Warna Islam ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Warna Islam

Monday, December 24, 2007

‘Pohon’ Islam Yang Satu
Oleh Achmad Jumaely

Dalam soal tafsir-menafsirkan mangga, ummat islam ternyata bisa sangat toleran dan menerima perbedaan. Tidak ada satu kelompok yang menyerang kelompok lain gara-gara ia tidak sepakat dengan nama sebuah mangga, apakah ia mangga madu, mangga manalagi atau lainnya. Hal ini tak terjadi dalam perbedaan tafsir atas islam, satu kelompok islam merasa berhak menyerang kelompok islam yang lain gara-gara perbedaan bentuk, rasa dan aroma peribadatan diantara mereka. Fenomena penyesatan, pemurtadan dan pengkafiran yang terjadi akhir-akhir ini kiranya adalah cermin tidak adanya sikap ummat islam yang toleran pada perbedaan.

ADA yang menarik saat acara pengukuhan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makasar beberapa waktu lalu. Prof. Dr. Qasim Mathar yang mendapat pengukuhan sebagai guru besar di bidang filsafat dan ilmu kalam memberikan orasi ilmiah seputar Islam dan isu-isu kontemporer.

Kata Qasim, Islam itu layaknya sebuah pohon yang memiliki banyak cabang, ranting, daun dan buah. Masa Nabi Muhammad SAW ‘Pohon Islam’ itu hanya satu, islam versi Muhammad. Tidak terjadinya islam yang beragam saat itu karena mamang jarang terjadi perselisihan antar ummat. Jikapun terjadi, biasanya akan selalu berhasil dipecahkan Muhammad dengan otoritas kenabiannya.

Tapi paska Muhammad, ‘Islam yang satu itu’ mulai bercabang-cabang. Krisis politik saat itu, ‘menggeret’ para pemimpin islam berselisih soal kepemimpinan. Soal politik ini kemudian berlanjut ke persoalan pemahaman Fiqh. Akhir masa Utsman dan Ali menjadi puncaknya, ketika Syi’ah lalu Khawarij pertama-tama muncul sebagai bias perseteruan panjang Ali-Mu’awiyah.

Krisis politik berlanjut ke masa Abbasiyah dan Mu’awiyah. Masa itu ‘pohon Islam yang satu’ bahkan menjadi ranting-ranting yang banyak sekali. Minimal ada tujuh ranting paling kesohor kala itu. Mereka adalah Mu’tazilah, Murji’ah, Ahlus Sunnah, Jabariyah dan Qodariyah. Masing-masing ranting menyatakan golongan merekalah yang paling benar (Truth Clime). Ranting-ranting yang banyak inilah yang kemudian melatarbelakangi runcingnya perbedaan dalam fiqh islam serta memunculkan madzhab-madzhab.

Namun, diantara sekian cabang dan ranting yang muncul, hanya beberapa saja yang lolos dari Fit and proper test sejarah diantaranya Sunni dan Syi’ah yang kita temui hingga zaman ini. Yang lainnya terpaksa layu dan kering lalu mati. Di beberapa negara, dua yang disebut eksis itu bahkan mengalami pertumbuhan ‘subur’. Tidak sekadar membuat ranting, mereka juga penghasil berbuah dengan munculnya aliran-aliran baru. Di Timur Tengah misalnya muncul Wahabi, Salafi, Ikhwanul Muslimin, Taliban, Hamas dan sebagainya. Di Indonesia, ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (persis) juga Ahmadiyah.

Tak hanya itu, paska Orde Baru muncul ‘buah-buah’ baru seperti Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Lia Eden dan belakangan Alqiyadah Islamiyah (AI).

Kemunculan buah-buah dari ‘pohon islam’ yang satu itu mendapat respon pro kontra di tengah masyarakat. Yang pro berpandangan, buah-buah baru –apapun namanya- tetap masih bagian dari islam. Karenanya, menurut kelompok ini, masing-masing mesti diberi ruang ekspresi dan eksisistensi. Sementara yang kontra berpandangan sebaliknya, buah-buah baru itu tidak lagi bagian dari islam karena mereka menyebal terlampau jauh dari ‘pohon Islam’ yang satu. Kasus seperti ini bisa kita temui di Ahmadiyah dan juga baru lalu Alqiyadah Islamiyah. Ahmadiyah dan AI, sama-sama mengaku islam namun beberapa ritualitas dalam kepercayaan seperti islam mainstream tidak mereka lakukan atau dilakukan dengan cara yang berbeda. Walhasil, kelompok yang menyebal ini di hujat, di kecam bahkan di kafirkan.

Saya belum memastikan, apakah logika pohon -untuk mengilustrasikan islam- itu benar atau salah. Yang jelas bagi saya pribadi, ilustrasi ini masuk akal dan gampang di cerna walau oleh masyarakat awam. Di kehidupan sehari-hari saja kita kerap menemukan mangga menghasilkan buah yang berbeda rasa, aroma dan bentuknya. Ada mangga yang bentuknya bulat, berwarna cerah, kelihatannya enak dimakan tapi nyatanya asam dan tak nyaman di lidah. Tapi ada mangga yang bentuknya jelek, warnanya tidak menarik tapi manisnya luarbiasa. Perbedaan warna, rasa dan bentuk ini, menstimulasi manusia untuk ‘menafsirkannya’ secara berbeda-beda. Ada mangga madu, mangga manalagi, mangga loyok dan seterusnya. Namun, toh walau berbeda nama tetap saja kita sebut diawalnya ‘mangga’ bukan semangka?.

