Hak Sipil ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Hak Sipil

Sunday, August 26, 2007

Agama, Negara dan Penegakkan Hak-Hak Sipil Keagamaan di Indonesia (Memetik Pelajaran dari Kasus Ahmadiyah dan Usman Roy)*
Oleh Eko Marhaendi

Menulis karya tulis bertajuk “Agama, Negara, dan Penegakkan Hak-Hak Sipil Keagamaan di Indonesia” bagi penulis menjadi sebuah tantangan besar. Penulis sebutkan sebagai tantangan karena dua hal: pertama, penulis sendiri baru pertama kalinya terlibat serius dalam sebuah lembaga yang secara khusus mencurahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan pelanggaran hak-hak sipil keagamaan yang mucul di negeri ini, hal ini dengan sendirinya menuntut penulis untuk lebih tajam memperhatikan serta menganalisis berbagai macam kasus yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kedua, dismaping tuntutan tadi, kasus pelanggaran hak-hak sipil keagamaan ternyata masih menjadi persoalan akut di negeri ini yang perlu mendapat perhatian besar, serta menantang kita untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelesaiannya.

Ambilah contoh kasus Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy yang mendapat perlakuan “tak adil” dinegeri yang semestinya keadilan itu dipelihara dengan subur, mengingat negeri ini merupakan negeri “kaum beragama”. Akhirnya kita harus kembali bertanya, “benarkah agama menjadi monitor keadilan dan pencipta suasana kedamaian, atau justru pemicu pertikaian, perpecahan dan penyebab ketidak adilan?”. Ironisnya, yang menjadi “batu sandungan” dua kasus tadi (Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy) adalah umat Islam sendiri sebagai penganut agama yang sama dengan agama yang dianut oleh Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy. Hanya karena beberapa perbedaan penafsiran yang tidak prinsipil, dengan serta merta lantas mereka dianggap sebagai yang keluar dari agama Islam, sesat, dan mesti “dihakimi”. Yang lebih menggelitik lagi, konon ketika penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah sedang marak-maraknya (2006 lalu), Menteri Agama justru mengeluarkan pernyataan yang mengusik pendengaran kita: “seharusnya Ahmadiyah membentuk agama baru”.


Kasus Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy telah memberikan kita sebuah gambaran bagaimana negara (pemerintah), tidak saja belum mampu mawujudkan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, bahkan telah menjadi “pelaku pelanggaran” tersebut. Ironis kiranya jika kita sebut pemerintah sebagai “pelaku pelanggaran” hak-hak sipil keagamaan, meski realitasnya demikian. Apa yang pernah dinyatakan Menteri Agama tentang status keagamaan Ahmadiyah, serta hukuman yang dijatuhkan untuk Usman Roy karena sholat bilingualnya, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak dapat berlaku objektif pada kasus ini. Atau dengan kata lain, pemerintah masih berpihak pada “Islam mayoritas”.

Dengan berangkat dari contoh kasus diatas, tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan kembali wacana agama, negara dan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, bagaimanakah implementasinya, serta menawarkan solusi dan langkah yang dapat diambil untuk mewujudkan penegakkan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia, sebagai persoalan yang masih membutuhkan perhatian besar, baik oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan, maupun masyarakat sebagai komunitas yang bergelut langsung dengan masalah-masalah tersebut.



Relasi Agama -Negara

Setengah abad silam, ketika para founding father akan merumuskan dasar-dasar yang melatari tegaknya Indonesian State (negara Indonesia), muncul sebuah pertarungan besar tentang dasar negara yang harus diberlakukan. Sebagaian besar tokoh Islam ketika itu menginginkan syariat Islam dijadikan sebagai dasar negara dengan memasukkan tujuh kata pada pancasila dan pembukaan undang-undang dasar 1945, pristiwa ini diabadikan sejarah dengan memory “piagam jakarta”. Sedikit mirip barangkali dengan sejarah “piagam madinah” yang pernah terjadi pada masa rasulullah, sunggugpun memiliki perbedaan yang cukup jauh. Keberhasilan founding father memilih pancasila sebagai dasar negara Indonesia tentu bukan sebuah kebetulan sejarah, akan tetapi memilih pancasila tentu merupakan sebuah keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang, mengingat kondisi masyarakatnya yang plural dan beranekaragam.

