Menguak Tabir HAM ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Menguak Tabir HAM

Friday, April 20, 2007

HAM VS KEKERASAN:SEBUAH PR UNTUK KEMANUSIAAN
Pradewi [T]ri [C]hatrami*

“Kami sudah lelah dengan kekerasan.”

Satu kalimat itu bergaung di benak saya serupa puisi yang tak usai, janji yang menanti ditepati. Saya tahu, si empunya kalimat telah begitu luarbiasa keraskepala dan tanpa kenal lelah berupaya menyadarkan kita bahwa tindak kekerasan di bumi Indonesia ini telah sedemikian akut dan perlu ada upaya [sangat] untuk menanganinya. Sayang, 7 September 2004 silam sejumlah manusia yang barangkali merasa terancam akan kehadirannya berhasil meregang paksa nyawanya. Ia berpulang di usia sangat muda—belum lagi empatpuluh, dan menyisakan tanda tanya besar, siapa yang membunuhnya? Pertanyaan itu telah memusingkan saya lebih dari kuis statistika. Saya—seperti juga banyak orang lainnya, tidak tahu persis peristiwa peracunan Munir.

Memang, pihak kepolisian berhasil menangkap dua tersangka baru, dan akhirnya mendapat fakta baru, Munir diracun di Bandara Changi, bukan di pesawat Garuda sebagaimana ramai diketahui khalayak sebelumnya. Namun bagi saya, penemuan itu tetap tidak dapat saya percayai. Siapa dalangnya? Pertanyaan itu lebih rumit lagi. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan ke[tidak]hadirannya. Seorang kawan pernah bilang, akan lebih mudah mencari orang yang tidak tega membunuhnya daripada mencari pelaku kejahatan yang sesungguhnya.


Hanya sedikit pihak yang berharap ia [tetap] hadir. Bagaimana mungkin? Bagi saya, ia adalah seorang pahlawan bagi banyak orang, meski ia [hanya] memperjuangkan apa yang menjadi hak asasinya dan segenap manusia lain. Demi hak Asasi Manusia. Itu [hanya] karena ia lelah berhadapan dengan kekerasan. Sebab apa ia begitu gigih berjuang demi HAM? Mengapa ia lelah dengan kekerasan? Ada apa antara HAM dan kekerasan?

Barangkali pertanyaan saya diatras cukup naif, mengingat permasalahan tentang HAM dan kekerasan adalah dua dari beberapa hal yang begitu purba dalam kehidupang manusia. Tengok saja sejarah peradaban manusia, dimana kita dapat melihat lanskap penuh dengan leluka kekerasan sekaligus pergulatan demi apa yang disebut hak asasi manusia.
Sebut misalnya, kedatangan Islam ke bumi Arab pada abad VII. Konsep tentang HAM telah secara inheren dibawa Islam sebagai pencerahan atas zaman Jahiliyah yang peniuh dengan kekerasan di dataran itu. Dalam Hadits dan Al-Quran telah disebut-sebut permasalahan yang berkenaan dengan haq al insan, hak yang, menurut Maududi, “Kodrati pada manusia yang langsung diberi dari Allah, dan tidak dapat dicabut dan dikurangi oleh kekuasaan dan atau badan apapun”. Tidak hanya dalam kitab suci maupun hadits, sejarah juga mencatat adanya Piagam Madinah, yang merupakan perjanjian antara kaum muslim dan non muslim. Inti dari perjanjian tersebut antara lain:

1. Berinteraksi secara baik dengan tetangga;
2. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama ;
3. Membela mereka yang teraniaya;
4. Saling menasehati, dan
5. Menghormati kebebasan beragama.

