Maaf ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Maaf

Wednesday, September 19, 2007

Puasa Tanpa Keikhlasan
Oleh Ahmad Jumaely

SEPERTI Ramadhan tahun lalu, Ramadhan tahun ini Handphone (HP) saya lagi-lagi kebanjiran Sort Masage Service (SMS). Isinya tiada lain ucapan selamat menunaikan ibadah puasa. Saya biasanya kebanjiran ketika hari-hari pertama puasa seperti kamis lalu. Redaksi SMS itu biasanya diawali “selamat” dan diakhiri dengan do’a-do’a “semoga” ini dan “semoga” itu, tak ada beda lah dengan ucapan spanduk di jalan-jalan atau bunyi iklan di radio dan televisi.

Yang berbeda, tahun ini saya mendapat beberapa SMS yang isinya lain dari yang lain. Lumayan menghentak dan menggugah fikiran saya. Misalnya sebuah SMS yang datang dari temen saya di Jogjakarta yang isinya, “Semoga puasa kita kali ini dapat meningkatkan kepedulian kita pada rakyat miskin”. Juga SMS dari teman di Bima yang bilang, “semoga kita berpuasa dengan ikhlas bukan karena kita terlanjur Islam” dan terakhir ada SMS yang berbunyi “Semoga puasa kali ini tidak bikin ummat semakin individualis dan konsumtif”.


Bagi anda mungkin SMS-SMS seperti biasa-biasa saja, tapi bagi saya sungguh SMS itu membuat saya berfikir tentang esensi puasa saya. Bahwa memang, dari beberapa segi, ungkapan-ungkapan bahwa puasa tidak menyentuh esensi dan sebaliknya hanya ritual tahunan yang tidak berimplikasi sosial atau puasa yang hanya bikin ummat semakin konsumstif dibandingkan dengan hari-hari biasanya juga menjadi kegelisahan banyak orang.

Seorang teman saya dari Jakarta baru lalu mengirimi saya sebuah email yang isinya sebuah asumsi subyektif, bahwa kita berpuasa ternyata bukan karena kesadaran kita beragama, tapi justru karena tekanan sosial dari masyarakat yang berpuasa. Ia mengilustrasikannya dengan kondisi kita yang merasa tidak “nyaman” tak ikut menangis ketika berada di tengah lautan orang-orang yang semuanya menangis. Juga seorang muslimah yang tidak berjilbab di tengah lautan muslimah lain yang berjilbab. Tekanan psikologis semacam ini ternyata menurut teman saya itu juga berlaku dalam ibadah puasa. Banyak ummat yang berpuasa karena merasa tidak nyaman tidak berpuasa di tengah teman-teman atau tetangganya yang tengah berpuasa. Ini artinya, bukan murni karena melaksakan ibadah, menalankan perintah Allah dalam Surah al-Baqarah “ya ayuhalladzina amanu kutiba alikumu syiyam”.

Sayapun menjawab email itu dengan agak apologetik, saya bilang saya kurang sependapat dengannya, karena ia menafikan keberadaan orang-orang yang sungguh-sungguh berpuasa karena ingin meraih Ridha Allah SWT. Saya juga katakan, nanti kita akan lihat siapa yang bener-bener puasa dan berpura-pura puasa setelah lebaran tiba. Ada perubahan sosial atau tidak?, jika ada berarti puasanya sukses, jika tidak berarti puasanya gagal. Teman sayapun bilang “Setuju 100%”.

Oke, sampai disini cerita saya perihal SMS dan Email itu, yang ingin saya sampaikan bahwa sejatinya puasa itu adalah urusan yang sangat private, mem-pribadi dan tak seorangpun yang tahu selain Allah sendiri dan orang yang melakukannya. Dalam sebuah Hadist Qudsi, Allah berfirman. “Puasa itu untukku dan aku sedirilah yang akan membalasnya”. Jadi, tidak ada peran siapapun yang dapat mempengaruhi kualitas puasa seseorang. Beda halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti solat, Haji, Zakat dan lain sebagainya yang hampir “wajib” orang lain tahu selain orang yang melakukannya. Dimensi puasa sungguh luarbiasa disini.

Maka sayapun heran dengan tindakan beberapa pejabat yang menginstruksikan aparatnya menutup warung-warung di bulan ini, atau menutup tempat-tempat hiburan. Saya sangat tidak apresiatif dengan hal itu. Seorang pejabat menyatakan alasannya, supaya suasana Puasa ramadhan kondusif. Kondusif dari apa?