Pancasila sendiri merupakan ideologi yang cukup unik menurut sebagian pendapat, ia bukan ideologi teokrasi, bukan pula ideologi sekuler. Ini berarti, Indonesia – dengan pancasila – merupakan masyarakat religius yang mengakui eksistensi Tuhan disatusisi, serta memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan disisi lain. Meski demikian ada juga yang memandang pancasila sebagai wajah lain dari ideologi sekuler, pandangan ini datang umumnya dari golongan islamisme yang merindukan syariat Islam tegak sebagai ideologi negara, bagi golongan ini memang tidak ada ideologi yang lebih layak selain Islam, ideologi apapun diluar Islam mestilah sekuler. Sunggugpun pandangan semacam ini tidak sedikitpun “merusak” tatanan pancasila sebagai ideologi yang meniscayakan pluralitas keyakinan keagamaan. Memilih sila “Ketuhanan yang Maha Esa” lebih tepat – barangkali, dari pada memakai sila “menjalankan syariat Islam” meskipun menggunakan embel-embel “bagi pemeluknya”, sebab hal ini akan mereduksi keyakinan yang lain. Bahasa “Tuhan” tentu lebih plural, agama dan keyakinan manapun pasti menuju kesana. Karenanya pancasila tidak mendiskriminasi keyakinan dan agama manapun, tidak pula menjadi penghalang realisasi syariat Islam itu sendiri.

Baru saja – diatas – kita membicarakan sejatinya pancasila, dasolen (babagimana seharusnya), bukan dasein (bagaimana adanya). Jika kasus semisal Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy – sebagaimana disinggung sebelumnya sebagai tolak ukur tulisan ini – kita bawa dalam pembicaraan ini, maka disini kita akan berbicara dasein-nya pancasila. Pancasila yang cukup unik menurut sebagian pendapat, atau arif menurut penulis, sejatinya menuntut keterbukaan masyarakat Indonesia – termasuk umat Islam – untuk toleran dan arif pula menerima perbedaan. Namun, mengapa kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy justru terancam hidup dibumi pancasila?. Siapa yang harus dipersalahkan melihat kondisi ini, pancasila-kah sebagai ideologi?, umat Islam sebagai masyrakat mayoritas? kedua kelompok tadi (Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy) sebagai objek yang dipandang menyimpang? Atau pemerintah sebagai pengambil kebijakan?,

Jika kita menjawab pancasila sebagai ideologi yang salah, maka perlu dipertanyakan pula, ideologi mana yang lebih pantas selain pancasila?. Sekuler, atau syariat Islam-kah?. Mestilah kita menjawab tidak untuk ideologi sekuler, dan mustahil jika harus syariat Islam karena terbukti telah mengalami kegagalan. Indonesia yang plural, yang tidak hanya dihuni oleh umat Islam, membutuhkan sebuah ideologi universal yang toleran terhadap pihak manapun, serta dapat diterima oleh siapapun. Disini, pancasila merupakan sebuah jawaban tepat. Jikapun setelah pancasila ada lantas ditolak (oleh sebagian) dan harus syariat Islam, inilah yang selanjutnya ingin penulis sebut sebagai “egoisme buta” yang pada gilirannya mengancam integritas bangsa.

Jika kita sebut umat Islam yang salah, ada benarnya – dan lebih banyak kelirunya. Tentu harus dipertanyakan kembali “umat Islam yang mana?” NU-kah?, Muhammadiyah, Al-Washliyah, FPI, MUI, atau yang mana?. Pertanyaan ini akan memunculkan perdebatan panjang yang tak kunjung selesai, sebab seluruh kelompok tadi toh tidak rela dikatakan bukan bahagian dari umat Islam, bahkan Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy – sebagai kelompok yang ditolak dari komuniatas Islam. Masalah ini sama rumitnya jika kita menjawab Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy sebagai yang salah, disini kita akan bersentuhan dengan argumentasi imanen, persoalan tafsir, fiqih dan lain sebagainya – yang juga mengalami perdebatan tak kunjung selesai sepanjang sejarah. Tulisan ini, penulis tegaskan, tidak punya kapasitas untuk menyelesaikan perdebatan tersebut, karenanya cukuplah masalahnya sampai disini.

