Agama Publik ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Agama Publik

Sunday, July 8, 2007

Menemukan Agama Publik Kontekstual
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Indonesia berdiri di atas landasan filosofis-historis sebagai negeri beragama. Dimensi teologis-metafisis ini begitu mendominasi perjalanan bangsa, sejak awal terbentuknya bahkan hingga saat ini; dari masa feodalisme, imperialisme, otoritarianisme hingga masa demokrasi. Agama-agama menjadi motor utama perubahan sosial-politik bangsa Indonesia. Dari sisi ini, keberagamaan bangsa Indonesia menyimpan potensi besar dalam pembentukan modal sosial yang memadai untuk menjamin berlangsungnya demoratisasi.

Di sisi lain, sejak lama keberagamaan selalu menghadapi dilema tersendiri saat berhadapan dengan realitas keragaman di Indonesia. Keragaman yang tersebar merata di lebih dari 200 juta penduduk, lebih dari 300 bahasa/suku, 13 ribu pulau dan negara terkaya dalam keanekaregaman hayati. Sebagai contoh, agama yang diakui legalitasnya oleh negara hingga saat ini hanya enam buah; Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal, bangsa Indonesia memiliki ragam ekspresi keberagamaan yang sangat beragam. Sayangnya, mereka adalah kaum-kaum minoritas yang kurang terdengar suaranya di pentas nasional.

Alih-alih mendapatkan pengakuan – mereka kaum minoritas seperti Islam Kejawen dan Islam Sasak – kepercayaan mereka malah dipahami secara sepihak sebagai sebentuk sinkretisme belaka. Aliran lainnya – seperti Komunitas Lia Eden di Jakarta, Pengikut Shalat dua bahasa Ust. Usman Roy di Malang dan Jemaat Ahmadiyah di Parung – justru dicap sebagai sesat dan menyesatkan. Secara prinsipil, hal ini tentu saja bisa berarti sebentuk pelanggaran terhadap prinsip hak kebebasan beragama, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar, Declaration of Human Rights dan Convenant on Civil and Political Rights. Bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya denga cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama, baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima agama atau kepercayaan pilihannya. (Budiardjo, 2005)

Masalah lain seputar keberagaman di tengah keragaman adalah konflik-konflik bernuansa etno-religius di berbagai tempat di Indonesia; seperti yang terjadi di Poso, Parung, dan masih banyak lagi. Masalah yang seperti ini tentu tidak pernah kita harapkan terjadi. Selain kerugian materiil dan jiwa, korban paling menderita dari konflik sosial ini adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Mereka adalah golongan yang menjadi sasaran utama pelampiasan konflik-konflik etno-religius. Hal yang sungguh sangat memilukan.

Pada konteks keberagamaan di Indonesia saat ini, permasalahan di atas tampaknya malah semakin rumit. Isu-isu radikalisasi agama seperti Romantisme Khilafah Islamiyah, usaha penegakan Syariat Islam, perda-perda bernuansa Syariat, sweeping tempat-tempat hiburan dan masih banyak lagi, menjadi tema sehari-hari yang tidak lagi dianggap sensitif. Alih-alih dikonsumsi secara massif.

Diskursus Agama Publik
Gagasan agama publik (publik religion) sebenarnya adalah rekasi terhadap sekularisasi agama, di mana agama telah mengalami sekularisasi dan privatisasi, namun doktrin sosial agama ingin dihidupkan kembali, agar agama mempunyai peran dalam wacana publik, nasional maupun global. Diskursus agama publik berupaya menemukan kebenaran obyektif dari ajaran atau konsep agama-agama yang ada yang bersifat profan. Dalam teorinya, unsur-unsur dari suatu agama dapat saja diintegrasikan ke dalam salah satu ajaran dari agama lain yang telah dianggap sebagai agama publik, sepanjang tidak menyangkut akidah yang mensyaratkan keimanan. (www.islamlib.com)

Dari uraian tentang keberagamaan dan permasalahannya di atas, kita dapat saksikan bahwa Indonesia terdiri dari beberapa agama dan kepercayaan. Agama dan kepercayaan ini, tentu saja masing-masing meyakini adanya konsep keselamatan dan berbuat kebaikan buat sesama manusia.

Nilai-nilai, ajaran dan konsep universal dari agama-agama inilah yang bisa ditransformasikan menjadi sebentuk agama publik.

