dan mencari yang baru yang lebih baik”. Dalam hal
menafsirkan Al-Quran, Cak Nur mengadopsi metode double movement, dari
situasi sekarang ke situasi turunnya wahyu, lalu kembali lagi ke masa
kini untuk menggali relevansi ajaran agama.

Sebaliknya, sistematisasi ide tidak tampak pada JIL. Gagasan JIL
baru sebatas percikan ide spontan yang tercecer di surat kabar dan
milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual
dan akademis. Karena itu, gagasan JIL secara epistemologis masih
rapuh. JIL sampai kini belum punya metodologi yang jelas dalam
menafsirkan Islam. Kritik pedas seperti itu pernah dilontarkan Dr.
Haidar Bagir.

Tema pembaruan keduanya juga bisa dikontraskan. Cak Nur sangat kuat
dalam penjelajahan intelektual pada tradisi Islam klasik untuk
merespons tantangan modernitas. Ia fasih berbicara pemikiran Islam
klasik dan abad modern. Buku Khazanah Intelektual Islam yang ia
sunting dan terjemahkan adalah bukti. Ia ingin menjadi sosok pious
thinker—pemikir yang saleh. Dan rupanya, kesalehan tersebut menjadi
semacam ikon Cak Nur, baik dalam kehidupan intelektual, spiritual
maupun ritual sehari-hari.

Sementara itu, di tubuh JIL, kesalehan itu tidak menjadi
kebanggaan ketika mengumandangkan gagasan pembaruan. JIL benar-benar
ingin sekuler. Kelihatannya mereka bangga jika tercerabut dari piety
atau tradisi. Mereka tidak begitu “apresiatif” terhadap tradisi Islam
klasik. JIL benar-benar menjadi sekuler secara sempurna. Mereka ingin
membangun formasi sosial-kultural baru yang sungguh “anti agama”,
jauh dari nilai spiritual. Maka, bisa dipahami bila JIL
cenderung “anti masjid” dan sinis melihat aktivitas ritual ibadah
praktis.

Tradisi pembaruan Cak Nur berangkat dari spirit pencerahan
Amerika. Dalam spirit pencerahan Amerika, apresiasi agama sangat
tinggi untuk sekularisasi. Agama tidak pernah dipandang sebagai musuh
pencerahan dan sekularisme. Sebaliknya, di JIL, agama—khususnya Islam—
selalu dimusuhi dan dikritik di luar dosis. Di JIL, semangat
pencerahan tampaknya lebih datang dari Eropa yang memang sangat
hostile terhadap agama. Meminjam istilah Alfred Stepan, spirit di
Eropa ingin freedom of state from religion; sementara spirit Amerika
ingin freedom of religion from state.

Dalam debat mutakhir, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar
menjadikan scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public
reasioning. Dan JIL tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur, penalaran
publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran
Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind
set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan
pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.

Secara teknis, Cak Nur sangat santun dalam artikulasi pemikiran dan
tulisan. Ia berhasil menarik simpatik orang yang sebelumnya memusuhi.
JIL justru sebaliknya. Orang yang semula simpatik malah berubah
menjadi antipati. Cak Nur memiliki—memakai istilah Toqueville—habits
of the mind dan habits of the heart; pikiran dan hatinya sangat
santun. Karena itu, bisa dipahami jika Cak Nur itu sensitif terhadap
perasaan umat; suatu sikap yang sama sekali tak muncul dari tubuh
JIL.

Dengan demikian, gagasan Cak Nur lebih relevan dan punya masa depan.
Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap
ke dalam “fundamentalisme liberal”, akan sulit hidup.

*PENULIS buku Gagasan Cak Nur dan Media (2002), kini sedang menulis
buku Cak Nur Bukan JIL; konsultan media dan perbukuan di Jakarta

SUMBER: Gatra No. 19 Tahun XIV, 20 -26 Maret 2008