Nonton Nih..!! ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Nonton Nih..!!

Sunday, August 5, 2007

Mahasiswa Hanya Penonton..!!
Oleh Amin Fauzi

Pelibatan mahasiswa dalam Pilderek tak ubahnya hanya sandiwara. Karena suara senatlah yang paling menentukan.

Tahun 2003, masing-masing Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memperoleh Statuta dari Menteri Agama (Menag) RI. Jilidan tebal tampak rapi itu berisi bab per bab, pasal per pasal, item demi item tentang kejelasan hukum atau anggaran dasar ke mana PTAI akan dibawa.

Setelah diteliti dan diverifikasi oleh masing-masing PTAI, statuta bernomor 59 itu menjadi pijakan dalam mengelola PTAI. Statuta yang disahkan pada 25 Februari 2003 oleh Prof DR Said Aqil al-Munawar MA, mengatur semua hal baik hak maupun kewajiban pemegang otoritas di Perguruan Tinggi Islam (PTAI) di seluruh Indonesia.

Salah satu bab dari statuta itu mengatur tentang pemilihan pimpinan PTAI. Berbeda dengan statuta sebelumnya, statuta baru ini dipandang lebih terbuka dan demokratis. Dalam statuta lama, pimpinan PTAI dipilih oleh senat yang bersangkutan. Sedang dalam statuta baru, semua civitas akademika dilibatkan termasuk mahasiswa, meski berbeda satu sama lain di masing-masing PTAI.

Di IAIN Walisongo, senat memutuskan bahwa tata cara pemilihan rektor dan dekan tertuang dalam Bab III Pasal 7. Pasal tersebut menjelaskan, pemilihan rektor dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap I untuk menjaring bakal calon rektor dan tahap II memilih calon rektor.

Tahap I dilaksanakan untuk menjaring bakal calon rektor yang diikuti oleh dosen tetap, mahasiswa program S-1 semester lima ke atas, mahasiswa program pascasarjana semester tiga ke atas dan mahasiswa diploma semester tiga ke atas, yang secara kumulatif, terdaftar pada semester di mana pelaksanaan pemilihan tahap I dilakukan. Suara seluruh dosen dan suara mahasiswa diberi bobot proporsi yang sama, yaitu 50:50 persen.

Sementara tahap II prosesi pemilihan rektor, diikuti oleh seluruh dosen tetap, wakil mahasiswa (BEMI & DPMI) dan seorang wakil karyawan. Pemilihan tahap II tidak dilaksanakan apabila dalam pemilihan tahap I terdapat bakal calon yang memperoleh suara lebih dari separuh bobot proporsi suara dosen dan atau lebih dari separuh suara kumulatif.

Aturan di atas, jelas berbeda dengan aturan sebelumnya (2002) yang tidak melibatkan mahasiswa sama sekali. Prosesi pemilihan hanya dipilih lewat representasi senat yang hanya terdiri dari beberapa gelintir orang

Meski dalam statuta dinyatakan pelibatan karyawan dan mahasiswa dalam Pilderek, namun masih sangat diskriminatif dan setengah hati. tidak semua mahasiswa dilibatkan. Hanya mereka yang semester lima ke atas saja diikutkan dalam prosesi Pilderek tersebut.

Mengapa mahasiswa semester lima ke atas? “Karena mereka paling tidak sudah mengerti peta perpolitikan kampus,” ujar Pembantu Rektor I, Prof Dr Ibnu Hajar M.Ed.

Kesan diskriminatif itu semakin kentara dengan munculnya Surat Edaran (SE) No. Dj.II/PP.10.9/482/2006 yang dikeularkan Departemen Agama RI mengenai revisi statuta yang dikirimkan ke seluruh PTAI se-Indonesia pada 13 Juni 2006.