Contoh dari agama publik yang saat ini telah berlaku yakni Ekonomi Syariah. Ekonomi Syariah saat ini dilaksanakan oleh bank-bank multi nasional. Bank-bank ini bukannya percaya kepada kebenaran Al-Qurán, tetapi pada cermin keadilan dalam ekonomi syariah. Tentu saja masih banyak bentuk-bentuk agama publik lainnya yang bisa ditemukan dari agama dan kepercayaan di Indonesia, seperti tradisi doa bersama atau doa antar iman, ucapan selamat hari-hari raya, dan sebagainya.

Hal yang penting harus diperhatikan dalam agama publik ini adalah sisi kontekstualitasnya. Tantangan problem keberagamaan seperti yang diuraikan di awal perlu mendapat perhatian serius. Dalam hal ini, usaha menemukan agama publik ini harus juga ditopang oleh komitmen pemerintah, golongan agamawan, serta masyarakat sipil. Adanya political will – meski tidak cukup sebagai jaminan – tentu diharapkan mewarnai usaha penemuan agama publik.

Konteks rejim demokratis saat ini menuntut adanya pengertian dan usaha yang signifikan dari agama-agama agar menerima konsep-konsep HAM, civil society, jaminan hukum, social capital, open society, kesetaraan gender, kedaulatan rakyat, otonomi daerah dan sebagainya. Agama publik bertugas melegitimasi konsepsi demokrasi beserta turunan-turunannya. Agama publik mesti mengkaji ulang ajaran-ajaran usang yang tidak mampu melakukan pendekatan dalam memahami konsep-konsep ini. Hal ini tentu tidaklah mudah. Salah satu contohnya adalah pendekatan untuk memahami kedaulatan rakyat (vox populi) terbentur dengan keyakinan akan kedaulatan Tuhan (vox dei).

Agama publik juga diharapkan dapat melakukan delegitimasi atas fundamentalis-radikal yang terlalu memaksakan kehendak dan kepercayaan sendiri di atas fondasi kekuasaan, kekerasan dan mayoritas. Hal ini sesuai dengan konteks semakin marak dan berbahayanya kekerasan atas nama agama, baik
dengan melalui instrumen negara maupun secara frontal-horizontal antar masyarakat.

Menyelamatkan Demokrasi
Diskursus agama publik dan usaha menemukannya bisa dikatakan dilakukan atas nama menyelamatkan demokrasi Indonesia. Jujur saja, survival demokrasi tidak bisa benar-benar terjamin jika masih banyak problem-problem keberagamaan yang terjadi. Pembangunan demokrasi menjadi terhambat dan terlalu dipusingkan dengan mengurusi konflik-konflik berbasis agama.

Agama publik, dengan demikian, diupayakan sebagai penengah di tengah-tengah potensi kekerasan antar agama. Diskursus agama publik ini ingin mengembalikan agama-agama kembali pada makna asalnya; yakni “tidak kacau”. Agama publik diharapkan dapat menenangkan masyarakat akibat isu terorisme yang kembali massif dipublikasikan di media massa.

Upaya menemukan agama publik sungguh terasa penting karena tema-tema pencerahan lainnya, seperti sekularisme atau sekularisasi, mendapatkan penolakan yang cukup keras dari beberapa otoritas agama beserta para pengikutnya. Agama publik mengisi ruang yagn ditinggalkan oleh sekularisme dan sekularisasi, yakni formalisasi unsur-unsur keagamaan dalam level kenegaraan, tanpa melakukan pembenaran dan pemihakan pada salah satu agama atau kepercayaan. Dengan begitu, demokrasi bisa tetap terselamatkan tanpa mengganggu keberagamaan dan keragaman bangsa Indonesia.

*Bahrul Haq Al-Amin, lahir di Ciamis, Jawa Barat, 27 September 1985. Mahasiswa tingkat akhir (S-1) Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti pada Lembaga Studi Agama Filsafat (LSAF) di Jakarta dan Lingkar Studi Epistema HMI Cabang Jakarta Selatan. Aktifis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan saat ini menjabat Ketua Umum Panitia Kongres 26 Pengurus Besar HMI, Agustus 2007 di Jakarta. Aktif juga di Jaringan Islam Kampus (JARIK) Jakarta, Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KMAI) dan Lingkar Studi-Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI) Jakarta. Ikut mendirikan beberapa jurnal, seperti Jurnal Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jurnal Humania HMI Cabang Jakarta Selatan. Menjadi kontributor tulisan di www.hminews.com, www.banjar.go.id, Jurnal Humania HMI Cabang Jakarta Selatan, Jurnal Epistema HMI Cabang Jakarta Selatan, dan beberapa buletin kecil Komisarait HMI. Alamat: Jln. Nurul Huda No. 35, Rt/Rw. 04/01, Kampung Utan, Cempaka Putih, Ciputat, Tangerang 15412. email: bahrulhaq@yahoo.co.id. Telp: 021-74701701.