Kebebasan ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Kebebasan

Tuesday, February 19, 2008

Prospek Kebebasan Beragama di Indonesia: Belajar dari Masa Lalu
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta PhD1

Pendahuluan

Tema seminar ini mengikat tiga komponen penting. Pertama, keberadaan kebebasan agama; kedua, proses kebebasan agama dari masa lalu dan ketiga, prospeknya sekarang dan seterusnya.
Saya tidak yakin tema ini dapat dibahas secara mendalam mengikat keterbatasan waktu untuk saya. Kita juga bisa bertanya apakah yang dimaksudkan dengan masa lalu, sejak kapan kategori masa lalu yang dimaksudkan dalam tema ini. Apakah dalam sejarah Indonesia, kebebasan beragama merupakan esensi yang sudah dipraktekan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia?

Baiklah saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas di dalam beberapa tahapan pembahasan tentang:

1. Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Hukum Indonesia
2. Kebebasan Beragama dalam konteks HAM
3. Masyarakat dan Negara Menjaminkan Kebebasan Beragama
4. Kesimpulan

Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Hukum Indonesia
Pada bagian ini saya akan menjawab pertanyaan apakah konsitusi hukum Indonesia mencerminkan realitas politik dari kebebasan agama di Indonesia?

Lima puluh dua bernegara sebagai bangsa Indonesia, manusia Indonesia mewarisi proses pembentukan Indonesia sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang dibangun di atas landasan prinsip negara modern. Posisi negara dipilih sebagai lembaga yang netral untuk menjaminkan proses pencapaian harapan dari semua warganegara secara sejajar dan adil.

Negara tidak memilih dengan sengaja keberpihakannya kepada golongan masyarakat tertentu. Kenyataan paska kolonialisasi berpengaruh terhadap bentukan dan fungsi negara muda yang baru dibentuk sesudah perang dunia kedua. Pemimpin bangsa seperti Soekarno bergumul dengan tarikan antara nilai-nilai modernitas yang menitik beratkan pandangan ideologi sekular dan keagamaan. Tren penyelenggaraan negara pra perang dunia kedua ditunjukkan dengan pelaksanaan politik homogenisasi dan politik agama dalam membentuk identitas negara. Indonesia muda mempunyai pilihan untuk mencerminkan politik Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan masyarakat Indonesia. Cerminan dari nilai-nilai mendasar manusia bisa terlihat langsung pada perumusan Pembukaan UUD 1945.

Deklarasi yang mendudukan negara Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara sekular dan juga bukan negara berdasarkan praktek politik agama tertentu. Deklarasi Pancasila menunjukkan bahwa negara mengakui nilai-nilai keagamaan sebagai prinsip dasar hukum operasional yang pengejawantahannya nampak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pancasila bukan agama, tetapi dalam Pancasila terkandung nilai-nilai keagamaan. Kecuali prinsip nilai pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Mahaesa, nilai kedua sampai kelima dari Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang mencerminkan fenomena humanis non transendental. Penetapan prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai prinsip pertama kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menunjukkan pengakuan negara terhadap bentukan dari perumusan asumsi dan definisi tentang agama.

Perumusan prinsip nilai dari sila pertama bersifat teologis dan historis yang mengakomodasikan pengakuan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui eksistensi Pencipta, Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang turut bekerja dalam perjalanan kehidupan sehari-hari bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Konteks teologis menunjukkan bahwa definisi agama dibangun dari kenyataan agama-agama universal (Islam, Kristen, Hindu, Budha) yang mempunyai ”nabi”, ”kitab suci”, ”bentuk rumah ibadah”, ”ritus”, ”umat”, ”logika” dan ”etikanya”. Sedangkan konteks historis menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama universal di Indonesia telah turut membentuk kemampuan masyarakat Indonesia untuk hidup bersama dalam konteks politik sosial ekonomi yang beragam yang memberikan identitas bagi keberagaman Indonesia sebelum periode negara kesatuan Republik Indonesia.

Memang harus diakui definisi agama yang ditetapkan untuk menghasilan perumusan sila pertama menegasikan kenyataan historis budaya dari kehidupan agama-agama lokal yang berbasis agama suku di Indonesia. Penghilangan kekuatan historis budaya dari keberadaan agama-agama suku menunjukkan penguatan secara politik keagamaan dari identitas agama-agama universal sebagai kenyataan idealis dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Dampak dari pilihan politik ini menunjukkan bahwa pembentukan Indonesia sebagai negara Republik sebenarnya dibangun dari pengakuan historis politik terhadap keberadaan bentuk negara pra republik di Indonesia yang bersifat hegemonik keagamaan. Sementara resistensi agama-agama suku makin berkurang bahkan mengalami konversi dan menyatu dengan agama-agama universal. Realitas politik negara pra republik mencerminkan pola agresifitas dan klaim kebenaran ilahi dalam penampakan operasional negara yang bersifat imperialisme. Artinya negara pada suatu saat menjalankan politik homogenisasi yang mengontrol masyarakatnya melalui penyeragaman identitas agama menurut identitas dari sang penguasa, ”raja”.

