Toleransi ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Toleransi

Sunday, May 25, 2008

Toleransi sebagai Kuasa Nilai
Zuhairi Misrawi

Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Sebab itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Rainer Forst dalam Toleration and Democracy (2007) menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam hal ini, Forst lebih memilih konsepsi yang kedua, yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.

Memang, sejauh ini toleransi diandaikan oleh banyak pihak sebagai durian yang jatuh dari langit. Kekuasaan politik dianggap sebagai faktor determinan dalam mewujudkan toleransi. Jika negara sudah membuat peraturan yang menegaskan pentingnya toleransi dan kerukunan bagi semua warga negara, semuanya dianggap taken for granted. Negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang bisa menyulap intoleransi menjadi toleransi.

Lain anggapan, lain pula realitasnya. Sebab, belajar dari pengalaman, betapa bagusnya kebijakan publik yang dibuat oleh negara kerap kali sulit diterjemahkan dalam realitas. Ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa toleransi sulit ditransformasikan dalam realitas keragaman yang ada dalam sebuah negara. Di antaranya, negara sendiri terdiri atas pelbagai entitas yang mempunyai mindset kurang lebih cenderung kepada intoleransi daripada toleransi. Apalagi, entitas tersebut hanya memahami demokrasi secara prosedural, yaitu hegemoni mayoritas atas minoritas atau sebaliknya, ketundukan minoritas atas mayoritas.

Sementara itu, negara tidak mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dalam rangka menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Akibatnya, kelompok minoritas senantiasa berada di bawah ancaman kelompok yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas. Lalu, pertanyaannya dari mana kita mesti memulai untuk membangun toleransi?

Dua modal
Richard H Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Menurut Dees, masalah utama toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi pada level ini, menurut Dees, mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Di Perancis, pada abad ke-16, Henri IV mengeluarkan sebuah dekret tentang toleransi, yang di antara butir-butirnya berisi tentang upaya mengakhiri konflik yang berbasis agama, yaitu antara umat Katolik dan Protestan. Dekret tersebut disetujui oleh kedua belah pihak. Kalangan Protestan sebagai kelompok minoritas mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mendapatkan otonomi khusus di daerah bagian selatan dan barat.

Hanya saja, dalam realitasnya, kesepakatan tersebut tidak benar-benar diimplementasikan oleh kedua belah pihak. Huguenot, komunitas Protestan di Perancis, kerap kali dicurigai. Intinya, kedua belah pihak tidak mampu menumbuhkan kepercayaan di antara mereka.

Kedua komunitas tersebut sebenarnya mempunyai cita-cita yang luhur untuk membangun kedamaian, dan rezim Henri IV berada di garda terdepan untuk mewujudkan toleransi menjadi kenyataan. Tiap-tiap kelompok mendapatkan jaminan kebebasan untuk melaksanakan pandangan keagamaan dan keyakinannya. Bahkan, kedua kelompok tersebut bersama-sama menyepakati traktat perdamaian dan toleransi.

Masalahnya muncul ketika Henri IV tewas pada tahun 1610 di tangan penganut fanatik. Kematian Henri menjadi awal dari bencana intoleransi sebab kedua kelompok tersebut kehilangan kepercayaan untuk mengawal kesepakatan toleransi yang telah berlangsung puluhan tahun. Sementara itu, benih-benih intoleransi mulai tumbuh di antara tiap-tiap kelompok dengan mengobarkan api pertikaian bersamaan dengan meninggalnya Henri IV, tokoh yang mengawal toleransi dan perdamaian.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman toleransi dan intoleransi di atas adalah toleransi sebagai modus vivendi sangat ditentukan oleh kekuatan politis. Yang terpenting, tiap-tiap kelompok tidak memahami betul perihal pentingnya toleransi, baik di saat ada persetujuan hitam di atas putih maupun tidak ada.

Di Arab, tepatnya di Madinah, persetujuan serupa pernah dideklarasikan, yang biasa disebut dengan mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun, dalam perjalanan sejarah, persetujuan tersebut mudah dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi di masyarakat plural. Mereka hanya mau bertoleransi di atas kertas, tetapi sulit untuk menerjemahkannya dalam realitas politik yang plural. Lalu, sebenarnya apa masalah utamanya?

Di sini perlu diajukan proposal rekonstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman intoleransi, yaitu meneguhkan toleransi sebagai kebajikan (toleration as a virtue), di samping toleransi sebagai hak setiap individu.

Di sini, kita bisa belajar dari pengalaman Inggris. Toleransi dalam bentuk modus vivendi di Inggris, khususnya setelah munculnya traktat toleransi pada tahun 1689, lebih kukuh dibandingkan dengan di Perancis karena toleransi yang dipraktikkan di Inggris mampu menerjemahkan nilai-nilai yang paling mendasar dalam toleransi. Dengan kata lain, toleransi di Inggris mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Di Inggris, cara terbaik untuk membangun toleransi adalah menumbuhkan semangat kesatuan yang dibangun di atas pilar kebangsaan.

Kegagalan Perancis dan keberhasilan Inggris pada masa lalu menginspirasikan bahwa membangun toleransi tidak hanya kuasa negara, tetapi juga kuasa nilai yang diterapkan secara sungguh-sungguh dalam sebuah negara. Toleransi bukanlah proses yang langsung jadi, melainkan kehadiran nilai yang mengakar kuat di tengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan dan dialog untuk membangun saling percaya.

Zuhairi Misrawi Direktur Moderate Muslim Society (MMS) dan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

Kompas Sabtu, 24 Mei 2008 | 00:29 WIB