Islamkan IAIN ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Islamkan IAIN

Friday, April 27, 2007

Mengislamkan Orang IAIN
Jhellie

PADA 7 hingga 9 Januari 2007, saya berkesempatan mengikuti pelatihan Jaringan Islam kampus (Jarik) yang diadakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta di Mataram. Di acara itu saya –dan peserta dari berbagai kampus di NTB- difasilitasi oleh intelektual-intelektual Islam garda depan seperti Prof. Dr. Dawam Raharjo, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor dan Neng Dara Mahmudah.

Di salah satu sesi dengan tema “Teologi Islam Tentang Agama-Agama” saya dibuat kaget. Apa Pasal? Sebab Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor bertanya kepada saya tentang tiga hal substansi. Pertanyaannya pertama : Apakah semua agama mengandung kebenaran dan keselamatan?. Kedua : Apakah ada perbedaan antara kitab suci ummat Islam dengan kitab-kitab suci ummat agama lain? Dan pertanyaan ketiga : mengapa anda menganut agama Islam?. Sebelum saya menjawab, pak Kautsar wanti-wanti agar jawaban saya hanya boleh antara “iya” atau “tidak”. Saya tidak diperkenankan memberi alasan tambahan sedikit pun.

Karena latar belakang dan pengetahuan peserta pelatihan berbeda-beda jawaban yang keluar dari masing-masing peserta tampak sangat beragam. Dan saat tiba giliran saya menjawab.

Saya jadi bingung, “Ini persoalan iman apa perlu saya jawab?” kata saya. “Sangat perlu” balas pak Kautsar. Maka saya jawab saja. Untuk pertanyaan pertama, apakah semua agama mengandung kebenaran dan keselamatan? Saya jawab “Iya”. Pertanyaan kedua, apakah ada perbedaan kitab suci ummat Islam dengan kitab suci ummat agama lainlain?. Saya jawab “Tidak”. Dan pada pertanyaan ketiga saya tercekat, tapi tak lama, dari mulut saya keluar kalimat, “Saya menganut Islam karena saya masuk IAIN” Ups!.

Mendengar jawaban saya yang terakhir, teman-teman peserta terlihat sewot kepada saya. Bahkan ada yang langsung berkomentar “Lho..apa dong agamamu sebelum masuk IAIN? Kristen ya?”. Waktu itu saya ingin sekali langsung memberi tanggapan? Tapi sayang, pak Kautsar hanya menginginkan jawaban sependek itu.

Sekarang, tiba-tiba saya tergelitik lagi untuk mengemukan alasan saya itu, karena saya melihat telah terjadi perubahan orientasi -walau berjalan samar-samar- dikampus bernama IAIN ini dan kemungkinan juga akan membuat saya berfikir untuk mencabut ulang jawaban saya itu. Tapi apa sebenarnya alasan saya menjawab Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor saat pelatihan yang menguras fikiran itu?.

Sebelum masuk IAIN saya memang merasa Islam banget. Islam yang sama persis seperti islamnya teman-teman mahasiswa yang lain. Saya juga santri karena pernah mondok di sebuah pesantren tua di Situbondo, Jawa Timur. Saya pernah belajar kitab-kitab kuning seperti Aqidatul Awam, Irsyadul Ibad, Fathul Qorib, Adabul Insan bahkan Ta’lim Muta’Allim. Tidak itu saja, saya juga belajar gramatika Bahasa Arab seperti Matan Jurumiah dan Ibnu Aqil. Jadi cukup lah, saya tidak meragukan Islam saya.

Tapi setelah menjadi mahasiswa di IAIN Mataram, fikiran saya tiba-tiba di telanjangi habis-habisan. Islam saya ternyata belum apa-apa?. Di IAIN saya mendengar istilah “Islam Keturunan”, “Islam Ikut-ikutan”. Dan ternyata, logis juga! Oh ternyata saya ini ummat Islam yang begitu tho? “Keturunan” fikir saya.

