MUI ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

MUI

Thursday, December 20, 2007

Menimbang otoritas fatwa MUI
Olen Nasrudin

Dalam literatur hukum Islam (Fiqh, Syari’ah), kita mengenal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum. Di antaranya adalah fatwa, qadha’, dan ijtihad. Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda.

Ijtihad dapat dikatakan sebagai kata umum yang mencakup dua pengertian sebelumnya. Ahmad al- Fayumi memberi gambaran ijtihad sebagai upaya seorang mujtahid untuk menemukan (hukum) hingga sampai ke akar-akarnya. (al-Fayumi: 112).

Sementara, qadha’ merupakan tindakan hakim (qadhi) yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara di meja hijau. Hakim harus memberikan putusan seadil mungkin. Putusan ini bersifat mengikat dan memaksa semua pihak yang berperkara.

Dalam qadha’, para pihak tidak memiliki alternatif lain, selain yang telah diputuskan oleh hakim, baik dalam bentuk sanksi, hukuman, maupun penetapan. Bila ada pihak yang berperkara dan kemudian berpaling dari putusan qadhi, bisa dianggap tindakan melawan hukum.

Sedang fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti) kepada orang yang mengajukan pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya proses istifta’ (pengajuan permohonan akan fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun badan hukum kepada mufti.

Berbeda dengan qadha’, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Artinya, fatwa boleh diikuti atau ditinggalkan, bahkan oleh si pemohon sendiri. Bila qadhi merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengatur urusan yudikatif, mufti lazimnya adalah seorang intelektual (ulama) independen, tidak berafiliasi dengan kekuatan mana pun, termasuk negara.

Fatwa, sebagaimana disampaikan Ibn Qayyim al-Jawzi, memiliki keterbatasan otoritas keberlakuan. ”Taghayyarul fatwa bihasabi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat.” (Fatwa bisa berkembang seiring perkembangan masa, perubahan letak geografis, peralihan kondisi, dan pergeseran niat).

Fatwa MUI dalam sorotan
Setelah menilik gambaran mengenai tiga terma di atas, lalu di manakah posisi fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)? Belakangan ini, tampaknya ada semacam pergeseran paradigma dalam memandang MUI sebagai (salah satu) organ yang melahirkan fatwa di Indonesia. Atau, jangan-jangan perubahan paradigma terjadi di antara para punggawa MUI sendiri.

Beberapa hal yang menjadi sorotan dari MUI adalah dari segi organisasi. MUI, bagaimanapun juga, adalah salah satu organisasi yang ”dimiliki” pemerintah, lantaran berada di bawah Departemen Agama. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan ulama mufti yang selama ini dipahami dalam kerangka hukum Islam, sebagai sosok intelektual independen.

Gambaran yang cukup menarik mengenai mufti pada masa Islam klasik adalah kisah seorang Gubernur Andalusia secara sengaja ”berkumpul” dengan istrinya pada siang bulan Ramadan. Ia meminta fatwa kepada Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi lantaran menyesali perbuatannya dan ingin bertaubat. (Jaih Mubarok: 2005, 35).

Dalam posisi ini, al-Laitsi tampil sebagai sesosok intelektual independen yang dimintai fatwa, bukan sebagai institusi yang berafiliasi dengan pemerintah. Sang gubernur (pemerintah), dalam posisi ini, tak berbeda dengan masyarakat umum. Ia adalah seorang mustafti, si pemohon fatwa. Di sini, tampak jelas garis demarkasi antara wilayah negara dengan wilayah agama (fatwa).

Dalam banyak kasus, beberapa rumusan fatwa MUI ternyata senantiasa terikat dengan faktor-faktor politis. Atha Mudzhar dalam disertasi doktornya, ”Fatwas of The Council of Indonesian ’Ulama’: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, mencatat, dari 22 fatwa MUI, hanya 11 (50 persen) di antaranya yang boleh dikatakan netral. Selebihnya, 8 fatwa dinilai dipengaruhi oleh pemerintah. Hanya ada 3 fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Dari sini, maka benar kata Louis Althusser, bahwa MUI (bersama organisasi senada: Walubi, PGI, KWI, PHDI, dlsb) telah memainkan fungsi ideological state. Salah satu ”kaki tangan” negara yang bermain di wilayah ideologis.

