Dialog Agama ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Dialog Agama

Friday, August 17, 2007

MERETAS JALAN BARU DIALOG ANTARAGAMA:
MENUJU KEBEBASAN BERAGAMA

Oleh Subkhi Ridho

Aktivitas dialog antaragama yang sudah berjalan selama ini merupakan hal yang sangat berharga di tengah pluralitas agama di Indonesia. Tidak jarang bahwa dialog antaragama menjadi medan pelampiasan kedongkolan dan luapan luka-luka lama atau pameran kekuasaan politik suatu golongan agama tertentu dalam paggung kekuasaan.

Dalam banyak konsultasi soal dialog, nyata bahwa kebenaran agama tidak selalu menjadi agenda pembicaraan, dan dialog dipusatkan pada sikap saling menghargai, saling mendengar masalah, sampai kepada soal kerjasama bagi masyarakat yang adil dan manusiawi, serta demi perdamaian dunia.

Pertama, Hans Kung pernah mengeluarkan sebuah statemen yang berbunyi sebagai berikut: “No peace among the nations without peace among the religions, No peace among religions without dialogue between the religions; No dialogue between religions without investigation the foundation of the religions”. Yang artinya: “Tiada perdamaian bagi bangsa-bangsa tanpa perdamaian diantara agama-agama; Tiada perdamaian diantara agama-agama tanpa dialog antaragama; Tiada dialog antaragama tanpa mempelajari fondasi agama-agama”.

Kedua, Makna apa yang dapat kita ambil dibalik pernyataannya tersebut. Sebagai penganut agama tentunya kita perlu merenungkan dan sekaligus mencari jalan keluarnya apabila justeru agama yang menimbulkan “kerusuhan” dalam masyarakat. Oleh karena itu, maka Hans Kung mengajak kepada umat beragama -secara khusus ia menyebut Islam dan Kristen--untuk membangun cara pandang yang baru satu sama lain, dan melupakan sejarah masa silam keduanya yang dipenuhi konflik dan pertentangan.

Ketiga, Setiap penganut agama pasti meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan tentang persaudaraan antara sesama manusia, meskipun demikian, tidaklah dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa agama merupakan garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan, dalam perspektif tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua: ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan “bahan bakar” untuk membumi-hanguskan perdamaian manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi, atas nama agama juga, manusia saling bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain.

Keempat, Sejarah peradaban merepresentasikan contoh yang pertama. Sementara itu, sejarah peperangan menunjukkan contoh yang kedua.
Menarik ke dalam konteks Indonesia, tentunya kedua hal tersebut pernah terjadi semua dalam sejarah kehidupan antaragama di negara kita. Di masa Orde Baru, pertentangan maupun kerja sama antaragama seringkali merwarnai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya, barangkali, akibat dari sistem pemerintahan yang otoriter, konflik fisik yang terjadi relatif tidak muncul ke permukaan, bahkan setelah memasuki dasawarsa kedua pemerintahan Orde Baru jarang dijumpai konflik fisik. Justeru, konflik itu terjadi dalam ranah perpolitikan nasional.

Kelima, Dalam membangun serta mewujudkan hubungan antaragama yang konstruktif, Orde Baru telah memberikan jalan, dalam hal ini melalui Departemen Agama (Depag). Apalagi semasa Depag di bawah kepemimpinan Menteri Agama A. Mukti Ali. Kemudian didukung juga oleh individu-individu tokoh seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid yang gencar menyuarakan ide pluralisme Islam.6 Selain juga dukungan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia atau Dialog Antar Iman (DIAN/Interfidei), Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Yogyakarta, Paramadina, Masyarakat Dialog Antaragama (MADIA) di Jakarta,--untuk menyebut beberapa nama-- pada periode 90-an.

A. Format-Format Dialog Antar Agama
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dialog antar agama yang berlangsung maupun yang bisa dilakukan, ada pelbagai tipe. Dialog-dialog yang berlangsung itu dapat dilihat dalam kerangka berbagai macam. Di sini para tokoh menyebutkan bentuk-bentuk itu. Meskipun secara substansial terdapat kemiripan, akan tetapi walaupun mengambil beberapa bentuk distingtif namun hal ini saling berkaitan. Ada baiknya kita menyimak yang dikemukakan oleh mereka di bawah ini.

Dalam bukunya, N.K. Atmadja Hadinoto membagi format dialog antar agama menjadi empat macam yaitu: Pertama, Dialog Karya atau dialog yang menyangkut masalah-masalah keprihatinan bersama sebagai suatu bangsa, atau sebagai prsekutuan internasional. Misalnya penanganan masalah pelarian-pelarian politik dari negara-negara yang sedang bergolak, kurban peperangan, masalah kekurangan pangan, bencana alam, dan sebagainya. Dialog karya ini sebenarnya telah lama dipraktekkan oleh masyarakat desa dalam bentuk gotong-royong.