Seorang tokoh agama yang baru-baru ini saya berdiskusi dengannya mengatakan, seseorang pernah bertanya kepadanya, bolehkah ummat Islam membuka warung saat bulan Ramadhan. Diapun bertanya balik, kenapa tidak? Karena di sini tidak hanya hidup ummat Islam, tapi juga Kristen, Hindu, Budha yang tidak melaksanakan puasa di bulan ini. Bahkan ada sebagian masyarakat yang musafir semisal dari Jakarta atau lainnya, sementara mereka sangat udzur untuk berpuasa dan pada siang hari tidak menemukan warung makan yang buka, hal ini tentu menjadi masalah bagi mereka. Tokoh itupun bilang, jika hal ini terjadi, maka Ramadhan akan membuat banyak ummat Islam munafik dan berpuasa tanpa keikhlasan. Bukankah ini menyalahi esensi puasa untuk menciptakan orang-orang yang bertaqwa?

Sungguh, argumentasi seorang ulama yang sangat luarbiasa. Saya pernah mendengar argumentasi lain yang hampir sama dari Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor ketika menjawab pertanyaan peserta, mengapa kita harus memberikan kebebasan beragama kepada orang lain?. Jawaban singkat Kautsar, agar orang-orang yang beragama itu dengan ikhlas melaksanakan agamanya. Jika kita tidak memberikan kebebasan beragama kepada orang lain, maka itu artinya kita telah membuat banyak orang munafik dalam beragama. Dan orang yang membuat orang munafik beragama jelas tidak disukai oleh Allah.

Sebuah contoh kasus di kemukakan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, karena tidak adanya kebebasan beragama, orang yang beragama Konghucu sebelum tahun 2000-an (sebelum mereka diakui menjadi agama resmi oleh negara) terpaksa memanipulasi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka dengan agama Budha atau Kristen ketika mereka ingin melaksanakan perkawinan dan di catat di Departemen Agama. Jika ini tidak dilakukan maka dipastika mereka tidak akan bisa kawin atau terpaksa kawin tanpa catatan sipil.

Seorang tokoh Islam Aliran Sunda Wiwitan juga mengaku sama kepada saya saat menjadi pembicara di Jakarta baru lalu, katanya banyak pengikut sunda wiwitan terpaksa memanipulasi kolom agama di KTP mereka dengan Islam ketika beberapa waktu lalu akan menerima bantuan beras miskin (Raskin). Jika tidak, mereka sudah pasti tidak akan mendapatkan hak mereka itu. Alasannya, tidak diakui oleh negara. Ini sungguh tindakan yang tidak manusiawi dan membuat orang munafik dalam melaksakan agamanya.

Nah, kembali ke konteks puasa, saya kira, kita mesti memberikan kebebasan pada ummat Islam, apakah untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Karena hanya dengan begitulah, sikap-sikap munafik dapat dihindari dan kita berpuasa betul-betul dengan ikhlas tanpa paksaan. Namun toleransi tetap menjadi intinya, banwa misalnya orang yang tidak berpuasa dengan demonstratif makan di depan orang berpuasa saya tidak setuju sedikitpun. Tapi menutup tempat-tempat hiburan dan warung makan juga adalah tindakan yang lebih tidak manusiawi, karena akan menganiaya orang-orang lain yang tidak berpuasa.

Saya kira, memang benar, jika kita ingin melihat ummat ini beragama secara total (kaffah) kita harus mulai memikirkan hal ini. Sehingga suatu saat kelak, Agama bukan lagi sekadar identitas KTP yang mencerminkan kemunafikan pemiliknya. Biarkan mereka beragama sesuai keyakinannya, urusan ibadah itu urusan mereka pribadi kepada tuhan bukan urusan kita. Allah sendiri dengan tegas bahkan mengatakan “Barang siapa yang mau islam sialakan yang mau kafir juga silakan!”. (Surah Almu’minun : Logikanya Tuhan saja memberikan kita kebebasan untuk mengabdi atau tidak mengabdi kepadanya. Lalu, mengapa kita mesti galau atau sewot dengan ibadah orang lain termasuk puasa?.

Bagi saya kita mesti kembali menelusuri makna substansi dari puasa itu. Bahwa kita disuruh Tuhan berlapar-lapar di siang hari bulan Ramadhan bukan tanpa alasan. Seperti banyak diulas orang, itu memberi pesan agar kita peka sosial terhadap orang-orang miskin yang hari-hari mereka selalu dalam keadaan lapar seperti kita yang disiang hari bulan ramadhan ini selalu lapar. Semoga puasa sungguh-sungguh memberi kita kesadaran betapa pentingnya memberikan perhatian terhadap mereka yang miskin-papa. Wallahu A’lam Bissowab.