Pengambilalihan praktek politik negara pra repubik ke dalam sistem tata pelaksanaan negara republik sangat beresiko karena negara secara hukum ternyata mengontrol identitas agama warga negaranya sebagaimana peraturan pencantuman identitas agama pada KTP.

Kebebasan Beragama dalam konteks HAM
Dalam bagian ini saya akan menjawab pertanyaan tentang sejauhmana transformasi spiritualitas agama memberikan kontribusi terhadap pengakuan hak asazi manusia.

Deklarasi kebebasan beragama adalah salah satu perumusan hak asazi manusia. Dalam konferensi dunia di Vienna pada tahun 1993 diputuskan pengalihan dari perdebatan tentang bentuk-bentuk norma yang melindungi kebijakan dan tindakan kepada pembahasan tentang teori dan kebijakan penerapan hak-hak azasi. Lebih lanjut Pusat Hak Asazi Manusia di Essex Inggeris telah menerbitkan laporang dunia tentang Kebebasan Agama (Freedom of Religion) dan Kepercayaan ( Belief).

Studi ini menawarkan analisis tentang bagaimana standar internasional tentang kebebasan berpikir, kebebasan nurani, kebebasan agama dan kepercayaan dimengerti dan dinampakkan dalam hukum dan praktek dari kurang lebih 50 negara. Saya tidak bermaksud membahas bagaimana Indonesia terlibat dalam proses meratifikasi hukum hak asazi ini karena mungkin bukan maksud kita membahasnya di sini. Saya sebenarnya ingin menganalisa tentang perumusan hukum internasional tentang kebebasan beragama dalam kaitan dengan kebebasan berpikir, nurani, agama dan kepercayaan. Kita mengadopsi istilah kebebasan beragama, tetapi konteks historis dari kebebasan beragama mengikat konsekuensi kepada bentuk-bentuk kebebasan manusia yang sebenarnya tidak didasarkan pada nilai agama. Baiklah kita mengutip artikel 18 dari hukum PBB tentang hak azasi yang dideklarasikan pada tahun 1981.

”Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right
includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in
community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in
teaching, practice, worship and observance”

Artikel ini berdampak tidak saja terhadap kehidupan kebebasan agama tetapi juga sekaligus menjaminkan perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan, anak dan penganut agama minoritas.

Deklarasi PBB tentang HAM ini merupakan tantangan bagi Indonesia yang menyelenggarakan proses pemerintahan negara dan cara bermasyarakat seperti yang sudah saya jelaskan di bagian konstitusi hukum negara. Argumentasi yang sering dipakai untuk menolak deklarasi HAM ini terkait dengan keyakinan bahwa dasar pemikiran HAM tidak dibangun dari pemahaman agama, tetapi sebenarnya berdasarkan pada pemahaman sekular yang mendasarkan hak azasi manusia dengan penghargaan terhadap eksistensi individu.

Tarikan antara kebebasan individu dengan kebebasan kolektif merupakan bentuk perbedaan yang tidak saja bersifat politis tetapi cenderung berakar pada perbedaan epistemologis. Modernitas yang terjadi di barat mendorong proses sekularisasi yang meminggirkan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Jawaban-jawaban terhadap permasalahan dunia tidak lagi harus dijelaskan dari pemahaman agama. Pandangan ekstrim terhadap keberadaan agama ini lebih nampak terlihat dalam konteks historis agama-agama di Eropa. Tetapi fenomena agama di Amerika Serikat menunjukkan bahwa eksistensi agama tetap berperan penting dalam kehidupan bermasyakat. Hanya saja negara tidak berperan untuk memaksakan keyakinan agama tertentu sebagai bagian dari kebijakan publik.

Jadi perumusan HAM berangkat dari konteks yang menggambarkan kombinasi berbagai factor dimana sebenarnya ada peranan agama dalam memberikan penghormatan terhadap agama lain bahkan warga negara yang tidak beragama sebagai bagian dari eksistensi dasar seorang manusia. Ketegangan dalam berbagai ajaran dogma dalam agama tertentu seharusnya tidak mengaburkan prinsip nilai dalam hirarkis nilai yang menjadi sasaran dari pencapaian spiritualitas seorang pemeluk agama. Misalkan, dalam dogma Kristen, ajaran “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” seringkali dipertentangkan dengan ajaran lain bahwa “Yesus adalah jalan dan kebenaran dan kehidupan”. Konflik nilai ini bisa bersifat klaim pada kebenaran yang proses interpretasinya tidak diletakan dalam konteks sejarah yang berproses dan dialogis tetapi cenderung bersifat apologetik, absolut dan diskriminatif.

Perumusan deklarasi HAM juga mendorong proses perlindungan terhadap kebebasan beragama, berpendapat, bernurani, percaya yang bisa diupayakan oleh negara maupun komunitas-komunitas agama yang hidup dalam masyarakat dunia.