Kedua, Dialog dalam persekutuan (dialogue in community). Dalam dialog macam ini seperti apa yang berlangsung dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga menceritakan pengalaman dan pandangannya, dan yang lain mendengar atau mengomentarinya, namun tentunya dapat juga berlangsung pada tingkat yang lebih luas, sepeti dialog antar golongan agama-agama, dan sebagainya.

Ketiga, Dialog yang menyangkut soal kebenaran agama. Dalam dialog semacam ini diperlukan persyaratan-persyaratan yang rumit. Karena tidak saja kita perlu dengan rasa hormat dan kesabaran mau mendengar pihak mitra berdialog, tetapi dari pihak sendiri diperlukan kejernihan pandangan tentang apa yang kita percayai sebagai kebenaran agama.

Keempat, Dialog Mediatif (inner dialogue). Dialog ini menentukan sikap, mempersiapkan orang untuk memasuki dialog yang sebenarnya. Dialog ini mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik atau mistik. Kadangkala juga disebut dialog spiritual atau dialog batini.

Sementara itu, A. Mukti Ali menuliskan lima bentuk dialog yang dilakukan oleh kelompok agama.7 Diantaranya yaitu: (a). Dialog Kehidupan (dialogue of life) 8
Dalam kegiatan sehari-hari sebenarnya telah dilakukan dialog yang disebut “dialog kehidupan”. Di sini, orang dari pelbagai macam keyakinan dan agama hidup bersama, dan saling kerja sama dalam upaya memperkaya kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, dengan perantaraan melakukan nilai-nilai dari agama masing-masing tanpa diskusi formal. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing. Dialog ini dapat terjadi di lingkungan keluarga, desa, sekolah, rumah sakit, industri, kantor dan negara.

(b). Dialog dalam Kegiatan Sosial9 Yang diutamakan dalam dialog ini adalah --dalam rangka-- meningkatkan harkat umat manusia dan pembebasan integral dari umat manusia. Di sini, orang dari kelompok agama manapun dapat mengadakan kerja sama dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, dalam proyek bersama untuk membantu rakyat yang menderita dari kekeringan, kekurangan makan, membantu para pengungsi dan terutama meningkatkan keadilan dan perdamaian.

(c) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama10 Dialog ini mengambil bentuk dari pengalaman agama seperti tafakur, dzikir, puasa dan bentuk-bentuk latihan lain untuk menguasai diri, ziarah ke tempat orang suci, merenung dan mistik adalah wilayah-wilayah yang bisa dilakukan bersama oleh orang-orang yang mendalam keyakinannya. Jadi, di sini pertukaran pengalaman agama antar pelbagai penganut agama merupakan sarana bagi terciptanya dialog.

(d) Dialog untuk Doa Bersama Dalam dialog ini, lebih menitikberatkan pada doa bersama yang dilakukan oleh pelbagai macam penganut agama. Di sana, orang datang melakukan doa untuk perdamaian, keselamatan. Hanya, sudah barang tentu mereka tidak bisa melakukan doa bersama, karena doa didasarkan kepada keyakinan, sedangkan keyakinan mereka berbeda-beda. Akan tetapi, para pemeluk agama datang bersama untuk berdoa dengan maksud yang sama, yakni perdamaian, keselamatan. Setiap umat berdoa dengan caranya sendiri dan tidak mengikuti doa orang lain.

(e) Dialog Diskusi Teologis Dialog teologi ini mencakup pertemuan-pertemuan --baik reguler maupun tidak--untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis. Dalam dialog ini difokuskan pada tukar-menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan amalan-amalan agama mereka, dan berusaha untuk mencari saling pengertian melalui perantaraan diskusi tersebut.

Tema-tema yang pernah diangkat, misalnya, pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing, sifat wahyu Illahi, tanggungjawab manusia dalam masyarakat, dan sebagainya. Dalam dialog teologis dapat menjangkau hal-hal lebih luas, seperti makna tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme agama.11

Dalam dialog teologis, yang penting sebenarnya adalah berbagi pengalaman keagamaan, bukannya berdebat apalagi berbantah-bantahan, yang justru dilarang oleh al-Qur'an.12 Oleh karena itu, kita tidak perlu membayangkan tema-tema yang terlalu musykil seperti pernah disinyalir oleh Watt, misalnya. Dia mengajukan proposal bahwa demi kerukunan hidup antar umat Kristen dan Islam, maka pihak Kristen perlu mempertimbangkan kembali doktrin bahwa: “Yesus merupakan satu-satunya anak Tuhan”, dan agar umat Islam menafsirkan kembali doktrin tentang Islam agama terakhir dan Muhammad sebagai Rasul terakhir.13

Jika memang itu yang menjadi temanya, menjadi wajar kalau banyak orang yang keberatan dengan dialog agama. Tapi, sesungguhnya, dialog agama tidak perlu merelatifkan kebenaran subyektif teologis yang diyakini oleh umat beragama itu sendiri.

