Kuasa Kata ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Kuasa Kata

Sunday, August 5, 2007

Bahasa Rakyat dan Bahasa Kekuasaan
Oleh Achmad Jumaely

Dua kasus diatas menarik disimak dalam konteks komunikasi politik. Pertama: ia menyiratkan bahwa bahasa, se-arif apapun, dalam politik cenderung dipolitisasi dan dimanfaatkan untuk saling jatuhkan. Kedua: Bahasa rakyat dan bahasa kekuasaan ternyata memiliki disparitas yang tinggi dalam hal effect atau dampak dari bahasa tersebut dan Ketiga : Dua kasus diatas secara kasuistik memiliki perbedaan yang signifikan. Kasus Lombok Tengah adalah kasus dimana bahasa rakyat terkalahkan oleh bahasa kekuasaan sementara di Brazil, bahasa kekuasaan dikalahkan oleh bahasa Rakyat.

SEBUAH kisah menarik datang dari negara Brazil menjelang diselenggarakannya piala dunia 2004 silam. Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva berseloroh dengan guyonan di depan pers Brazil bahwa pemain sepak bola nasional Brazil Ronaldo terlalu gendut untuk bermain di piala dunia 2004. Karena terlalu gendut lanjut presiden, Ronaldo mesti memulai gaya makan yang teratur dan tidur yang sehat.

Mendengar komentar itu, sehari setelahnya Ronaldo secara tak terduga mengadakan jumpa pers dan menyatakan akan memperkarakan sang presiden. Tuduhan yang diajukan Ronaldo adalah, sang presiden telah mencemari nama baiknya di dunia persepakbolaan Brazil. Presiden juga telah menghina dirinya serta menurunkan kepercayaan rakyat Brazil atas kemampuannya mengutak-atik bola di lapangan.

Luar biasa, sehari setelah pernyataan Ronaldo itu. Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dengan Gentle di hadapan pers nasional -yang disiarkan langsung oleh salah satu media televisi disana- meminta maaf kepada Ronaldo dan rakyat Brazil. Inti permintaan maafnya, bahwa ia telah khilaf mengatakan Ronaldo gendut dan kedua ia berjanji tidak akan mengulangi ungkapan senada di lain waktu.

Tak sekadar menyatakan di pers, sehari berikutnya, ternyata sang presiden secara diam-diam mengundang Ronaldo ke Istana Negara untuk makan malam sekaligus sebagai ajang minta maaf secara langsung.

Dari Brazil kita menengok ke Praya Lombok Tengah. Pemda melalui Asisten I Sekda Lombok Tengah L. Ikwan Ridwan, SH. MH. Menyatakan di koran ini, akan menuntut Ikhsan Ramadani dan kawan-kawannya karena dinilai telah memfitnah dan melecehkan pejabat negara (10/7). Hal ini dikarenakan, Ikhwan Ramdhani yang sekarang menjabat bagian Humas di sebuah Lembaga Suadaya Masayarakat (LSM) di sana, empat hari sebelumnya, jum’at (6/7) pernah menyatakan bahwa “Bupati Lombok Tengah hanya pamer kekuatan”.

Ramdhani mengomentari peristiwa penghadangan Bupati Lombok Tengah oleh sejumlah warga yang mempersoalkan kasus pembangunan jalan Gerunung-Mertak Tembok dan berakhir dengan insiden kerusuhan antara warga dan pendukung bupati. Karena persoalan ini, Bupati Lombok tengah mengancam akan memperkarakan Ikhwan dan kawan-kawannya segera ke pengadilan.

Dua kasus diatas menarik disimak dalam konteks komunikasi politik. Pertama: ia menyiratkan bahwa bahasa, se-arif apapun, dalam politik cenderung dipolitisasi dan dimanfaatkan untuk saling jatuhkan. Kedua: Bahasa rakyat dan bahasa kekuasaan ternyata memiliki disparitas yang tinggi dalam hal effect atau dampak dari bahasa tersebut dan Ketiga : Dua kasus diatas secara kasuistik memiliki perbedaan yang signifikan. Kasus Lombok Tengah adalah kasus dimana bahasa rakyat terkalahkan oleh bahasa kekuasaan sementara di Brazil, bahasa kekuasaan dikalahkan oleh bahasa Rakyat.

Dalam konteks kebahasaanya, identifikasi bahasa rakyat dan bahasa kekuasaan sesungguhnya sangat relatif. Ia bergantung pada ekspresi pelaku bahasa (comunicator), pesan yang disampaikan (content) dan pemahaman si penafsir (audience). Karenanya kesalahan identifikasi (disidentificated) sangat dimungkinkan dalam tolak-balik kebahasaan, baik dari komunikannya atau si audiens. Saya dapat contohkan, sebuah bahasa yang dikeluarkan pejabat kadang ternyata memiliki efek yang biasa-biasa saja ketika ia terlempar di ruang komunikasi rakyat. Dan sebaliknya sebuah bahasa rakyat yang di nilai biasa-biasa saja ternyata memilki efek yang luarbiasa ketika ia terlempar di ruang komunikasi kekuasaan.

Para pemikir kebahasaan seperti J. William Jones nampaknya pernah mencoba mengidentifikasi lebih lanjut ke ciri-ciri atau sifat dari dua bahasa yang berlaku di ruang yang berbeda ini. Tapi ternyata rata-rata mereka gagal seiring dengan susahnya mengidentifikasi si pelaku (komunikator) politik yang dalam praktisnya mau tidak mau berhadapan dengan negosiasi-negosiasi yang meniscayakan dinamisasi komunikasi, inkonsistensi, dan ambivalensi. Inilah sebabnya, komunikasi politik sulit di tebak arahnya, seorang politisi -yang sungguh-sungguh politisi- hari ini bisa saja berstatemen A dan besok berstatemen E. Ini adalah keniscayaan dalam politik.

Oke, kita tidak perlu berpusing-pusing apalagi sedih memahami terma-terma dalam ilmu sosiolinguistik seperti itu. Kita akan membahasnya dalam konteks yang lebih riil dan sederhana khususnya dalam dua kasus diatas. Pertama, yang ingin saya katakan, bahasa kekuasaan dan bahasa rakyat ternyata tak bisa di identifikasi secara riil dalam konteks hubungan kebangsaan kita. Ini barangkali memang karena ‘belianya’ proses pembelajaran politik yang kita jalani. Kita maklum, bangsa indonesia, terhitung baru sewindu menikmati kebebasan politik termasuk kebebasan berkomunikasi yang ditandai dengan terbukanya keran kebebasan pers tahun 1999. Sebelum itu indonesia berada dalam otoritarianisme Orde Baru yang sangat alergi dengan bahasa-bahasa kritis.

Yang pertama menyebabkan yang kedua bahwa konstruksi kekuasaan kita masih teramat sarat kebohongan-kebohongan publik baik yang dilakukan oleh pejabat negara, politisi, aktivis, mahasiswa, akademisi dan bahkan rakyat jelata. Semua itu sangat terkait erat dengan pragmatisme politik masing-masing.

Dalam rentang 1998-hingga sekarang misalnya, siapaun dengan mudah saja mengatakan kebebasan berbicara dan berpendapat di jamin demokrasi dan Undang-Undang. Kebabasan berserikat dan berkumpul dijamin pancasila dan seterusnya, tapi dalam realitasnya, ternyata Undang-undang, pancasila dan demokrasi itu kerap di telikung mengikuti keinginan-keinginan pragmatis. Intinya, kebebasan berbicara dan berpendapat hanya berlaku bagi mereka yang punya kuasa, dan yang tidak punya kuasa jangan macem-macem.

Nampaknya proses seperti inilah yang terjadi di Lombok Tengah. Demokrasi, keadilan dan kebebasan berpendapat di bumi mandalike itu telah di cederai oleh ulah penguasa yang arogan dan merajai. Membandingkannya dengan kasus di Barazil, dimana justru presiden yang di ‘hakimi’ gara-gara melukai hati rakyat, nampaknya itu masih utopia di negeri ini. Penguasa-penguasa kita (sengaja tidak saya pakai pemimpin) adalah raja-raja kecil yang derajat, titah dan petuahnya seakan-akan semuanya harus dihormati, dijunjung tinggi dan di sembah-sembah. Ini satu lagi kenyataan feodalisme kita. Kenyataan sangat riil yang meneriaki kita dengan sangat lantang, “Demokrasi di negeri ini masih berupa mimpi”. Demikian semoga bermanfaat.[]