Iman ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Iman

Monday, May 12, 2008

Iman Minoritas Tercabik-Cabik
Oleh Wanddi Irfandi

Tanggal 21 April kaum perempuan akan merayakan hari kebangkitan mereka. Ya hari kartini, sebuah hari yang diyakini oleh kaum perempuan sebagai hari bangkitnya perempuan dari keterpurukan dan penindasan kaum lelaki atau sistem yang dibuat oleh kaum adam. Kartini dipercaya mampu mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang dulu tertindas, terhegemoni oleh lelaki.

Perjuangan Kartini sebagai kaum minoritas pada waktu itu memang mampu mendobrak sistem patriarki atau lebih tepatnya sistem yang dibuat memenjarakan kaum hawa. Selain itu Kartini mampu membuka mata lelaku untuk mensejajarkan derajat, hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan.

Perjuangan yang tak kenal lelah inilah, walau beberapa pihak menolak Kartini merupakan pejuang pertama perempuan, pada akhirnya dikenang bahkan dirayakan oleh segenap bangsa Indonesia. Hasil jerih payahnya pulalah kini muncul pejuang-pejuang perempuan, pejuang-pejuang gender di Indonesia. Dapat kita bayangkan jika pada saat itu kartini merasa putus asa dan tidak meneruskan perjuangannya, kita tidak mungkin melihat Megawati menjadi Presiden RI, tidak mungkin melihat Nurul Arifin menjadi aktris dan bahkan sekarang menjadi anggota dewan pusat dan tak mungkin pula kita mengenal Rieke “oneng” Dyah Pitaloka sebagai aktris dan pejuang gender dan perempuan. Barangkali fakta-fakta tersebut cukup bagi kita untuk membuktikan keberhasilan perjuangan Kartini.

Hasil yang dicapai perempuan saat ini tentu bukanlah pejuangan yang amat gempang dan sebentar. Saat ini Kartini memang telah tiada dan kaum perempan tinggal menikmati hasilnya saja. Namun yang patut menjadi pertanyaan adalah mestikah kaum minoritas selalu tertindas oleh mayoritas baik secara fisik maupun non fisik? Kita tahu Kartini pada waktu itu, minimal secara sistem. adalah kaum minoritas dan pada waktu itu pula Kartini tertindas dan terbelenggu oleh kaum mayoritas.

Pun begitu dengan yang terjadi saat ini di negara kita. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yang katanga agama keselamatan, senantiasa, baik disadari atau tidak, menindas kaum minoritas yang lain agama. Conoth yang paling konkrit adalah terkuasainya Departemen Agama oleh kaum yang memeluk ajaran Nabi Muhammad. Padahal semestinya Departemen Agama, atau yang lebih dikenal dengan Depag, diisi oleh kaum yang terdiri dari berbagai golongan agama tanpa memandang mayoritas dan minoritas.

Di sisi lain, Islam di Indonesia dengan kemayoritasannya dan mempunyai beragam aliran kembali harus menindas kaum yang lemah. Karena berbeda pakem dengan aliran Islam yang biasanya aliran tersebut harus dibubarkan dan dianggap sesat.

Ahmadiyah sebagai contoh. Organisasi Islam yang satu ini dianggap sesat oleh beberapa kalangan Islam bahkan oleh Dewan Parlemen Tertinggi (MUI) harus dibubarkan karena telah menyimpang dari ajaran Islam yang “sebenarnya2”.desakan pembubaran ahmadiyah terus dilakukan bahkan tak hanya desakan, demi bubarnya Ahmadiyah di Indonesia, teror pun dilakukan oleh pengikut agama yang menyebut ajaran keselamatan ini. Dimulai dari pengrusakan bangunan sampai dengan pengusiran pemeluknya dan yang paling mengerikan dari keberanian, kalau tidak boleh menyebut tolol, kaum yang memeluk ajaran Islam ini adalah pembakaran mesjid yang dibangun oleh Ahmadiyah. padahal kita semua mengetahui mesjid adalah rumah tuhan siapapun, golongan apapun bahkan keturunan apapun boleh memasuki mesjid. Sungguh agama telah dijadikan alat untuk melegalkan peperangan dan kerusakan di muka bumi.

Ahmadiyah sebagai kaum yang tertindas beberapa kali melakukan pembelaan dengan mengklarifikasi akar permasalahannya. Mereka mencoba mengklarifikasi bahwa Mirsa Gulam Ahmad, yang dulu dihujat karena disebut nabinya kaum Ahmadiyah, bukanlah nabi melainkan Imam (pemimpin) mereka, dan kitab Tadzkirah, yang dulu dihukat karena disebut al-Qur'annya Ahmadiyah, adalah kitab biasa saja. Selain itu Ahmadiyah pun senantiasa mencoba mencari perlindungan pada pemerintah dengan asumsi bahwa negara Indonesia menjamin kebebasan beragama, menjamin kebebasan berserikat dan berkelompok3.

Namun apa lacur, pemerintah yang sedianya melindungi rakyatnya atau setidaknya mau mengamalkan UUD 45 malah ikut memperkeruh suasana dengan munculnya surat keputusan dari kejaksaan agung yang menilai bahwa Ahmadiyah itu sesat. Imbas dari hal tersebut adalah tidak bersedianya polisi memberikan keamanan dan izin kepada golongan Ahmadiyah untuk melakukan Musyawarah Nasional di Bali.

Minoritas …oh minoritas kau memang senantiasa tersiksa dan terlindas. Mudah-mudahan perjuangan kaum-kaum minoritas, untuk saat ini golongan Ahmadiyah, tidak akan pernah mengenal putus asa sebagaimana Kartini berjuang melawan tirani lelaki sebagai kaum mayoritas pada waktu itu. Amin.