Masalahnya adalah bagaimana agama-agama mengalami transformasi spiritualitas untuk mampu meletakkan klaimnya pada kebenaran dalam konteks yang sekaligus membebaskan umat manusia dari berbagai diskriminasi termasuk juga diskriminasi terhadap pemutlakan ajaran agama yang sempit.

Masyarakat dan Negara Menjaminkan Kebebasan Beragama
Bagian ini saya akan gunakan untuk menjawab pertanyaan yang sudah saya ajukan pada akhir dari pembahasan di atas. Bagaimana agama-agama mengalami transformasi spiritualitas untuk mampu meletakkan klaimnya pada kebenaran dalam konteks yang sekaligus membebaskan umat manusia dari berbagai klaim yang dibuatnya?

Saya merasa pada umumnya agama didekati dan mendekati dirinya kepada manusia dengan penekanan pada ”rasa takut”. Rasa ketakutan dalam agama bukan hanya sebagai rasa takut kepada Allah tetapi juga agama mengembangkan dirinya untuk menakuti dan sekaligus memusuhi semua aspek duniawi yang dengan sangat mudah mengambil jiwa manusia. Tata politik dunia dan sistem kapitalisme yang cenderung menguntungkan komunitas tertentu telah menumbuhkan resistensi agama sehingga proses pemerdekaan dari sifat agama menghilang diganti dengan bentuk-bentuk kekerasan dan pemaksaan.

Revolusi teologis dalam kekristenan terjadi setelah Reformasi dimana pemultakan interpretasi agama yang semula disentralisasikan kemudian disebarkan sebagai bagian dari kemampuan mendasar yang diciptakan Allah. Reformasi Protestanisme menumbuhkan bibit-bibit penghargaan pada individu tetapi sekaligus mengoyahkan keutuhan ajaran dan kesatuan komunitas. Selain itu, penghargaan secara hukum terhadap pembebasan individu tidak muncul dengan sendiri tanpa perjuangan yang terus menerus dari kelompok-kelompok minoritas. Fenomena pergerakan pada umumnya mendorong proses pemikiran untuk menghasilkan gagasan-gagasan idealis, tetapi pengisian dan pelaksanaan ajaran-ajaran yang diperjuangkan harus dilakukan terus menerus.

Saya semakin mengerti proses revolusi teologis yang terjadi pada jaman Luther di Jerman, setelah saya sendiri terlibat dalam proses pergerakan advokasi untuk menjaminkan bahwa ada pembebasan dan pemenuhan hak-hak perempuan sebagaimana dirumuskan bersama dalam dokumen-dokumen hukum negara. Masyarakat yang sudah terstruktur dalam sistem nilai tertentu juga berperan untuk menghambat proses penyadaran dan advokasi terhadap eksistensi perempuan. Perbedaan konteks dan sejarah masyarakat juga harus dipertimbangkan sehingga dalam proses kontekstualisasi pergerakan untuk mengimplementasikan suatu kepentingan pembebasan dan pemenuhan HAM dari individu dan masyarakat bisa dilakukan secara berimbang, kritis dan rendah hati. Jadi revolusi teologis sangat penting dimulai dari melakukan apa yang dipercayai sebagai yang tidak mungkin dilakukan dengan menjadikannya sebagai yang bisa dipahami dan dilakukan.

Prospek kebebasan beragama di Indonesia bisa dimulai apabila kita terinspirasikan untuk melakukan seruan internasional tentang pemenuhan hak-hak azasi manusia sebagaimana diprakarsai oleh PBB. Dampak dari penerapan HAM juga akan berpengaruh terhadap perumusan identitas politik yang diberikan oleh Pancasila kepada warganegara Indonesia.

Kesimpulan

1. Kebebasan beragama dalam konstitusi hukum Indonesia cenderung bersifat kebebasan terbatas yang diterima sebagai suatu pengalaman budaya politik hegomonik agama-agama universal.

2. Istilah kebebasan beragama dalam konteks HAM harus diikuti dengan perumusan kebebasan berpendapat, bernurani dan kepercayaan baik secara individu dan berkelompok.

3. Mengfungsikan negara dan masyarakat mencapai pemahaman kebebasan beragama adalah dengan mengizinkan masyarakat melakukan hukum HAM yang sudah ditetapkan secara internasional menurut pertimbangan konteks historis dan budaya setempat.


1 Makalah disampai pada Seminar dengan tema “Prospek Kebebasan Beragama Di Indonesia: Belajar dari Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 12 Februari 2008.

Penulis adalah dosen fakultas Teknik di Universitas Kristen Duta Wacana, mengajar antropologi agama, sosiologi agama, antropologi teknik, konflik dan perdamaian, agama dan masyarakat. Bersama dengan Prof. Akh. Minhaji mengajar S3 di Indonesian Consortium for Religious Studies (area 1: Global Citizenship and Religious Movement in modern history).