Agama ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Agama

Wednesday, August 6, 2008

(Agama) Beda Zaman
Oleh Hatim Gazali

Konon, dari rahim Tuhan-lah Yahudi, Kristen dan Islam itu terlahir. Ketiganya dilahirkan dengan sempurna. Berat bayi yang terakhir ini, Islam, memiliki berat 114 surat dengan diameter 6686 ayat (Al-Aufaq: hal 42). Ketiganya telah ditinggal oleh baby sitter-nya yang bernama Musa, Isa dan Muhammad.

Dari ketiga “bayi” Tuhan itu, Islamlah yang paling bungsu. Sebagai anak terakhir dari keluarga semitik (Abrahamic religions), Islam lahir bukan untuk membunuh dua kakak kandungnya, tetapi untuk melengkapinya. Ini juga tak berarti dua kakaknya mengalami “catat”, tetapi agar terjalin komunikasi dan regenerasi.

Untuk itu, Muhammad sebagai “pengasuh” Islam tidak menasakh bayi sebelumnya, tetapi memberikan afirmasi dan justivikasi. Sebagai bayi termuda, Islam banyak berguru kepada dua kakaknya. Banyak sikap, perilaku dan prinsip-prinsip dasar (ajaran) yang adopted dari kakaknya. Tetapi setelah mulai remaja, proses obyektivasi (Peter L. Berger) terjadi. Islam tidak saja memberi justvikasi “kepribadian” kakak kandungnya, tetapi justru memberi warna dan corak tersendiri sesuai dengan konteks zamannya.

Perbedaan karakter dan sikap tiga bersaudara ini tidaklah begitu prinsipil, kecuali hanya pada performance. Sementara, batin dan prinsip dasarnya-esoteris dalam istilah Huston Smith atau transenden dalam sebutan Sayyed Hosein Nasr-ketiga “anak” Tuhan itu tidaklah mengalami perbedaan. Ia bersatu padu dalam kemanusiaan (the unity of humanity), dan ke-tuhan-an (the unity of God). Kini ketiganya telah dewasa. Umur si bungsu lebih dari 14 abad. Tentu diumur yang sudah matang itu telah mengalami banyak perkembangan yang cukup signifikan. Hubungan ketiga “anak” itu dalam rekaman sejarah tak selamanya berjalan harmonis, tetapi seringakali mengalami clash dan konflik dan sesekali mengalami en-counter (perjumpaan).

Pengasuh dari “anak-anak” Tuhan itu, Musa, Isa dan Muhammad, telah pergi jauh menemui “orang tua si anak”. Kini ia dibiarkan mengembara dan berpetualang. Misi ketiganya sangatlah jelas, yakni memanusiakan manusia (humanize human being), menegakkan keadilan dan mengajak kepada ketuhanan. Tak ada misi yang berbeda yang dibawa oleh “anak-anak” Tuhan itu.

Karena sudah tak ada baby-sitter-nya, ia bebas diperlakukan oleh siapapun yang menemuinya. Terkadang, sebagian merasa paling berhak untuk mengasuhnya dan merasa sebagai juru bicaranya. Kadangpula, demi “anak” itu, orang berani mengorbankan jiwa dan harta kekayaannya. Berperang, membunuh, dan melakukan pengrusakan atas nama “anak” Tuhan itu kerap terjadi. Dan, hanya sedikit saja orang yang mengingat tujuan dan misi awal “anak-anak” Tuhan itu.

Sebaliknya, tak sedikit orang mengajak kembali anak itu ke masa formatifnya, dimana ia diasuh oleh “baby sitter”-nya. Ia seakan tak boleh dewasa dan menemui siapa saja, apakah itu bernama modernisme, kapitalisme, sosialisme dsb. Bagi orang-orang semacam ini, bayi yang sudah tumbuh dewasa itu harus dikembalikan ke masa kanak-kanaknya, dimana tantangan dan problem masih sangat sederhana, tak sekompleks dan serumit saat ini.

Mentalitas yang bercita-cita akan masa kecil “anak” tuhan, dan menganggap perubahan zaman sebagai ancaman itulah yang melahirkan munculkan gerakan terorisme dan radikalisme. Mereka sudah lupa akan misi awal “anak” Tuhan itu dan mengutamakan akan masa kecilnya (romantisme).
Halusinasi dan imajinasi akan kembalinya anak yang sudah dewasa kepada masa kecilnya adalah sekedar harapan yang tak mungkin terwujud (tamanny). Jikapun dipaksakan, anda bisa bayangkan bagaimana orang dewasa bersikap seperti anak-anak. Kadang tampak lucu, kadangpula menggelikan. Ironis.

Karena waktu tak mungkin diputar ulang, maka dimasa remaja-atau bahkan telah memasuki era lanjut usia (lansia)-hal yang paling memungkinkan adalah meluruskan misi awal “anak-anak” Tuhan itu. Disinilah, betapa absurd-nya cita-cita penegakan khilafah Islamiyah, negara Islam dengan model dan performance Islam dimasa awal. Bahkan, sikap dan upaya itu merupakan pengkerdilan terhadap “anak” Tuhan yang tumbuh dewasa dan sempurna itu. Di era global, dimana dunia menjadi global village yang menyatu, saling terbuka, saling tahu, pertemuan ketiga “anak” Tuhan tak bisa dihindari. Begitu juga dengan problem manusia yang makin kompleks. Pilihannya bukan kembali kemasa lalu; dimana “anak” yang satu melengkapi yang lainnya, dimana persoalan masih sangat sederhana.

Akhirnya, tak boleh tidak, “anak-anak” Tuhan yang sudah tumbuh dewasa itu harus dipertemukan dalam satu forum kemanusiaan dalam rangka mempertajam dan kontekstualisasi visi-misinya. Jika tidak, “anak-anak” Tuhan hanya menjadi korban waktu, tak mampu mengemban misinya. Pilihan lain yang bisa dipilih adalah mengharap lahirnya “bayi” baru dari Tuhan yang lebih compatible, dan up to date.[]