Untuk itu perlu disimak apa yang telah disampaikan oleh Ignas Kleden. Sejauhmana dialog teologis antar agama bisa dilakukan? Menurut Ignas, suatu dialog antar agama adalah sama dengan dialog keselamatan yang dicita-citakan oleh masing-masing agama. Bila keselamatan dibenarkan tiap agama, dan karena keselamatan selalu tidak mentolerir usaha yang merugikan keselamatan orang lain, maka sebetulnya apapun cara yang diajarkan suatu agama untuk mencapai keselamatan, yang berarti tujuan itu, keselamatan itu sendiri akan menjaga agar cara yang ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan orang lain. Karena itu, kata Ignas selanjutnya, keselamatan yang menyiapkan kemungkinan suatu dialog antaragama, memberikan juga batas-batas yang harus dijaga agar dialog itu menjadi mungkin dapat dikembangkan dan tetap menyelamatkan semua pihak.14

Memang secara eksplisit Ignas tidak menjelaskan. Kiranya penting dicatat bahwa pendekatan teologis merupakan pendekatan eksoterik (kulit luar), dan karena itu seringkali bersifat subyektif. Tapi, bukan berarti bahwa pendekatan teologis tidak penting. Justru karena sifat kesentralannya dalam bangunan agama-agama, maka dialog pada level ini tidak bisa diabaikan.

***
Bentuk-bentuk dialog itu selain menunjukkan perbedaan lingkup materi dan cakupan wilayah dialog, juga menunjukkan kualitas dan arah dialog agama itu sendiri. Selain itu, para peserta yang terlibat dalam masing-masing bentuk juga seringkali menunjukkan perbedaan sikap terhadap dialog. Mereka yang terlibat dalam dialog sosial, misalnya, belum tentu memahami, atau bahkan siap, dialog pada level teologi. Begitu juga mereka yang terlibat dalam dialog teologi, bisa saja tidak bersedia memasuki dialog spiritual.

Tidaklah terlalu penting menekankan pada level mana dialog harus dilakukan. Yang harus lebih dipikirkan adalah bagaimana dialog pada semua level itu bisa berlanjut pada sikap saling memahami dan menghargai, sehingga tidak menghalangi upaya kerjasama antar umat beragama dalam berbagai aspek kehidupan.15

Dari pelbagai bentuk dialog di atas, hampir semua itu merupakan hal yang urgen bagi terciptanya kehidupan beragama yang harmonis. Di mana prasangka dan kecurigaan sudah layaknya kita pinggirkan jauh-jauh dari pikiran setiap penganut umat beragama. Prasangka dan kecurigaan yang terjadi, selama ini, hanya mengakibatkan hubungan sesama penganut agama menjadi tidak produktif karena telah melahirkan pertikaian yang justeru menodai agama itu sendiri.

B. Wilayah-Wilayah Dialog Antaragama
Setelah mengetahui bentuk-bentuk dialog, sudah semestinya diketahui juga wilayah-wilayah dalam dialog antaragama. Wilayah-wilayah itu diperlukan sebagai sarana dan sekaligus jembatan untuk memasuki lebih jauh pergumulan dalam kegiatan dialog antaragama.
Di sini dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah teologis, kemudian wilayah humaniora dan sekaligus wilayah praksis. Untuk mengetahui dengan jelas dan supaya dapat dipahami, akan diuraikan dibawah ini.

B.1. Wilayah Teologis
Selama ini, wilayah yang satu ini, sering ditabukan untuk dibicarakan, bahkan semasa pemerintahan Orde Baru berkuasa hampir-hampir tidak pernah disentuh. Karenanya, sudah saatnya wilayah teologis mendapat perhatian yang besar bagi kalangan aktivis, pekerja, serta masyarakat yang terlibat dalam dialog antaragama atau antariman.

Menurut Th. Sumartana, dialog antaragama harus didasari bahkan didahului oleh suatu dialog theologis demi untuk melakukan suatu kajian kritis terhadap diri sendiri. Langkah ini perlu dilakukan guna memisahkan harapan dari ketakutan, agar tidak bercampur-baur. Dialog theologis perlu dilakukan karena distorsi dan kesalahpahaman perlu diminimalisir, dan juga apresiasi perlu ditumbuhkan. Teologi harus dibebaskan dari memori traumatik dari hubungan manusia antarumat beragama, dan berani melangkah ke arah hubungan yang lebih manusiawi. 16

Dengan memperbanyak dialog theologis maka akan terbangun suatu kesadaran dalam diri setiap orang bahwa di luar keyakinan dan keimanan kita selama ini, ternyata ada banyak sekali keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Maka, dengan memasuki wilayah teologis pertama-tama yang akan kita hadapi adalah bagaimana kita memposisikan iman kita di tengah iman orang lain.17

Bolehkah kita secara teologis membenarkan iman orang yang berbeda agamanya dengan kita? Mungkinkah ada kebenaran selain kebenaran yang kita yakini selama ini, yang diajarkan oleh agama kita? Kalau benar ada, lalu di mana keistimewaan agama kita? Apakah masalah-masalah akidah atau keimanan perlu didialogkan, bukankah kita harus menerimanya saja dengan iman? Tidakkah nanti dialog semacam itu justru akan melunturkan akidah kita, atau merelatifkan iman kita?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu menyergap benak orang-orang yang mendengar kata dialog agama, lebih-lebih dialog antar iman. Bagaimana sikap kita selanjutnya untuk menepis segala anggapan dan kecurigaan dari pihak-pihak yang kurang atau bahkan tidak sependapat dengan degan adanya dialog-dialog antaragama. Tentu di sini diperlukan sikap kearifan dari para pelaku dialog, supaya orang yang menaruh kecurigaan itu dapat menyadari sikapnya tersebut.

