Demokrasi ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Demokrasi

Friday, September 21, 2007

Prospek Demokrasi dan Hak-hak Sipil Keagamaan di Indonesia
Oleh Bahrul Haq Al-Amin*

Pembabakan sejarah politik Indonesia telah melampaui gerbang reformasi. Masa ini ditandai oleh kejatuhan rejim politik otoriter-totaliter Orde Baru. Hal ini tampak menjadi satu-satunya simbol pembabakan baru sejarah politik Indonesia. Selain itu, dengan melihat pencapaian-pencapaian reformasi yang belum maksimal, dapat disimpulkan bahwa sisanya masih menjadi problem kompleks yang sulit untuk diuraikan.

Problem-problem ekonomi, sosial dan politik menjadi pekerjaan rumah rejim politik pasca Orde Baru. Reformasi yang telah digulirkan tidak serta merta mampu menyelesaikan problematika ini. Institusionalisasi agen reformasi menemui ragam paradoks. Misalnya, harapan pada partai politik dirintangi dengan kembalinya politik aliran yang tidak substantif menyentuh permasalahan bangsa. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 begitu banyak partai politik yang berdiri dan mengeksploitasi simbol-simbol aliran politik. Mereka membangkitkan memori bangsa dengan simbol-simbol politik aliran di masa lalu, atau juga menciptakan simbol-simbol baru. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, paradoks seperti ini malah menambah malah baru. Padahal, selama lebih dari tiga dekade, rakyat Indonesia telah begitu akrab dengan penyederhanaan partai politik.

Transisi demokrasi pasca reformasi memang memunculkan anomali-anomali politik tersendiri. Peralihan dari rejim otokrasi ke demokrasi di antaranya terasa dalam bentuk pembukaan akses partisipasi politik warga negara secara merata dan luas. Meski reformasi memunculkan banyak partai politik baru, tidak berarti bahwa partai politik menjadi satu-satunya saluran politik warga. Masyarakat secara kreatif memperkuat basis jaringan sosialnya, menuju tatanan civil society yang mandiri. Pers yang bebas memfungsikan diri sebagai bagian dari rakyat dan ikut melakukan pengawasan atas penyelenggaraan negara. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pencerahan politik ini – sebab tidak diikuti dengan proses pendidikan politik yang baik – sempat disikapi secara salah oleh warga. Warga yang masih belum dewasa secara politik melahap wacana-wacana tersebut secara sembarang. Kerawanan sosial kembali membayangi kehidupan politik Indonesia. Contoh otentik di antaranya, disintegrasi Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan konflik-konflik sosial di berbagai daerah. Pers sendiri pun malah menambah kesimpang-siuran kehidupan politik. Anomali ini tentu saja bukan murni kesalahan warga sendiri, malah mereka lebih merupakan korban. Kesenjangan yang terlalu lebar antara konsep dan realitas politik juga menjadikan bangsa kita seolah-olah tidak siap. Kesalahan ini memang tanggung jawab bersama. Kita memilih untuk mengakhiri sebuah rejim politik tanpa alternatif politik yang matang. Oleh karenanya, kita harus berani menanggung resiko seperti itu. Yang terpenting adalah bahwa kita melanjutkan transisi demokrasi kita.

Kenyataan politik Indonesia pasca reformasi beberapa kali sudah mengalami pergantian kepemimpinan politik. Habibie diganti Gusdur, Gusdur digeser oleh Megawati, dan kini SBY menempati posisi Megawati. Fakta politik seperti ini bukan omong kosong belaka. Di dalamnya terdapat percaturan politik yang keras. Tidak juga bisa disederhanakan sebagai sesuatu pergantian atau perebutan kekuasaan saja. Rakyat jelas menaruh harapan besar pada prosesi ini. SBY yang terpilih pada pemilu terakhir secara langsung, juga adalah figur pertama yang terpilih secara langsung oleh rakyat. Itu sekaligus menandakan bahwa kepercayaan rakyat pada sistem politik kita sudah kembali. Maka dari itu, tidak boleh disia-siakan begitu saja.
Dalam Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika Latin (1993), kita dapat mengambil sedikit pelajaran dari proses transisi demokrasi di Amerika Latin. Dari berbagai kasus yang diungkap, muncul beberapa hal yang dapat kita pelajari.

Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa, walau faktor-faktor internasional – langsung atau tidak langsung – mengkondisikan dan mempengaruhi jalannya transisi, para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasis berasal dari dalam negeri. Kasus-kasus tersebut meperlihatkan pentingnya lembaga-lembaga, pentingnya prosedur-prosedur pangantara an forum-forum yang membantu melegitimasi para penguasa diskursus politik dalam periode perubahan. Kasus-kasus itu menggambarkan arti penting vital dari kepemimpinan dan pertimbangan politis, pentingnya peran individu-individu perorangan dalam proses-proses historis yang kompleks. Kasus-kasus itu menunjukkan pentingnya ketepatan waktu, kerumitan dari proses-proses interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang, menunjukkan berbagai cara bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi dan paradoks yang dihasilkannya.

Di atas semua itu, kasus-kasus menganalisa cara-cara bagaimana transisi-transisi dari pemerintahan otoritarian dikondisi dan dibentuk oleh keadaan-keadaan historis, yang unik untuk setiap negara tetapi mengambil pola yang bisa diramalkan, oleh cara bagaimana rejim demokratik sebelumnya runtuh, oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai rejim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya, oleh inisiatif dan ketepatan waktu gerakan-gerakan eksperimental ke arah liberalisasi, oleh tingkat keamanan dan keyakinan diri kelompok elit rejim dan oleh keyakinan dan kompetensi dari mereka yang memperjuangkan terbukanya proses politis, oleh ada atau tidak adanya sumber daya finansial, oleh pengaruh dari pihak-pihak luar, dan oleh mode internasional yang memberikan legitimasi pada bentuk-bentuk transisi tertentu.

Kerumitan proses transisi ini masih terus dapat kita rasakan hingga saat ini. Padahal, secara spasial dan masa, konteks kita saat ini telah memasuki fase konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi di awal reformasi telah berhasil membawa kita semakin dalam memasuki alam demokrasi. Rejim birokratik-otoriter-represif Orde Baru pun telah berlalu. Akan tetapi, masalah-masalah pragmatis rakyat seperti ketahanan pangan, kesehatan dan pendidikan hingga kini masih belum terselesaikan. Meski begitu, demokrasi memang tidak begitu saja menyumbang rakyat dengan pragmatisme hidup. Demokrasi membuka keran yang sebelumnya tertutup untuk mencapainya secara fair dan adil.

Konsolidasi demokrasi memang telah sedikit merubah peta politik Indonesia, hal ini terlihat dari jaminan dan kepastian hukum, partisipasi politik warga, civil society yang berusaha mandiri, kebebasan pers, perbaikan sistem Pemilu dan kepartaian, serta liberalisasi politik, ekonomi dan sosial. Sayangnya, perubahan ini masih menyisakan permasalahan, di antaranya ialah penegakan hak asasi manusia. Padahal, fundamental penting dalam konsolidasi demokrasi adalah penghargaan yang tinggi atas hak asasi manusia. Penghargaan ini tidak sekedar terwujud dalam regulasi hukum-hukum belaka, akan tetapi jaminan yang tegas dari negara.


Dalam konteks konsolidasi demokrasi ini, model demokrasi Indonesia harus berjalan lebih substansial. Rakyat perlu yakin bahwa demokrasi membawa harapan terpenuhinya kesejahteraan yang adil bagi mereka. Oleh karenanya, rakyat perlu pula memahmi demokrasi sebagai sebuah sistem politik, sosial dan ekonomi. Demokrasi menyediakan saluran bagi rakyat untuk menentukan setiap kebijakan politik negara atas dirinya. Demokrasi juga memberikan jaminan kesetaraan dan fairness, tanpa memandang mayoritas atau pun minoritas politik.

