Beragama ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Beragama

Thursday, January 24, 2008

Kebebasan Beragama dalam Konteks Indonesia
(Peningkatan Kesadaran Islam Pribumi)1
Oleh Hilyatul Auliya

Budaya sebagaimana yang kita ketahui memiliki peran signifikan dalam proses penyebaran suatu agama. Agama akan lebih akseptabel di kalangan masyarakat luas bila ia mampu memahami tradisi yang dianutnya. Budaya juga, sering dianggap sebagai sesuatu yang given, terjadi secara alami dan apa adanya.

Padahal, budaya adalah ciptaan manusia secara kolektif yang punya tujuan tertentu, dan ia menjadi identitas pembeda yang cukup fundamental antara yang satu dengan yang lain.

Sebenarnya, budaya tidak hanya digunakan sebagai sarana pursuit of total perfection, penyempurnaan kehidupan manusia, tetapi sekaligus digunakan sebagai sarana menciptakan glory (kemegahan). Dus, hegemoni, dan imperialisme kebudayaan sangat tidak bisa dielakkan. Budaya pada akhirnya juga dijadikan sebagai sarana penaklukan dan penguasaan atas budaya lain dengan alasan apapun. Dan semuanya cenderung pada penguasaan yang bersikap hegemonik maupun represif. Maka, tidak mengherankan apabila kemudian imperialisme kebudayaan juga akan bertransformasi menjadi kolonialisme politik.

Agama dan politik, sejak lama telah disebut-sebut merupakan dua aspek elementer dalam peradaban manusia, yang memiliki urgensitas pengaruh dan peran. Karenanya, persoalan hubungan antar keduanya pun juga telah menjadi bahan kajian dan pemikiran para ilmuwan, filosof maupun para teolog dalam sepanjang sejarah. Sebab politik selalu mempengaruhi agama, sekurang maupun sebanyak agama mempengaruhi politik, sementara upaya untuk memahami keduanya secara terpisah, cenderung malah mengaburkan persoalan dan bukan semakin memperjelasnya.

Relasi agama dan politik ini kemudian diperkeruh oleh identitas-identitas kebudayaan yang konon lebih bersifat lokal-temporal tinimbang agama itu sendiri yang universal. Carut marut antara wilayah agama dan budaya tidak kurang rumitnya daripada agama dan politik. Bahkan dalam konteks kebudayaan jauh lebih pelik karena ia tidak hanya bergerak dalam level tindakan tetapi juga adat (kebiasaan) yang menyejarah dan menjadi identitas sebuah Bangsa.

Proses kedatangan Islam ke Indonesia, yang relatif damai dan adem-ayem menemukan momentumnya untuk dibuktikan. “Serbuan” yang keduakalinya para penyebar belakangan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Disatu sisi, fenomena tersebut bisa dimaknai sebagai kebangkitan Islam, namun disisi lain, tampilan wajahnya yang tidak bersahabat dengan “warna” lain, sekaligus menjerumuskan citra Islam itu sendiri.

Islam tentu saja agama bagi semua manusia, dimanapun ia berada. Keanekaragaman budaya dan adat istiadat manusia di muka Bumi ini, bukankah salah satu tanda kebesaran Tuhan itu sendiri, sama halnya dengan diturunkannya al-Qur’an. Bukankah keduanya adalah “ayat-ayat’-Nya. Lalu, haruskah semuanya menjadi seragam dalam satu budaya yang satu (Arab). Bila kita menolak dijajah Barat secara politik-ekonomi-budaya, kenapa kita harus tunduk dijajah Arab secara Agama?

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dalam mengadaptasi kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau keislaman seseorang. Tetapi ketika Arabisasi atau proses pengidentifikasian diri dengan budaya Timur Tengah dianggap sebagai ekspresi tunggal dan diyakini paling absah dalam beragama dan berkebudayaan, sehingga ekspresi kearaban menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi lain sehungga menyebabkan tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih parah lagi tradisi Indonesia kemudian dianggap sesat, musyrik atau bid’ah. Selain itu, Arabisasi belum tentu cocok sesuai dengan kebutuhan. Maka, pribumisasi bukan hanya upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru ia berperan sebagai “cagar budaya” Indonesia.

