Allah Bukan Tuhan Umat Islam ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Allah Bukan Tuhan Umat Islam

Friday, April 27, 2007

Paradigma Pemahaman Liberal, Allah Bukan Tuhan Umat Islam?
Eko Marhaendy

Dalam sebuah kesempatan saya membaca tulisan sdr. Mukhlish, seorang mahasiswa di Fak. Dakwah IAIN Sumatera Utara Medan berjudul Paradima Pemahaman Liberal; Allah Bukan Tuhan Umat Islam. Beliau mengaku menyajikan tulisan ini dengan berangkat dari sebuah lembaga Sains Community Study Club. Dalam tulisannya tersebut beliau mempertanyakan siapa, bagaimana. Serta dimana Tuhan? yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa “Allah bukan Tuhan umat Islam”.

Sejujurnya, saya butuh waktu yang cukup panjang untuk memahami tulisan sdr. Mukhlish bertajuk Paradigma Pemahaman Liberal; Allah Bukan Tuhan Umat Islam. Pasalnya, saya menemukan kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi persoalan dalam tulisan tersebut, persoalan Tuhankan?, atau persoalan pemahaman liberal?. Bahkan, saya hampir menyimpulkan bahwa sdr. Mukhlis ingin memaparkan: “Allah bukan Tuhannya umat Islam menurut pemahaman liberal”.

Namun, dengan telaah yang sederhana, akhirnya saya menyadari sdr. Mulhlish sesungguhnya ingin menyingkap wacana Ketuhanan dengan mengaitkannya terhadap pemahaman liberal sebagai sebuah komunitas yang menjadi perbincangan hangat dalam dunia Islam Indonesia belakangan ini. Sayangnya, wacana menarik yang beliau lontarkan tidak memberikan penyelesaian yang jelas, sehingga mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. Karenanya, dalam uraian sederhana ini saya akan memaparkan terlebih dahulu sekelumit persoalan “Ketuhanan”, selanjutnya menyinggung sedikit fenomena liberal yang juga disinggung dalam tulisan sdr. Mukhlis.

Wacana “Tuhan” Ditinjau dari Beberapa Aspek
Dalam sebuah dialog kecil, Kautsar Azhari Noer memberikan pernyataan kepada seorang pegawai kantor Depag yang kebetulan beragama Budha. Beliau mengatakan bahwa agama Budha tidak memilki konsep yang jelas tentang Tuhan, bahkan Sidharta Ghautama tidak pernah memberikan pemehaman yang jelas tentang Tuhan. Pegawai tersebut merespon pertanyaan Kautsar dengan mengatakan: Islam sendiri mencoba membatasi Tuhan, Islam mengatakan Tuhan “begini dan begitu”, Islam mencoba melekatkan nama Tuhan, Islam mencoba mendefenisikan Tuhan yang tak terbatas dengan bahasa manusia yang serba terbatas (sumber: artikel Paramadina)

Tuhan sebuah kata yang mudah disebut namun sulit untuk dibuktikan, bahkan ada kesan “membingungkan” ketika Tuhan dibicarakan, karenanya Tuhan “tak perlu dibicarakan”. Akan tetapi ada pula yang justru merasa senang ketika membicarakan Tuhan, ada kepuasan bathin tersendiri saat Tuhan dibicarakan, sebab seperti yang pernah disebutkan seorang aktivis JIMI (Jaringan Intelektual Muda Islam), zikir yang hakiki bukanlah mengucapkan “lafazh-lafazh” tanpa pernah mengerti makna, namun zikir yang hakiki adalah ketika Tuhan dibicarakan.

Dalam sebuah materi ketuhidan yang disampaikan disalah satu kegiatan pelatihan di kota Medan, pemateri dengan meminjam pendapat Mukti Ali menyebutkan bahwa essensi Tuhan dalam wacana Tauhid bukanlah Tuhan yang “esa” (satu), akan tetapi “Tuhan pemersatu”. Pemersatunya Tuhan dapat dilihat dari sifat-sifat yang dilekatkan kepada-Nya, yang essensinya adalah sifat manusia, namun ditambah dengan sifat “maha”, totalitas dari sifat-sifat manusia itulah yang menunjukkan Tuhan sebagai pemersatu. Oleh karenanya tauhid yang sempurna adalah ketika manusia mampu merasakan bahwa mereka berasal dari sumber yang satu, dan tauhid akan sompel manakala manusia merasa ada perbedaan diantara mereka.

Pada kesempatan lain, seorang dosen dalam perkuliahan meminta mahasiswanya untuk memaparkan Tuhan menurut persepsi masing-masing. Dapat dipastikan, tidak ditemukan satu persepsi yang sama tentang “bagaimana Tuhan”, sungguhpun mereka setuju Allah adalah Tuhan mereka. Melihat kondisi tersebeut, sang dosen dengan gamblangnya mengatakan “jangan-jangan Tuhan kita berbeda”. Jika persepsi yang diminta, maka tidak dapat dibantah bahwa Tuhan masing-masing bisa saja berbeda. Apalagi Tuhan sampai hari ini hanya dapat dibuktikan dialam ide, kebenaran Tuhan tidak dapat dibuktikan secara koresponden, melankan praghmatis.