Yang terakhir, mungkin kurang tepat tapi cukup beralasan bagi penulis, bahwa pemerintah – meski tidak harus disalahkan sepenuhnya – memang kurang bijak mengambil kebijakan. Apakah ini berarti – tulisan ini – bermaksud menjustifikasi pemerintah sebagai pihak yang salah?. Dengan melihat relasi agama dan negara di Indonesia, mari kita melakukan sebuah pembacaan!.

Paling tidak, ada tiga bentuk sistem pemerintahan negara terkait hubungannya dengan agama. Dua diantaranya merupakan sistem pemerintahan yang sedang marak diperbincangkan belakangan ini, yaitu sistem kenegaraan sekuler dan teokrasi. Sekuler – sebagaimana yang paling mahsyur – dipahami sebagai “pemisahan antara negara dengan agama”, dan teokrasi merupakan kebalikan dari ideologi sekuler ini, dimana agama tidak dapat dipisahkan dari kebijakan negara. Agama pada sistem pemerintahan sekuler hanya dapat berlaku pada wilayah private, sementara pada sistem teokrasi agama bukan saja tidak dibedakan, bahkan tidak dapat dipisahkan, agama adalah negara dan negara adalah agama, karenanya pada sistem teokrasi harus ada sebuah agama yang dijadikan sebagai agama resmi pada negara bersangkutan.

Pancasila barangkali dapat ditempatkan pada bentuk yang ketiga, tidak sekuler tidak pula teokrasi – jika dapat disepakati bahwa pancasila bukan merupakan bentuk lain dari wajah sekularisme. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” – sebagai pengganti tujuh kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” – mengisyaratkan bentuk pengakuan tersendiri bagi seluruh keyakinan yang ada. Karenanya, di Indonesia tidak menganut satu agama resmi sebagai agama negara, tidak pula menyingkirkan agama sebagai sebuah semangat dalam mengambil kebijakan pemerintahan. Semangat dimaksud tentu bukan semangat satu agama saja, katakanlah Islam sebagai pemeluk mayoritas, prinsip semacam inilah yang pada gilirannya melahirkan gejolak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tapi, semangat agama yang dimaksud harus dipahami sebagai semangat “moral” dan “etika”, menekankan prinsip kejujuran, keadilan dan kebersamaan yang sejatinya diajarkan pada keyakinan dan agama manapun.

Akan tetapi, kita melihat kondisi yang kurang fair dalam hal ini. Jika pancasila telah berhasil dipilih sebagai ideologi negara dengan usia lebih dari setengah abad lamanya, namun nilai-nilai pancasila – dapat dikatakan – belum berhasil diimplementasikan dalam realitas kehidupan negara. Kita harus kembali melihat kasus Jmaah Ahmadiyah dan Usman Roy sebagai “agama” (keyakinan) yang masih belum terlindungi dalam persoalan ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah posisi pemerintah menyangkut hubungan agama dan negara pada sistem pemerintahan yang beridiologikan pancasila?. Jika kita berbicara pada tataran ideal, maka jawaban yang mesti diajukan adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan – menyangkut masalah-masalah yang muncul dalam persoalan keagamaan, dan pemerintah tidak boleh berpihak pada satu agama manapun – meski itu merupakan agama yang dianutnya.

