Syariat ~ .:|| X JarIk (Jaringan Islam Kampus) Bandung X ||:.
RSS

Syariat

Thursday, January 31, 2008

Rekontruksi Syariat Islam di Indonesia
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Sebagai sebuah bagian yang diyakini oleh sebagian kalangan merupakan ajaran agama Islam, maka Syariat Islam sejak lama tidak pernah bisa dilepaskan eksistensinya dari umat Islam.

Berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia disibukkan dengan urusan penegakkan syariat Islam ini, termasuk di dalamnya perdebatan madzhab mana yang dijadikan sebagai madzhab terbaik yang menjamin pengikutnya mendapatkan keselamatan. Nah, selama bertahun-tahun umat Islam nyatanya terjebak dalam perebutan otoritas kebenaran. Tentang siapakah, golongan manakah, madzhab manakah, ini-itu dan sebagainya.

Padahal, perbedaan-perbedaan tersebut sangatlah wajar dan manusiawi. Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya, otoritas kebenaran absolut hanyalah milik Sang Maha Benar, Tuhan. Adapun wahyu dan dakwah dari utusannya, telah tereduksi dengan sendirinya karena membutuhkan penalaran dan pemahaman yang sesuai dengan konteks ruang, waktu dan orang-orang yang dituju.

Yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa perbedaan-perbedaan pemahaman tersebut campur-aduk dengan kecongkakan hati dan kedangkalan pikiran yang tidak berkenan menerima realitas perbedaan pemahaman tersebut. Hal ini bahkan semakin diperparah dengan politisasi teks-teks keagamaan oleh pihak penguasa agar lebih mudah menjinakkan kaum yang dikuasainya, atas nama agama dan Tuhan.

Contoh dekat dari kasus politisasi Syariat misalnya terjadi di Tasikmalaya. Di Tasikmalaya, upaya penegakan Syariat Islam tak lebih dari upaya PPP untuk mencari dukungan dari konstituen Islam. Dengan kata lain, mengangkat isu syariat Islam ibarat “dagangan”politik. Pada Pemilu 1999, dagangan yang ditawarkan oleh parta Islam “fundamentalis”, khususnya PPP, berhasil mendongkrak perolehan suara dan memenangkan Pemilu di Tasikmalaya. Sayangnya, paratai-partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam pasca reformasi dinilai sangat mengecewakan. Partai-partai itu hanya memperjuangkan simbol-simbol formal, seperti anjuran memakai jilbab, baju koko, dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Di sisi lain, Tasikmalaya malah menjadi pusat judi. Selain itu, ekses lainnya malah meluasnya praktik-praktik poligami. Adapun pemberantasan korupsi tidak juga berjalan secara konsisten.1
Oleh karenanya, sepantasnyalah jika syariat Islam sudah perlu direkonstruksi oleh penganutnya. Karena, rujukan-rujukan mengenai syariat Islam ini telah lama usang dan karenanya perlu pemahaman baru agar tidak terlepas dari konteksnya.

Syariat Islam dan Negara-Bangsa
Cobaan mutakhir terhadap syariat Islam pasca perang dingin adalah terbentuknya negara-bangsa secara massif hampir di seluruh negara. Ide negara-bangsa yang merupakan dampak tidak langsung dari imperialisme negara-negara Barat atas dunia Islam menimbulkan polemik dan permasalahannya sendiri. Dunia Islam kesulitan memahami konsep negara-bangsa, berikut turunan-turunannya.

Dalam tataran konseptual, gagasan negara-bangsa tentunya sangat berbeda dari apa yang dipahami umat Islam sebagaimana yang ada dalam tradisinya. Batasan geopolitik negara-bangsa nyata-nyata berbeda secara historis-konseptual dan menyempitkan ruang geopolitik Islam. Begitu pun dalam diri Islam sendiri yang terlampau mendikotomiskan wilayah politiknya; yaitu menjadi dar al-Islam (wilayah damai), yaitu wilayah kaum muslim, dan dar al-harb (wilayah perang), yaitu non-muslim, 2 yang tentu saja dalam konteks sebuah negara-bangsa tidak bisa dibenarkan dikarenakan diskriminasinya.

