Islam Terbelakang ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Islam Terbelakang

Sunday, July 8, 2007

Mandegnya Tradisi Keilmuan Islam Akibat Sikap Apologetik
Oleh Muhammad Kodim/SYIRAH

Jakarta- Mandegnya tradisi keilmuan Islam lebih diakibatkan oleh sikap apologetik dalam melakukan studi Islam. Dalam konteks ini, agama dijadikan kebohongan untuk membenarkan keimanan, keyakinan pribadi dan menegasikan keyakinan-keyakinan yang di luar Islam.

Demikian yang diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) M. Dawan Rahardjo salah satu panelis dalam acara diskusi dengan tema “Kajian Islam di Barat: Perkembangan dan Prospeknya” Jumat, 06 Juli 2007 di Ruang Diskusi Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) jl. Kalibata Timur no.31 A.

Diskusi berseri yang sudah dilaksanakan kedelapan kalinya ini oleh LSAF mengambil tiga isu besar yaitu Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme.

Lebih jauh dalam membeberkan persoalan ini, Dawam meminjam analisisnya Swidler yang melihat agama dalam konteks lima C, yaitu: creed (aqidah), cult (ibadah), code (akhlak/budi pekerti), comunity structure (struktur masyarakat), siciety and civilization (masyarakat dan peradaban).

Mengikuti analisa ini, Dawam melihat tradisi keilmuan masih berkutat pada dua persoalan awal yaitu creed dan cult.

“Nah, tradisi keilmuan Islam masih berkutat pada dua itu. Makanya kemudian larinya pada konteks penguatan keimanan itu sendiri,” paparnya.

“Sementara tradisi keilmiahan di Barat itu berpijak pada tiga terakhir itu. Maka kemudian lebih konkrit, berguna, dan sebagainya. Pijakan-pijakan itu empiris,” lanjutnya.

Jika ingin berkemabang, kata Dawam, harus berani melampaui wilayah creed dan cult itu. “Creed dan cult itu sudahlah. Itu persoalan akidah dan ibadah,” serunya.

Kenapa harus melampaui akidah dan ibadah tersebut? Menurut Dawam, karena akidah dalam dunia Islam begitu banyak, ada Mu’tazilah, Jabariyah, Qodariyah, dan sebagainya.

“Jadi kita tidak bisa berpijak pada teologi dan akidah yang begitu banyak. Biarkan itu menjadi kewenangan yang privat. Begitupun soal ibadah, itu menjadi pilihan tiap individu,” ungkapnya.

Untuk menarik ke konteks yang lebih dekat dan kecil lagi, Dawam mencoba melihat tradisi pengajaran yang berkembang samapai saat ini di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), atau apapun namanya.

Tradisi pengajaran di IAIN, kata Dawam, masih tidak beranjak dari kedua hal tersebut, creed dan cult.

“Maka usaha untuk mempelajari perbandingan agama di IAIN itu tradisinya masih tradisi untuk melihat keborokan-keborokan agama lain. Bukan dalam konteks bagaimana melihat agama lain itu secara empati, respek dan sebagainya,” paparnya.

Dalam konteks ini, Dawam melihat agama sebagai kebohongan untuk membenarkan keimanan, keyakinan pribadi dan menegasikan keyakinan-keyakinan yang di luar Islam.[]