Memasuki wilayah teologis sebenarnya akan memperkaya pengalaman keagamaan dan pengetahuan akan tradisi agama-agama lain. Ritual-ritual ibadah agama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lain, bisa saja diperbincangkan di tengah-tengah agama lain, karena setiap agama memiliki ritus-ritus semacam itu, meski dengan tatacara yang berbeda. Dengan memperbandingkan aspek-aspek kesamaan dan pengalaman religius dalam suasana dialogis, masing-masing pemeluk agama dapat belajar bahwa semua agama sama-sama menyeru kepada kebaikan dan kebenaran.18

Dari dialog jualah, maka para pemeluk agama dapat belajar dari pengalaman masing-masing tentang bagaimana ajaran-ajaran agama dapat dipraktekkan. Sebab memang tujuan utama dialog, sebagaimana dikatakan Prof. Leonard Swidler, Guru Besar Studi Agama dari Temple University, AS, adalah belajar. Belajar haruslah dilakukan dengan sikap tulus dan jujur, bukan dengan pretensi untuk menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang lain. 19

Karenanya, dalam wilayah teologis tidak dibenarkan setiap pendialog mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini oleh umat agama lain, baik yang merupakan sistem keimanan maupun yang menjelma dalam berbagai ritus ibadahnya. Dalam setiap dialog, kata Swidler lagi, hendaknya jangan dibandingkan wawasan ideal kita dengan realitas praktis orang lain. Dalam dialog hendaklah kenyataan riil diperhadapkan dengan yang riil, dan prinsip ideal keagamaan dengan prinsip ideal keagamaan yang lain.20

Kiranya saat ini, kita tidak harus lagi memandang persoalan-persoalan teologis sebagai wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh dialog agama, apalagi memandangnya sebagai “daerah persengkataan”. Sebuah arena yang tertutup tidak akan pernah terkuak jikalau kita tidak pernah berani untuk membukanya. Persoalan-persoalan teologis bukanlah wilayah milik pribadi yang harus disimpan terus-menerus tanpa orang lain mengetahuinya. Memelihara sikap seperti ini, akan berakibat pada tumbuhnya ekslusivisme beragama yang kontra-produktif bagi keberagamaan itu sendiri. Melihat diri sendiri dan golongannya sebagai pihak yang paling benar dan menganggap orang lain berada dalam kesalahan dan yang perlu dipertobatkan.21

Di sinilah sesungguhnya letak urgensi memasuki wilayah teologis dalam dialog antaragama. Dengan berani masuk pada wilayah dianggap paling sakral dari masing-masing umat beragama, yaitu wilayah teologi untuk kemudian masuk pada masalah-masalah riil dari hubungan antaragama. Jika masalah teologi tidak selesai dibahas, hal ini bisa mengakibatkan pada jalannya dialog antaragama yang hanya akan menjadi intellectual exercise para aktivis dialog antaragama, tetapi problema antaragama terus saja menganga di depannya.22

B.2. Wilayah Humaniora
Wilayah kedua yang patut mendapat perhatian lebih dari kalangan agamawan ataupun pegiat dialog Islam-Kristen ataupun dialog antaragama yaitu wilayah humaniora.

Wilayah humaniora merupakan sebuah wilayah yang sangat universal, sehingga di sini semua hal dapat diperbincangkan dan dilakukan tanpa ada rasa canggung, ewuh-pakewuh, ataupun prasangka-prasangka kotor lainnya. Semua orang dari umat manapun dapat berpartisipasi aktiv tanpa takut kehilangan identitasnya.

Masuk pada wilayah humaniora, sebenarnya merupakan aktivitas dialog yang lebih menekankan pada adanya pemihakan yang konkret pada kaum dhuafa, kaum tertindas oleh kekuasaan maupun oleh kultur. Dialog di sini tidak secara khusus berdasarkan kepada kebenaran-kebenaran kitab suci atau doktrin-doktrin agama, namun “menyapa” realitas dengan keyakinan bahwa itulah masyarakat yang harus diselamatkan, disapa, dibantu.