Apa yang penulis tegaskan diatas barangkali senada dengan apa yang pernah ditulis Djohan Effendi, dalam sebuah tulisannya Djohan mengutip penegasan pemerintah (Presiden Soeharto ketika itu), bahwa pemerintah tidak mencampuri masalah intern keagamaan, baik yang berkaitan dengan masalah penafsiran, pengamalan, maupun pelembagaan dari masing-masing umat beragama. Kepala Negara – ditulis Djohan – juga pernah menegaskan bahwa “kita di Indonesia tidak mengenal agama resmi dan tidak resmi”. Pernyataan ini, sebagaimana diungkapkan Djohan, merupakan penegasan atas jaminan konstitusi kita tentang kemerdekaan beragama. Dalam hal ini, Djohan melihat posisi pemerintah – semestinya – wajib memberikan pelayanan kepada semua agama dan tidak terlalu jauh mencampuri keberagamaan umat.

Sampai disini tentu kita dapat melihat secara arif dimana sejatiya posisi dan peran pemerintah dalam masalah keberagamaan umat. Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan pemerintah sudah cukup objektif berada pada posisi dan perannya, jika Jamaah Ahmadiyah harus disuruh membentuk agama baru oleh Menteri Agama – yang notabenenya adalah pemerintah?, atau Usman Roy yang dikawatirkan mengganggu pemahaman umum karena sholat bilingualnya, haruskah di penjara – yang justru tindakan ini mengindikasikan campur tangan pemerintah?. Kondisi semacam ini, persisnya diungkapkan pula oleh Djohan: bahwa kita belum sampai pada kondisi yang semestinya.



Menggagas Sekularisasi Melalui Sekularisme.

Bagaimana agar kita dapat sampai pada kondisi yang semestinya (dasolen) – sesuai dengan falsafah ideologi pancasila? Menurut hemat penulis, ada baiknya kita melakukan pembacaan terhadap gagasan pemikiran Nurcholish Madjid (baca Cak Nur) tentang sekularisasi sebagai proyek terbesar sepanjang hidupnya. Penulis melihat, gagasan sekularisasi yang dikampanyekan Cak Nur sejak 1970-an, senyatanya menjadi kunci jawaban pada persoalan yang kita hadapi saat ini,– atau kita bicarakan pada tulisan ini. Yang menjadi persoalan adalah, kita menemukan masalah yang cukup pelik pada gagasan sekularisasi Cak Nur. Pasalnya, istilah sekularisasi kerap disandingkan dengan sekularisme sebagai ideologi yang pernah muncul di wilayah Eropa, yang menginginkan pemisahan otoritas gereja dari kebijakan negara. Sejarah sekularisme tersebut, tentu membawa dampak tersendiri terhadap proyek sekularisasi Cak Nur. Padahal Cak Nur sendiri – sebagaimana yang sering ditegaskannya – membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, sekularisasi bagi Cak Nur merupakan sebuah proses sosial, sedangkan sekularisme ideologi yang memang mesti dihindari.

Msaalahnya semakin bertamabah pelik ketika Dawam Rahardjo tampil kehadapan publik dengan mengkapanyekan sekularisme untuk meradikalkan gagasan sekularisasi Cak Nur. Kondisi ini tentu, malah dapat dipastikan, akan memperkuat anggapan yang selama ini muncul, bahwa sekularisasi akan mustahil tanpa sekularisme. Jika benar Dawam hadir untuk meradikalkan ide sekularisasi Cak Nur, maka kita harus yakin sekularisme yang dimaksudnya adalah penghayatan yang lebih mendalam tentang gagasan sekularisasi Cak Nur, bukan ideologi yang pernah berkembang di Eropa, yang menginginkan pemisahan agama dari kebijakan negara. Meskipun demikian, istilah sekularisme yang digunakan Dawam tentu akan berbenturan dengan istilah sekularisme yang banyak dipahami orang selama ini. Akhirnya, kita harus rela menyita waktu untuk memperdebatkan satu istilah yang sama dengan makna dan tujuan yang berbeda. Menurut hemat penulis, inilah yang mesti didiskusikan terlebih dahulu sebelum kita membahas sekualrisasi yang penulis pandang sebagai kunci jawaban atas masalah yang dibahas pada tulisan ini.

