Dilema ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Dilema

Wednesday, August 20, 2008

Dilema Keragaman Islam
Oleh Ahmad Sahidin

KONON, ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuhnya. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya.

Dan jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan : membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain/pola yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang,terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Dan kita sebagai sesama muslim dianjurkan berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) dengan caa yang bijaksana pula. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu al-quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman teerhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.

Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Yang saat diturunkannya dari “langit” tidak serta merta semuanya tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis dan jiwa zaman masyarakat di waktu itu. Yang bermakna sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan memperindah bentuk tubuh; atau–dalam bahasa agama–untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dsb.

Tentang hal ini, ada catatan sejarah Arab abad enam masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Tuhan melalui utusan/pilihan-Nya yang menceritakan bahayanya “khamr” dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan. Yang sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Secara konteks sosial, turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi bahwa, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang–mungkin yang sedang ngetrendnya begitu–hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi hasratnya. Masih menurut mufasir tersebut, bahwa model pakaian seperti ini dipakai Hindun Bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud, mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil meniadakan pembawa berita Tuhan, yaitu Nabi Muhammad Bin Abdullah yang dianggap telah merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan surat an-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busana tertentu (lihat Qs. al-ahzab : 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.

Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Hal ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.

Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia. Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, …tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);…sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);…maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki….(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya. Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, …sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);…Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);…katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).

Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil. Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.

Atau sekarang muncul dua model Islam. Pertama, model Islam fundamental-radikal yang bercorak tekstual dalam memahami wahyu dan ingin menghadirkan “Islam-ideal” masa Rasulullah Saw. Kedua, model Islam liberal-plural yang bercorak kontekstual dalam memahami wahyu dan berorientasi ke depan.

Mana yang benar dari mereka dalam memegang dan menjalankan agama? Wallohu a`lam bi showab adalah jawabannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Kelompok Khawarij membunuh Imam Ali Bin Abi Thalib; Mu`tazilah membantai dengan cara mihnah pada kelompok yang tidak sepakat dengannya; Murabithun menghancurkan kelompok Muwahidun; Wahabiyah mengkafir-bid`ah-musyrikkan golongan lain.

Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.

Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di Ummat Islam (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya. Sehingga tidak dapat diingkari ketika merujuk pada kalamullah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah di atas). Jelas, yang paling bertanggung-jawab atas berbagai realitas yang tragis dan memilukan serta memalukan sejarah adalah sang kodifikator, Utsman Bin Affan. Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya, maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis maupun terus berkelanjutan sampai kini.

Tetapi persoalannya tidak selesai begitu saja. Sebab yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan, maka cerita-cerita penindasan TKW / TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam. Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, akhlakul karimah dan bukan yang sebaliknya.

Artinya, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu, atau oleh yang berhak menentukan otoritas tafsir tersebut. Bagi umat Islam-Syi`ah yang ada di Iran tentu tidak ada masalah karena yang menentukan semua persoalan agama dan keislaman adalah Imam min ahlulbait; yang secara teologis merupakan pelanjut kepemimpinan Islam setelah Rasulullah. Namun bagi kita, yang lazim disebut Islam-Sunni tidak punya konsep wilayatul faqih, karena yang kita akui adalah konsep syuro.

Dulu memang ada ulama-ulama yang kredibelitasnya tidak diragukan, tetapi sekarang di Indonesia, yang ada hanya “ulama-ulama istana” yang nilai keulamaannya jauh dari ajaran-ajaran Rasulullah. Inilah masalah lainnya yang perlu disikapi dan cermati jika benar-benar ingin membuktikan bahwa al-islamu ya`lu wala yu`la alaih.