Enam ratus tahun kemudian di kerajaan Inggris, lahir Magna Charta yang berisi prinsip penegakan hukum bagi semua—termasuk para pangeran dan bangsawan, juga kepastian supremasi hukum. Dalam perkembangannya, pada tahun 1689, Bill of Rights disahkan. Bill of Rights terutama mengedepankan prinsip kesetaraan, karena membincangkan hak kebebasan menjadi sia-sia tanpa ada hak kesetaraan. Bagaimana mungkin ada hak kebebasan jika ada stratifikasi yang membuat golongan lebih tinggi dapat memperbudak golongan rendah? Maka, kesetaraan mutlak diperlukan.
Sementara, di Indonesia baru saja menjajaki masa penjajahan. Adalah Spanyol dan Belanda, dua negara berkedok pedagang yang pertama-tama menjajah Indonesia. Sejumlah daerah melakukan perlawanan, akhirnya dijebak dengan iming-iming damai. Namun, penjajahan tak pernah punya kesempatan merasa tenang. Gelombang perjuangan mengakhiri penjajahan terus dilakukan. Pernag demi perang digelar, demi kemerdekaan, kebebasan, dan kehidupan yang layak.

Di belahan dunia yang lain, geliat perjuangan untuk hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan dari Inggris sampai ke salah satu negara jajahannya, Amerika Serikat. 4 Juni 1776 mereka mengumumkan Declaration of Independence, sebuah deklarasi kemerdekaan yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk merdeka sejak dalam perut ibunya, maka adalah irasional jika ketika lahir ia mesti terbelenggu penjajahan. Paham ini sendiri lahir dari pemikiran Rousseau dan Montesquieu, yang di negerinya sendiri akhirnya memicu Revolusi melawan kekuasaan absolut dan sewenang-wenang dari Raja Louis XIV dan sistem politik yang menyengsarakan rakyat, dimana ada stratifikasi—yang acapkali mengingatkan saya pada sistem kasta di India—antara bangsawan, agamawan dan pada lapis terakhir rakyat jelata. Sistem ini memperkosa rakyat yang dibebani dengan berbagai macam pajak berat tanpa hak bersuara dalam pembuatan kebijakan. Voltaire bahkan mengkritik tajam kehidupan kaum pendeta yang ikut-ikutan memeras rakyat dan hidup mewah dari kesengsaraan rakyat dengan mengatasnamakan agama.

Revolusi Perancis dengan semboyannya “Liberte, Egalite, Fraternite: Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan” pada 17 Juli 1789 meruntuhkan penjara Bastille—simbol kesewenagan kala itu, dan menelurkan The French Declaration yang berisi kurang lebih tentang tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang tidak sah tanpa alasan dan surat perintah yang jelas. Berkaitan dengan itu berlaku pula Presumption of Innocence—diadopsi oleh bahasa Indonesia sebagai praduga tak bersalah—setiap orang yang ditangkap dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Deklarasi itu diperkuat dengan prinsip-prinsip freedom of expression (kebebasan berpendapat), freedom of religion (kebebasan menganut dan menjalani keyakinan yang dikehendaki), the right of property (perlindungan hak milik). Prinsip-prinsip inilah yang mengandung jaminan tumbuhnya demokrasi dan berdirinya sebuah negara hukum.
Abad XX diawali oleh peperangan yang melelahkan. Perang Dunia I menggarit luka yang cukup panjang. Pemenang dan pecundang dihimpit ketegangan hingga bertahun-tahun kemudian. Beberapa negara setuju mendirikan Liga Bangsa-Bangsa, guna mencegah peperangan, namun perkumpulan itu gagal dan bubar jalan.
Kemunculan The Four Freedoms dari presiden Roosevelt pada 6 Januari 1941 sebagai respon kekhawatiran akan panasnya persaingan antara beberapa negara maju lama (baca: Imperialis Eropa), dan imperialis pendatang baru (Jepang) menjelang Perang Dunia II, membawa perkembangan HAM ke level selanjutnya.

Disebutkan secara rinci bahwa segenap manusia di seluruh dunia berhak memiliki kebebasan berpendapat; Menjalankan keyakinannya pada Tuhan dengan caranya sendiri; Kebebasan dari kemiskinan yang mengharuskan adanya economic undertsanding, hingga setiap negara berhak mengusahakan hidup damai dan sejahtera untuk setiap penduduknya; Kebebasan dari ketakutan, dengan upaya pengurangan senjata hingga tak satupun negara di dunia ini yang memiliki kesempatan menyerang negara lain. Pada pemerintahannya pula istilah human rights dari istrinya Eleanor Roosevelt diperkenalkan. Istilah ini dianggap lebih fair, mengingat istilah sebelumnya rights of men yang bias gender.
Seperti yang kita semua ketahui, Perang Dunia II pecah lebih setahun kemudian.