Syariat Islam dan HAM
Hak Asasi Manusia dapat diartikan pada beberapa pengertian dasar, di antaranya:

1.
Jika suatu hak asasi diteguhkan sebagai HAM dan bukannya hak sipil, maka dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, sesuatu yang berlaku untuk seluruh umat menusia di mana pun juga,
2.
Hak-hak asasi dipahami sebagai mewakili tuntutan-tuntutan pribadi dan kelompok untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik dan ekonomi,
3.
Disepakati bahwa hak-hak asasi tidak selamanya bersifat mutlak, hak-hak itu dapat dibatasi atau dikekang demi kepentingan umum atau untuk melindungi hak-hak pihak lain,
4.
HAM bukanlah alat untuk melindungi keinginan pribadi,
5.
Pengertian tentang hak asasi sering mengandung kemestian adanya kewajiban-kewajiban yang terkait.3

Franklin D. Roosevelt pernah menyebutkan 4 kebebasan dasar manusiawi: 1) Kebebasan berbicara dan berekspresi, 2) Kebebasan setiap orang untuk beribadah kepada Tuhan dengan caranya sendiri, 3) Kebebasan dari kekurangan, dan 4) Kebebasan dari rasa takut.4
Secara historis, HAM lahir berasal dari Barat dan merupakan buah dari imperialisme Barat. Universalisme HAM memang menimbulkan kontroversi karenanya. Pun demikian, banyak negara-negara yang mengikuti Deklarasi Universal HAM serta konvenan-konvenan internasional lainnya yang berkaitan dengan HAM, termasuk negara-negara di dunia Islam. Bahkan hingga saat ini wacana HAM ini berusaha dikembangkan legitimasi teologisnya dalam Islam.
Ishaque (1974) menjelaskan bahwa dalam hukum Islam terdapat kira-kira 14 buah hak-hak asasi, yang kesemuanya didasarkan pada firman-firman Allah swt dalam Al-Quran. Keempat belas hak-hak itu mendukung tuuan untuk membina dan membentuk makhluk yang secara moral memiliki kesempurnaan. Hak-hak tersebut antara lain: 1) Hak memperoleh perlindungan hidup, 2) Hak memperoleh keadilan, 3) Hak memperoleh persamaan perlakuan, 4) Kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hukum, 5) Hak untuk terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat dan negara, 6) Hak memperoleh kemerdekaan, 7) Hak memperoleh kebebasan dari pengajaran dan penuntutan, 8) Hak menyatakan pendapat, 9) Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar perbedaan agama, 10) Hak untuk mendapatkan ketenangan perorangan, 11) Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh imabalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yag dilakukan, 12) Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik, 13) Hak atas harta benda dan harta milik, dan 14) Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang sepadan. Sebenarnya dari kesemua hak-hak di atas masih dapat dikembangkan Hak-hak Asasi yang lain yang lebih lanjut, seperti hak memperoleh perlindungan dari serangan fisik dari alat-alat pemerintahan dengan dalih apapun, hak untuk memperoleh bantuan dalam memperjuangkan tuntutan hukum bagi mereka yang teraniaya atau kehilangan haknya atas harta milik yang menjadi bagiannya, dan seterusnya.5

Dari sini, terlihat bahwa Islam sendiri memiliki gagasan HAM. Oleh karenanya, HAM memang dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang universal. Penegakan HAM dengan demikian, termasuk dalam hal menegakkan misi Islam di muka bumi yakni rahmatan lil alamin.

Syariat Islam dan Kesetaraan Gender
Gagasan kesetaraan gender juga termasuk isu yang awalnya diangkat di dunia Barat. Stereotif bahwa Islam tidak mengakomodir gagasan ini berdengung baik itu dari Barat maupun dari kalangan Islam sendiri. Dari kalangan Islam, hal ini nampak semakin ironis, karena penentangan atas gagasan kesetaraan gender ini tidak hanya disuarakan oleh para kaum lelaki, tapi juga secara massif disuarakan oleh para perempuan. Lagi-lagi argumen mereka sangat monolitik, bahwa ide kesetaraan gender datangnya dari para kafir Barat, dan oleh sebab itu haram diikuti.
Pun demikian, di sisi lain, terdapat arus balik dari suara mainstream umat Islam seperti itu. Mereka menyadari bahwasanya Islam sesungguhnya mengakomodir gagasan kesetaraan gender ini.

