Jahil ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Jahil

Friday, January 25, 2008

Jahiliyah Modern
Oleh M. Dawam Rahardjo

Istilah jahiliyah modern ditemukan dan dipopulerkan oleh Sayid Qutb, seorang ulama Mesir dan pendiri Gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang kemudian, bersama-sama dengan Jamia'tul al-Muslimin yang didirikan oleh ulama India, Abul A'la al-Maududi, dikenal sebagai pelopor gerakan fundamentalisme Islam atau Islamisme di zaman modern.

Sayid Qutb sebenarnya adalah murid pembaru dari Al-Azhar, Mohammad Abduh. Tapi ia justru menjadikan gurunya itu sasaran kritiknya sebagai pemuka jahiliyah modern, karena Abduh menerima modernisme Barat yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir dan diterima oleh Raja Mesir pada waktu itu, Mohammad Ali.

Dalam penerimaan modernisme itu, para pembaru Islam tidak hanya menyambut penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, tapi juga menyerap kebudayaan Barat, sehingga menurut Qutb, kaum muslimah menanggalkan pakaian jilbab mereka dan menggantikannya dengan busana Barat dan membuat siaran-siaran radio serta TV yang mengusung kesenian dan kebudayaan Barat. Sikap seperti itu, menurut Qutb, adalah sikap yang mencerminkan kebodohan sebagian umat Islam, sehingga umat Islam tercebur ke dalam situasi jahiliyah modern.

Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian jahiliyah di zaman Nabi, kaum jahiliyah adalah mereka yang bertahan dengan kepercayaan dan budaya tradisional Arab yang menganut kepercayaan Pagan, sehingga mereka menolak pembaruan Islam yang diusung oleh Nabi. Tapi, menurut definisi Qutb, jaliliyah modern adalah mereka yang justru menerima gagasan-gagasan pembaruan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern.
Sebenarnya reaksi terhadap modernisme dipelopori justru oleh penganut Yahudi kemudian diikuti oleh kaum Katolik Roma dan akhirnya di kalangan Gereja Protestan, modernisme juga yang melahirkan fundamentalisme Kristen. Dari sinilah kita sekarang memperoleh pengertian mengenai fundamentalisme agama. Reaksi itu antara lain berupa pemecatan terhadap pejabat sinagoge, pastor, dan pendeta yang dinilai menerima dan mengembangkan pemikiran liberal. Preposisi mereka sebenarnya ingin menyeimbangkan iman dan tradisi, dengan ilmu pengetahuan modern. Tapi pandangan ini pun tetap ditolak.

Berbeda dengan tiga kelompok agama itu, modernisme justru disambut oleh para ulama Islam, seperti Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Ulama-ulama pembaru itu tidak menganggap modernisme sebagai ancaman terhadap akidah, karena mereka berkeyakinan dan percaya diri bahwa Al-Quran itu tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, modernisme telah menimbulkan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. KH Ahmad Dahlan, H O.S. Tjokroaminoto, dan H Agus Salim yang kemudian melahirkan Islamiten Studieclub-- yang menerbitkan jurnal Het Leight atau Al-Nur--menyambut modernisme, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, tapi juga ilmu pengetahuan modern guna memajukan umat Islam dan mengusir penjajahan Barat.

Reaksi terhadap modernisme dan menganggapnya sebagai modern jahiliyah di dunia Islam ternyata justru datang kemudian, sedangkan umat Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan telah jauh menerima serta mengembangkan modernisme. Jahiliyah modern sebenarnya justru harus dialamatkan kepada Sayid Qutub sendiri, yang kemudian diikuti oleh Naqiyuddin Nabhani yang menolak segala pengaruh luar, terutama Barat.
Bagi mereka ini, Islam itu--sebagaimana tecermin dalam doktrin Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah, sudah mencukupi (self sufficient). Sikap seperti itu sebenarnya dicela oleh Al-Quran, dengan istilah istaghna. Padahal perkembangan umat Islam yang diliputi oleh kemiskinan dan kebodohan itu justru membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang telah dikembangkan di Barat. Tapi ilmu pengetahuan itu bersifat universal, yang berlaku dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang ras, agama, dan aliran politik. Hanya dengan ilmu pengetahuan itu umat Islam dapat keluar dari situasi jahiliyah modern, yakni situasi kegelapan atau kejumudan.

Jadi siapakah yang sebenarnya lebih tepat disebut kaum jahiliyah modern? Pertama, mereka yang menolak ilmu pengetahuan modern dan tidak mau memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat. Penolakan itu bisa terang-terangan, bisa pula berselubung, misalnya dengan mengemukakan segi-segi negatif atau mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak diimbangi oleh nilai-nilai keagamaan. Masalahnya adalah doktrin keagamaan dan filsafat ilmu Islam model Islamis itu tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan perkataan lain, kelompok ini menentang modernisme dan modernisasi dengan melupakan manfaatnya dan menonjolkan segi negatifnya.

Kedua, mereka yang secara sadar atau tak sadar telah menutup pintu ijtihad dan menganggap doktrin yang sudah dirumuskan baik oleh Ahlul Sunnah wa al-Jama'ah maupun Syiah sudah final dan merupakan end of history dalam perkembangan pemikiran Islam. Tapi, ketika Universitas Islam Negeri dewasa ini mengembangkan studi dan pengajaran kritis serta menyerap teori-teori sosial dalam mengembangkan pemikiran atau ijtihad, lembaga itu dituduh telah melakukan pemurtadan dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang keliru.

Para mahasiswa mempelajari ilmu fikih, tapi mereka menentang legislasi syariah sebagai hukum positif. Masalahnya di sini, fikih ortodoksi dewasa ini sudah dianggap memadai dan membuahkan masalah-masalah kontemporer, misalnya nikah beda agama atau waria yang terampas hak-haknya. Juga karena penerapan hukum-hukum syariah itu telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Tapi hal-hal seperti itu diketahui dan disadari oleh para sarjana agama sendiri. Karena itu, lembaga pendidikan tinggi ilmu-ilmu keislaman tradisional justru merupakan sarang pembaruan.

Dan akhirnya kaum jahiliyah modern adalah mereka yang mencanangkan fundamentalisme Islam dan puritanisme semacam Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir. Mereka itu tidak melihat ke depan, melainkan ke masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Padahal model itu pun tidak bisa bertahan lama, karena Islam akhirnya menyerap peradaban-peradaban Yunani, Persia, Mesir, dan India, sehingga umat Islam mengalami pencerahan dan meraih puncak peradaban dunia saat itu. Karena itu, tidak ada yang murni dalam Islam, karena Al-Quran pun berisi istilah-istilah jahiliyah dan asing.

Sumber: Koran Tempo [23 November 2007]