RMS ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

RMS

Tuesday, July 10, 2007

RMS; Merajut Benang Raja
Oleh Sayyid Madany Syani

“Maluku mengerti tentang pengkhianatan! Maluku mengerti tentang Kedudukan dan harta yang menyesatkan! Maluku mengerti tentang kepentingan pribadi! Maluku menyadari tentang arti sebuah penderitaan dan kesengsaraan! Dan dari semuanya itulah Maluku belajar.” (Sabili NO. 22 TH. XI 21 Mei 2004/ 1 RABIUL AKHIR 1425)

Awal kalimat diatas adalah petikan pidato HUT Republik Maluku Selatan ke-54 yang ditulis Alexander Manuputty di California, USA tahun 2004 yang lalu. Alex Manuputty adalah Sekjen FKM (Front Kedaulatan Maluku) yang berhasil kabur ke luar negeri, padahal sebelum ia kabur ia sempat ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Pada tanggal 29 Juni 2007, FKM/RMS membuat ulah di depan muka presiden RI atau RI-1. Panglima TNI Marsekal Djoko Soeyanto menilai, tarian Cakalele yang diakhiri dengan percobaan pembentangan bendera Benang Raja RMS ini cukup untuk membuktikan bahwa masih eksisnya gerakan separatis RMS. Sebenarnya, gerakan ini tidak pernah mati. Jika kita menyimak peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputaran Maluku pada era 1998-sekarang, maka kita dapat menyimpulkannya sendiri bahwa sejak lama RMS itu berdiri kokoh di Jazirah Al-Muluk. Hanya saja, entah kenapa kita selalu tidak mau tahu dengan urusan yang kita sendiri tidak terlibat di dalamnya.

Membicarakan Maluku tidak akan pernah lepas dari peristiwa pilu pada Idul Fitri tahun 1999. Ketika itu, ratusan Acang (sebutan bagi Muslim Maluku) meregang nyawa ditebas atau tertusuk panah Wire Obet (sebutan bagi orang Kristen Maluku). Mirisnya, peristiwa itu terjadi pada hari raya yang amat gegap gempita dirayakan oleh setiap warga muslim di lain pulau selain gugusan Maluku. Namun, berbeda keadaannya dengan muslim Maluku ketika itu yang harus bertarung mempertahankan akidah dengan darah. Saya jadi ingat puisinya Iwan Simatupang: malam lebaran/ bulan diatas kuburan.

Tidak tinggal diam, sebagian muslim di berbagai pulau di Indonesia bereaksi dan mengumandangkan Jihad. Salah satunya adalah Lasykar Jihad Ahlu Sunnah Wal Jamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang mengirimkan para lasykarnya untuk membela akidah Muslim yang terinjak-injak. Aparat masih adem-ayem dalam menghadapi kerusuhan. Bahkan cenderung memihak salah satu kubu. Alih-alih Ja’far diberikan medali penghormatan, malah dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh memprovokasi massa untuk berbuat rusuh di Maluku.

Hal ini menjadi lain jika yang terancam keselamatannya adalah Presiden Republik Indonesia. Maka, seluruh pihak yang menamakan dirinya aparat pun pada kebakaran jenggot, merasa kehilangan muka di depan presiden—merasa kecolongan dengan peristiwa pembentangan bendera Benang Raja.

Media-isnet.org pernah merilis bahwa kerusuhan Maluku dalam rentang waktu 1999-2001 didalangi oleh separatis RMS yang berada di luar negeri (khususnya Belanda) maupun di Maluku sendiri (khususnya di daerah Aboru). Sudah menjadi rahasia umum, Aboru adalah tempat bagi para pengikut setia RMS. Paling tidak, menjadi simpatisan RMS. FKM/RMS sebagai organisasi perlawanan melakukan pengkaderan secara tersistematis hingga kini. Lalu mengapa RMS mengobarkan api kerusuhan dengan menumbalkan warga muslim Maluku?

Masih di media-isnet.org, menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara kepanjangan dari RMS bukanlah Republik Maluku Selatan seperti sekarang, tetapi Republik Maluku Serani. Serani adalah sebutan bagi pemeluk Nasrani. Apakah RMS merupakan persiapan untuk mendirikan negara berdasarkan ajaran Kristus di bumi Al-Muluk? Jika ya, maka saya tidak habis pikir mengapa diperjuangkan dengan kekerasan dan darah. Apalagi tidak menganggap Muslim Maluku sebagai manusia yang punya hak juga atas tanah Maluku. Ajaran Kristus adalah ajaran cinta damai, ajaran berkasih sayang. Dan saya pikir salah jika direpresentasikan dengan pedang, ujung tombak atau panah wire. Jika dirunut sejarah, maka Nasrani bukanlah agama pertama yang masuk ke Maluku. Islam lebih dahulu masuk dan menyebarkan ajarannya sehingga Ibnu Battutah menjuluki Maluku dengan sebutan Jazirah Al-Muluk.

Namun, jika kita melihat tingkah laku pemerintah Indonesia dari dahulu sampai sekarang, maka pantas saja ada gerakan separatis di daerah-daerah seperti di Maluku, Papua Barat dan Aceh. Khusus Aceh, memang sudah kondusif. GAM maupun RI telah bersepakat membangun Aceh bersama-sama. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, semua itu karena Tsunami yang menerjang Aceh. Jika Tsunami tidak terjadi, maka mungkin saja kan GAM masih angkat senjata?