Pendekatan kesetaraan gender umumnya diawali dengan pencerahan bahwasanya ketidaksetaraan gender yang terjadi di masyarakat tidak lain hanyalah hasil kostruksi masyarakat beserta nilai, norma an ideologi yang dianutnya, ada bukannya sesuatu hal yang given atau kodrati dari Tuhan. Pencitraan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki juga tidak murni hadir sejak pencitaan mereka. Toh manusia – perempuan ataupun laki-laki – sama-sama telanjang tanpa sehelai benang pun.

Akan tetapi, pendekatan seperti ini tidak cukup dalam dunia Islam. Islam masyarakat memerlukan suatu legitimasi teologis sebelum mereka mempertimbangkan gagasan kesetaraan gender ini, walaupun mereka secara tidak sadar memang telah mengikuti gagasan ini. Maka, dasar-dasar teologis pun diungkap untuk mengetahui benarkah ada legitimasi teologis atas gagasan ini.

Amina Wadud menjelaskan bahwa proses penciptaan manusia sejatinya berpasang-pasangan. Meskipun Al-Quran secara jelas menerangkan hubungan perempuan dengan malahirkan anak, namun fungsi lainnya tidak pernah digambarkan sebagai karakteristik lainyag penting secara spesifik bagi perempuan. Dengan demikian, keterangan Al-Quran hanya mengacu pada fungsi biologis perempuan, bukan pada persepsi psikologis dan budaya.6 Selain itu, Amina Wadud juga menjelaskan bahwa dari segi balasan atau pahala, mereka yang berbuat baik, perempuan maupun laki-laki, mandapatkan balasan yang adil dari Tuhan.7 Hal ini menerangkan kepada kita bahwa sejatinya, peran gender antara laki-laki dan perempuan, menurut Al-Quran, setara dan keduanya memiliki hak dan kewajiban yang setara pula.

Sementara itu, Profesor Asma Barlas memberikan prespektif lain. Bahwa menurutnya cara pembacaan dan pemahaman Al-Quran selama ini telah dipelintir sehingga mengikuti dan menghasilkan budya patriarki. Artinya, budaya patriarki menyerobot pemahaman umat Islam sehingga lahirlah stereotif bahwa Islam tidak mendukung kesetaraan gender. Asma Barlas kemudian melanjutkan bahwa Al-Quran perlu dibaca dengan semangat pembebasan, pembebasan di sini yaitu pembebasan dari budaya patriarki yang mencemari semangat egalitarian Al-Quran dan Islam.8

Penentangan lainnya tentang ketidaksetaraan gender dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Thaha. M. Muh. Thaha menggugat bahwasanya ketidaksetaran gender bukanlah ajaran dasar Islam. Sebaliknya, Islam justru meninggikan tanggungjawab perseorangan dalam memikul amanahnya masing-masing. Sama sekali tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dia juga berargumen bahwa saat Islam diturunkan, ia ditujukan pada masyarakat yang sangat patriarkis, yang bahkan tega mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Dari konteks ini, pantas jika Islam tidak langsung menyampaikan revolusi tatanan sosial secara radikal. Isalam secara indah dan ramah justru mengajak umat saat itu untuk bertransisi menuju kemanusiaan yang lebih menghargai martabat perempuan. Ketentuan Islam tentang wanita mendapatkan separo dari laki-laki dalam hal warisan merupakan sebentuk ajaran transisi dari masa jahiliyah. Oleh karena itu, Thaha menentut bahwa ini bukanlah tujuan sebenarnya dari Islam. Islam justru mennjukkan semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan begitu, ajaran itu hanya cocok berlaku bagi konteks masyarakat Arab saat itu saja.9 Lebih jauh dari ini, M. Muh. Thaha sebetulnya tidak hanya menggugat ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan saja, dia juga menggugat poligami, talak, hijab dan pemisahan antara laki-laki dari perempuan, kesemuanya itu bukanlah ajaran dasar Islam, dan karenanya harus ditinggalkan.10

Syariat Islam dan Pluralisme
Fakta bahwa umat manusia diciptakan beranekaragam, maka keragaman atau pluralitas ini perlu mendapatkan jaminan ideologis, yaitu pluralisme. Pluralisme ialah paham tentang keragaman (pluralism is an ism about plurality).