Hak-hak Sipil Keagamaan
Seperti telah disinggung sedikit pada bagian terdahulu, hak asasi manusia menjadi salah satu borok yang terus menempel sejak berdirinya Indonesia hingga saat ini. Diskursus hak asasi manusia telah ada dan diatur sejak lama. Mulai dari datangnya Islam di tangan Muhammad dan diteruskan dengan Piagam Madinah, kelahiran Magna Charta, disahkannya Bill of Rights, Declaration of Independence, The French Declaration, The Four Freedoms-nya Roosevelt, DUHAM, ICCPR, CEDAW, Pancasila dan UUD 1945, hingga beragama legislasi yang mengatur HAM di Indonesia. Bersama itu pula, pelanggaran hak asasi manusia terus menerus terjadi seakan mengimbangi gagasan tersebut.

Pergantian kepemimpinan saat reformasi memang menghasilkan kemajuan cukup signifikan. Penegakan hak asasi manusia terkesan membaik. Salah satu indikasi bahwa pemerintah RI memang berniat menjalankan perbaikan, TAP MPR XVII/1998 diproduksi. Pemerintah juga meratifikasi sejumlah konvensi hak asasi manusia. Antara lain Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan Keppres No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 20/1999. tanggal 24 November 2004 UU NO. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan.

Namun, itu semua tampak belum cukup. Karena seluruh aturan-aturan tersebut menuai banyak rintangan. Terlampau banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya, kasus Timor Leste, pembunuhan Munir, kekerasan di IPDN, dan masih banyak lagi. Tidak banyak dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan dengan baik. Malah seperti kasus Tragedi Trisaksti dan Semanggi 1 & 2, oleh DPR tertolak dalam kategori kejahatan HAM berat dan pengusutannya pun terbengkalai.
Hak asasi manusia nyatanya memang masih terlalu umum. Terdapat istilah yang lebih khusus dan lebih praktis dalam hal pelaksanaannya, yaitu hak-hak sipil. Menurut Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, perlu disadari perbedaan antara hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir yang bukan pemberian apapun, yang dalam agama adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan dan bukannya oleh orang, bahkan oleh negara. Sedangkan hak sipil adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang karena kewargaannya. Hak sipil pada masyarakat atau individu berarti kewajiban bagi negara. Jadi, hak sipil ini dilindungi atau dijamin oleh negara, dan masyarakat berhak menuntut untuk dipenuhi hak-haknya dan boleh menggugat kepada negara jika hak mereka diingkari. Hak-hak asasi manusia memang lebih mendasar, namun belum tentu dilindungi oleh negara. Namun UUD 1945 telah mengesahkan beberapa hak asasi manusia (sebelum PBB mengesahkannya) menjadi hak-hak sipil, antara lain hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi perikemanusiaan, hak untuk memperoleh pendidikan atau hak untuk berpendapat dan berkumpul. Dan yang paling dianggap mendasar adalah kebebasan untuk beragama (dan tidak beragama). ii

Hal ini berarti bahwa perjuangan penegakan hak asasi manusia belum cukup. Hak-hak asasi manusia perlu ditransfer menjadi hak-hak sipil dalam bentuk legislasi. Jika tidak begini, maka penegakan hak asasi manusia hanya tinggal wacana belaka. Selain itu, tentu saja perlu ditegaskan bahwa undang-undang sendiri pun belum cukup karena harus dilakukan perwujudan nyata dari legislasi tersebut, beserta pengawasan yang berimbang dan adil. Sulitnya, di Indonesia, terlalu banyak kepentingan yang menyelimuti kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Selain istilah hak sipil, terdapat pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu kebebasan sipil. Menurut Usman Hamid, kebebasan sipil secara sederhana diartikan sebagai kebebasan individu warga negara dari kekuasaan negara. Beragam tindakan warga negara harus mensyaratkan adanya ruang sipil yang bebas dari intervensi neara. Hak menyatakan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi, serta menjalankan agama misalnya, harus bebas dari intervensi negara, kelompok atau bahkan perseorangan. Sehingga kebebasan sipil diartikan sebagai hak-hak individu yang fundamental yang dilindungi oleh undang-undang dan diekspresikan sebagai sesuatu yang tidak dapat diintervensi dan dibatasi oleh pemerintah atau siapa pun.iii

Dari sekian hak asasi manusia – di mana cukup banyak yang telah ditransfer menjadi hak sipil – adalah hak sipil keagamaan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh masyarakat Indonesia hidup di atas landasan hidup religius yang kuat. Sehingga, hampir seluruh tata hidup bermasyarakat harus memiliki legitimasi religius. Keyakinan ini terus hidup turun menurun dan secara positif diabadikan sebagai dasar negara Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.