FKM/RMS menganggap pemerintah Indonesia sebagai bentuk dari new colonialism. Memaksakan kehendaknya (Jawa) kepada Maluku. Melakukan penyedotan secara sporadis terhadap hasil alam Maluku, sehingga banyak warga Maluku yang dililit kemiskinan. Pada paragraf terakhir pidato HUT RMS yang ke-54, (seperti yang dimuat pada majalah Sabili NO. 22 TH. XI 21 Mei 2004/ 1 RABIUL AKHIR 1425) Alex Manuputty menulis begini:
“Adakah hadiah-hadiah ini sebanding dengan kekayaan yang sudah Maluku berikan buat Indonesia? Adakah kebaikan yang telah Indonesia berikan bagi Maluku yang sudah berkorban bagi Indonesia selama ini? Ataukah bahwa kebaikan yang diberikan hanyalah kepada anjing-anjing kurap penjilat pantat Jawa? Hanyalah kepada anjing-anjing kurap pengkhianat bangsa Maluku yang menjual kesulungan bangsa Maluku.”

Tentu pendapat Sekjen FKM/RMS ini tidak jauh beda dengan pendapat Seth Jafet Rumkorem sebagai pimpinan dari OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pada situs KABARPAPUA ONLINE, pemimpin OPM ini mengatakan bahwa: “Kepada generasih penerus Bangsa Papua Barat bahwa saya menghimbau jangan pernah mundur namun maju terus dan gunakan seluruh ilmu dan talentamu untuk berjuang demi Bangsamu, Tanahmu dan Rakyatmu.”

Himbauan ini merupakan bagian dari seruan kemerdekaan dalam menyambut HUT kemerdekaan Papua Barat yang jatuh pada 1 Juli 2007. Masih pada situs KABARPAPUA ONLINE, seorang yang bernama Makimee menulis: “Apakah kita harus diam. Apa kita harus serahkan tanah kita dan harga diri kita secara gratis kepada Indonesia kolonialis? Tidak! Kita tentu tidak akan pernah dan mau menyerahkan tanah dan harga diri kita secara gratis. Kita tidak akan pernah mau tunduk pada penguasa yang menginjak-injak harga diri kita sebagai manusia dan bangsa.”

Lalu, Makimee ini mengutip tulisan yang ditulis oleh seseorang bernama Oridek Ap. Diketahui Oridek Ap adalah anak dari budayawan dan antropolog Melanesia Arnold C. Ap, pemimpin dari kelompok musik-tari tradisional yang bernama Mambesak. Menurut Oridek, ayahnya dibunuh oleh alat-alat pemerintah Indonesia, sehingga ia harus menulis begini: “Dengan Proklamasi itu (1 Juli 1971) kita nyatakan bahwa, kami tidak akan ikut perjuangan yang diatur oleh negara-negara kolonis (seperti Belanda atur-atur kami di tahun limapuluan dan enampuluan) sampai bisa membawa kekalahan di tahun 1969 itu. Lewat Proklamasi kami kasih tunjuk bahwa perjuangan kita buat capai West Papua Merdeka 100%. Tergantung dari kita bangsa West Papua sendiri. Kalau bapa-bapa Proklamasi (generasi tua) tidak mau dan bersengaja buat lupa tanggun jawab Proklamasi, kita anak anak Proklamasi (generasi muda) harus bertindak sendiri dan membelah Perjuangan Proklamasi, untuk capai West Papua MERDEKA 100%, diluar semua penjaja-penjaja.”

Menurut Makimee, di akhir tulisan Oridek mengatakan: “Jangan kita biarkan diri untuk dapat tipu lagi, seperti dulu Belanda tipu kami dengan janji-janjinya, yang dia tidak lunasi sampai hari ini. Belanda dulu kasih bangsa West Papua bendera 'Fajar—Bintang Kejora--' dan lagu bangsa 'Hai tanah ku Papua' juga bukan dengan maksud untuk lepaskan kami buat berdiri dan bernegara sendiri, sama sekali tidak. Indonesia itu sesatu negara yang sedang 'developing' dan ada banyak utang-utang sama negara-negara kapital, sebab Indonesia sendiri ingin jadi negara kapital. Sama saja seperti negara-negara kapital yang lain, Indonesia tidak akan terima pica belahan di dalam 'kesatuan' R.I. (Gus Dur sendiri sudah bilang) dan dia akan pakai semua cara-cara 'demokrasi', dengan maksud buat menjauhkan (kalau bisa matikan) gerakan-gerakan yang bersifat untuk bernegara sendiri. Kalau kita mau menang dan bernegara sendiri kita harus lihat kembali ke akar-akar perjuangan bangsa kita, pertanhankan 1 juli 1971 sebagai hari lahir Republik West Papua dan anggaran-anggarannya kita harus tahan sebagai anggaran-anggaran negeri kita. Sampai disini saja dulu, dan kalau saudara/ saudari rasa pendapat saya tidak betul atau tidak logis, kita bisa diskusi terus, terima kasi banyak buat saudara/ suadari punya waktu baca.”

Tentunya, setelah peristiwa di acara Harganas Ambon maupun masih antusiasnya para pengikut OPM atau RMS dalam menyuarakan kemerdekaannya, pemerintah Indonesia harus introspeksi diri, sampai sejauh manakah program otonomi daerah berjalan. Nasib rakyat di daerah, itu lebih penting daripada dana pemerintah dialokasikan kepada dana operasional pemerintah yang tidak karu-karuan. Apalagi, jika aparat pemerintah hanya sibuk dengan garis politiknya masing-masing. Bukan saja rakyat di Maluku dan di Papua yang kesal, tetapi seluruh rakyat Indonesia muak melihat dagelan pemerintah seperti itu. Uang rakyat habis percuma, tapi hasil nihil. Dan akibatnya, satu demi satu, wilayah Indonesia pun tergadaikan. Semoga tidak!

*Penulis merupakan anggota Labor Penulisan Kreatif Fak. Sastra Unand. Padang