Agama ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Agama

Sunday, January 13, 2008

Beragama Di Negara Pluralis
Oleh Ahmad Asroni*

Judul : Islam Syariah vis-à-vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
Penulis : Zuly Qodir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Agustus 2007.
Tebal : xxii + 351 halaman

Indonesia adalah negeri yang unik. Betapa tidak, negeri yang dihuni lebih dari 200 juta manusia ini tumbuh subur beraneka ragam agama, bahasa, dan kultur. Tentu saja, keragaman tersebut merupakan kekayaan sekaligus modal sosial yang teramat berharga yang sudah semestinya disyukuri dan dirawat. Namun, keragaman tersebut –jika tidak dikelola dengan baik— akan membawa petaka bagi negeri ini. Dalam konteks kehidupan beragama misalnya, Indonesia yang dahulu dikenal oleh publik dunia sebagai bangsa yang santun dan toleran dalam beragama, akhir-akhir ini seakan berubah menjadi salah satu negeri yang paling menyeramkan menyangkut kehidupan beragama. Ancaman terorisme berbendera agama merebak di seantero negeri. Demikian juga dengan konflik berbau agama terjadi di mana-mana. Konflik di Ambon dan Poso adalah sedikit contoh betapa agama telah menjadi justifikasi untuk saling membunuh dan meniadakan. Berbagai problem keagamaan tersebut sepertinya enggan beranjak dari bumi pertiwi ini. Sungguh kehidupan beragama di negeri ini benar-benar sedang dirundung lara dan duka.

Menurut Zuly Qodir, setidaknya terdapat tiga problem utama yang menyelimuti kehidupan beragama di Indonesia. Pertama, problem teologis. Problem ini merupakan turunan dari ideologi-keyakinan penganut setiap agama, sehingga tidak jarang membuahkan truth claim yang berujung pada pemutlakan akan kebenaran agamanya sendiri serta menganggap agama lain salah dan sesat. Problem teologis ini kerapkali dinisbatkan dan seolah-olah mendapatkan legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara rigid-tekstual. Kedua, problem kultural. Problem kultural ini menyangkut world view dan segenap kultur dalam masyarakat yang telah established menyangkut hubungan dengan penganut agama lain. Terjadinya perpindahan agama (konversi) misalnya, seringkali menimbulkan friksi di antara umat beragama. Padahal, jika kita memiliki pemahaman yang tidak stereotype tentang agama-agama, sesungguhnya konversi adalah proses yang wajar manakala dilakukan dengan cara yang santun, sadar, dan tanpa paksaan. Ketiga, problem struktural. Problem struktural ini lahir akibat kontrol dan intervensi negara yang demikian hegemonik atas kehidupan umat beragama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam peraturan-peraturan mengenai umat beragama, pembangunan rumah ibadah, dan sebagainya.

Kuatnya campur tangan pemerintah terhadap kehidupan beragama dapat dilihat pula pada fenomena banyaknya perda-perda berbau syariat Islam. Disadari atau tidak,

digulirkannya otonomi daerah berimplikasi pada akses selebar-lebarnya bagi daerah untuk menerapkan perda-perda berlabel syariat. Berdasarkan survei yang dilakukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aspirasi sebagian masyarakat untuk menerapkan syariat Islam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tercatat hingga 2004, responden yang menginginkan pelaksanaan syariat dituangkan dalam aturan pemerintah mencapai 75%. Selain Nangroe Aceh Darussalam, tuntutan tersebut misalnya datang dari Sulawesi Selatan, Banten, Riau, dan beberapa kabupaten seperti Cianjur, Mataram, Pamekasan, Bulukumba, dan beberapa kotamadya dan kabupaten lainnya. Tentu saja, tuntutan penerapan syariat tersebut tidak saja menyisakan problem yang cukup pelik di level keagamaan, terutama menyangkut hubungan Islam dengan agama lain, namun juga menyangkut hubungan Islam dengan negara. Secara historis, bangsa Indonesia didirikan di atas nilai-nilai kebhinekaan, bukan ke-eka-an. Konstitusi telah mendeklarasikan bahwa negeri ini adalah negeri pluralis, sebuah negeri yang menjadi milik bersama, bukan milik golongan atau kelompok tertentu. Namun, dengan formalisasi syariat Islam sejatinya akan mengikis keragaman beragama dan berbudaya sebagaimana telah terjadi pada negara-negara yang telah menerapkan syari’at Islam.

Dalam konteks inilah, Zuly Qodir menyerukan pentingnya penataan ulang secara memadai berkaitan hubungan agama dan negara dalam konstruksi masyarakat sipil yang pluralis dari segi agama. Menurutnya, syariat harus mampu mengakomodasi

kepentingan-kepentingan minoritas dan menghormatinya sebagai bagian dari hak-hak dasar yang harus diakui. Disinilah peranan Muhammadiyah dan NU sebagai ormas terbesar di Indonesia yang tidak secara resmi mendukung formalisasi syariat Islam menemukan relevansinya. Selain itu, identifikasi problem masyarakat agama dalam realitas pluralisme agama yang ada di Indonesia harus dilakukan secara terbuka, sehingga di antara penganut agama-agama saling memahami. Dialog yang terbuka, jujur, dan intensif mesti terus dilakukan sehingga terjadi kesepahaman dalam membangun masa depan Indonesia yang berbasis pada multikulturalisme dan civic religion.

Oleh karena itu, gagasan untuk mereformulasikan kembali hubungan antar agama dalam konteks masyarakat pluralistik seperti Indonesia tidak lain merupakan gagasan yang berupaya mendialogkan unsur-unsur esensial dari syariat Islam dalam tatanan masyarakat sipil yang pluralis. Problem dialog antaragama, problem kemiskinan, problem demokrasi dalam masyarakat Islam Indonesia, termasuk partai politik dan pemilu sejatinya berada dalam bingkai problem teologis, kultural, dan struktural. Dus, lanjut Zuly Qodir, penyelesaiannya juga harus mencakup tiga ranah tersebut. Apabila hanya pada salah satu ranah saja, maka yang akan terjadi adalah proses problem solving yang gradual dan tak pernah tuntas. Dalam kerangka semacam itulah, sesungguhnya buku ini dihadirkan. Meskipun buku ini diangkat dari karangan-karangan penulis pada beberapa jurnal yang konteksnya berlainan, namun buku ini cukup informatif dan menarik bagi siapapun yang hendak mengkaji masalah sosial-keagamaan di Indonesia, teristimewa terkait dengan studi Islam yang demikian complicated dan beragam.

*Pemimpin Redaksi SC News, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Direktur Religions and Tolerance Studies Forum (RTSF) Yogyakarta.