Sisi Lain Pecel ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Sisi Lain Pecel

Wednesday, July 4, 2007

Karsih, Penjual Pecel Yang Dilestarikan
Oleh Saiful Rahman Barito*

Di sela-sela pekerjaan, saya menyempatkan diri untuk menonton Empat Mata. Biasa, sekaligus rileksasi sebentar untuk mengendorkan urat-urat syaraf yang sedang tegang. Memang setiap kali menonton Empat Mata, saya tidak berharap lebih daripada beberapa informasi dan hiburan. Tentu, tanpa menafikan beberapa hal yang memang bermanfaat selain menertawakan diri sendiri. Juga, tidak lupa memberikan beberapa catatan penting.

Seperti biasa, bintang tamu rata-rata adalah para tokoh, artis, kalangan seleb. Kadang-kadang juga diundang beberapa kalangan bawah dengan berbagai macam tipenya jika sesuai dengan tema yang sedang diangkat. Pada malam ini, selain Djaenar Maesa Ayu, Indra Herlambang, dan Topan, ada seorang penjual pecel gendong yang menjadi tamu Empat Mata.

Tema yang diangkat cukup bagus, yaitu tentang makanan tradisional. Mungkin tepatnya adalah makanan yang dijual rakyat kecil. Di dalam konteks globalisasi dan mental hedonis yang menyentak kehidupan rakyat ini, pembicaraan tentang tema ini sedikit demi sedikit akan memasuki arena pertempuran makanan impor dan makanan lokal. Di persempit lagi ke dalam konteks kapitalisme, maka arenanya adalah pertempuran makanan orang kecil dan makanan kaum kapital.

Secara umum, penalaran kita mengantarkan kepada kekuatiran terhadap punahnya makanan lokal rakyat kecil, sesuai dengan kaidah pihak yang kuat akan unggul di atas pihak yang lemah. Begitulah cara kita berpikir yang menurut saya terlalu materialistik. Kekuatan dan kelemahan selalu kita ukur dalam bentuk seperti itu. Saya tidak menafikannya, hanya menegaskan bahwa tidak selamanya harus diukur seperti itu.

Bukan tidak mungkin bahwa orang sekelas Karsih ini justru kekuatan yang menopang ekonomi rakyat. Sementara kaum kapital akan tidak berdaya dengan kapital mereka jika orang-orang sekelas ini tidak ada lagi di dunia. Inilah rahasia siklus dan mata rantai kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah. Barangkali karena inilah kenapa Indra Herlambang berpandangan bahwa orang seperti Karsih ini harus dilestarikan.

Entah! Apakah maksudnya tipe kehidupannya atau makanannya. Namun, jelas itu adalah dua unsur yang saling terkait. Bagi saya, Karsih adalah fenomena manusia yang tulus menjalani kehidupan, tegar, bermental kuat, dan tetap semangat. Saya yakin, orang sepertinya lebih terhormat daripada kaum berdasi yang duduk di kursi dewan, misalnya, atau pejabat-pejabat negara yang menaiki mobil mewah.

Keinginan untuk tetap hidup dengan cara yang halal, meskipun sedikit, jelas lebih baik daripada keinginan tetap hidup dengan cara yang haram. Nilai-nilai yang terkandung di dalam mental orang-orang seperti Karsih inilah, menurut saya, yang patut dilestarikan; selain pecelnya, mungkin.

Namun, jika dari sudut pandang lain bahwa orang-orang seperti dia ini saja di Indonesia sangat banyak berada di garis kemiskinan dan perjuangan susah payah, maka apa yang dilestarikan? Teman saya yang kebetulan menonton Empat Mata juga berkomentar, “Orang yang seperti ini di Jakarta mungkin masih puluhan ribu jumlahnya.” Dia membandingkan dengan negara lain yang maju.

Kesimpulan yang bisa saya ambil dari komentarnya ini: seharusnya mereka diberdayakan untuk lebih maju dengan program-program yang nyata dan jujur, bukan eksploitasi. Itu bisa saja dilakukan tanpa melepaskan nilai-nilai baik yang terdapat di dalam diri mereka dan makanan lokal tradisionalnya.

Jadi, pelestarian yang dimaksud tentunya adalah meningkatkan kehidupan mereka sehingga terlahir dari lingkup mereka manusia-manusia yang lebih maju, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebaikannya. Bukan membiarkan mereka dalam garis kehidupan yang sulit untuk selamanya.

*Alumnus Universitas Alazhar Kairo