Bila frame ini digunakan, kita susah untuk mengelak dari fakta bahwa MUI telah menjadi agen negara untuk ”merekayasa” agama (Islam) untuk memenuhi keinginan negara. Bahwa MUI adalah agen negara untuk mengendalikan dan mengontrol umat Islam, meski tidak serepresif aparatur negara lainnya. Kita makin kesulitan lagi untuk mengelak, tatkala kita melihat kenyataan bahwa selama ini fatwa MUI selalu dijadikan rujukan dan diterima begitu saja oleh para pembuat kebijakan. Seolah-olah, fatwa MUI memiliki otoritas yang mengikat semua pihak.

Saat MUI memfatwa sesat aliran Ahmadiyah, maka aparat kemudian menutup Kampus Mubarok di Bogor Juli 2005 lalu. Atau kasus terakhir, saat MUI kembali menetapkan bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah sesat, umat Islam segera menghancurkan persinggahan Ahmad Mushaddeq di Gunung Bundar, Bogor.

Bila memang MUI ditempatkan pada posisi ini, jelas, yang ditelorkan MUI bukan lagi fatwa. Karena karakter fatwa tidaklah sekaku, serigid, dan sejauh itu otoritasnya, sebagaimana disinggung di muka. Fatwa ”hanyalah” sebatas pendapat ulama yang selain kebenarannya relatif, juga tidak memiliki kekuatan mengikat, bahkan hingga bisa dijadikan rujukan untuk sebuah tindakan hukum oleh aparat secara represif.

Dapat dikatakan, MUI telah menjelma (atau dijelmakan oleh publik awam) sebagai lembaga yudikatif baru dalam bidang agama di negeri ini. Atau, bahkan lebih tinggi daripada itu, lantaran ”fatwa”-nya dipahami mengikat semua kalangan, termasuk aparatus negara (repressive state apparatus).

Ada beberapa kecurigaan yang mengemuka dalam hal ini. Publik bisa saja menangkap fakta bahwa MUI telah ”disiapkan” sebagai stimulan bagi tindakan aparat represif (polisi) untuk menekan fenomena keagamaan sempalan yang pada beberapa sisi bisa membahayakan stabilitas negara.

Publik juga dapat menduga-duga bahwa ada yang memanfaatkan fatwa-fatwa MUI untuk kepentingankepentingan tertentu. Hal ini diwujudkan dengan menyikapi fatwa-fatwa tersebut dengan sebegitu reaktif. Sehingga, mengesankan bahwa MUI-lah yang memang mendorong publik untuk melakukan tindakan-tindakan represif tertentu.

Sebatas pengamatan penulis, fatwa yang diberikan para mufti dalam khazanah Islam klasik kebanyakan menyangkut persoalan pribadi si pemohon. Seperti cerita di atas, yakni mengenai kasus bolongnya puasa Ramadan, yang kemudian ditanyakan kepada mufti untuk diketahui jawabannya dalam hukum Islam.

Berbeda dengan sikap MUI sekarang yang ternyata juga melayani fatwa mengenai problem yang tidak secara langsung berkaitan dengan pemohon. Yakni, mengenai orang lain yang berbeda pola pengamalan Islamnya. Dan belakangan, banyak di antara golongan yang diajukan fatwanya, telah difatwa sesat oleh MUI.

Sikap mufti pada masa Islam klasik adalah pasif. Mereka menerima aduan, lalu memberikan jawaban. Sementara itu, di Indonesia akhirakhir ini terjadi pergeseran paradigma. MUI menggunakan dua paradigma: pasif dan aktif. Gambaran nyata gerak proaktif MUI adalah fatwa atas fenomena keagamaan sempalan akhir-akhir ini. Bila kita menengok kasus pada masa Islam klasik, hal ini belum dijumpai.

Peran ormas keagamaan
Menimbang maraknya aliran keberagamaan yang bisa ”meresahkan” publik —lantaran publik terlanjur terkondisikan untuk reaktif atas fenomena keagamaan sempalan— alangkah lebih baiknya bila persoalan ini diserahkan saja kepada ormas keagamaan, laiknya NU atau Muhammadiyah yang secara riil ”memiliki” umat.

Hal ini harus didukung dengan revolusi paradigma dalam melihat kebhinnekaan sebagai salah satu fitrah dan anugerah Tuhan kepada manusia ”agar saling mengenal”. Sikap toleran, obyektif, dan kritis terhadap pihak lain, termasuk terhadap fatwa MUI menjadi kata kunci. Allahu a’lam. hf

M Nasrudin
Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pemimpin Redaksi Majalah Justisia