Tiga helai surat revisi statuta yang di tandatangani oleh H Jahja Umar, Ph.D selaku Direktur Jendral BAGAIS tersebut terdiri dari 14 perubahan item. Salah satu item dalam SE tersebut membahas peran mahasiswa kaitannya dengan prosesi pemilihan pimpinan perguruan tinggi.
Ada salah satu item yang dianggap mempengaruhi peran mahasiswa yaitu Item No 8; “Mahasiswa sebagai pihak yang menuntut dan mengkaji ilmu di perguruan tinggi bukan merupakan komponen yang dilibatkan dan dimobilisasi secara langsung dan formal dalam proses penentuan pimpinan perguruan tinggi agama Islam”.

Revisi dalam item tersebut menafikan keterlibatan mahasiswa dalam Pilderek. Mahasiswa dikembalikan pada tugas asalnya yaitu menuntut dan mengkaji ilmu di PT tersebut.

Presiden BEMI Fauzun Nihayah menilai Surat Edaran itu sangat memojokan mahasiswa. “Mahasiswa diciptakan seperti halnya tahun 1970-an yang hanya bertugas menuntut dan menimba ilmu tanpa ikut andil dalam menentukan kebijakan,” katanya geram.

Ia menambahkan, SE itu juga masih membingungkan dan tidak tegas. Sebab masih ada benturan-benturan antarpoin. “Poin 8 menyatakan mahasiswa tidak dilibatkan. Tetapi di point lain, pemilihan dilakukan oleh civitas akademika. Otomatis mahasiswa ikut di dalamnya,” katanya.

Hadiq, salah satu dari Menteri BEMI juga merasakan hal yang sama dengan Fauzun. “Mahasiswa seharusnya dilibatkan dalam pilderek. eh, ini malah tidak diberi kesempatan sama sekali seperti ini,” keluhnya.

Beda Pelaksanaan
Meskipun statuta yang ditetapkan oleh Depag RI itu sama, namun aturan dan pelaksanaanya di masing-masing PT berbeda-beda. Pelaksanaan pemilihan Ketua STAIN Kudus, misalnya. Setelah suara mahasiswa dan dosen dikalkulasi, kemudian diserahkan kepada senat. Senat lalu melaporkan ke Departemen Pendidikan Tinggi Agama Islam (DIKTI). DIKTI inilah yang memutuskan siapa yang terpilih secara sah.

Di STAIN Kudus, Masyharuddin terpilih sebagai Ketua menggantikan seniornya Prof. Dr. Muslim A. Kadir, MA. Padahal arus bawah, mahasiswa, tidak mengehendaki Masyhar.

“Sebenarnya, wahana pemilihan langsung untuk rektor di kampus tidak berpengaruh sama sekali. Mahasiswa hanya dijadikan lipstick dalam pesta besar itu. Meski mahasiswa diibatkan, toh pada akhirnya senat lah yang memutuskan,” ujar Hamdan, mahasiswa STAIN Kudus 2003.
Lain Kudus lain Salatiga. STAIN Salatiga, pada Pilket (pemilihan Ketua) yang telah digelar 29 November 2005 dan 10 Desember 2005 kemarin, setelah sebelumnya dipilih senat, kini untuk pertama kalinya dipilih oleh dosen tetap. Namun sebelum itu, mahasiswa dilibatkan dalam proses penjaringan bakal calon ketua.

Di sana, ada 14 nama bakal calon yang akan diambil maksimal 6 besar dan minimal 3 besar, yang akan bertarung dalam Pilket periode 2006-2010. Pemilihan dilakukan dalam 2 tahap. Penjaringan bakal calon melibatkan mahasiswa semester 3 ke atas, karyawan dan dosen. Sedang dalam pemilihan calon, hanya dosen tetap dan 2 perwakilan mahasiswa yang memilih.

Menurut salah satu mahasiswa STAIN Salatiga, Harun, Pilket dipandang tidak aspiratif. “Mahasiswa hanya dijadikan kambing hitam, karena tidak dilibatkan secara keseluruhan.”
Di IAIN Sunan Ampel, Pemilihan Rektor (Pilrek) periode 2004-2008 dilakukan secara langsung oleh civitas akademika. Sejak awal Februari 2004, tata cara Pilrek sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan positif dari segenap civitas akademika.