1942-1945, negara-negara yang telah kita lihat sebelumnya bertarung di Perang Dunia I (dengan beberapa tambahan pendatang baru), kembali berjibaku dengan menyeret negara jajahan masing-masing sebagai cadangan pemain, sekedar transit, atau bahkan gelanggang lain untuk berperang. Indonesia yang saat itu dijajah Jepang turut merasakan imbasnya. Ribuan lebih perempuan menjadi budak seks tentara atau sipil (asal mereka membayar pada pihak Jepang). Kerja paksa Romusha berlangsung, dan rakyat dipaksa menanam tanaman jarak demi kebutuhan perang. Tak hanya itu, Jepang juga merampas kekayaan rakyat, sampai-sampai terjadi krisis pangan parah, karena tak ada harta dan tanaman pangan tak banyak dikembangkan. Namun, pada zaman penjajahan Jepang juga kaum nasionalis bekerjasama dengan pihak penguasa membentuk BPUPKI dan PPKI yang merumuskan Pancasila dan UUD, yang kelak menjadi landasan HAM di Indonesia.

Pada tahun 1944, meski genderang perang tak juga henti, Philadelphia menjadi kota tempat buruh seluruh dunia mengadakan Konferensi Buruh Internasional yang menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Kesepakatan utama dalam konferensi adalah urgensi perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia tanpa diskriminasi, apapun ras, jenis kelamin, ataui kepercayaannya. Segenap manusia berhak mengejar perkembangan material dan spiritual dengan bebas dan bermartabat keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak yang disebut dalam konferensi ini dijadikan landasan bagi The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948.

Sejak dibentuk, PBB menjadi wadah formal untuk segala cikal bakal perundangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Banyak perundangan di Indonesia merupakan hasil ratifikasi dari produk PBB. Salah satu contohnya, Tap MPR XVII/1998. produk hukum yang dikeluarkan lembaga legislatif ini secara khusus mengatur ihwal penegakan HAM di indonesia. Menurut definisi dalam Tap MPR ini, sebagaimana pengertian yang telah dirancang dari sejarah perkembangannya, HAM bagi bangsa Indonesia adalah:

“Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh. Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (Tap MPR XVII/1998, D. Pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia, dengan pemotongan kalimat pertama dari penulis)

Merujuk kepada pengertian diatas, maka saya mengambil kesimpulan bahwa HAM, meskipun merupakan hak yang bersifat kodrati, ternyata tidak serta merta terlepas dari konteks sosio-historis. HAM bagaimanapun, bukan sesuatu yang taken for granted, karena setiap pemberian dari Tuhan membutuhkan interpretasi manusiawi untuk kemudian dapat dipergunakan, kewenangan yang tetap membutuhklan usaha khusus agar dapat diwujudkan. Sejarah telah mengajari kita, dari piagam Madinah sampai Piagam PBB, bahwa HAM bukan sekedar pemberian sambil lalu. Bagaimana sejarah perjuangan HAM di Indonesia?
Sejarah penegakan HAM di Indonesia sebenarnya telah begitu lampau. Syahdan, pada zaman dulu kerajaan-kerajaan di Indonesia telah mengembangkan kerukunan antar-umat beragama. Beberapa literatur menunjukkan bahwa beberapa agama dapat hidup damai dibawah kerajaan yang meresmikan satu agama. Bahkan raja mau memberi fasilitas untuk agama yang berkembang selain yang ia anut. Kebebasan beragama sebenarnya merupakan nilai asli bangsa Indonesia.