Relasi antara budaya (adat) dan agama (fiqh), memang berkaitan erat dengan tema pribumisasi Islam. Ushul fiqh misalnya mengadopsi kaidah al-’adat muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Namun, harus digarisbawahi bahwa adat tidak bisa mengubah nash. Adat hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja.

Pribumisasi Islam dengan demikian, merupakan jawaban dari “Islam otentik” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia sehingga Islam hanya dipandang sebagai tunggal bukan majemuk. Pribumisasi Islam mengasumsikan bahwa Islam yang di Timur Tengah bukan Islam murni yang paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

Pribumisasi Islam, memang bukan hanya sebatas wacana mengenai kebudayaan dan dominasi, namun juga bisa menjadi sarana tentang diferensiasi dan resistensi. Wacana tentang kekuasaan (agama) bukan hanya mengenai dominasi dan hegemoni, melainkan juga tentang hubungan antara pusat (Arab) dan periferi (’ajam) yang sifatnya mendua, penuh ambivalensi. Ada kecenderungan dari pusat untuk melakukan homogenisasi, penyeragaman, namun melahirkan salinan yang kabur (burred copy) dipinggiran.

Sehingga, wilayah periferi tidak pernah memproduksi secara tepat kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan institusi-institusi yang mereka peroleh dari pusat. Mimikri selalu menghasilkan salinan yang kabur dari apa yang ditiru. Dengan kata lain, hubungan antara pusat dan periferi adalah hubungan yang ambivalen. Di satu sisi ada peniruan, namun juga ada sisi-sisi pengejekan dan bahkan resistensi.

Hal ini mirip dengan apa yang disebut fenomena globalisasi dan logika modernitas. Ada kecenderungan untuk menyeragamkan, seperti tampak dalam arus yang dikenal dengan “McDonaldisasi” atau “Amerikanisasiâ€. Tapi, dibalik semuanya ada juga lokalisasi yang berupa dialog, negosiasi atau bahkan resistensi dengan menolak atribut-atribut globalisasi. Dan hubungan tersebut sangatlah kompleks, tumpang tindih dan tidak sesederhana membentangkan busur panah dan mengarahkannya secara lurus ke sasaran.

Hal ini menunjukkkan Islam Indonesia (Islam pribumi) yang notabene Islam yang sama dengan Islam Arab, Islam China atau Islam manapun di dunia secara ajaran. Ia bisa jadi berbeda, namun hanya pada tataran atribut yang kamuflatif, bukan pada esensi Islam itu sendiri. Islam Indonesia menawarkan Islam yang tetap shaleh secara teologis sekaligus secara kultural.

Penghakiman terhadap kontradiksi dalam pengekspresian keislaman adalah kecenderungan untuk mengunakan bahasa prosais dengan makna denotasinya, tapi jika kita menghormati kontradiksinya maka kita akan melihat makna yang beraneka, sebuah peningkatan kesadaran Islam pribumi yang menjelma menjadi puisi.





1 Tulisan ini dibuat oleh Hilyatul Auliya sebagai syarat pendaftaran peserta Pelatihan Jaringan Islam Kampus II yang diadakan oleh JarIK Jogja dan LSAF.



CURICULUM VITAE

Nama : Hilyatul Auliya, S.Th.I

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 01 Juni 1981

Alamat Kos : Jl. Timoho 124 Yogyakarta 55281

Alamat Rumah : Gintung Tengah 19 A Ciwaringin Cirebon

No. Hp : 081392069663

Pendidikan

1. Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000-2005

2 Konsentrasi studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam, Jurusan Hukum Islam, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006-Sekarang

Pengalaman Organisasi

1. BEM Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

4. Suluh Perdamaian Yogyakarta

5.IKMP (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta