MUI ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

MUI

Friday, December 14, 2007

Presiden dan MUI
Oleh Anick

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat untuk Al Qiyadah Al Islamiyah, lalu menetapkan 10 kriteria sesat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengamini fatwa sesat tersebut dan mendukung MUI, dan memuji langkah cepat MUI.

MUI berterima kasih kepada pemerintah yang segera menindak Al Qiyadah. ”Ada 13 poin yang ditulis MUI. Yang pertama, lakukan langkah-langkah sangat tegas dan tepat terhadap aliran dan paham sesat. Saya dukung, mari kita jalankan bersama-sama”. “Presiden tidak bisa memberikan fatwa. Setelah fatwa (MUI) dikeluarkan, perangkat negara sesuai dengan wewenang yang diberikan menurut UUD dan UU akan menjalankan tugasnya. Paduan inilah yang diharapkan terus terjalin di waktu yang akan dating,” demikian Presiden pada pembukaan Rakernas MUI 5 November lalu.

Sadarkah Sang Presiden bahwa pernyataannya memiliki implikasi disintegrasi yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa? Pasca legitimasi dan dukungan yang belum genap satu bulan itu, ratusan pengikut Moshaddeq didiskriminasi oleh kelompok lain maupun oleh aparat; enam buah gereja di Bandung, satu gereja di Tangerang, satu di Jakarta, dan satu di Dumai, Riau, dituntut massa untuk ditutup; kantor jemaat Ahmadiyah di Jakarta didatangi sekelompok massa dan didesak melakukan pertobatan ala Moshaddeq, juga markas jemaat Ahmadiyah di Manislor, Kuningan yang terancam dibakar; satu masjid komunitas Syiah di Bangil dirusak massa, satu kelompok Tarikat Naqsabandhiyah di Makassar dan beberapa kelompok Tarikat di Jawa Timur juga dituntut bubar. Lalu MUI Jawa Tengah meyebutkan angka 252 untuk aliran atau sekte yang berpotensi dianggap sesat di Jawa Tengah saja. Lalu Menteri Agama juga mencekal Nasr Hamid Abu Zayd untuk menghadiri sebuah seminar, satu tindakan yang betul-betul menggelikan dal am negara demokratis selevel Indonesia.

Belum lagi fakta bahwa justifikasi itu melemahkan posisi negara dan membuat aparat kepolisian tak berani bertindak tegas terhadap segala bentuk kekerasan, anarkisme, dan main hakim sendiri, jika itu mengatasnamakan Islam dan fatwa MUI.

Sadarkah Sang Presiden bahwa Majelis Ulama Indonesia hanyalah sebuah organisasi masyarakat (Ormas) biasa yang bekerja dalam kerangka keormasan untuk umat yang dinaunginya, bukan untuk seluruh publik? Terlebih, sadarkah ia bahwa tolok ukur sesat ala MUI adalah tolok ukur dan kaca mata “Islam”, bukan tolok ukur “Indonesia”? Terlebih lagi, sadarkah ia bahwa MUI juga tidak merepresentasikan pendapat seluruh umat Islam di negeri ini?

Lalu jika Sang Presiden mengamini dan mendukung sepenuhnya kaca mata “Islam” untuk memosisikan sekelompok warganya, di manakah yang disebut “Indonesia”? Apakah Indonesia adalah Islam, dan Islam adalah Indonesia? Tampaknya Sang Presiden lupa, bahwa seperti halnya dia sendiri, Moshaddeq dan pengikutnya, anggota Ahmadiyah, pemeluk agama lain, penganut aliran kepercayaan, pengikut tarikat-tarikat, adalah warga negara Indonesia yang sah. Sebagai warga negara, ia berkedudukan sama berhadapan dengan hukum, tanpa membedakan suku, ras, agama, dan keyakinannya. Dan sebagai seorang Presiden, meski di sisi lain ia juga manusia beragama, ia harus melepaskan kaca mata agamanya dalam kapasitasnya sebagai Presiden.

Tampaknya Sang Presiden juga lupa bahwa kehidupan berbangsa kita didasarkan pada demokrasi konstitusional. Jika konstitusi telah mengamanatkan kepada negara untuk menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, beribadah menurut agamanya sendiri, apapaun agama dan kepercayaannya, itu berarti negara harus melindungi kebebasan warganya dalam hal pilihan agama dan segala konsekuensinya. Itu berarti tak ada kompromi untuk segala bentuk diskriminasi, pun atas nama mayoritas.

Akan lebih menyedihkan jika dukungan Presiden ini dilakukan karena kecenderungan umum dan tren ‘islami’ untuk kepentingan popularitas. Sungguh murah harga popularitas, dibanding implikasi konflik dan disintegrasi sosial yang kian mengkhawatirkan. Seakan, menjadi islami berarti memegang kunci pintu masuk ke tampuk kekuasaan berikutnya. Seakan, menjadi “Indonesia” yang konstitusional berarti menjadi kurang atau tidak islami, dan berarti juga akan kehilangan popularitasnya.

Sebegitu rendahkah kualitas kebangsaan kita?