Frangki Budi Hardiman, dalam makalah yang disampaikan pada kegiatan intermediate training Jarik di Jakarta April-Mei 2007 lalu, menegaskan: jika kita memusatkan perhatian pada efek negatif sekularisasi, maka sekularisasi dapat mendorong kita pada ektrem atau ekses, yaitu suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong, mengingat pada sekularisasi doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasikan didalam politik, sehingga efek positif yang dapat dilihat adalah toleransi agama. Berangkat dari catatan ini, dapatkah Dawam Rahardjo kita tempatkan sebagai vigur yang telah mengalami ekstrem atau ekses sebagaimana dimaksud Franki pada tulisannya?.

Disini penulis melihat pemaknaan yang bias terhadap istilah “meradikalkan” yang dilabelkan kepada Dawam terkait dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Terlepas apakah istilah “meradikalkan” tadi merupakan terms yang digunakan oleh Dawam sendiri, atau pelabelan yang diberikan untuknya, istilah ini – menurut penulis – membawa dampak tersendiri yang melahirkan kesan adanya sesuatu yang “berlebihan”. Jika demikian, maka Dawam dapat ditempatkan sebagai vigur yang telah mengalami ekstrem atau ekses sebagaimana disinggung sebelumnya.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Apa yang dimaksudkan Frangki dengan pluralisme sebagai yang mesti diwaspadai – karena alasan masyarakat Indonseia yang cendrung religius, tentu tidak dapat disejajarkan dengan sekularisme yang dikampanyekan Dawam, ini adalah rumusan yang perlu dipertegas. Dawam sendiri, dalam mengkapanyekan sekularisme sebagai sebuah pilihan toh tidak mengingkari adanya konsekuensi decline of religion, dan ini mesti dihindari – tegas Dawam. Disini kita melihat bahwa sekularisme yang dimaksud Dawam tentu bukanlah sekularisme sebagai yang dikhawatirkan banyak orang selama ini, sebuah ideologi yang meniscayakan adanya decline of religion. yang mengakibatkan tersingkirnya eksistensi agama

Kita tinggalkan sejenak debat soal sekularisme, sekarang mari kita lihat apa yang dimaksud Cak Nur dengan proyek sekularisasinya. M. Deden Ridwan menyebutkan, titik tolak Cak Nur dalam memahami istilah ini (sekularisasi) sangat bersifat sosiologis, bukan ideologis. Tentang hal ini, Cak Nur banyak mengutip Talcott Parson dan Harvey Cox, yang menyebutkan bahwa sekularisasi lebih banyak mengisyaratkan pengertian “kebebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan dalam hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemasyarakatan itu”. Deden selanjutnya mengutip Harvey Cox – sebagaimana dikutip Cak Nur – dengan menuliskan:

….sekularisasi merupakan sebuah proses sejarah, tesis yang hampir pasti tidak bisa diubah, dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari pengawasan nilai-nilai agama dan pandangan dunia tertutup. Kami berpendapat, bahwa secara mendasar sekularisasi adalah proses pembebasan, sedangkan sekularisme adalah nama bagi sebuah ideologi, suatu pandangan-dunia yang tertutup yang banyak berfungsi seperti agama baru.

Bertolak dari pandangan diatas, Cak Nur menegaskan – sebagaimana ditulis Deden – sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme, melainkan suatu proses pembebasan atau “menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk mengukhrawikannya. Lebih jauh Deden meuliskan:

Sekularisasi, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, menurut Nurcholish, substansi sekularisasi itu adalah memecahkan dan memahami masalah-masalah dunia dengan menggunakan rasio. Dalam pada itu, rasionalisasi yang berkonotasi berfikir ilmiah dimungkinkan, kalau dunia sebagai objek pemikiran ilmiah dibebaskan dari mitos-mitos yang mensakralkannya. Jadi, ia dapat ditundukkan pada dan direkayasa bagi kepentingan manusia. Desakralisasi, demitologisasi, atau sekularisasi mengimplisitkan “devaluasi radikal” terhadap objek-objek mitologi: diturunkannya nilai-nilai sakral menjadi objek yang hanya mengandung kegunaan praktis saja. Maka, demikian Nurcholish, segala sesuatu harus tetap dikembalikan kepada prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, dimana orang harus mantap dan tidak “mentabukan” sesuatu, kecuali Tuhan sendiri.