Oleh karena itu, dengan memasuki wilayah yang disebut sebagai human dialogue, sebuah dialog yang berkarakter eksistensialis dan tidak mengedepankan sikap apriori atas fenomena keagamaan. Di samping itu, human dialogue merupakan model dialog yang secara periodik melakukan interpretasi-interpretasi terminologi teologis.23 Wilayah humaniora akan mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas, dan dalam kemajemukan itu tidak boleh dibiarkan sikap-sikap dan praktek-praktek diskriminatif.

Dalam wilayah humaniora yang menjadi perhatian adalah tema-tema kemanusiaan. Pelaku dialog tidak memandang partner dialognya sebagai umat agama lain, tapi dia sebagai manusia. Ketika partner menyampaikan keyakinannya, pelaku dialog mesti menempatkan posisinya sebagaimana posisi partner dialog. Artinya suatu keyakinan hanya bisa dipahami bila pelaku dialog menempatkan diri pada mindset keyakinan itu. Umat Kristen tidak lagi dipandang sebagai umat Kristen tetapi murni sebagai manusia, begitu pula dengan umat-umat agama lain.24

Th. Sumartana juga berpendapat bahwa wilayah humaniora ini akan memunculkan rasa menghargai manusia sebagai manusia, dalam keutuhan pribadinya, yakni hubungan untuk saling mempercayai dalam tingkat kehidupan yang personal. Dengan menghargai manusia kita bisa melanggar atau melecehkan kesucian pribadi seseorang adalalah melanggar kesucian keyakinan agama yang dianutnya, begitu pula sebaliknya melanggar dan melecehkan kesucian pribadi pemeluknya. Orang tak bisa menghargai integritas iman tertentu tanpa menghargai pribadi iman orang lain.25

B.3. Wilayah Praksis
Setelah bergulat dengan wacana dan dialog maka tidaklah bijak apabila hanya berhenti disitu tanpa adanya follow up atau kesinambungan sesudahnya. Di sini tidak diinginkan sikap no action talk only atau dalam bahasa al-Qur'an-nya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu lakukan.26

Oleh karena itu, dialog dan kerjasama merupakan dua hal yang sambung menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. Tidak ada kerjasama tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme (dalam arti, mengatakan sesuatu merasa telah melakukannya).

Praksis merupakan hal yang sudah semestinya atau bahkan harus dilakukan oleh para pelaku dialog. Sebuah dialog akan memberi manfaat bagi umat beragama, apabila tidak hanya mandeg dalam discourse saja, melainkan juga termanifestasikan dalam kerjasama-kerjasama lain yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat beragama secara umum.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pelaku dialog agama supaya terwujudnya kerjasama praksis. Kerjasama yang dapat dilakukan oleh kalangan lintas agama mencakup pelbagai bidang; di sini tidak harus semua, bisa dipilah-pilah. Banawiratma menyebut bentuk praksis dari dialog yaitu aksi umat antar iman dan agama bersama-sama mentranformasikan masyarakat agar menjadi lebih adil, lebih merdeka dan manusiawi, agar keutuhan ciptaan hidup dilestarikan.27 Dengan kata lain, pencerahan dan transformasi pada tataran pribadi-pribadi para pendialog dianggap tidak cukup. Mereka harus melakukan upaya tranformasi sosial. Dan upaya transformasi sosial ini harus dilakukan secara bersama-sama, lintas agama.

Wilayah praksis membuka pada sebuah dialog yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan riil di lapangan yang diangkat ke permukaan. Aktivitas dalam wilayah praksis adalah turun langsung ke lokasi dimana kaum papa, kaum terhina dan dina berada. Mereka kita entaskan baik melalui kemampuan material maupun kekuatan spiritual. Kekuatan material misalnya mereka dibantu dengan makanan pokok jika memang mereka lemah dalam hal ini.

Dalam hal spiritual, kita membantu apabila mereka mengalami depresi dan kurang percaya diri. Kaum dhuafa tidak dicarikan dasar-dasar legitimasinya untuk dibantu atau diberantas dalam arti diciduk, tetapi mereka dengan semangat religius disapa agar mereka “selamat”.

Dalam wilayah praksis inilah sebenarnya, akan didapatkan sebuah bentuk konkret dari aktivitas kaum beriman kepada Tuhan. Bukti keimanannya adalah “menyapa kaum dhuafa” tanpa pandang bulu. Menyapa tanpa melihat jenis kelamin, etnis, suku dan jabatan. Siapa saja yang membutuhkan persapaan, maka disapa tanpa tendensi religius bahwa nanti mereka akan melakukan konversi agama atau mereka akan mengatakan bahwa kita ini orang baik. Kita menyapa mereka karena terpanggil untuk jalan kemanusiaan. Kita menyapa mereka karena dorongan keimanan sejati yang tidak mengharap “imbalan” pujian dari siapa pun. Dapat atau tidak dapat pujian menyapa kaum dhuafa adalah kewajiban. Oleh karena itu, perbedaan agama bukanlah sebagai hal yang menjadi penghalang untuk menjalin kerjasama. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Tuhan menciptakan bumi ini bukan untuk satu golongan atau agama tertentu saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kebebasan memilih agama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Dengan menurunkan bermacam-macam agama tidak berarti Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia melainkan agar masing-masing umat berlomba dalam berbuat kebaikan bagi sesama. Manusia dihadapan Tuhan tetap sama, karena yang dinilai adalah kebaikan dan ketulusan dalam mengamalkan ajaran-ajarannya.