Semakin dalam saya membaca dan berdiskusi tentang agama di kampus ini, ternyata saya mendapat antitesis bahwa Islam itu luas sekali. Tidak sekadar Fiqh atau solat-puasa an-sich, tapi memberantas korupsi juga islam, mengentaskan kemiskinan juga islam, bicara banjir juga Islam. Lalu saya merasa menemukan Islam saya di IAIN. Sayapun menyimpulkan, inilah lebihnya kampus bernama IAIN dibanding dengan kampus umum ataupun pesantren, “Mengislam orang yang sudah ber-Islam”.

Mengapa begitu? Iya saya merasa di IAIN saya dapat mempertajam pemahaman saya terhadap ajaran-ajaran Islam yang maha luas itu. Saya dapat memetik hikmah Islam secara universal dan menegaskan kebenaran klaim saya selama ini tentang islam. Bahwa Islam itu “Yaklu Wala Yu’la Alihi” atau Islam itu “Solihun Likulli Zamaanin Wa Makanin” . Saya merasakan betul bahwa Islam itu sangat Humanis, Egaliter, Liberal bahkan juga Sekuler.
Tapi seperti jargon produk obat nyamuk di televisi “Itu dulu, IAIN sekarang beda!”.

Mengapa? Kata teman saya, IAIN sudah berubah menjadi “Mengislamkan orang yang belum ber-“Islam”. Lho kok? Apa mahasiswa-mahasiswa baru IAIN itu kafir semua?
Kata teman saya lagi, mahasiswa baru IAIN hari ini diandaikan sebagai mahasiswa-mahasiswa yang belum tahu agama secuil pun. Mereka harus di ajari cara sholat, diajak tadarrusan, bahkan bisa jadi di tuntun lagi baca fatihah seperti masa kecil mereka dulu. Dan yang paling parah tambah teman saya itu, fikiran “nakal” ala IAIN tempoe dulu mesti dibersihkan. Buku-buku merah - seperti Marxis, Lenin, Poulo Preire atau Saltre- tidak perlu dikomsumsi lagi karena demi menghindari “Su’udzon” para Tuan Guru yang memvonis kampus ini telah jadi ajang pemurtadan.

Jadi dimana lebihnya IAIN hari ini? Apa bedanya IAIN dengan pesantren?. Padahal jika kita simak pernyataan para pendiri IAIN, seperti Dr. Harun Nasution atau Cita-Cita Dr. Munawir Sadzali- IAIN diimpikan menjadi laboratorium intelektual. Pusat Studi Islam yang komprehensif. Tempat dicetaknya intelektual-intelektual muda yang bermental ulama. Maka hari ini bisa jadi cita-cita itu sudah “bubar”, dan si empunya cita-cita tinggal mengelus dada.

Lalu apa maunya? IAIN mau dikemanakan? Mau jadi apa? Saya kira kita semua yang akan menjawab. Tapi saya minta izin jika tulisan ini agak sensitif, karena persoalannya kita harus jujur-jujuran pada diri sendiri. Dan inilah realitas kita, tentang nasib lembaga pendidikan Islam kita bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Disaat kampus-kampus lain berlomba-lomba mengeruk ilmu pengetahuan -bahkan hingga ke luar negeri- sebanyak-banyaknya, eh..kita justru membikin IAIN mandeg, stagnan, ambruk dan seakan-akan (seolah-olah!) tak menghargai cita-cita para pendiri-nya. Na’udzubillah tsumma Na’udzubillah!. Nampaknya, saatnya IAIN kita kembalikan ke wujud Aslinya (Khittah), iya Khittah IAIN yang liberal, progresif, tranformatif dan inklusif. IAIN yang cinta ilmu pengetahuan, menghargai pemikiran bukan penampilan. Saya kira demikian semoga bermanfaat ! []

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK) Sumut