Protes ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Protes

Saturday, January 12, 2008

Surat (Protes) Akhir Tahun
Oleh Tedi Taufiqrahman

Apa yang akan kau lakukan menjelang berakhirnya suatu masa ini? Merencanakan masa depan, tanpa peduli pada apa yang kau kerjakan di hari-hari yang berlalu? Ataukah justru sebaliknya: mengenang dengan mesra kerena sadar semuanya itu tak akan kembali tiba? (Ayat Rohaedi, Surat Akhir Tahun)

BAGI sebagian orang, pergantian tahun hanyalah aktivitas mengganti kalender lama dengan yang baru, menonton acara televisi yang menarik, meniup terompet, atau hura-hura di berbagai tempat. Lebih dari itu, sebenarnya ada makna lebih dalam yang bisa ditarik, yakni merenung terhadap apa yang telah diperbuat di masa lalu dan mencoba meningkatkan kualitas diri pada masa mendatang.

Akan tetapi, bukankah berintrospeksi dan merenung tidak mesti menunggu sampai berganti tahun? Betapa borosnya kita menghabiskan waktu, jika untuk berintrospeksi saja mesti menunggu akhir tahun. Bukankah nabi juga pernah berkata dalam salah satu hadisnya, "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang itu rugi. Sedangkan bila hari ini lebih jelek dari kemarin ia termasuk orang yang celaka"

Nabi menganjurkan umat manusia untuk berintrospeksi dalam akurasi waktu hari, bukan tahun. Dengan adanya "hajatan introspeksi" ini, semakin meneguhkan bahwa memang bangsa kita adalah bangsa minimalis dalam segala hal, kalau dalam satu hari tidak bisa berintrospeksi, ya setidaknya satu tahun. Seandainya tidak ada momen tahun baru, apakah kita masih sempat untuk berintrospeksi? Itulah mengapa nabi menganjurkan untuk berintrospeksi diri dalam jangka satu hari karena siapa yang menjamin bahwa kita akan hidup selama satu tahun?

Hanya sebatas momen

Apa yang akan kita lakukan menjelang berakhirnya suatu masa ini? Menyibukkan diri, atau tidak berbuat apa pun, hanya menerima apa yang akan tiba entah bagaimanapun adanya?

Tahun Baru Masehi—yang baru kita lewati—hanyalah sebatas momen walaupun bukan satu-satunya momen. Terserak momen-momen lainnya. Namun, di antara serakan itu, paling tidak dapat dibagi ke dalam dua momen, personal dan global (publik).

Momen personal adalah momen yang dialami oleh seseorang secara pribadi dan khas. Momen ini bisa jadi sama atau berbeda. Misalnya, saya memiliki momen yang menggembirakan tatkala mendengar lagu The Beatles dan ternyata orang lain pun sama walaupun dengan kejadian yang berbeda. Dalam kaitannya dengan agama, momen ini disebut "herofani", yakni pengalaman spiritual kecil yang terjadi pada diri seseorang.

Adakalanya momen personal ini bisa menjadi momen global. Contohnya, pengalaman spiritual para nabi yang kemudian menjadi momen besar bagi umatnya. Sebut saja momen Iduladha, Isra Miraj, Natal dan lainnya.

Sedangkan momen global adalah momen yang menyangkut orang banyak atau publik, baik nasional maupun internasional. Setiap orang memiliki kesamaan dalam momen ini. Misalnya tahun baru, Piala Dunia, dan lainnya. Momen global ini memiliki derivasinya. Salah satunya adalah derivasi agama. Tahun baru yang baru saja kita lewati, sebenarnya adalah Tahun Baru Masehi yang memiliki akar sejarahnya pada tradisi Kristiani.

Maka dari itu, ironis sekali bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, ternyata lebih tertarik merayakan Tahun Baru Masehi dan menganggap biasa saja Tahun Baru Hijriah, yang tepat pada tanggal 10 Januari 2008 akan menginjak tahun 1429 Hijriah. Dalam hal ini, kita sepatutnya bisa mencontoh masyarakat Cina yang tetap teguh merayakan tahun barunya.

Kalau momen ini sering dijadikan festival muhasabah, sudah saatnya bagi kita umat Muslim untuk merenungkan hadis nabi yang menyatakan, "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk ke dalam golongan kaum itu".

Sekali lagi, tahun baru hanyalah sebatas momen. Tidak mesti menunggu selama satu tahun untuk berintrospeksi. Semoga petikan puisi dari Ayat Rohaedi itu akan terus mendengung dan mengajak kita untuk terus menyelam diri. Wallahu a‘lam bis shawab.***[PR, 03/01]