Persentuhan antara syariat Islam dengan pluralisme terlihat dari landasan pemikiran syariat Islam yang memandang bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mencegah bahaya dan menepis beban dan penderitaan. Syariat Islam juga harus diwujudkan dalam kesanggupan individu dan masyarakat. Artinya, syariat Islam haruslah ditegakkan di atas landasan melindungi kepentingan orang banyak (maslahat). Syariat Islam juga dilandaskan pada pemikiran bahwa martabat manusia seluruhnya pada dasarnya setara. Selain itu, syariat Islam juga sangat menyadari kenyataan keragaman ras, suku bangsa, dan agama. Perbedaan-perbedaan ini diakomodir dalam Islam.11

Dalam Islam, non-muslim mendapatkan perlindungan, martabat dan keamanan yang sama dengan muslim. Kesaksian seorang non-muslim juga diterima setara dengan kesaksian seorang muslim. Orang-orang non muslim juga berhak menikmati keuntungan ekonomi dan mengelola kekayaan alam.12 Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan oleh Islam tidak mesti kemudian melahirkan diskriminasi. Sebaliknya Islam sangat menekankan prinsip keadilan untuk diterapkan kepada seluruh umat manusia, tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Islam dalam hal ini mengajarkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus disikapi dengan cara kekerasan. Manusia justru harus menghargai kemajemukan dan menjalin kebersamaan. Dari sinilah pentingnya bagi kita untuk tidak malah memperuncing perbedaan dan seharusnya malah harus menegaskan persamaan.

Perlunya Rekonstruksi Syariat
Persentuhan syariat Islam dengan gagasan-gagasan di atas; negara-bangsa, HAM, gender, dan pluralisme, memang merupakan ekses lain dari perjumpaan antara peradaban Barat dan Islam. Hampir seluruh gagasan itu lahir dan besar di Barat. Di sisi lain, Islam ternyata dianggap dan diyakini tidak memiliki gagasan seperti itu. Oleh karenanya, para pemikir berusaha menemukan dan membuktikan bahwa pendapat seperti itu salah, dengan cara meneliti basis teologis Islam dan peradaban Islam hingga berhasil emnemukan bahwa gagasan ini justru mejadi landasan tegaknya peradaban Islam selama berabad-abad.

Konsekuensi selanjutnya dari akomodasi atas gagasan ini di antaranya adalah liberalisasi politik dari syariat Islam. Hal ini penting mengingat terdapat kesenjangan konseptual misalnya; antara nasionalisme dengan ukhuwah Islamiyah, vox populi dengan vox dei, hak-hak dan representasi politik wanita, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, pilihan selanjutnya adalah liberalisasi syariat Islam, agar sesuai dengan konsep-konsep yang mengiringi gagasan negara-bangsa.
Dari sinilah nampaknya awal dari upaya pemahaman ulang atas syariat Islam berlangsung. Bagaimana pun, meski gagasan negara-bangsa secara langsung berasal dan dipengaruhi oleh negara-negara Barat, namun desakan atas gagasan ini nyatanya berasal dari warga negara-negara Islam itu sendiri. Oleh karenanya, semestinya upaya-upaya liberalisasi syariat Islam tidak melulu dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Justru hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat manusia.

Relasi antara agama dan negara memang seharusnya tidak dipandang secara monolitik. Negara harus secara netral bersedia menerima keberagaman pandangan dan klaim kebenaran. Jika negara tidak memiliki kesanggupan untuk mengatasi hal ini, maka akan terjadi kericuhan dan kekacauan sosial. Ancaman perpecahan dan disintegrasi akan menjadi ancaman serius setiap saat.
Walaupun pemikir-pemikir Islam berusaha menunjukkan bahwa sariat Islam dapat dikompromikan dengan gagasan seperti di atas, akan tetapi, dalam tataran politik, negara tetap harus bebas dari syariat salah satu agama. Gagasan di atas justru harus menguatkan argumen bahwa negara harus mengakomodir pluralitas masyarakat.

Hal yang lebih penting dilakukan saat ini adalah bagaimana merekonstruksi syariat Islam agar benar-benar bisa membuktikan tesis bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan bisa mengakomodir gagasan negara-bangsa, HAM, gender dan pluralisme. Syariat Islam jangan melulu meributkan madzhab mana yang paling benar, atau penafisran bahwa Islam itu adalah din wa daulah.

Rekonstruksi syariat Islam harus berhasil melampaui perdebatan-perdebatan itu. Ada hal lain yang lebih mendesak dari hal itu. Syariat Islam lebih baik menyiapkan diri untuk mendukung gagasan Islam berperadaban. Perdaban Islam tidak bisa ditegakkan di atas otoritarianisme dan pemikiran yang monolitik.

Indonesia Sekarang; Berharap Pada Demokrasi
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi yang sangat besar untuk memulai lahirnya peradaban Islam yang terbuka dan maju, yang kelahirannya dilandasi dengan nilai-nilai universal Islam yang humanis.

Akan tetapi, Indonesia saat ini mendapatkan tantangan terutama dari pihak-pihak yang berkeinginan menegakkan syariat Islam secara formalistik. Gagasan ini tentu mengancam semangat kemajemukan bangsa Indonesia. Padahal, sudah banyak contoh penyimpangan-penyimpangan formalisasi syariat Islam yang terjadi. Terbukti, bahwa hal tersebut tidak menjadi solusi yang tepat bagi problem bangsa Indonesia.

Rakyat Indonesia saat ini bolehlah berharap pada demokrasi yang belum lama ini berjalan. Meski sesungguhnya perjalanan demokrasi masih sangat terjal dan berliku. Kita saksikan saat ini demokrasi Indonesia mengalami masalahnya sendiri. Sistem ketatanegaraan yang ada terus mendapatkan ujian dan mengalami perbaikan di sana-sini. Sistem pemilihan langsung pun mulai mengalami koreksi signifikan. Kritik di sana-sini terus dialami oleh demokrasi Indonesia. Sistem kepartaian pun tengah diguncang dengan oposisi yang tampaknya hanya bermotifkan kekuasaan belaka. Kebijakan partai-partai penguasa bisa tiba-tiba berubah-ubah tergantung pada kepentingan apa yang diusung. Selain itu, politik uang selalu lebih menentukan perubahan politik dari pada aspirasi rakyat.

Meski demikian, hal-hal ini kita bisa nilai sebagai bagian dari demokratisasi Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaimana syariat Islam bisa menempatkan diri dalam konteks tersebut. Posisi syariat Islam paling tidak seharusnya memberikan pencerahan pada motif-motif politik. Sehingga, politik tidak kemudian hanya disemangati oleh perebutan kekuasaan belaka, akan tetapi juga dilandasi oleh semangat profetisme Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Barlas, Asma., Cara Quran Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi, 2005
Barton, Greg, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer, Jakarta: Paramadina, 2005
Sholeh, Badrus (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren , Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007
Thaha, Mahmud Muhammad., Arus Balik Syariah, Yogyakarta: LKIS, 2003
Osman, Mohamed Fathi., Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, Jakarta: Paramadia, 2006
Wadud, Amina., Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2006

1 Gugatan atas politisasi syariat Islam ini juga terjadi di daerah-daerah lain; seperti Cianjur, Garut, Solo, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Lihat, S. Yunanto, Pesantren dan Politik Formalisasi Syariat Islam, dalam Badrus Sholeh (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007), hal. 95-96.
2 Azyumardi Azra, Syariat Islam dalam Bingkai Nation State, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 44.
3 Budhy Munawar-Rachman, HAM dan Persoalan Relativitas Budaya, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), op.cit, hal. 476.
4 Ibid, hal. 478.
5 Dikutip dalam Greg Barton, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 416.
6 Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 47.
7 Amina Wadud, op.cit, hal. 87-88.
8 Baca selengkapnya di Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Jakarta: Serambi, 2005).
9 Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah (Yogyakarta: LKIS, 2003) hal. 166-167.
10 Lebih lengkapnya lihat Mahmud Muhammad Thaha, op.cit. hal. 166-175.
11 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Jakarta: Paramadia, 2006), hal. 32-48)
12 Mohamed Fathi Osman, op.cit. hal 41-47.