Selain hal di atas, ada beberapa bentuk kegiatan lain yang dapat dikerjakan bersama-sama secara lintas iman. Kerjasama praksis yang dilakukan tidak harus selalu terkait dengan persoalan an sich, melainkan diperluas ke bidang-bidang lain yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat umum. Kerjasama antaragama akan lebih produktif diarahkan kepada persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan (concern) bersama antar umat bergama.

Azyumardi Azra menyebut bidang-bidang yang bisa menjadi lahan garapan bersama adalah pada tingkatan etis, sosial, politis dan ekonomis.28 Namun tentu saja, hal ini tidaklah mutlak dan bisa dikembangkan ke bidang-bidang garapan lain yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Pertu dipertimbangkan juga tentang lingkungan dimana akan dilakukan kerjasama tersebut. Misalnya keluarga, merupakan lingkup sosial terkecil tentu akan berbeda dengan lingkungan sekolah, dan berbeda juga dengan lingkungan masyarakat. Meskipun demikian, ketiganya saling mempunyai keterkaitan, entah dalam pengertian positif maupun negatif.
Idealnya, tentu saja apa yang didapatkan di sekolah mengenai pemahaman agama tidak bertabrakan dengan apa yang diperoleh di rumah atau di masyarakat, misalnya. Apabila di sekolah anak diajarkan mengenai toleransi, maka sudah semestinya anak tersebut tidak mendapatkan yang sebaliknya, yang mengajarkan atau memprovokasi kebencian terhadap agama lain. Sebab hal itu bukan saja akan membuat pendidikan toleransi tidak efektif, juga kurang baik bagi anak secara psikologis. Ini akan menjadi catatan bagi semua pihak yang concern terhadap dialog antar umar beragama.

Kerjasama itu sendiri bisa bermacam-macam. Selain seperti dikemukakan di atas, yang bisa dilakukan oleh aliansi antar agama (Islam-Kristen) untuk tujuan-tujuan spesifik, yaitu:
a. Aliansi Antar Agama untuk Penangkalan Narkoba
b. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Judi
c. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Pornografi
d. Aliansi Antar Agama untuk Memerangi Minuman Keras
e. Aliansi Antar Agama untuk Penanganan Kriminalitas
f. Aliansi Antar Agama untuk Pemberantasan Korupsi29

Kegiatan-kegiatan di atas apabila dapat dilakukan oleh umat beragama secara bekerjasama justru akan memunculkan solidaritas besar antar umat beragama. Hal-hal tersebut sangat untuk dikerjakan bersama tanpa membeda-bedakan agama. Masalah-masalah di atas adalah musuh bersama umat beragama dan tidak mungkin apabila hanya ditangani oleh sekelompok agama saja, oleh karena itu semua komponen agama yang ada di negeri ini mesti dilibatkan dalam upaya penanganan persoalan-persoalan tersebut.

Memang, akan terlalu absurd apabila membayangkan aktor-aktor agama bisa menyelesaikan masalah sosial seperti kejahatan. Tetapi paling kurang ada kemauan untuk memberantas, sehingga bisa mengurangi yang sudah terjadi.

C. AKTOR-AKTOR DIALOG ANTARAGAMA
Sebuah dialog antaragama sudah semestinya memperhatikan juga para pesertanya. Dari para peserta atau pelaku dialog, tentunya dapat di pilah-pilah tentang pelbagai tema yang akan di dialog-kan sehingga dapat diketahui pula hasilnya. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, maka di sini latar belakang pelaku atau peserta menjadi menentukan dan patut dipertimbangkan; misalnya tentang latar belakang pendidikan, dari kelompok mana, serta dari institusi apa dan sebagainya. Dialog antaragama bisa tidak sesuai dengan cita-cita apabila latar belakang -yang tentunya bermacam-macam--para pelaku “diabaikan”.

Pada prinsipnya memang dialog ditujukan kepada semua orang, semua umat beragama dan penganut kepercayaan. Namun segi pelaksanaan kiranya perlu memperhatikan beberapa hal yang kongkret. Hal ini bukanlah diskriminasi, melainkan supaya lebih bisa difokuskan dan tidak melenceng dari harapan. Menurut A. Mukti Ali, tentang peserta dialog antaragama antara lai n mengatakan “Dialog-dialog ini tentunya kita mulai di daerah-daerah yang 'subur' dulu.

Sedangkan untuk 'daerah-daerah yang masih tandus' diperlukan waktu. Hujan akan tunduk di daerah-daerah tandus ini dan dengan sendirinya akan menjadi subur untuk dialog-dialog.30
Kata-kata di atas syarat dengan makna dan juga memiliki implikasi yang tidak mudah dilaksanakannya dialog itu sendiri, sebab pada akhirnya membutuhkan syarat-syarat yang spesifik pula.