Awal abad XVI merupakan awal dari penjajahan. Pemerintah Hindia—kemudian VOC—menetapkan aturan-aturan yang samasekali mengabaikan hak asasi manusia. Kondisi timpang melahirkan berbagai perlawanan, namun perang senjata ternyata tidak efektif. Di penghujung abad XVIII, perjuangan bentuk lain dijalankan. Melawan dengan pena.
Edward Douwes Dekker alias Multatuli, seorang asisten residen Lebak Banten menulis novelnya Max Havelaar, yang mengkritik kebijakan kolonial yang memberlakukan tanam paksa. Salah satu pengagumnya, Kartini, adalah perempuan Indonesia pertama yang membicarakan nasionalisme, emansipasi, dan demokrasi. “Tujuan adalah rakyat”, begitu katanya. “Kartini adalah pemikir modern Indonesia yang pertama”, aku Pramoedya Ananta Toer. Ia menggagas (dan akhirnya mendirikan) sekolah untuk perempuan, sebagai perjuangan untuk kesetaraan gender, hak perempuan untuk dapat (juga) memperoleh pendidikan. Perjuangannya saat itu terhalang oleh cinta kepada ayahnya.

Pada masa itu juga, suratkabar buatan pribumi mulai dicetak, sebagai tempat untuk menuangkan berita versi pribumi dan pendapat pribumi. Perlawanan modern tak hanya sebatas pena. Agar kekuatan bertambah, didirikanlah perkumpulan, sebuah organisasi modern. 20 Mei 1908, Boedi Oetomo lahir. Meski dengan segala keterbatasannya sebagai organisasi yang [hanya] beranggotakan priyayi Jawa, Boedi Oetomo memang inspiratif. Dalam perkembangannya, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan menerbitkan sebuah surat kabar.

Setelah kelahiran Boedi Oetomo, organisasi mulai tumbuh menjamur. Agaknya, bangsa Indonesia mulai menyadari hak [dan kewajiban] untuk berserikat dan berkumpul. Sarekat Dagang Islam, lalu menjadi Sarekat Islam menekankan pentingnya usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan VSTP, organisasi buruh kereta api, cikal bakal PKI, sebuah partai berlandaskan komunisme lebih menaruh perhatian pada penyadaran akan hak-hak sosial ekonomi dan politik kaum proletar, (baca: kaum buruh dan tani). Organisasi yang cukup keras dalam issue penegakan HAM di Indonesia pra-kemerdekaan adalah Indische Partij. Dengan lantang mereka menyerukan tuntutan hak politik: kemerdekaan dan kesetaraan. Tentu saja, dengan sikap non kooperatif seperti itu, pihak penjajah memiliki alasan untuk mengasingkan mereka, dan membubarkan organisasi. Hal sama terjadi pada PNI. Penekanan akan tuntutan kemerdekaan membuat usia organisasi ini tak panjang. Penjajah punya kepentingan atas ke[tidak]merdekaan Indonesia. Gerakan-gerakan organisasi seperti ini bisa berbahaya.

Tahun 1942, Belanda hengkang dari Indonesia dan meninggalkan penjajah baru, Jepang. Seperti yang telah saya sebutkan, usaha penegakan HAM dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI yang merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Puncaknya, dengan sedikit pemanfaatan kekalahan Jepang dari sekutu, pada 17 Agustus 1945 Proklamasi digemakan. Indonesia sebagai nasion pun berdiri. Babak baru penegakan HAM dimulai.
Awal kemerdekaan diliputi concern pada hak merdeka, hak untuk bebas berserikat dan berkumpul melalui organisasi politik, dan hak untuk bebas menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM mulai diformalisasi melalui konstitusi. Hak politik dibuka lebar, rakyat dipersilakan mendirikan partai politik untuk dapat mengikuti pemilu yang seyogyanya akan diadakan Januari 1946. Namun, situasi pada saat itu kurang mendukung untuk melaksanakan pemilu. Pada masa itu, penegakan HAM akhirnya memiliki fokus lebih utama pada menjaga kedaulatan.