Hak sipil keagamaan yakni seperti terlihat dalam Declaration of human rights, pasal 18:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan bahin dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”
Atau pun dalam Convenant on civil and political rights, pasal 18:
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama. Hak ini mecakup kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya, serta kebebasan untuk baik secara pribadi atau pun bersama anggota masyarakat lingkungannya serta secara terbuka atau pun tertutup, menyatakan agama atau kepercayaannya melalui ibadah, ketaatan, tindakan dan ajaran;
Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya;
Kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat dikenakan pembatasan menurut ketentuan-ketentuan hukum dan yang perlu untuk menjaga keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral atau hak-hak dasar serta kebebasan orang lain;
Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengikat diri untuk menghormati kebebasan orang tua dan di mana berlaku wali hukum, untuk menjamin pendidikan agama dan moral anaknya menurut keyakinannya masing-masing.

Selanjutnya, di Indonesia juga terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Kesemuanya itu sama menitikberatkan pada hak kebebasan beragama, yang mana merupakan kunci dari hak sipil keagamaan.
Namun, justru hak-hak sipil keagamaan inilah yang akhir-akhir ini sering dilanggar. Terlihat dari beberapa kasus kekerasan atas nama agama. Sebagai contoh, meski fatwa sesat terhadap aliran Ahmadiyah telah dikeluarkan sejak tahun 1968, tetapi fatwa itu dalam jangka waktu lama selama pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan dampak apa-apa dalam masyarakat. Tidak ada gerakan-gerakan affirmative action yang disertai dengan kekerasan untuk menghentikan aktivitas gerakan Jemaat Ahmadiyah yang memang sudah berlangsung sejak 1924-1925. Menurut Mas Dawam, ada dua faktor yang menyebabkan mengapa aksi-aksi kekerasan tidak timbul seperti yang terjadi akhir-akhir ini sejak pertengahan tahun 1945; pertama, ada sikap pemerintah yang tegas untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan mencegah berkembangnya gerakan Islamisme yang sekarang ni lebih populer dengan sebutan funamentalisme Islam; kedua, pandangan masyarakat dan umat Islam khususnya yang menempatkan fatwa dalam posisinya, yaitu sebagai nasehat keagamaan yang tidak mengandung konsekuensi hukum. Jadi, fatwa sifatnya tidak mengikat. Berbeda halnya dengan fatwa MUI pertengahan tahun 1965 yang menegaskan fatwa tahun 1968, fatwa ini ternyata telah menggerakkan sekelompok gerakan Islam untuk melakukan aksi kekerasan.iv

Seperti kita ketahui bersama, bahwasanya gerakan-gerakan keagamaan (baca: Islam) akhir-akhir ini semakin radikal. Betapa kita saksikan bersama bahwa telah terjadi pelanggaran hak sipil keagamaan, yakni kebebasan beragama, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok gerakan Islam radikal. Antara lain misalkan pengusiran Jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor; gangguan terhadap umat Kristen untuk beribadah di gereja (yang dianggap umat Islam sebagai “gereja liar”) di Jatiasih, Bekasi; penangkapan Lia Eden di Jakarta; dan masih banyak lagi. Tidak hanya kelompok-kelompok ini saja, akan tetapi Majelis Ulama Indonesia juga bersikap tidak fair dalam menilai dan memberi fatwa bagi Ahmadiyah, aliran kepercayaan, bahkan pemikiran sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Dawam menggugat bahwa gerakan Islam di Indonesia akhir-akhir ini berakar pada tiga aliran fundamentalisme/Islamisme di Dunia Islam. Pertama, maraknya kembali Wahabisme yang berpusat dan digerakkan dari Saudi Arabia. Kedua, pengaruh paham Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Ketiga, munculnya gerakan Hizbut Tahrir yang berasal dari Palestina yang mencita-citakan berdirinya khilafah Islam. Tiga aliran itulah yang mendorong kebangkitan kembali paham gerakan Islam yang bersumber dari Piagam Jakarta yan gmenghendaki dilaksanakannya jaringan Islam melalui hukum positif negara dan juga gerakan mendirikan gerakan negara Islam yang dicita-citakan oleh DI/TII atau partai-partai politik Islam pada masa Sidang Konstituante 1957-1959. munculnya kembali aliran radikalisme Islam ini telah menaburkan bibit-bibit perpecahan dan ancaman terhadap keutuhan NKRI.v