Dalam soal tafsir-menafsirkan mangga, ummat islam ternyata bisa sangat toleran dan menerima perbedaan. Tidak ada satu kelompok yang menyerang kelompok lain gara-gara ia tidak sepakat dengan nama sebuah mangga, apakah ia mangga madu, mangga manalagi atau lainnya. Hal ini tak terjadi dalam perbedaan tafsir atas islam, satu kelompok islam merasa berhak menyerang kelompok islam yang lain gara-gara perbedaan bentuk, rasa dan aroma peribadatan diantara mereka. Fenomena penyesatan, pemurtadan dan pengkafiran yang terjadi akhir-akhir ini kiranya adalah cermin tidak adanya sikap ummat islam yang toleran pada perbedaan.

Andaikata islam itu benar-benar buah, mengapa kita tidak bisa toleran dengan cara yang sama? Mengapa kita tidak bisa bilang itu Islam Sunni, ini Islam Syi’ah, itu Islam Ahmadiyah, yang disana Islam NU, yang disini Islam Muhammadiyah dan seterusnya? Sehingga kitapun, tidak merasa aneh jika ada islam yang bentuk ibadahnya ternyata berbeda dengan yang kita yakini?

Islam Murni Versus Islam Warna-Warni

Terminologi ‘Islam yang satu’ dalam tulisan ini nyaris sama dengan islam murni dalam identifikasi Nur Kholik Ridwan. Dalam bukunya “Islam Borjuis” Khalik membagi islam menjadi dua. Pertama islam Murni yang cenderung selalu ingin melakukan pemurnian atas islam. Mereka memiliki jargon yang amat populer, kembali ke Al-qur’an dan Al-Sunnah. Maka, Islam Arab yang ada di Timur Tengah bagi mereka adalah islam yang paling murni alias paling sahih, minimal ini karena alasan geografis bahwa Arab lebih dekat dengan tempat lahir dan tumbuh-kembangnya Islam.

Yang menjadi rival teologis dari islam murni adalah Islam tidak murni. Sebuah kelompok yang lebih memahami islam secara subtantif. Islam model ini semuanya tumbuh dan berkembang di negara selain Arab. Bagi kelompok ini tidak ada islam murni, yang ada adalah islam warna-warni. Arab dan Timur Tengah samasekali tak bisa dikatakan islam paling murni dan paling sahih karena Islam diturunkan bukan hanya untuk orang Arab melainkan untuk semua ummat manusia di muka bumi. Dalam kurun sejarah yang panjang, perebutan otoritas kebenaran dari dua kelompok ini terus berlangsung bahkan hingga saat ini. Tak jarang bahkan mereka berseteru secara fisik untuk mempertahankan apa yang mereka imani.

Di Indonesia, Islam murni di gerakkan oleh Muhammadiyah. Organisasi yang memang sedari awalnya kental dengan faham Wahabi ini di era 80-an sempat gemeruyah uyah mengkampanyekan haramnya bid’ah dan berhadapan langsung dengan ormas tradisional Nahdlatul Ulama yang percaya tahlil, talqin dan ziarah kubur. Walau perdebatan hanya berputar-putar di hal-hal cabang atau Furu’iyah, namun tampak pertarungan ini secara massif terus berlangsung secara politis.

Namun Muhammadiyah lambat laun mengalami perubahan drastis –jinak dengan sendirinya- dan mulai menganggap berdebat soal-soal furu’iyah hanya menghabis-habiskan energi saja. Muhammadiyah mulai merambah gerakan baru dijalur yang lebih proporsional, kembali ke grass root dan membina ummat secara kultural.

Pasca Muhammadiyah, gerakan pemurnian nampaknya diambil alih Ideologi transnasional Wahabisme, yang –terutama- deras berkembang di Indonesia pasca berakhirnya era otoritarianisme orde baru. Mereka membentuk jaringan yang massif dengan kelompok-kelompok organisasi yang namanya berbeda-beda namun memanggul ideologi sama, pemurnian islam. Sekadar contoh, kita bisa liat muncul organisasi semacam Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain sebagainya yang terus berderak di arus bawah. Bahkan tak hanya membuat organisasi yang bergerak di arus bawah, mereka juga membikin organisasi politik yang bertugas menyampaikan aspirasi mereka di parlemen.

Derasnya arus ideologi transnasional inilah yang sepertinya membuat masalah baru dalam kontalasi kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Di berbagai tempat, ummat islam menjadi ummat paling menakutkan didunia. Mereka yang bawa bom, merusak, membunuh, mengusir dan lain sebagainya. Mereka juga yang secara gampangan menuduh orang kafir, sesat, murtad dan seterusnya. Sialnya, kondisi masyarakat kita yang awam dalam persoalan agama membuat mereka dalam posisi yang diuntungkan. Oleh mereka, masyarakat cukup dicekoki ayat atau hadist yang bernada keras dan tidak toleran, maka mereka akan dengan cepat berhasil diajak ikut menyerang, membakar dan mengusir saudaranya sendiri. Maka, logika gampang, ‘pohon islam yang satu’ untuk menjelaskan kayanya perbedaan dalam islam saya kira dapat jadi sedikit cerita pelega dihari-hari kita yang penuh amarah dan dendam. Semoga bermanfaat. []