Setelah berumur 5 tahun, Indonesia memasuki fase perkembangan yang lain, periode demokrasi parlementer. Dalam masa ini, terlihat perkembangan HAM sangat signifikan. Tumbuh suburnya partai politik dengan ideologi beragam dan kebebasan pers sungguh memukau pada era itu. Pemilihan umum paling fair, demokratis, dan bebas dalam sejarah Indonesia pun berhasil digelar. Rakyat begitu antusias mengikuti pemilu, meski tanpa iming-iming uang. Legislatif memenuhi fungsi kontrolnya dengan baik dan efektif. Suasana kebebasan dan saling menghargai pendapat sangat kentara, hingga wacana HAM pun memiliki ruang yang lapang. Munculnya wacana HAM sampai ke dewan konstituante, dan mereka sepakat mengenai substansi HAM universal, hingga HAM dirasa sangat penting untuk masuk dalam UUD menjadi bab tersendiri.

Dinamika politik dalam masa demokrasi parlementer menjadi permasalahan tersendiri ketika UUDS susah ditetapkan dan perghantian pemerintah terlamapu kerap. Dengan alasan banyak agenda yang menjadi terbengkalai oleh situasi penuh kebebasan seperti masa itu, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit. 5 Juli 1959, pintu mulai tertutup bagi kebebasan dengan diterapkannya demokrasi terpimpin
Demokrasi terpimpin membuat HAM terpasung. Apalagi pemihakan presiden kepada salah satu partai politik menyebabkan kehidupan sosial-budaya ikut timpang. Kita mengenal adanya konflik antara Manikebu dan Lekra, sebagai dampak persaingan politik yang tidak sehat. Berbagai kecekaman melanda, dan pada akhirnya terjadilah peristiwa G30S/PKI yang membuat Presiden Soekarno—setelah sebelumnya sempat mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup—harus jatuh.

Beredar kabar tentang Supersemar, dan Soeharto pun tampil memegang kepemimpinan. Awalnya, wacana HAM memiliki ruang tersendiri. Berbagai seminar tentang HAM diadakan, salah satunya pada 1967 yang merekomendasikan perlunya pembentukan Komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Setahun kemudian, Seminar Nasional Hukum II menekankan pentingnya dilakukan hak uji materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Dalam rangka pelaksanaan Tap MPRS No. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara.

Pada kenyataanya, HAM hanya menjadi lip service. Jangankan ditegakan, istilah HAM pun diasingkan dari rakyat dibuat semacam menjadi ‘buah terlarang’ pada cerita kejatuhan Adam dan Hawa. Semua yang berbau barat, atau komunis, atau bahkan Islam menjadi musuh Indonesia sebagai nasion. Contoh sederhana adalah pada tahun 1979, dimana banyak terjadi pengusiran terhadap siswi sekolah umum yang berkerudung. Alasannya, karena kerudung merupakan simbol yang eksklusif, dan menggunakannya berarti tak lagi berseragam. Sebuah strategi menerapkan nasionalisme yang konyol menurut saya, meski sialnya, agak berhasil.

Sejak awal, sebenarnya Soeharto telah berkhianat pada penegakan HAM. Berbagai literatur membeberkan fakta adanya pembantaian terhadap siapapun yang dianggap berhubungan cukup mesra dengan PKI. Jika tidak hilang/dibunuh, maka konsekuensi lain yang menunggu adalah pencekalan dan pembuangan. Seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer. Ia dibuang ke Nusakambangan (Juli-Agustus 1969), Buru (Agustus 1969-12 November 1979), dan Magelang/banyumanik (November-Desember 1969) tanpa proses pengadilan.
Pada tahun 1983-1985, maraknya penembakan misterius menghadirkan teror tersendiri pada masyarakat. Target biasanya adalah orang yang dianggap preman kelas kakap, namun salah sasaran bukan jarang terjadi.

Ditengah cekam teror petrus, pemerintah mengambil keputusan cukup penting dalam penegakan HAM di bidang lain. Tahun 1984, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 sebagai pengesahan terhadap konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pada prakteknya, diskriminasi masih diberi ruang lebar dan pemerintah tidak juga memperbaiki citra perempuan agar tak terjadi stereotype yang tak seimbang di masyarakat. Pembentukan Dharma Wanita, menurut saya lumayan merugikan karena orientasinya tak jelas, dan semakin mengukuhkan pendapat bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua.