Dengan melakukan pembacaan pada proyek sekularisasi Cak Nur – berdasarkan kutipan-kutipan sebelumnya, tampak dengan jelas bahwa Cak Nur memahami sekularisasi sebagai sebuah keharusan sejarah bagi umat Islam. Terkait dengan masalah yang sedang kita bicarakan pada tulisan ini – relasi agama dan negara serta hubungannya dengan penegakkan hak-hak keagamaan, maka dapat disimpulkan bahwa proyek sekularisasi Cak Nur menjadi sebuah kunci jawaban dalam memecahkan persoalan kita pada tulisan ini. Pasalnya, yang menjadi benturan relasi agama dan negara di Indonesia hari ini adalah umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas. Umat Islam sebagaimana realitasnya, tampak telah mendominasi elit politik dan pemerintahan di Indonesia, sehingga wacana yang sering kali muncul adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak boleh lari dari mainstrem Islam.

Kita dapat dengan mudah membuktikan pernyataan ini. Ambilah contoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk untuk kepentingan umat Islam, mengapa pengaruhnya begitu besar terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah?. Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy boleh jadi merupakan “korban” dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipengaruhi oleh lebaga-lembaga tadi – Departemen Agama, atau MUI misalnya.

Karenanya, menggagas sekularisasi di Indonesia merupakan persoalan yang penting – bagi penulis. Mungkin proses sekularisasi itu sendiri sudah berjalan dengan sendirinya, sebagai sebuah proses sejarah seperti yang ditegaskan Cak Nur, atau sebagai teseis yang hampir pasti tidak bisa diubah – meminjam istilah Hervey Cox. Namun demikian, penting pula digaris bawahi, kesadaran pentingnya sekularisasi masih belum tumbuh pada masyarakat Indonesia, apalagi umat Islam. Kita butuh penegasan dan penekanan akan pentingnya sekularisasi tersebut tentunya dengan “sekularisme” yang tidak harus dipahami sebagai pemisahan agama dan negara, melainkan– menurut pemahaman penulis sendiri –proses yang harus lebih ditekankan melalui sebuah pemahaman. Berangkat dari kesadaran pentingnya sekularisasi ini pula – brangkali, vigur seperti Dawam Rahardjo tampil kehadapan publik mengkampanyekan sekularisme untuk meradikalkan gagasan Cak Nur. Penulis sendiri meyakini, sekularisasi toh akan mustahil tanpa “sekularisme” – dalam tanda petik.



Mempertimbangkan Visi Pluralisme

Langkah yang juga penting menurut penulis – mengingat contoh kasus diatas – adalah “menimbang ulang visi pluralisme” dengan cara “mengkaji ulang pluralisme”. Mengapa harus menimbang visi pluralisme dan mengkaji ulang pluralisme?, ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban serius. Pasalnya, pluralisme ditentang oleh mayoritas umat Islam, apalagi ketika istilah pluralisme telah masuk kedalam “catatan harian” MUI sebagai sesuatu yang difatwakan haram, jelas hal ini semakin memperkuat alasan penolakan tersebut. Padahal disisi lain, pluralisme menyimpan sebuah visi yang luhur bagi pluralitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang mampu menciptakan integritas bangsa. Pluralisme karenanya, mestilah merupakan cita-cita yang harus diwujudkan bersama, dan masalah yang perlu dipertimbangkan adalah umat Islam – sebagai masyarakat dominan – menolak visi luhur tersebut. Maka, yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang pluralisme itu sendiri, mengapa umat Islam menolak, dan seberapa pentingkah pluralisme itu mesti diwujudkan.