Alih-alih memaksimalkan legislasi hak-hak sipil, negara kita malah kecolongan dengan kemuculan formalisasi syariat berupa Perda Syariat di banyak daerah. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, maka setiap daerah dapat menerbitkan peraturan daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Akan tetapi, ternyata hal itu malah dimanfaatkan oleh otoritas Islam untuk formalisasi syariat berupa Perda. Dalam perjuangan perda-perda syariah ini, syariah telah diinterpretasikan secara vulgar yang berdampak pada pelanggaran hak-hak sipil, warga negara dan perusakan terhadap filosofi bhineka tunggal ika.


Prospek Demokrasi dan Hak Sipil Keagamaan

Pada titik ini, kita akan menemukan bahwa Indonesia saat ini mengalami problem akut dalam penegakan demokrasi dan hak sipil keagamaan. Sungguh mengherankan memang, betapa konsolidasi demokrasi diiringi oleh kenyataan pelanggaran hak-hak sipil keagamaan. Padahal, bila kita perhatikan, sebetulnya pelaku penggaran hak sipil keagamaan tersebut berasal dari kelompok minoritas yang merasa memiliki otoritas. Otoritas tersebut sayangnya malah memupuk berbagai pelanggaran hak sipil keagamaan, bukannya menabur benih perdamaian. Mayoritas umat Islam justru secara sosiologis-historis-filosofis sejak lama mampu hidup dalam keberagaman. Mengapa akhir-akhir ini seperti beitu mudah tersulut kemarahannya? Analisis Mas Dawam di atas menyadarkan mungkin menyadarkan kita bahwa ideologi-ideologi Islam trans-nasional-lah yang membuat umat Islam seakan kehilangan jati diri kebangsaannya yang majemuk dan setara.

Kita memang akan berdebat panjang bila mendiskusikan permalahan ini dari sudut pandang teologis, akan tetapi bila dilihat dari sudut pandang kebangsaan, maka saya kira tidak akan banyak perbedaan mendasar. Karena, kita semua – umat beragama dari berbagai agama – telah lama hidup saling hormat-menghormati. Saya yakin bahwa nilai kebangsaan ini dapat diterima seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan-perbedaan teologis. Terkecuali, bagi mereka yang tidak atau kurang paham semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Indonesia kita. Mereka yang pemikirannya lahir di luar dari konteks kita bangsa Indonesia, tentu kurang memahami damai dalam perbedaan. Bahwa kita bangsa Indonesia telah mengalami sejarah panjang demi terbentuknya negara-bangsa yang sejahtera, adil dan merata.

M. Dawam Rahardjo menggagas bahwa untuk menjamin kebebasan beragama, maka perlu diwujudkan dalam suatu undang-undang, yang di antaranya harus memuat dasasila kebebasan beragama, antara lain:vi

Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untu memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkeyakinan ateis.

Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah agama tidak berarti murtas, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak bisa disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan.

Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan cara ‘membeli’ keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak diserta syarat masuk agama tertentu.

Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yan gberisfat antiagama dan anti-Tuhan harus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam lingkup ateisme ini, juga dilarang mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, sebagai diskursus ilmiah, tidak perlu dilarang, namun sebaiknya dibantah secara ilmiah pula.

Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah agama tertentu, dianggap bertentangan dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas tidak diperlukan karena bisa membuka peluang favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh masyoritas penduduk atau mereka yang berpengaruh di pemerintahan.

Ketujuh, negara harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga yan gbersangkuta. Otoritas agama boleh saja mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda, namun fatwa itu tidak mengikat negara dan pendangan keluarga dan individu itu hnya berlaku pada dirinya sendiri.

Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak boleh berlaku otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tuda bisa memengaruhi, bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak itu mencakup pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada keharusan bagi setiap siswa atau mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika, misalnya berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik.

Kesembilan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal tidak mengganggu ketentraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila, atau menipu dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu akidah agama sebagai syarat.

Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan hukum yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. Namun otoritas keagamaan bisa memberi penerangan dan bimbingan yang bekenan dengan soal ibadah, akidah, dan syariat, tapi tidak mengikat siapa pun, baik negara maupun warga negara.

Ide ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi harus lebih substansial. Substansi demokrasi di antaranya penghargaan terhadap eksistensi minoritas. Artinya, hindarkan pemahaman dan praktik demokrasi mayoritarian. Jika demokrasi hanya dipahami sebagai perebutan suara atau perwakilan politik terbanyak, maka praktik demokrasi dapat dipastikan akan semena-mena tanpa memperhatikan nasib kaum minoritas. Demokrasi substansial juga tidak hanya berlaku di bidang politik, tapi juga sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga, minoritas-minoritas sosial, ekonomi dan budaya pun mendapatkan penghargaan yang sama sebagaimana kaum mayoritas.

Untuk menghadapi tantangan atas demokrasi dan hak sipil keagamaan seperti diuraikan di atas, maka kita perlu merumuskan pandangan yang dapat menjadi obat mujarab bagi masalah-masalah kekinian. Menurut hemat saya, liberalisme, sekularisme dan pluralisme dapat menjadi suatu hasil sintesa dari benturan-benturan masalah di atas. Ketiga paham ini mengerucut pada satu premis bahwa individu adalah satuan independen berikut hak-hak politik, religiusitas dan sosial dalam kerangka keberagaman, tanpa intervensi dari negara, kelompok, maupun individu yang mengklaim sebagai pemilik otoritas kebenaran.
Bila bangsa Indonesia sudah mampu memahami ketiga paham tersebut, maka advokasi atas persoalan-persoalan demokrasi dan hak sipil keagamaan sudah maju selangkah. Meski begitu, tetap diperlukan advokasi konkrit atas problem-problem yang terlanjur terjadi. Advokasi atas pelanggaran hak sipil keagamaan seharusnya dilakukan dengan kerja sama antara masyarakat sipil, korban dan negara.

Masih banyak yang sebetulnya dapat dieksplor dalam tulisan ini, namun karena keterbatasan penulis, maka saya cukupkan sekian. Wallahu’alam


*Bahrul Haq Al-Amin. Lahir 22 tahun yang lalu, tepatnya September 27, di Kota Banjar (dulu masuk wilayah Kab. Ciamis), Jawa Barat. Aktivis Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan Associate Researcher Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta. Email: bahrulhaq@yahoo.co.id
i Abraham F. Lowenthal, kata pengantar dalam Guillermo O’Donnel dkk.(Ed.)., Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika Latin (Jakarta: LP3ES, 1993), hal. xv
ii M. Dawam Rahardjo., Agama dan Hak-hak Sipil (http://icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15) diakses tanggal 17 Juni 2007, pukul 08:43:14 pm.
iii Dikutip dalam Fisqiyaturrahmah., Quo Vadis Kebebasan Beragama dan Kebebasan Sipil di Indonesia?, makalah tidak diterbitkan.
iv M. Dawam Rahardjo., Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil (http://icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15) diakses tanggal 17 Juni 2007, pukul 08:43:14 pm.
v Ibid.
vi M. Dawam Rahardjo., Dasasila Kebebasan Beragama (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925) diakses tanggal 16 Juni 2007, pukul 10:03:29 pm.