Kekerasan demi kekerasan, pelanggaran demi pelanggaran HAM terus dilakukan rezim Soeharto. Di bawah komandonya, Aceh, Irian Jaya, dan Timor Leste menjadi Daerah Operasi Militer. Kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, dan pembunuhan/penghilangan/penangkapan aktivis menjadi hal yang tidak aneh. Saya ingat Marsinah, dan berapa Marsinah lain? Saya mendadak lupa cara berhitung.

Bukan hanya itu, pembredelan terhadap media menjadi kekerasan tersendiri. Tempo, Detik, menjadi dua dari banyak media yang dibredel. Partai peserta pemilu dibatasi hanya tiga, dengan hasil pemilu seperti putar kaset. Meski pemilu tak pernah absen diadakan lima tahunan, sepertinya tak ada lagi yang baru. Wajah peserta kampanye boleh berubah, namun pemenang tetap sama.

Protes bukan tak dilakukan. Usaha penegakan HAM akhirnya dikerjakan oleh LSM dan akademisi, yang setia merajut jejaring dan melakukan lobi internasional, akhirnya mendapat upah yang cukup setimpal. 7 Juni 1993, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia resmi didirikan. Badan ini bertugas memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbanagn, dan saran kepada pemerintah sehubungan pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, serta deklarasi/perundangan terkait. Namun, kekerasan masih terjadi. Penghilangan pada aktivis terus berlangsung.

Krisis keuangan ditambah akumulasi ketidakpercayaan pada pemerintah menimbulkan sejumlah protes dan huru-hara. Mei 1998, setelah 32 tahun tak tergantikan, Soeharto dipaksa turun. Indonesia resmi meninggalkan Orde 32 dan memasuki reformasi.

Pergantian kepemimpinan memang menghasilkan kemajuan memang cukup signifikan. Penegakan HAM mulai sembuh dan bugar. Sebagai penanda bahwa pemerintah memang berniat melakukan reform, Tap MPR XVII/1998 diproduksi. Selain itu, pemerintah meratifikasi sejumlah konvensi Ham. Diantaranmya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999; Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganiosasi dengan Keppres No. 83/1998; Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 20/1999. Selain berbagai ratifikasi tersebut, pemerintah juga mencanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” yang berdasar pada

1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM;
2. Desiminasi informasi dan pendidikan di bidang HAM;
3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM;
4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi perundangan nasional.

Untuk memenuhi tuntutan re-demokratisasi di Indonesia, pemerintah pun membebaskan rakyat dalam membentuk partai politik dan menggelar pemilu 1999 dengan peserta sebanyak 48 parpol. Pesta demokrasi inipun diperbaharui pada tahun 2004 dengan menyelenggarakan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kran kebebasan pers dibuka kembali, sehingga jaminan kebebasan berpendapat kembali dinikmati. 24 November 2004 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan, dan hari itu diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Namun, era Reformasi bukan tanpa ancaman. Pembunuhan Munir adalah satu dari cacatnya pelaksanaan HAM di Indonesia. Praktek kekerasan berujung kematian yang terjadi di institusi pendidikan IPDN juga menjadi marka bagi kita bahwa ini belumusai. Selain itu, Undang-undang Pornografi yang disahkan tanpa menggubris protes sejumlah aktivis perempuan pada 6 Februari 2007 kemarin juga menjadi kontra-produktif, karena batasan tak jelas mengenai pornografi dapat menjadi bumerang dalam pewujudan HAM di Indonesia. Atau, pemerintah mulai lupa pada komitmennya terhadap penegakan HAM?
Saya jadi ingat Milan Kundera. Ia dulu pernah bilang, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”. Akankah kita lupa? Akankah kita tidak lagi merasa lelah dengan kekeerasan?

“Revolusi, bukan kata benda, melainkan kata kerja. Ia adalah situasi. Ia adalah tentang menjadi”
che; 2007

dari berbagai sumber
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatallah. 2003
Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. 2003
www.munir.or.id
www.kontras.org

*Penulis adalah aktivis jarik bandung dan Women Studies Centre
kunjungi kami di http// www.jarikbandung.blogspot.com.
Dan hubungi kami di jarik_bandung@yahoo.com
Atau jarikbandung@gmail.com