Pluralisme seyogianya menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang plural, Indonesia sendiri pada prinsipnya merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak oleh umat Islam – sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia. Toh umat Islam tidak mengingkari pluralitas sebagai sebuah kenyataan, lantas bagaimana pada saat yang sama justru pluralisme – sebagai yang lahir dari pluralitas – ditolak oleh umat Islam?. Bahkan, dalam sebuah kesempatan penulis pernah berdialog dengan aktivis HTI seputar khilafah Islamiyah, penulis bertanya: seandainya cita-cita membangun khilafah Islamiyah yang diperjuangkan rekan-rekan HTI dapat terwujud suatu saat, apakah pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah) ketika itu bisa mengakomodir kelompok-kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah, JIL atau komunitas Lia Eden – misalnya, sebagai sebuah realitas pada wilayah kekuasaannya?, tanpa celah panjang aktivis HTI tadi menjawab “bisa”, malah ditopang dengan argumentasi bahwa Rasulullah pernah menjadikan seorang Yahudi sebagai salah satu juru tulisnya. Ini sebuah jawaban luar biasa menurut penulis, yang menunjukkan mereka juga tidak mengingkari pluralitas, justru memberikan jaminan terhadap pluralitas (dengan mengakomodir berbagai kelompok tadi), bukankah hal ini merupakan wujud nyata dari pluralisme itu sendiri?

Ibarat sayur tanpa garam, menolak pluralisme ditengah keniscayaan pluralitas tentu akan menjadikan sesuatu itu “tidak berasa” sama sekali. Tidak ada pluralisme tanpa pluralitas, sebaliknya pluralitas mustahil dibangun tanpa pluralisme, yang ada malah disintegrasi masyarakat yang pluralistik akibat tidak terbangun sebuah pemahaman yang sama ditengah aneka macam perbedaan. Karenanya, bagi masyarakat yang plural, pluralisme mestilah menjadi sebuah keharusan. Hanya orang yang kesehatannya terganggu yang menginginkan “sayur tanpa garam”.

Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan terhadap pluralisme oleh umat Islam yang hidup ditengah masyarakat yang plural, terlebih Indonesia. MUI misalnya, sebagai lembaga tempat berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas sebagai sebuah keniscayaan, namun tetap saja mengharamkan pluralisme sebagai faham yang harus dihindari umat Islam. Alih-alih kang Jalal – dalam sebuah wawancara yang dilakukan tim redaksi buletin “kebebasan” – menyebut MUI tidak paham dengan “pluralisme sebagai gejala sosiologis”, sembari menempatkan Dawam Rahardjo sebagai pluralisme politis, serta mengisyaratkan dirinya sebagai pluralisme teologis. Jika demikian, wajarlah pluralisme mendapat penolakan karena maknanya masih bias dan belum mampu “didudukkan”.

Sepanjang yang pernah penulis baca dan coba pahami, beberapa tokoh pluralis ternyata mengkonsentrasikan pemikiran dan sikap pluralismenya pada beberapa persoalan yang berbeda, sungguhpun masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang lainnya. Pluralisme diyakini lahir sebagai gejala sosiologis dengan kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya, perlu dibangun sebuah kesepemahaman guna menghindari konflik dan benturan dalam interaksi individu maupun kelompok. Lihat misalnya defenisi pluralisme pada wikipedia berbahasa Inggris, yang dimaknai sebagai “pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa Indonesia : “Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan).

Apa substansi yang ingin dilahirkan dari pluralisme?, barangkali inilah pertanyaan yang tepat untuk mengukur seberapa penting pluralisme ditegakkan. Dan untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita harus berangkat dari “kekhawatiran” orang-orang yang menolak pluralisme tersebut. Umat Islam misalnya, menolak pluralisme karena dikhawatirkan akan mengarah pada sikap relativisme, singkritisme dan nihilisme. Analoginya persis seperti yang dicontohkan Adian Husaini: Juma’at sembahyang ke Mesjid, Minggu kebakatian di Gereja dan sekali waktu beribadah ke Vihara. Penulis menduga, kebanyakan orang yang menolak pluralisme dikarenakan kekhawatiran semacam ini, dan penulis ingin menegaskan “ini merupakan kekhawatiran yang keliru”.

