Kebebasan di Bungkam ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Kebebasan di Bungkam

Friday, April 27, 2007

Ancaman ‘Serangga’ Kebebasan
Oleh Yusuf Tantowi*

Sekarang, pejuang demokrasi tidak cukup hanya menyemai dan menyiram bibit-bibit pluralisme dan toleransi kepada generasi muda. Tapi juga perlu dipikirkan untuk membuat insektisida (obat serangga) di tengah serangan hama kekerasan yang makin mengganas.

ANCAMAN demokrasi dan kebebasan kian nyata dinegeri ini. Ancaman itu kini tidak datang dari penguasa yang otoriter, militer yang arogan, atau invansi dari negara adidaya. Ancaman itu justru berasal dari kelompok sipil yang suka over acting, keras kepala dan merasa paling suci.

Kelompok ini ciri suka membawa pentungan, memakai baju dan sorban putih. Mereka tidak mengatasnamakan ketertiban dan pembangunan seperti di zaman Orde Baru berkuasa. Mereka juga doyan bertindak anarkis atas nama kebebasan berjubah agama dan memurnikan agama.

Tindakan itu misalnya kembali dipertontonkan Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempung (FBR) ketika menghadang aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), Kamis (29/3) lalu ketika akan mengadakan apel akbar di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan yang mengakibatkan beberapa aktivis Papernas dan anggota kepolisian mengalami luka-luka. Pada hal acara Papernas sudah mendapat izin dari Mabes Polri.

Penyerangan Papernas di atas, bukan kejadian pertama. Kejadian serupa pernah dilakukan kepada Jamaah Ahmadiyah di Kampus Al-Mubarok, Parung Bogor, Jaringan Islam libral (JIL) di Utan Kayu, Jakarta. Pengusiran Gus Dur di Purwakarta dan penyebutan “Perempuan Iblis” kepada aktivis perempuan yang tergabung dalam aksi menolak RUU APP oleh ketua FBR beberapa waktu lalu.

Patut disayangkan, aksi itu terjadi dua hari sebelum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang membawa semangat untuk menyebarkan rahmat dan kasih seyang kepada sesama. Bukankah prilaku itu juga telah melecehkan spirit Piagam Madinah berisi: kebebasan agama, larangan saling mengganggu sama lain, membantu dalam kehidupan sehari-hari, dan wajib membela negara (Madinah) jika ada serangan dari bangsa lain.

Dari kejadian tersebut, saya juga mencatat beberapa hal. Pertama, aksi itu menunjukkan semakin tajamnya pertarungan antar ideologi di Indonesia. Baik itu antara, islamis kanan (FPI, FBR, MMI dan konco-konconya) dengan Islam moderat serta organ sosialis-nasionalis.

Kedua, mereka kembali mengangkat sentimen Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memberangus kelompok lain. Hingga kini, cara ini masih sangat efektif untuk memancing emosi publik dan para korban kejahatan PKI dimasa lalu. Caranya bisa melalui media massa dan pertemuan-pertemuan terbuka ditengah masyarakat.

Ketiga, penyerangan itu bukan hanya ancaman serius bagi kebebasan berpendapat dan berorganisasi tapi juga teror agar kelompok lain menjadi jera. Oleh karena itu tantangan pejuang demokrasi bukan hanya semakin giat menyemai nilai-nilai pluralisme dan toleransi tapi juga bagaimana meredam penyebaran virus-virus radikal berjubah agama. Hal ini juga menjadi PR ormas besar seperti NU, Muhammadiyah dan Nahlatul Watan (NW) sebagai Ormas yang relatif moderat -jika tidak mau pengikutnya digerogoti.

Ironi memang kebebasan yang sudah diraih sejak reformasi dinodai oleh segelintir kelompok yang mau menang sendiri. Reformasi bukannya melahirkan masyarakat sipil yang berdaulat. Memiliki daya tawar di depan negara, tapi di dalamnya justru tumbuh kelompok sipil yang membunuh kedaulatannya sendiri. Ini kah buah reformasi yang perlu ditangisi ?

Di tengah kencangnya kebebasan beragama disuarakan berbagai kalangan, tapi jaminan kebebasan beragama seolah semakin pupus oleh aksi-aksi sekelompok orang yang tidak siap menerima perbedaan.

Hama Perusak
Terkait dengan tantangan perjuangan kebebasan dan demokrasi di Indonesia saya ibaratkan seperti petani. Sejak tumbangnya rezim Suharto, siapa pun bebas menjadi petani dari agama dan etnis manapun. Petani juga bebas menanam tanaman apa saja disawah dan di ladang. Dia bebas menentukan bibit dan masa tanamnya. Setelah melalui 3 K (Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas) para petani bisa memetik jerih payahnya.

Di sawah, ternyata tanaman yang ditanam tidak sebagus yang bayangkan sebelumnya. Banyak kendala yang dialami, seperti serangga perusak tanaman yang terus mengganas. Untuk menghentikan serangan hama tanaman tersebut, tidak ada cara lain bagi petani selain menyemprotnya insektisida (racun serangga). Itu pun harus dilakukan terus menerus dan tidak boleh terlambat. Jika terlambat, bakterinya bisa menyebar ketanaman yang lain.

Dalam konteks demokrasi, kelompok FPI, FBR dan MMI Cs. Ibarat ‘serangga-serangga’ yang suka mengganggu tanaman. Kelompok ini miskin hati nurani dan penuh amarah meski dibungkus dengan simbol-simbol agama. Di depan kita mereka mempertontonkan Islam yang sangar dan menakutkan. Mereka kadang bertindak seperti Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang melakukan penggusuran dan penertiban PKL dipinggir jalan karena dianggap mengotori pemandaan kota.

Di alam demokrasi, tindakan anarki -apapun alasannya tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu menurut saya, ‘serangga-serangga’ ini perlu disemprot. Jika tidak ‘bakteri jahat’ yang mereka bawa bisa menyebar kemana-mana. Dan yang berhak melakukan ‘penyemprotan’ sudah jelas pihak yang berwajib. Melalui penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan memutus rantai dendam dari korban.

Sekarang, pejuang demokrasi tidak cukup hanya menyemai dan menyiram bibit-bibit pluralisme dan toleransi kepada generasi muda. Tapi juga perlu dipikirkan untuk membuat insektisida (obat serangga) di tengah serangan hama kekerasan yang makin mengganas. Selanjutnya, kita berharap bisa menikmati segar dan nikmat buah kebebasan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai dasar negara []

*Koordinator Jaringan Islam Kampus (JARIK) Kota Mataram
dan Wakil Ketua PW.IPNU NTB