Pluralisme Ala Fathi Osman ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Pluralisme Ala Fathi Osman

Friday, April 20, 2007

REVIEW BUKU
Pradewi [T]ri [C]hatami

Judul Buku : Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan
Pengarang : Mohamed Fathi Osman
Penerbit : PSIK Universitas Paramadina

Agama dan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, agama menjelma berbagai rupa. Ia kadang tampil sebagai institusi rigid dengan sekumpulan sanksi. Adakalanya, ia menjadi tali pedoman dalam gua gelap kehidupan, ia yang menentukan arah mana yang boleh, terlarang, atau dianjurkan. Kali lain wajahnya mengemuka sebagai lembaga yang memiliki otoritas kepada manusia agar ia dapat punya otonomi. Agama, kerap pula merupa anjing penjaga—mungkin juga satpam atau hansip—yang bertugas menjaga kesatuan dan keajegan masyarakat.

Fungsi agama yang terakhir kadang mengundang permasalahan tersendiri. Terkadang ia begitu elegan sebagai pengikat, pada simpul waktu lain ia menjadi gunting pemotong solidaritas. Barangkali karena itu berbincang mengenai agama selalu riskan, namun juga mustahil terhindarkan. Bagaimana mungkin? Apa sebab ia sevital itu?

Sepanjang peradaban manusia, agama terbukti mejadi mantra paling ampuh dalam memengaruhi manusia—baik atau buruk. Karena agama, kekuasaan Roma begitu perkasa. Juga Islam. Peperangan antara keduanya, meski sebenarnya bermotifkan hal lain, namun menjadi begitu penuh luka ketika simbol agama turut bermain.

Barangkali, agama, yang berhubungan dengan hal-hal ilahiah dan menyebabkan ia sakral, dan menimbulkan sense of belonging yang khas. Adanya praktek ritual bersama-sama menimbulkan ikatan spiritual yang kuat dan mendalam. Bersama-sama memuja Tuhan yang sama, mempercayai ajaran yang sama, menjalankan ritual bersama-sama, memakai simbol yang sama, juga penekanan tentang janji keselamatan bersama-sama di kehidupan akhir boleh jadi merupakan beberapa faktor kunci agama sebagai pengikat masyarakat. Maka, jika salah satu faktor terganggu, konflik bukan tak mungkin dihadapi.

Misalnya saja, kasus-kasus seperti penyerangan Ahmadiyah. Mengapa Ahmadiyah bisa diserang? Jika kita melihat faktor-faktor diatas, saya berasumsi bahwa adanya klaim keanggotaan agama tertentu, namun di satu sisi Ahmadiyah menggunakan citra simbol suci untuk sesuatu yang lain. Mau tak mau, ketika seorang Mirza G. Ahmad disebut nabi, mereka dianggap melanggar pakem ajaran, melanggar apa kata Tuhan. Janji Tuhan. Atau barangkali, merasa dikhianati Tuhan? Kalau begitu, untuk apa? Saya percaya Tuhan bukan pengkhianat. Jika ia begitu, maka ia bukan Tuhan, dan kita tidak perlu cemas..

Agama, agama, agama. Mengapa mesti ia memercik api konflik? Bukankah inti keberagamaan bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia? Agama adalah pemberian Tuhan untuk kehidupan manusia, agar manusia dapat merasakan kedamaian, ketentraman, segala hal yang dapat membawa kehidupan yang lebih baik. Adakah manusia salah memahami pesan ini? Bagaimana mungkin?

Mungkin, tak ada yang salah antara agama dan manusia. Barangkali ada hal yang lebih tersembunyi, seperti pesan-pesan dalam botol yang tak kasat mata. Mungkin juga pesan itu terang-terangan, pewarisan dendam dari leluka lampau yang tak jua mengering. Atau barangkali juga, sebenarnya kebencian yang disistematisasi demi kepentingan-kepentingan yang samasekali tak ilahiah?

Dalam ajaran agama, kebencian relatif tak diperlukan. Agama butuh dihidupi dengan cinta dan nalar yang jernih, pemahaman yang terbuka, hingga kita dapat menginsyafi keragaman sebagai keniscayaan, dan hidup bersama dalam sikap terbuka dan saling menerima satu sama lain dapat mengantar kita to the next level.

Maka disinilah kita perlu membaca buku ini. Lewat Osman, kita dapat mengenali pluralisme lebih dekat.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi moral adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, disatu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan (M. Fathi Osman, 2006; hal 3)

Buku ini mengandung harapan, semoga dengan pluralisme, kerukunan antar umat [yang] beragama dapat mewujud. Tentu, setelah rukun, minimalisasi konflik bukan lagi mimpi. Fathi Osman, begitu teliti dalam menghadirkan sosok pluralisme, dengan dalil Al-Quran, hingga alasan filosofis. Ia dapat begitu elegan memperkenalkan pluralisme. Ia layak dapat applause yang meriah.

Saya juga mesti mengucap salut kepada Budhy Munawar-Rachman yang memberikan pengantar yang tak sekedar. Pegantar yang cukup rancak, yang kadang membuat saya membalik urutan ketika membaca buku.


*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Women Studies Centre
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com