Menurut hemat penulis, pluralisme dan relativisme – atau sejenisnya, mestilah menjadi dua persoalan yang harus dapat dibedakan. Pluralisme berangkat dari kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan, kita hanya dapat berafilisai dengan komunitas yang berbeda tadi dengan menjadikan pluralisme sebagai titik tolaknya, kalau relativisme justru sebaliknya, menganggap semuanya sama. Substansi pluralisme sendiri adalah “toleransi” dalam melakukan interaksi satu sama lain. Inilah yang penulis anggap sebagai visi luhur pluralisme, baik pluralisme sosiologis, politis maupun teologis, menginginkan lahirnya sebuah suasana yang disebut dengan “toleransi”.



Penutup

Tulisan ini sedikit banyak telah memberikan pengantar untuk melakuka pembacaan terhadap kondisi Indonesia sebagai “negeri kaum beragama” yang belum mencerminkan spirit umat beragama. Pada setiap agama manapun, selama itu masih agama, mestilah diajarkan sikap menghargai dan menghormati yang lain. Sayangnya, Indonesia sebagai “negeri kaum beragama” belum mampu mewujudkan apa yang diajarkan oleh agama. Sebab, kita masih melihat ada diskriminasi dan tindak ketidak adilan yang dilakukan oleh segelintir pihak – atau hampir semua pihak, terhadap saudara kita seperti Jamaah Ahmadiyah dan Usman Roy. Mereka belum memperoleh jaminan “kebebasan” untuk beragama di negeri ini, inilah PR, tugas dan tanggung jawab bersama sebagai masyarakat.

Didepan, penulis telah menawarkan langkah dan solusi yang penulis nilai sebagai solusi tepat untuk menegakkan hak-hak keagamaan di Indonesia. Mungkin solusi ini adalah solusi yang jauh hari sudah dikumandangkan orang-orang terdahulu, hanya karena dinilai kurang tepat, bahkan bukan solusi sehingga langkah seperti “sekularisasi” dan “pluralisme” juga masih sulit ditegakkan. Namun, sebagai manusia yang menginginkan perubahan, penulis, juga rekan-rekan sejalan, dapat dipastikan tidak akan bosan untuk menawarkan dan merealisasikan langkah-langkah tersebut.





* Ditulis sebagai persyaratan mengikuti Advance Trauining dan Trainer of Trainer Jaringan Islam Kampus (Jarik) di Jakarta pada tanggal, 18-28 Agustus 2007

Penulis adalah Kordinator Jarik Medan-Sumatera Utara, Kontributor pada Komuniotas Penulis Lepas di situs: www.penulislepas.com. Sekjend Himpunan Mahasiswa Al-Wahliyah Kota Medan, dan Mahasiswa Program Komunikasi Penyiaran Islam Fak. Dakwah IAIN Sumut (Semester akhir)



Reference

1. Buletin Kebebasan No 03/ V/ 2007
2. Dawam Rahardjo. Agama di Ranah Publik. (Buletin Kebebasan Edisi No 1/ XI/ 2006)
3. Djohan Effendi. Jaminan Konstitusional Bagi Kebebasan Beragama di Indonesia pada Pasing Over: Melintasi Batas Agama (Editor: Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF). Diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta. 1998
4. F. Budi Hardiman. Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. (makalah: disampaikan pada kegiatan Intermediate Training dan Konfrensi Nasional Jaringan Islam Kampus, Jakarta 27 April-2 Mei 2007).
5. Franz Magnis Suseno. Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Dikutip dari Modul Pelatihan Jarik 2007
6. Gerg Barton. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dab Abdurrahman Wahid. Diterbitkan atas Kerjasama Paramadina dan Pustaka Antara. Jakarta. 1999
7. Iqbal Hasanuddin. Sekularisme dan Revitalisasi Islam Publik. Pada Buletin Kebebasan No 01/ IX/ 2006
8. M. Deden Ridwan. Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan. Penerbit Belukar. Yogyakarta 2002
9. Oliver Roy Gagalnya Islam Politik. Penerbit Serambi. Jakarta 1996.
10. Fatwa MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005
11. www.islamlib.com
12. www.wikipedia.org