Supaya lebih terarah, maka para aktor atau pelaku dialog dapat dibedakan ke dalam beberapa lingkungan peserta/pelaku. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini31:
Pertama, kaum intelektual. Di situ banyak yang dapat, bahkan perlu didialog-kan. Misalnya: pengertian dan masalah sekitar toleransi, baik dari sudut doktrin agama maupun dari sudut sosiologis dan sosio-psikologis, juga dari sudut politis. Pencapaian pengertian lebih jelas tentang posisi masing-masing agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa serta tentang wilayah di mana kerja sama dan saling mendukung mungkin. Tantangan-tantangan yang dirasakan bersama dan dapat dijawab bersama. Maasalah-masalah etika global, etika bisnis, etika politik dan lain sebagainya. Perjuangan bersama demi masyarakat yang adil dan manusiawi, sseluruh kompleks hak asasi manusia: perbedaan dan kesamaan, respon overlappingnya pandangan masing-masing agama dan perumusan sasaran bersama dalam kehidupan nasional. Tantangan demokrasi. Tantangan keadilan sosial, dan lain-lain. Di semua masalah ini peranan agama-agama di Indonesia penting, dan dialog dapat diharapkan menghasilkan saling pengertian lebih baik yang dapat, untuk sebagai, diterjemahkan ke dalam sasaran-sasaran politis bersama, alias tidak tinggal di tingkat teori semata-mata. Yang tidak dapat diharapkan juga jelas: bahwa kesadaran dan kesepakatan diantara kaum intelektual agama mempunyai dampak jangka pendek pada kehidupan masyarakat: pada rakyat dan komunitas agama, pada para pendeta dan ulama, pada organisasi-organisasi besar agama, pada birokrasi. Di situ berlaku bahwa segala kemajuan yang dicapai oleh para intelektual, dalam bidang apa pun, tidak pernah langsung dapat diterjemahkan ke dalam kenyataan sosial.32
Kedua, ialah para pemuka agama: ulama, rohaniwan/wati, pendeta dan sebagainya. Di sini tujuannya bukan pertama-tama pencapaian pengertian lebih jelas dan benar tentang pelbagai hal, melainkan sosialisasi: para tokoh rohani agama mulai saling mengenal, padahal dulu tokoh rohani agama lain penuh misteri (dan karena itu dicurigai), hubungan manusiawi bila menjadi lebih baik, barangkali bahkan dapat dibangun saling kepercayaan karena mereka lebih saling kenal. Lalu juga pelbagai salah paham dapat di bahas dan di sana-sini dapat ada koreksi. Perlu diperhatikan bahwa dialog ini dapat terjadi dari eselon paling atas sampai ke tingkat pemuka-pemuka umat lokal.33

Ketiga, adalah masyarakat dalam hidup sehari-hari; di mana senantiasa orang-orang Kristen berbaur dengan orang-orang Muslim. Dialog terjadi dalam menghadapi kejadian sehari-hari bersama: di kampung, di tempat kerja, dalam sebuah organisasi dan lain sebagainya. Unsur “dialog” sudah ada kalau diketahui bahwa di sini adalah orang Islam dan sebagainya.

Dan perlu diperhatikan juga, berhubung di tiap-tiap agama itu terdapat bermacam-macam aliran, maka dari itu umat seagama baiklah kalau mengadakan dialog terlebih dahulu. Misalnya sama-sama pemeluk agama Islam, sama-sama pemeluk agama Kristen, sama-sama agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu dan sebagainya. Setelah itu barulah dengan pemeluk agama lain.
Perbedaan peserta bukanlah untuk memberi sekat-sekat antar manusia atau antar golongan, hal ini dimaksudkan supaya dialog tidak salah sasaran. Pernyataan A. Mukti Ali di atas, dirasakan akan memperoleh tempatnya, dengan cara awal melalui intelektual, kemudian para pemuka agama dan terakhir masyarakat awam maka daerah-daerah yang kering itu akan segera terbasahi dengan dialog-dialog tersebut.

Bukan tidak mungkin, untuk selanjutnya, pada suatu ketiga kategori di atas duduk bersama dalam sebuah dialog, dan di situ membicarakan segala persoalan menyangkut hubungan antaragama maupun problematika yang sedang dihadapi maupun yang akan dihadapi oleh bangsa dan negara. Dengan demikian maka akhirnya dialog antaragama bukanlah barang mewah (luxs) yang hanya milik segelintir golongan, melainkan milik bersama yang di situ semua umat manusia mampu melaksanakannya.

D. PASSING OVER COMING BACK
Setelah mengetahui perjalanan dialog Islam-Kristen pada masa Orde Baru dengan pelbagai varian, hambatan serta dinamika yang melingkupinya. Tentu, banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan dialog tersebut. Selain juga kekurangan-kekurangan yang tidak diharapkan oleh semua pihak. Untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang telah terjadi, mesti dimunculkan cara baru dalam melakukan dialog antaragama (Islam-Kristen) atau dalam beragama sekalipun.

Beragama yang penuh kepura-puraan, hanya menjadikan agama sebgai justifikasi atas kekuasaan, atau apologi atas kebenaran dan keagungan ajarannya mesti disingkirkan jauh-jauh dari pikiran (mindset) umat beragama. Di sinilah pentingnya memasuki jantung agama lain atau disebut dengan passing over.

Passing over berarti melintas dari satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup lain, dari satu agama kepada agama lain. Hal ini sama sekali tidak lantas meninggalkan agama asal atau menghilangkan identitas agama seseorang. Identitas asal tetap melekat tetapi terbuka dengan keberagamaan orang lain. Karenanya, ini diikuti dengan suatu proses yang sama dan berlawanan yang disebut dengan coming back; kembali. Setelah melintas, maka kemudian kembali dengan wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup sendiri, agama sendiri. Seperti perkataan Dunne bahwa orang suci (yang cocok untuk) zaman kita, tampaknya bukanlah seorang tokoh seperti Gautama, atau Yesus, atau Muhammad, seorang yang dapat mendirikan suatu agama dunia, tetapi seorang tokoh seperti Gandhi, seorang manusia yang melintas dengan pengertian simpatik dari agamanya sendiri kepada agama-agama lain dan kembali lagi dengan wawasan baru kepada agamanya sendiri. Melintas dan kembali, tampaknya, adalah petualangan spiritual zaman kita. 34

Apa yang dikatakan oleh Dunne sangat menggugah umat beragama untuk mengembara lebih jauh dalam ragka mengerti agama orang lain serta mengetahui makna pluralitas secara mendalam. Dengan mengembara mengenal agama-agama lain, mengetahui spiritualitas mereka, akan timbul pengetahuan bahwasanya tiap-tiap agama memiliki kekhasan tersendiri serta memiliki titik temu diantara keberagaman tersebut. Pertemuan itu akan menjadi medium yang memperkaya dirinya, tetapi juga pada akhirnya ia akan kembali (coming back) kepada dirinya, dan tidak menjadi orang lain.

Dialog Islam-Kristen atau antaragama yang sudah berjalan selama sekian tahun di negrei ini mestilah jangan sampai berhenti pada hanya sebagai suatu gaya hidup (life style) tetapi juga dipikirkan untuk menjadi suatu pandangan hidup (way of life), supaya dialog tidak sekadar hanya merealisasikan proyek dari pemerintah. Beragama di alam plural seperti saat ini, dialog sudah merupakan “kewajiban” bagi setiap pemeluk agama.

Karenanya, melintas batas (agama) seperti di atas serta --yang tidak boleh dilupakan-- kembali (coming back) adalah salah satu cara untuk menemukan titik pertemuan diantara agam-agama. Kembali dengan sebuah wawasan baru, sebuah wawasan yang luas sehingga jarak antar agama-agama semakin tipis bahkan tiada jarak -walaupun mustahil. Passing over akan semakin membuka ruang dalam hubungan antaragama. Batas-batas formal yang menyelimuti setiap agama, akan terkuak. Sehingga, kekayaan tradisi yang tak ternilai yang bisa dibagi (shared) kepada orang lain. Keberanian mengungkap sisi-sisi religiusitas dan spiritualitas paling dalam tiap-tiap agama, akan membebaskan belenggu lahiriah yang menyulitkan umat beragama itu sendiri. Dari sisi religiusitas serta spiritualitas maka pada dasarnya agama akan tampak wajahnya yang lebih humanis, manusiawi.35

Spiritualitas agama-agama juga merupakan pertemuan dari agama-agama yang dalam istilah Frithjof Schuon disebut dengan esoterisme, sedangkan formalisme agama disebut sebagai eksoterisme yang masing-masing agama berbeda-beda.36

Jika kita memang menghendaki dialog yang memadai tentang agama-agama, maka perspektif kita adalah perspektif yang meletakkan paham teologi pada tiap-tiap penganut, dan bahkan pada perspektif substansialis yang lebih mencerminkan spiritualitas agama-agama. Spiritualitas inilah yang sebenarnya melampaui simbol-simbol agama, sehingga mampu menempatkan semua pemeluk agama sebagi bagian dari dirinya sendiri. Bukan orang lain. Pada akhirnya wacana passing over akan menjadi sebuah -meminjam istilah Budhy Munawar-Rachman--ziarah religius. Sebuah ziarah yang akan membawa seseorang pada kekayaan dalam sikap beragama. Beragama menjadi bebas; bebas untuk menjalankan keyakinannya tanpa ada paksaan dari siapapun atau dari manapun termasuk negara. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama; negara hanya berhak melindungi warganya yang terancam oleh kelompok tertentu. Sekaligus bebas untuk tidak memeluk agama.

Wallahualam bishawab

*Koordinator JarIK Jogyakarta