Ada 3 tahapan pemilihan yang dilalui. Yaitu proses penjaringan bakal calon rektor (24/3/2004), penetapatan calon rektor (31/4/2004) dan puncaknya adalah pemilihan rektor itu sendiri (28/4/2004). Sebelumnya, masing-masing calon rektor harus menyampaikan visi misi dan program kerja di hadapan senat insitut dan sivitas akademika.

Mahasiswa semester satu hingga lima tidak dilibatkan dalam pemilihan, karerna dianggap belum memenuhi persyaratan. Mahasiswa semester lima ke atas yang diikutkan.

Aturan yang sama berlaku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pilderek di sana melibatkan dosen, mahasiswa dan karyawan. Sistem pemilihan balon rektor dilakukan melalui tiga tahap, yakni penjaringan, penetapan dan pemilihan calon.

Persyaratan umum calon berusia setinggi-tingginya 61 tahun dan serendah-rendahnya menduduki jabatan fungsional Lektor Kepala. Bersedia dicalonkan menjadi rektor yang dinyatakan secara tertulis, tidak sedang menduduki jabatan rektor periode kedua berturut-turut. Dan secara khusus, calon harus berpendidikan S3.

Selanjutnya adalah proses penjaringan. Panitia Peilihan Rektor (PPR) memilih sekurang-kurangnya tiga orang calon, yang kemudian diajukan ke Senat Institut untuk dilakukan pemilihan lalu diserahkan ke menteri agama untuk diusulkan kepada presiden dan ditetapkan sebagai rektor.

Hampir sama sebenarnya pola pemilihan yang ada di setiap PTAI. Hanya perbedaan – perbedaan kecil yang tidak berarti yang mengemuka di setiap PTAI. Ini tentu karena perbedaan pengelolaan PTAI yang berbeda satu sama lain.

Suara Senat Suara “Tuhan”
Meski banyak perguruan tinggi sudah melibatkan mahasiswanya dalam Pilderek, apapun yang terjadi keputusan mahasiswa, namun toh pada akhirnya keputusan ada di tangan senat. Senatlah yang punya otoritas penuh.

Bahkan ada juga perguruan tinggi yang tidak melibatkan sama sekali mahasiswanya. Terutama sekali perguruan tinggi umum di bawah Diknas (Departemen Pendidikan Nasional) seperti halnya UNDIP dan UNNES Semarang yang baru saja melakukan Pilderek tahun ini.

UNNES, baru saja melakukan Pilderek pada April 2006 lalu. Mekanisme Pilderek diawali dengan rapat senat. Senat membuat tim khusus pelaksanaan Pilderek yang terdiri dari senat, BEM universitas, BEM fakultas dan DPM. Tim tersebut kemudian membuat regulasi atau Juklak Pilderek. Sementara panitia pelaksanaan Pilderek terdiri dari anggota senat, BEM dan UKM. Sedang yang mempunyai suara untuk memilih hanya anggota senat.

Hamdan, Pemimpin redaksi KOMPAS Mahasiswa UNNES menyesalkan mahasiswa tidak dilibatkan dalam Pilderek. “ Debat kandidat pun mahasiswa tidak dilibatkan. Kecuali ketika secara informal BEM Univesitas dan BP2M mengadakan debat kandidat rektor secara independen”.

Nasib Pilerek di UNDIP tak jauh berbeda dengan UNNES. Mahasiwa sama tidak dilibatkan. Namun agaknya dibanding UNNES, UNDIP lebih mendingan karena debat kandidat calon rektor di adakan secara terbuka. Semua civitas termasuk mahasiswa boleh ikut. Tapi, “Lagi-lagi dalam Pilderek, senat lah yang menentukan,” ujarnya kecewa. ***

AMIN FAUZI, Skm Amanat Edisi 107