Masih tentang Tuhan, meminjam keyakinan umat Nasrani, kita dapat melihat sosok Tuhan sebagai zat tunggal yang patut diper-Tuhankan. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Kitab: “Allah benar yang tunggal (Eloah) adalah satu-satunya Tuhan, sebelum dia tidak ada Allah dibentuk, dan sesudahnya tidak akan ada lagi” (Yesaya/ 43: 10). Terlepas dari keyakinan masing-masing, dalam tataran ini tampak adanya kesamaan memahami konsep Tuhan diantara pemelu Nasrani dan umat Islam. Lihatlah bagaimana Tuhan dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai “Tuhan yang esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tiada yang setera dengan-Nya” (al-Ikhlash/ 112: 1-3) Dari beberapa wacana yang dipaparkan diatas kiranya telah cukup membantu kita untuk memahami – paling tidak – sedikit saja konsep tentang Tuhan, atau justru kita akan semakin khawatir menyimpulkan “apa dan bagaimana Tuhan”, sehingga membatasi diri hanya dengan cukup “mengimani-Nya” saja. Saya sendiri tidak mempunyai keberanian yang besar untuk menyimpulkan secara mutlak konsep Tuhan, hanya saja mengetahui Tuhan sebagai zat yang di Tuhankan menjadi harus jika kita mengaku ber-Tuhan. “Aku hanya dapat diketahu lewat prasangka hamba-Ku, maka berprasangka yang baiklah tentang Aku” kata Tuhan dalam sebuah hadits kudsi. Setidaknya hadits ini dapat membantu kita untuk lebih terarah mengenal Tuhan.

Liberal dan Pemahaman Ketuhanan
Ada sebuah stigma yang muncul dikebanyakan masyarakat Islam tentang pemahaman liberal (khususnya JIL, baca: Jaringan Islam Liberal), bahwa mereka berupaya menyamakan seluruh agama yang ada. Pertanyaannya: apa benar demikian?. Argumentasi pembenaran stigma tersebut antara lain dapat dilacak dalam buku yang ditulis Hartono Ahmad Jaiz: Membongkar Bahaya JIL dan FLA, sebuah karya yang menunjukkan kesesatan JIL dan buku Fiqih Lintas Agama (FLA) yang mereka terbitkan dengan alasan adanya upaya-upaya menyamakan seluruh agama. Sebagai contoh: kasus dibolehkannya menjawab salam orang diluar Islam, pernikahan beda agama atau doa bersama, yang menurut kebanyakan ulama “haram” dalam ajaran Islam (baca: Fiqih Lintas Agama)

Sebagai perbandingan, Nurcholish Madjid tentang pluralitas agama – sebagai salah satu yang diusung JIL – menuliskan: “…Tuhan telah membangkitkan pengajar penganut kebenaran (nabi, rasul) kepada semua umat manusia tanpa kecuali, dan pada inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang disebut al-Islam (dalam makna generik-pen), maka sesungguhnya dialog (inklusivisme-pen) adalah sesuatu yang tidal saja dimungkinkan, malah diperlukan jika tidak dikatakan harus (Nurcholish Madjid. Dialog Agama-Agama Dalam Perspektif Universalisme al-Islam dama Pasing Over; Melintasi Batas Agama. Paramadina dan Gramedia Pustaka. Jakarta. 1999. h: 19) dari sini dapat kita lihat bahwa kehadiran pemahaman liberal sesungguhnya ingin mempersepsikan wacana Ketuhanan yang satu dan sama dengan pendekatan “theologi wahyu”. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa konsep Tuhan yang tidak terbatas mustahil dirasionalkan dengan kemampuan akal manusia yang serba terbatas, maka hanya ada satu kata bahwa “Tuhanku-Tuhanmu dan Tuhan kita” essensinya merupakan Tuhan yang satu, Tuhan yang hanya mungkin diketahui melalui prasangka manusia.

Tak jarang manusia bertengkar hanya karena persoalan “Tuhanku-lah yang sebenarnya Tuhan, bukan Tuhan-mu”, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan, maka berdasarkan wacana inilah JIL dilahirkan. Dengan semangat pluralitas dan kebersamaan yang pada intinya menuju kepada Tuhan yang satu. Hal ini pula yang memungkinkan Islam hanya dapat dipandang sebagai agama rahmatan lil’alamin yang mampu bertahan disegala zaman, bukan Islam yang berwajah “sangar dengan istilah yang selalu dipropagandakan barat “pedang di tangan kanan, al-Qur’an di tangan kiri”

Penutup
Akhirnya, sajian sederhana ini hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu hasil dialog positif untuk meluruskan wacana yang dimunculkan dalam tulisan sdr. Mukhlish. Persoalan Allah bukan Tuhan umat Islam, atau justru Allah Tuhannya segala umat, agaknya hanya segelintir perbedaan bahasa untuk menyebutkan Tuhan, yang pada intinya Tuhan hanya dapat dipersepsikan melalui prasangka manusia.

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK) Sumut